Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
LEGAL OPINION KASUS KEBAKARAN HUTAN OLEH PT. NASIONAL SAGO PRIMA DI KABUPATEN MERANTI PROVINSI RIAU Disusun oleh: Nicolas Arrahman Hukum Lingkungan Rombel 5 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017 LEGAL OPINION KASUS KEBAKARAN HUTAN NEGARA DI SUKABUMI Pendahuluan Kasus Kebakaran Hutan yang terjadi di Riau tepatnya di suatu pulau yang bertepatan di Kabupaten Meranti disebabkan oleh salah satu perusahaan bernama PT. Nasional Sago Prima atau disingkat PT. NSP dalam kasus kebakaran hutan di lahan konsesi seluas 3.000 hektare. PT. Nasional Sago Prima ialah suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan ini dari data yang didapat telah memperoleh izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Bukan Kayu seluas 21.248 hektar di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. PT. NSP bergerak menjalankan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman industry dalam hutan tanaman sagu, selain itu PT. NSP juga bergerak menjalankan budidaya tanaman sagu, menjalankan usaha pengusahaan hutan, mendirikan perusahaan melakukan penyertaan pada perusahaan lain untuk mendukung maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan. PT. Nasional Sago Prima tercatat pada 30 Januari 2014 hingga Maret 2014 menggunakan satelit modis( Terra Aqua), telah terjadi kebakaran hutan di sebuah areal PT. NSP, pada di petak tanaman sagu yang masih dalam tahap penanaman 2.000 hektar dan petak tanaman yang sudah dalam tahap sempurna pada kawasan PT. NSP adalah 1.000 hektar. Dari informasi tersebut sudah jelas bahwa kasus kebakaran Hutan di Kepulauan Meranti Provinsi Riau sudah terjadi pada 2014 lalu. Dari jumlah Petak hektar tersebut bahwa wilayah terbakar PT. NSP ialah 3.000 hektar. Seorang saksi bernama Nasrullah memberikan pendapat bahwa tanaman yang terbakar berupa sagu, gambut, pakis dan ranting-ranting kayu. Adapun masalah yang terjadi pada saat pemadaman api ialah salah seorang karyawan PT. Nuansa Pertiwi yang dihubungi dengan tujuan untuk meminta bantuan untuk menggerakan alat berat untuk memadamkan api yang membakar areal hektar tanaman tersebut. Namun, Pihak PT. Nuansa Pertiwi memberikan pernyataan bahwa pihaknya baru mendapat informasi pada saat api nya sudah besar yang membakar PT. Areal NSP. Ahli Bambang Hero menerangkan akibat adanya kebakaran pada petak-petak yang belum produktif maupun yang sudah produktif tersebut menyebabkan adanya masalah emisi gas pada atmosfer dan gambut yang telah terbakar menjadi ancaman serius karena gambut tidak bisa kembali lagi. Kebakaran tersebut telah melepaskan gas-gas rumah kaca sebagai berikut: 27.000 ton karbon, 9.450 ton CO2, 98,28 ton CH4, 43,47 ton NOx, 120,96 ton NH3, 100,17 ton O3, 1.748,25 ton CO serta 2.100 ton partikel. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian Ahli Kerusakan Tanah, Basuki Wasis, perbuatan PT. NSP telah mengakibatkan kerusakan tanah gambut. Ini melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001. Kerusakan gambut itu ditunjukkan dengan parameter-parameter subsidence, pH tanah, C Organik, Nitrogen tanah, total mikro organisme tanah, total fungi, respirasi tanah, porositas, bobot isi tanah, penurunan keragaman spesies dan populasi flora dan fauna. Oleh sebab itu, PT. NSP digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusan hakim, PT. NSP harus membayar biaya sebesar Rp. 319.168.422.500 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 753.745.500.000 Dengan total yang harus dibayar ialah Rp. 1,07 Triliun. Analisis Hukum Dari kronologis terjadinya kasus tersebut beserta siapa yang bisa dikatakan sebagai pelaku terjadinya kasus kebakaran Hutan di Provinsi Riau. Kasus Kebakaran Hutan tersebut termasuk kasus yang bisa dikatakan berat Dari beberapa fakta-fakta hukum diatas maka kasus kebakaran Hutan di Riau yang disebabkan oleh PT. Nasional Sago Prima divonis dan terjerat kedalam aturan-aturan: Undang undang nomor 32 tahun 2009 pasal 87 ayat 1 menyatakan setiap penanggung jawab usaha dan kegiatan yang berupa melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran daan perusakaan lingkungan, menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 tahun 2014 tentang kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan kerusakan Lingkungan Hidup dilakukan oleh ahli, maka ahli tersebut yang ditunjuk menguraikan kerugian yang diakibatkan tindakan kerusakan lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh PT. Nasional Sago Prima. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 23 Ayat (1) huruf d tentang Perlindungan Hutan menyatakan terkait dengan pengendalian pencegahan kebakaran, PT NSP juga harus memenuhi ketentuan dengan cara: Melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan Menginventarisasi faktor penyebab kebakaran Menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran Membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan Mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan F. Membuat sekat bakar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, PT NSP harus memiliki petunjuk pelaksanaan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan yang dilengkapi dengan pengadaan sarana dan prasarana penunjang, terdiri dari: Peralatan tangan Perlengkapan perorangan Pompa air dan kelengkapannya Peralatan komunikasi Pompa bertekanan tinggi Peralatan mekanis Peralatan transportasi Peralatan logistik, medis dan SAR Gedung Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan menyatakan bahwa PT NSP wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di lokasi usahanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2), yaitu: a. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan b. Alat pencegahan kebakaran hutan dan/atau lahan c. Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan d. Perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan Pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan secara berkala Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 35 ayat 1 Penanggungjawab usaha dan atau kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secaraa langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusak lingkungam hidup disebabkan oleh salah satu alasan dibawah ini: Adanya bencana alam atau peperangan Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia atau Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusak lingungan hidup. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan yang dialami oleh PT. NSP dapat dikaitkan oleh Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup 1997 pasal 35 ayat 2 alinea ketiga dimana adanya tindakan pihak yang lalai dimana hal tersebut berdampak akan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau. Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 134.Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya tersebut, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Dalam penjelasannya disebutkan lebih jauh bahwa tanggung jawab mutlak akan dikenakana secara selektif atas kasus yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan termaksud. Persoalannya adalah ketentuan yang memuat prinsi asas tanggung jawab mutlak tersebut belum dapat diterapkan, mengingat pasal tersebut dikunci dengan peraturan pelaksanaan yang belum dibuat hingga UU ini kemudia dicabut. Hal ini mengakibatkan gugatan kasus-kasus lingkungan di pengadilan yang meminta menerapkan asas tanggung jawab mutlak seringkali tidak dapat diterima Selanjutnya, Negara mempunyai hak untuk menguasai dan mengatur kekayaan Negara yang terkandung di dalamnya, oleh sebab itu pihak negaraa berhak atas memvonis PT. NSP dikarenakan hal tersebut berhubungan langsung dengan kepentingan Negara. Sebagaimana dalam UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UUPLH). Pasal 8 ayat 2 UUPLH menetapkan bahwa pemerintah: Mengatur dan megembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan Hidup. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak social dan Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjaga lingkungan hidup sekiranya Pemerintah bisa mencegah dan menanggulangi adanya kasus-kasus tentang lingkungan seperti kebakaran hutan. Kewenangan untuk mengelola kekayaan Negara terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan ini, menurut Pasal 4 UUPLH bertujuan untuk: Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya Terkendalinya pemanfaaatan sumber daya secara bijaksana Terwujudnya Manusia Indonesia sebagai Pembina Lingkungan Hidup Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Terlindungnya Negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tepatnya pasal 1365, 1366, 1367 menyatakan Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiaan atau kurang hati-hatinya. Seorang tidak saja bertanggung jawa utuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Dalam hal ini perbuatan hukum atau dimaksud ialah perbuatan setiap pihak atau orang dapat dikenakan kedalam ranah hukum secara menyeluruh seperti hukum perdata, dikarenakan kajian hukum sedemikian luas Uji Syarat Dalam kasus ini, syarat pertama telah terpenuhuhi dengan berbunyinya pasal Undang undang nomor 32 tahun 2009 pasal 87 ayat 1 menyatakan setiap penanggung jawab usaha dan kegiatan yang berupa melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran daan perusakaan lingkungan, menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu. Hal ini diyakini sekiranya telah terjalannya gugatan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta yang memvonis PT. NSP akibat dari kelalaiannya yang berujung pada kebakaran hutan yang melanda 3.000 hektar dan diminta membayar ganti rugi sebesar Rp 1, 07 triliun. Dalam point kedua Peraturan tentang Perlindungan Hutan menyatakan terkait dengan pengendalian pencegahan kebakaran, PT NSP dituntut agar memenuhi syarat dalam kasus kebakaran hutan yang terjadi. Syarat kedua dalam hal ini juga terpenuhi dikarenakan Pihak PT. NSP secara hukum diharuskan membayar kerugian yang telah terjadi Point ketiga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 23 Ayat (1) huruf d tentang Perlindungan Hutan menyatakan terkait dengan pengendalian pencegahan kebakaran, PT NSP dalam hal ini tidak memenuhi syarat dikarenakan pihak PT. NSP tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Point ke empat juga menunjukan bahwa PT. NSP tidak memenuhi syarat Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. PT. NSP berdasarkan informasi yang telah didapat dari para saksi belum memiliki rambu-rambu peringatan serta belum adanya pelatihan adanya antisipasi kebakaran yang mungkin saja terjadi. Adapun pasal dalam buku KUHPER pasal 1365-1367 dimana dalam pasal tersebut dijelaskan bagaimana sebuah pihak dapat bersalah dan apa saja konsekuensi yang bisa dilakukan untuk menebus pertanggung jawaban perbuatan tersebut. Dari Uji syarat tersebut dapat dikatakan pihak PT. NSP sekiranya telah terbukti melakukan kelalaian yaitu kurangnya persiapan yang ada pada saat hal-hal yang berbahaya terjadi. Fakta-fakta hukum yang terdapat pada pernyataan tersebut dapat dikategorikan termasuk ke dalam syarat Kumulatif karena tuntutan yang terjadi telah real dan terdapat undang-undang yang berlaku atas kasus Kebakaran Hutan oleh PT. Nasional Sago Prima. Kesimpulan Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa PT. Nasional Sago Prima telah terbukti melakukan kelalaian yang menyebabkan terjadinya Kebakaran Hutan yang terjadi di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau. Kebakaran yang terjadi meliputi tanaman yang berupa sagu, gambut, pakis dan ranting-ranting kayu. Dari hasil data. Ada dua lahan yaitu tanaman yang produktif dan tanaman masih tahap pertumbuhan mencapai kesuburan. Diperkirakan kebakaran tersebut mencapai 3.000 hektar. Perbuatan tersebut diperkirakan karena kelalaian yang membuat PT. Nasional Sago Prima harus berhadapan dengan hukum di Pengadilan atas perbuatannya. Perbuatan tersebut dinilai telah mencemari lingkungan sekitarnya dan membuat kerugian bagi para masyarakat yang menjadi korban asap. Kemudian, PT. Nasional Sago Prima diharuskan membayar ganti rugi materill secara tunai kepada Kementrian Lingkungan Hidup sebagai Penggugat melalui kas Negara sebesar Rp. 319.168.422.500 (Tiga Ratus Sembilan Belas Milyar Seratus Enam Puluh Delapan Juta Empat Ratus Dua Puluh Dua Ribu Lima Ratus Rupiah) dan membayar biaya Pemulihan lingkungan secara tunai kepada Kementrian Lingkungan Hidup sebanyak Rp. 753.745.500.000 (Tujuh Ratus Lima Pulih Tiga Milyar Tujuh Ratus Empat Puluh Lima Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Dan melarang PT. Nasional Sago Prima menjalankan proyeknya hingga PT. NSP telah membayar ganti rugi tersebut. DAFTAR PUSTAKA Erwin, Muhamad, “Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup”, Bandung : PT. Refika Aditama, 2008.