PERAN NOTARIS DALAM PRAKTIK PERJANJIAN
BISNIS DI PERBANKAN SYARIAH (TINJAUAN DARI
PERPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH)
Deni K. Yusup
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. AH Nasution No. 105 Bandung
E-mail: dk_yusup@yahoo.com
Abstract: he Role of Notary in Business Agreement Practices in the Islamic Bankings ( A Review
from the perspectives of Islamic Economics Law). Notary is a public oicial who is authorized to
make authentic acts on all deeds, agreements, and provisions required by a general regulation or
desired by the parties to be declared in an authentic deed. Notary occupies a very important position
in the sharia banking industry especially in the making of authentic deed relating to agreements/
contracts and binding guarantee. he function of the authentic deed is as an evidence having the
force of law (volledig bewijs). In the perspective of Islamic economics law, an authentic deed is similar
to a treaty or an engagement in general, that is an agreement (contract) that occurred between the
two sides to make an ofer and acceptance (Ijab-qabul) regarding a particular thing.
Keywords: notary, authentic deed, Islamic economics law
Abstrak: Peran Notaris dalam Praktik Perjanjian Bisnis di Perbankan Syariah (Tinjauan dari
Perpektif Hukum Ekonomi Syariah). Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau yang dikehendaki oleh para ihak untuk dinyatakan dalam suatu
akta autentik. Notaris menduduki posisi yang sangat penting dalam industri perbankan syariah,
terutama dalam pembuatan akta-akta otentik yang berkenaan dengan perjanjian-perjanjian atau
kontrak-kontrak dan pengikatan jaminan. Fungsi dari akta otentik yang dibuat oleh Notaris dapat
menjadi alat bukti yang memiliki kekuatan hukum sempurna (volledig bewijs). Dalam hukum
ekonomi syariah, akta otentik yang dibuat oleh Notaris sama dengan perjanjian atau perikatan
dalam sebuah akta pada umumnya, yakni perjanjian (akad) yang terjadi antara dua belah pihak
berdasarkan kesepakatan keduanya untuk melakukan penawaran dan penerimaan (Ijâb-Qâbul)
mengenai suatu obyek.
Kata Kunci: notaris, akta otentik, perbankan Islam
pertumbuhan yang sangat tinggi antara 4045 persen pertahun.1
Dalam praktik perjanjian bisnis di
dunia perbankan dewasa ini tentu sangat
membutuhkan notaris yang mampu memahami konsep-konsep akad syariah dan
penerapannya dalam praktek perbankan
Pendahuluan
Notaris menduduki posisi yang sangat
penting dalam industri perbankan syariah
saat ini, karena notaris memiliki peranan
dalam pembuatan akta-akta kontrak-kontrak
produk perbankan syariah dan pengikatan
jaminan (khususnya dalam perkara Hak
Tanggungan dan Fiducia). Seiring dengan
perkembangan perbankan dan keuangan
syariah bergerak dengan cepat dengan tingkat
1
Hasil observasi penulis terhadap peran notaris dalam
membuat akta otentik perjanjian bisnis di Bank BJBS dan Bank
Syariah Mandiri Jawa Barat Selama Tahun 2014-2015.
701
702| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
syariah. Pemahaman terhadap kontrakkontrak bisnis dalam berbagai produk
keuangan dan perbankan syariah merupakan suatu hal yang mutlak dan harus
dikuasai oleh notaris perbankan syariah,
seperti perjanjian murâbahah, musyârakah,
mudhârabah, ijârah, istishnâ, ijârah
muntahiyah bit tamlîk (IMBT), musyârakah
mutanaqishah, pembiayaan take over syariah,
reinancing syariah, jaminan syariah, anatomi
akta-akta syariah, dan sebagainya.
Keharusan notaris memiliki kompetensi
untuk pembuatan berbagai perjanjian bisnis
di lembaga perbankan syariah merupakan
rekomendasi hasil Perte muan Tahunan
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) pada Desember
2014 di Jakarta.2 Namun pada praktiknya,
hasil rekomendasi dari pertemuan tersebut
belum tertuang sebagai peraturan perundangundangan yang baku dan mengikat bagi
notaris untuk melakukan pembaruan
pemahaman mengenai praktek perjanjian
bisnis di perbankan syariah. Sehingga
kemungkinan notaris yang tidak memahami
prinsip dasar hukum ekonomi syariah yang
mengikatkan diri di dalam suatu perjanjian
bisnis yang menggunakan akad syariah masih
sangat besar.
Hal tersebut di atas tentunya mengundang perhatian terkait kepastian hukum
di kemudian hari. Kepastian hukumnya
yang dimaksud penulis di sini bukan
hanya memuat absah atau tidak absahnya
suatu akta otentik, melainkan juga harus
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan
praktek bisnis yang sesuai dengan hukum
ekonomi syariah. Hal ini tentunya akan
menjadi sebuah ironi dan anomali apabila
sebuah perjanjian antara nasabah dan bank
dengan menggunakan akad syariah yang
2
Lihat rekomendasi hasil Pertemuan Tahunan Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
pada Desember 2014 di Jakarta, sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Abduh, “Peran Notaris dalam Perjanjin Bisnis
Syariah”, makalah diskusi regular pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2015.
baku, namun dikodiikasikan sama halnya
dengan perjanjian biasa tanpa memuat
“kesakralan” konsep hukum ekonomi syariah.
Demikian halnya dalam konteks negara
hukum, Indonesia menganut prinsip supreme
of law. Penafsiran terhadap supreme of law
salah satunya adalah kepastian hukum.
Dengan penerapan hukum ekonomi syariah,
notaris yang terikat dengan praktik bisnis
di perbankan syariah hendaknya mampu
menghadirkan akta akad yang tidak boleh
melenceng dari ketentuan prinsip dan
asas hukum ekonomi syariah. Jika hal
tersebut tidak dilaksanakan, maka akan
menimbulkan ketidakpastikan hukum.
Berdasarkan pemikiran tersebut, tulisan ini
akan menjelaskan tentang urgensi dan peran
notaris praktik perjanjian bisnis di perbankan
syariah menurut hukum ekonomi syariah.
Urgensi Notaris dalam Praktik Perjanjian
Bisnis di Perbankan Syariah
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik sejauh mana
pembuatan akta otentik tertentu tersebut
tidak dikhususkan bagi pejabat umum
lainnya.3 Pembuatan akta otentik diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dalam
rangka menciptakan kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum. Selain itu akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
notaris, bukan saja karena diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga
karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang
berkepentingan untuk memastikan hak
dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus bagi
masyarakat secara keseluruhan.
Notaris membuat akta otentik yang
merupakan alat pembuktian terkuat dan
terpenuh yang mempunyai peranan penting
dalam setiap hubungan hukum dalam setiap
3
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia
(Suatu Penjelasan), cet. 1, (Jakarta: PT. Raja Graindo Persada,
1993), h. 12.
Deni K. Yusup: Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis |703
kehidupan masyarakat. Dalam berbagai
hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial,
dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian
tertulis berupa akta otentik makin meningkat
sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan
kepastian hukum dalam berbagai kegiatan
ekonomi dan sosial, baik pada tingkat
nasional maupun inter nasional. Adanya
akta otentik dapat memberikan kepastian
hukum bagi pemegangnya, dan menghindari
terjadinya sengketa di kemudian hari, dan
walaupun sekiranya sengketa tidak dapat
dihindari, akta otentik tersebut merupakan
alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh
dalam proses penyelesaian sengketa.4
Kebutuhan masyarakat akan notaris
dan akta-akta yang dibuatnya mengalami
perkembangan yang semakin meluas.
Masyarakat sekarang lebih mempunyai kesadaran hukum dalam melakukan hubunganhubungan hukumnya, baik itu hubungan
hukum dalam bidang perjanjian bisnis dan
perbankan maupun kegiatan-kegiatan sosial
lainnya yang menggunakan jasa notaris untuk
membuat akta otentik yang mengikat para
pihak dalam kegiatannya.
Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat saat ini juga
telah berpengaruh besar terhadap berbagai
perjanjian bisnis di bidang perbankan
syariah. Masyarakat telah memahami bahwa
notaris merupakan salah satu unsur yang
penting dalam setiap operasional transaksi
perbankan, terutama dalam hal pembuatan
akta-akta jaminan kredit/pembiayaan, surat
pengakuan hutang, grosse akta, legalisasi
dan waarmerking, dan tugas-tugas lain dari
notaris yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan.
Secara yuridis formal, keberadaan
bank syariah telah diakui dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, termasuk
keberadaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 dan 4,
4
Lihat penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya
disebut dengan Undang-undang Perbankan),
disebutkan bahwa undang-undang membagi
jenis bank menjadi dua macam, yaitu bank
umum dan bank perkreditan rakyat.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran; sedangkan
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.5
Ketentuan tersebut di atas dipertegas
pula dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, yang menyebutkan bahwa Bank
Syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.6
Bank sebagai lembaga keuangan memanfaatkan jasa hukum notaris dalam setiap
perjanjian bisnis, seperti: jaminan idusia dan
hak tanggungan. Pada umumnya bank-bank
konvesional yang lebih terdengar melibatkan
notaris dalam pembuatan akta perjanjian/
perikatan dibandingkan dengan bank syariah.
Namun demikian saat ini bank-bank syariah
sebagai sub sistem dari sistem perbankan
nasional yang diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah (UUPS) juga
menggunakan jasa hukum notaris di dalam
setiap kegiatan bisnisnya, terutama yang
terkait dengan Akta Akad Pembiayaan (AAP).
Namun hal yang perlu ditekankan di sini
5
Lihat Pasal 1 Angka 3 dan 4 Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
6
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syari’ah.
704| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
adalah produk-produk bank syariah yang
menggunakan prinsip-prinsip dan asas-asas
hukum ekonomi syariah. Dengan kata lain,
segala bentuk pencatatan perjanjian bisnis
yang dituangkan dalam akta notarisnya pun
harus pula merujuk kepada norma-norma
hukum ekonomi syariah.
Kerangka Teoritis Peran Notaris dalam
Praktik Perjanjian Bisnis di Perbankan
Syariah
Dalam perspektif hukum ekonomi syariah,
sekurang-kurangnya ada tiga teori yang
dapat digunakan untuk mengkaji peran
notaris dalam praktik perjanjian bisnis di
perbankan syariah. Landasan teoritis yang
dimaksud antara lain teori iltizâm, teori
perjanjian dan teori kritik hukum. Ketiganya
dapat direduksi melalui pendekatan ilsafat
hukum dari prinsip-prinsip universal hukum
ekonomi syariah yang terdapat di dalam
Alquran, al-Sunnah, dan ijtihad.
Teori pertama adalah iltizâm. Secara
bahasa, iltizâm berarti kewajiban. Iltizâm
merupakan suatu keharusan akibat terjadinya
akad yang berimplikasi kepada lahirnya hak
dan kewajiban. 7 Dalam konteks hukum
ekonomi Islam, iltizâm mengandung makna
keharusan bagi seseorang untuk mengerjakan
sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu
untuk kemaslahatan orang lain. Suatu
perjanjian berasal dari kata aqad ( )عقدyang
secara etimologi berarti “menyimpulkan”.
مع طري حبلن و يش ّذ احدما باأخر حى
يتصا فيصبحا كقطعة واحدة
Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat
salah satunya dengan yang lain sehingga
bersambung, kemudian keduanya menjadi
sepotong benda.
Dalam arti normatif, Iltizâm juga mengandung pengertian:
7
‘Abd. al-Razâq al-Sanhûrî, Mashâdir al-Haqq i al-Fiqh
al-Islâmî, Dirâsah Muqâranah bî al-Fiqh al-Gharbî, (Bayrût: Dâr
al-Hana li al-hibâ‘ah wa al-Nasyr, 1958), Jilid I, h. 130-131.
كل شخص مكلف ملتزم بتصرفه
Setiap orang yang mukallaf terikat dengan
tindakannya.8
Pengertian iltizâm direduksi dari ketentuan ayat hukum yang menegaskan
keharusan melakukan akad sesuai dengan
ketentuan Allah sebagaimana ditegas kan
dalam Q.s. al-Mâidah [5]: 1 yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.
Contoh implementasi dari ayat di atas,
seseorang diharuskan membayar atau mengganti barang yang dirusaknya, dapat dikatakan
iltizâm disebabkan ia harus dilaksanakan
oleh yang meneruskannya. Demikian pula
dengan ta‘wîdh, atau tadhmin terhadap suatu
kerugian yang tertimpa atas orang lain, baik
langsung ataupun tidak langsung. Iltizâm
merupakan tindakan hukum yang menjadi
sebab bagi dilakukannya suatu kewajiban
untuk memberikan kemaslahatan bagi orang
yang dirugikan. Maka nafkah kerabat yang
fakir atas kerabat yang kaya dalam batasbatas tertentu, merupakan iltizâm atas
kerabat yang kaya itu.9
Syarat untuk melaksanakan iltizâm
diperlukan sekurang-kurangnya dua pihak,
yaitu: multazim (orang yang diharuskan
8
‘Abd. al-Razâq al-Sanhûrî, Mashâdir al-Haqq i al-Fiqh
al-Islâmî, Dirâsah Muqâranah bî al-Fiqh al-Gharbî, h. 130-131.
9
Penulis mengutip contoh iltizâm dari Yahya Abdurrahman,
“Al-Iltizâm”, artikel yang dipublikasikan dalam http://iqh1.
wordpress.com/2010/05/15/al-iltizâm/ diunduh pada tanggal 28
Februari 2011. Lihat pula penjelasan T.M. Hashbi Ash-Shiddieqy,
Fiqh Muamalah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 58.
Deni K. Yusup: Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis |705
untuk memenuhi hak) dan multazam lahu
(seseorang yang harus dipenuhi haknya).
Apakah kedua belah pihak harus tertentu
sejak pada permulaan iltizâm ataukah tidak.
Hal tersebut tidak dipertentangkan karena
multazim harus ada dan tertentu orangnya
sejak dari permulaan iltizâm. Multazim
menjadi orang yang dikenai kewajiban itu
(mukallaf), atau dialah yang dikatakan madin
dalam masalah ini.10
Pada kalangan para sarjana hukum
dewasa ini, teori iltizâm diaplikasikan
dalam beberapa istilah perjanjian bisnis
syariah untuk pihak-pihak yang bersangkutan, yaitu dain dan madin. Dain atau
kreditur dinamakan multazam lahu, madin
atau debitur dinamakan multazim, sedangkan
hutang dinamakan mahall al-iltizâm. Iltizâm
juga dapat diaplikasikan dalam praktik
jual beli, di mana pihak pembeli berhak
menerima barang yang sudah dibelinya, tetapi
ia berkewajiban membayar barang tersebut.
Demikian pula bagi si penjual berhak untuk
menerima harga penjualan, tetapi dalam
waktu yang sama ia berkewajiban juga
menyerahkan barangnya.
Teori kedua adalah teori perjanjian
(nazhariyyah al-’uqûd). Teori ini menjadi dasar
bagi perindahan hak milik antar individu
dengan individu atau korporasi. Menurut
Wahbah al-Zuhaylî,11 hak milik atas harta,
baik individu maupun kolektif, merupakan
hak bagi manusia untuk mengelola dan
mengambil manfaat atas harta itu (tasharruf
‘ala al-mâl). Pengambilan manfaat dari
pengelolaan atas harta dibenarkan menurut
ketentuan syara’ dengan batas-batas yang
ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya. Dalam
konteks ini, dikenal teori pemindahan
hak milik melalui akad atau perjanjian
(nazhariyyah al-‘uqûd) yang disandarkan
kepada ketentuan nas Q.s. al-Baqarah [2]:
10
M. Ali Hasin, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam:
Fiqh Muamalat, cet. 1, (Jakarta: PT Raja Graindo Persada,
2003), h. 44.
11
Wahbah Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh,
(Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1989), juz 4, h.102-103.
1, bahwa perjanjian bisnis termasuk dalam
kategori akan yang direleksikan sumbernya
(Alquran dan Sunnah).
Teori perjanjian di atas diperkuat
oleh teori kepemilikan atas harta menurut
Ibnu Manzhûr12 yang menjelaskan bahwa
ketentuan hak milik atas harta dalam Islam
ditegaskan melalui Alquran bahwa bumi dan
langit beserta isinya adalah mutlak milik
Allah sebagaimana dalam Q.s. al-Baqarah
[2]: 284 yang berbunyi:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi. dan jika
kamu melahirkan apa yang ada di dalam
hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan
kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan
menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa
hakikat kepemilikan atas harta secara hakiki
atau mutlak adalah milik Allah (al-Mâlik
al-mulk), sedangkan kepemilikan manusia
bersifat sementara dan nisbi. Demikian
pula ayat-ayat Alquran yang menisbatkan
kepemilikan kepada umat manusia sebagaimana dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 188
yang berbunyi:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
12
Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Kairo: Dâr al-Mishriyah,
t.t.), h. 492.
706| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal
kamu mengetahui.
Ayat di atas mengandung pengertian
tidak menunjuk kepada keharusan kepemilikan kolektif saja, tetapi juga kepemilikan perorangan (al-milkiyyah alfardiyyah).
Implementasi teori perjanjian dalam
hukum ekonomi syariah dapat dimaknai
bahwa segala sesuatu yang keluar dari seorang
manusia dengantun kehendaknya dan syara’
menetapkan beberapa haknya. Para ahli hukum
telah membagi kategori akad menjadi dua,
yakni akad dengan ucapan (‘aqd al-qawlî)
dan akad dengan perubatan (‘aqd al-i‘lî).
Oleh karena itulah, segala bentuk perjanjian
bisnis di perbankan syariah akan dianggap
sah apabila ia tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip, asas-asas, syarat, rukun, dan
etika hukum bisnis syariah.
Menurut pendapat para ulama mazhab,
untuk memenuhi suatu akad harus dipenuhi
terlebih dahalu rukun dan syaratnya. Di
satu sisi, rukun menunjukkan ada dan
tidak adanya suatu perbuatan. Di sisi
lain, syarat merupakan bagian dari rukun
tetapi bukan esensi dari perbuatan. Untuk
itu harus dipenuhinya syarat dan rukun.13
Rukun yang pertama ialah adanya Ijâb dan
Qâbul yang menunjukkan maksud dari
kedua belah pihak, seperti keselarasan das
sein dan das sollen, serta dilakukan dalam
satu tempat dan terhubungkan satu sama
lain. Rukun yang kedua ialah mukallaf, yaitu
seorang yang kompeten melakukan akad.
Kompetensi tersebut menjadikan para pihak
yang terlibat dalam akad harus memiliki
kecakapan dan terikat baik dari segi haknya
maupun kewajibannya. Rukun yang ketiga
adalah adanya obyek akad dalam bentuk
nyata, baik untuk saat ini atau di masa akan
13
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta:
RajaGraindo Persada, 2002), cet. 1, h. 79.
datang, merupakan objek yang halal, dan
dapat diselaraskan sesuai dengan ketentuan
hak dan kewajibannya baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Adapun yang terakhir
yaitu tujuan akad yang harus sesuai dengan
syari’at. Jika akad itu melanggar aturan
Alquran dan al-Hadis, maka akad tersebut
harus diperbaharui.
Selanjutnya, konsekuensi logis dari perjanjian adalah penyerahan. Penyerahan yang
dimaksud di sini adalah pernyataan serah
terima (Ijâb dan Qâbul). Langkah pertama
dalam pembuatan perjanjian serah terima
(misalnya: barang) dibuat dalam berbagai
cara diantaranya:14
1. Disampaikan secara verbal (bi al-kalâm).
Bentuk penyerahan ini dilakukan dalam
pertemuan langsung;
2. Disampaikan secara tertulis (bi alKitâbah). Bentuk penyerahan ini menjadi efektif segera setelah surat yang
dibuat itu menunjukan bahwa orang
tersebut menyerahkan dan tetap akan
menerima sampai diterima oleh penerima.
Penyerahan ini harus dilakukan secara
langsung;
3. Dapat dilakukan dengan pesan yang
dikirim dengan seseorang. Orang yang
jujur dan terpercaya, dan penyerahan itu
diterima dengan penerimaan yang baik.
Para ulama Maliki, Syai’i, Hanbali,
berpendapat bahwa penyerahan itu
harus dilakukan oleh pemilik harta
dalam mengembalikan konsiderasi.
Namun para ulama Hanai mengatakan
bahwa penyerahan itu berasal dari satu
kelompok.
4. Dibuat melalui tanda-tanda dan terutama lewat isyarat pada semua kasus
di mana orang yang menyerahkan
itu adalah tuli atau bisu atau ketika
penerima tidak memahami bahasa
orang yang menyerahkan Mazhab
14
Abdur Rahman I. Doi, Syariah he Islamic Law,
Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman (Pent.), (Jakarta: PT. Raja
Graindo Persada, 1996), h. 16.
Deni K. Yusup: Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis |707
Maliki berpandangan sebagai sahih
tanda-tanda yang diketahui yang dibuat seseorang yang normal sekalipun
karena ide yang penting adalah bahwa
orang yang menyerahkan itu harus
mengkomnikasikan penyerahanya.
5. Dibuat dengan perbuatan (fi‘lî).
Penyerahan yang dibuat lewat perantara
barang adalah sahih menurut Mazhab
Maliki, namun penyerahan itu tidak dapat
dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Mengacu kepada teori akad di atas,
penulis berpendapat bahwa keberadaan
notaris sangat penting untuk membuat akta
otentik sebuah perjanjian bisnis di perbankan
syariah. Keberadaan notaris yang memahami
akad-akad syariah akan menjamin segala
bentuk perjanjian bisnis di kalangan orang
Islam sesuai dengan prinsip-prinsip dan asasasas hukum ekonomi syariah.
Kemudian teori yang ketiga adalah
teori kritik hukum (critical legal theory).
Terminologi “teori kritis” pertama kali
di kembangkan oleh Mazhab Frankfurt,
di pelopori oleh para anggota Institute
for Social Research, University of Frankfurt,
Jerman. Pada umumnya mereka merupakan para
sarjana hukum yang berhaluan kiri. Namun
pemaknaan dari “teori kritis” menjadi tidak
begitu jelas batasan-batasannya seiring dengan
perkembangan berbagai bidang ilmu, yang
dikem bangkan antara lain oleh sarjana
atau kelompok dari sarjana lainnya dalam
berbagai teori antara lain: Teori Marxist
dari Frankfurt School, Teori Semiotic and
Linguistic dari Julia Kristeva dan Roland
Barthes, Teori Psychoanalythic dari Jacquest
Lacan, Critical Legal heory dari Roberto
Unger dan Duncan Kennedy dengan Teori
Queer, Teori Gender, Teori Kultural, Teori
Critical Race, dan Teori Radical Criminology.15
Menurut teori kritik hukum, hukum
tak bisa dilepaskan dari ekonomi,
begitu teriak Marx. Hukum adalah “alat
15
Roberto Mangabeira Unger, he Critical Legal Studies
Movement, (Harvard: University Press, 1986), h. 114.
legitimasi” dari kelas ekonomi tertentu.
Mengapa hukum di bidang perburuhan
cenderung menggelisahkan buruh? Menurut
Marx, karena hukum telah dikuasai oleh
kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum
bukanlah keadilan, karena menurutnya
hukum itu adalah tatanan keadilan adalah
omong kosong. Faktanya, hukum melayani
kepentingan orang berpunya. Ia tidak lebih
dari sarana penguasaan dan piranti para
penguasa untuk menggunakannya sesuai
dengan kepentingan mereka.16
Namun demikian para penganjur studi
kritis-kritis yang lainnya – salah satunya
adalah Ralf Dahrendorf telah mengajukan
motif-motif kekuasaan (bukan ekonomi
sebagaimana Marx) di balik aturan hukum.
Teori Hukum Feminis (Feminist Legal heory)
dan Teori Ras Kritis (Critical Race heory)
merupakan perkembangan berikutnya dari
Critical Legal Studies, keduanya berhutang
banyak dalam gagasan awal Critical Legal
Studies (CLS) juga post-modernism namun
kemudian mengembangkan pemikiran sendiri
yang bisa digunakan untuk menentukan
ketentuan hukum untuk melegislasi berbagai
jenis perjanjian bisnis di era modern yang
sangat variatif.17
Penulis menggunaan preposisi sementara
karena ketiadaan regulasi khusus yang mengatur tentang kenotariatan syariah di
Indonesia. Kenyataan ini tentu mendorong
dilakukannya perubahan peraturan perundang-undangan tentang notaris di
Indonesia. Salah satu teori hukum yang ingin
dikutip di sini adalah pendapat Lawrence
Meir Friedman yang menjelaskan bahwa
keberhasilan penegakan hukum bergantung
kepada tiga hal, yaitu: substansi hukum,
struktur hukum/pranata hukum, dan budaya
hukum. Friedman mengatakan bahwa setiap
sitem hukum terdiri dari tiga unsur, yaitu:
substansi hukum (content of law), tata laksana
16
Roberto Mangabeira Unger, he Critical Legal Studies
Movement, h. 115.
17
Roberto Mangabeira Unger, he Critical Legal Studies
Movement, h. 116.
708| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
hukum (structure of law) dan budaya hukum
(culture of law). Sehingga, penegakan hukum
tidak saja dilakukan melalui perundangundangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana menciptakan instrumen dan
budaya hukum dalam masyarakat untuk
menjamin kepastian hukum.18
Oleh karena itu, untuk menjamin
kepastian hukum bagi keberadaan notaris
syariah, maka UUJN idealnya harus memuat
pasal tentang notaris syariah. Hal tersebut
sangat mungkin dilakukan, baik melalui
legislasi UUJN Syariah atau sekurangkurangnya melalui amandemen terhadap
UUJN yang sudah ada. Hukum Islam
adalah sistem hukum yang hidup dan
selalu berkembang sesuai dengan dimensi
kehidupan masyarakat, serta menjadi alat
pengendali masyarakat. Hal didasarkan
kepada kaidah ikih yang berbunyi perubahan
hukum itu berdasarkan perubahan zaman,
tempat dan keadaan (taghayyir al-ahkâm bi
taghayyir al-azminati wa al-amkinati wa alahwâl).19 Teori perubahan hukum Islam ini
relevan dengan teori perubahan hukum,
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang
dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat bagi tujuan perubahan sosial
(law as a tool of social engineering).20
Mengacu kepada teori kritik hukum
di atas, penulis dapat merumuskan bahwa
keberadaan notaris syariah sangat penting
dalam setiap praktik perjanjian bisnis di
perbankan syariah. Keberadaan notaris
syariah dapat digaransi baik melalui legislasi
UUJN Syariah atau amandemen terhadap
UUJN yang sudah ada. Dengan demikian
kepastian hukum bagi setiap perjanjian
18
Lawrence Meir Friedman, American Law, (London:
W.W. Norton & Company, 1984), h. 7.
19
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqqi‘în, (Bayrût:
Dâr al-Fikr, t.t.), h. 118.
20
Teori hukum ini diadopsi dari teori perubahan sosial
yang dikemukakan oleh Rosque Pound. Lihat Lili M. Rasjidi
dan Arief Sidarta, Filsafat Hukum Madzhab dan Releksinya,
(Bandung: Rosda Karya, 1993), h. 13.
bisnis di perbankan syariah dapat dilakukan
sepenuhnya berdasarkan prinsip-prinsip dan
asas-asas hukum ekonomi syariah.
Kedudukan Notaris Syariah dalam
Sistem Hukum Indonesia
Kajian terhadap fenomena akta notaris dalam
sistem hukum Indonesia tidaklah sederhana
menggabungkan dua kutub hukum yaitu
hukum perdata barat dan hukum perdata
Islam. Fenomena ini tidak terlepas dengan
eksistensi dan pengakuan terhadap hukum
Islam dalam konteks negara hukum Indonesia
yang notabene pendu duknya mayoritas
beragama Islam.
Pedoman umum dalam bentuk internalisasi kaidah-kaidah hukum Islam yang
universal dalam praktik bisnis syariah secara
khusus dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua)
hal, yaitu:21 pertama, hal-hal yang dilarang
untuk dilakukan dalam kegiatan bisnis
(muamalah) yaitu obyek perdagangan atau
perniagaan harus halâl dan thayyib menurut
asas sukarela (‘antaradhin) dan pengelolaan
yang berdasarkan saling percaya (amanah).
Konsep obyek halal lebih menekankan
adanya unsur halal dan bukan berbisnis
yang diharamkan oleh Islam seperti menjual
minuman keras, najis, alat-perjudian dan lainlain. Preferensi disandarkan berdasarkan norma
hukum Islam bukan sekedar memenuhi hasrat
keutungan semata. Di satu sisi yang dimaksud
dengan adanya kerelaan (al-ridhâiyyah)
mengacu pada Q.s. al-Nisâ’ [4]: 29 dengan
kalimat ‘antaradhin minkum yang berarti
saling sukarela. Ketentuan ini menegaskan
bahwa dalam melakukan transaksi perniagaan
harus didasarkan pada kerelaan antara masingmasing pihak. Dengan kata lain, adanya asas
“tidak adanya paksaan” dalam proses transaksi
dari pihak manapun. Selain itu, dalam
pengurusan dana dalam berbinis hendaknya
melaksanakan nilai kejujuran dan amanah
dalam mengurus dana yang mencerminkan
21
Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
di Bank Syariah, (Jakarta: PT. Sinar Graika, 2012), h. 33.
Deni K. Yusup: Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis |709
sifat mulia seperti yang dicontohkan oleh
Nabi Muhammad Saw.
Kedua, hal-hal dilarang menurut syariat
diantaranya praktik riba, yaitu setiap
tambahan dari pinjaman yang berasal dari
kelebihan nilai pokok yang dipinjamkan yang
diberikan kepada kreditur; ta’khir yaitu benda
yang menjadi obyek perniagaan itu tidak
ada ditangan atau dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, tidak dapat diserahkan pada
waktunya sehingga mengakibatkan debitur
mengalami kerugian, penyesalan, dan bahaya;
serta tadlîs yaitu penipuan atas adanya
kecacatan dari barang yang diperjualbelikan.
Adapun yang terpenting dalam ranah
hukum ekonomi syariah adalah harus selalu
menekankan unsur lahiriah dan bathiniah.
Atas dasar itulah iltizâm merupakan istilah
teknis yang dapat digunakan untuk menyebut
perikatan secara umum. Semula iltizâm
digunakan untuk menunjukkan perikatan
yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya
kadang-kadang saja dipakai untuk perikatan
yang timbul dari perjanjian. Sekarang ini
iltizâm banyak digunakan untuk menyebut
perikatan secara keseluruhan. Seperti dijelaskan sebelumnya, iltizâm dalam hukum
ekonnomi syariah adalah terisinya tanggungan
(dzimmah) seseorang atau suatu pihak dengan
suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada
orang atau pihak lain. Mustafa Ahmad alZarqa mendeinisikan iltizâm dalam hukum
perikatan Islam sebagai keadaan di mana
sesorang diwajibkan menurut hukum syarak
untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu bagi kepentingan orang lain.22
Dalam kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam
perikatan:23
1. Perikatan Utang (al-Iltizâm bi al-Dayn).
Kunci untuk memahami memahami
22
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang
Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Raja Graindo
Persada, 2007), h. 42.
23
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang
Teori Akad dalam Fikih Muamalat, h. 43.
konsep utang dalam hukum Islam adalah
bahwa utang dapat dinyatakan sebagai
suatu yang terletak dalam dzimmah
(tanggungan) sesorang. Sumber-sumber
perikatan utang (al-Iltizâm bi al-Dayn)
dalam hukum Islam adalah sebagai
berikut: yang pertama adalah akad,
yang kedua adalah kehendak sepihak
seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya
adalah sejumlah uang atau benda, dan
yang ketiga adalah perbuatan melawan
hukum yaitu semua bentuk tanggungan
(al-dhaman) yang timbul dari selain
akad, seperti pencurian, perusakan yang
objeknya adalah barang. Sumber yang
keempat adalah pembayaran tanpa sebab,
yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan
syariah yang menetapkan kewajibankewajiban untuk melakukan pembayaran
tertentu pada seseorang.
2. Perikatan Benda (al-Iltizâm bi al-‘Ayn).
Perikatan benda merupakan suatu
hubungan hukum yang obyeknya adalah
benda tertentu untuk dipindahtangankan
kepemilikannya baik itu bendanya,
manfaatnya atau dapat diserahkan atau
dititipkan kepada orang lain. Sedangkan
sumber-sumber perikatan benda adalah
akad semacam ini merupakan sumber
paling penting dari hukum perikatan
kepemilikan suatu benda, seperti dalam
jual beli atau sewa menyewa. Adapun
sumber lainnya adalah kehendak sepihak
seperti wasiat, dan perbuatan melawan
hukum juga dapat dijadikan sumber
perikatan benda, seperti kasus ghasab.
3. Perikatan Kerja atau Melakukan Sesuatu
(al-Iltizâm bi al-‘Amâl).
Perikatan kerja atau melakukan sesuatu
(al-Iltizâm bi al-‘Amâl) adalah suatu
hubungan hukum antara dua pihak
untuk melakukan sesuatu. Sumbernya
adalah akad bay‘ al-istishnâ dan bay‘
al-ijârah. Istishnâ adalah akad jual beli
untuk melakukan sesuatu di mana
bahan dan kerja dilakukan oleh pihak
kedua atau pembuat. Sedangkan ijârah
710| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
merupakan suatu akad atas beban yang
obyeknya adalah manfaat dan jasa. Akad
ijarah ada dua yaitu sewa menyewa
(ijârah al-manâi‘) dan perjanjian kerja
(ijârah al-a‘mâl).
4. Perikatan Menjamin (al-Iltizâm bi alTawtsiq)
Perikatan Menjamin merupakan suatu
bentuk perikatan yang obyeknya
adalah menanggung (menjamin) suatu
perikatan. Maksudnya pihak ketiga
mengikatkan diri untuk menanggung
perikatan pihak kedua terhadap pihak
pertama.
Keempat bentuk bentuk perikatan
di atas merupakan praktik bisnis yang
rutin dilakukan dalam perjanjian bisnis
di perbankan syariah saat ini. Bahkan
di dalamnya memuat fakta hukum yang
menerangkan jenis perikatan, ketentuan
mengenai hak dan kewajiban, serta para
pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini,
notaris syariah dianggap lebih paham dan
harus mencantumkan jenis akad dalam
perjanjian bisnis yang dibuat dalam aktanya.
Misalnya, Iltizâm yang bermakna umum
seperti akad pada umumnya atau sebaliknya
dapat pula bermakna khusus yang mencakup
tindakan hukum (rechtshandeling) yang
kehendak berasal dari kedua belah pihak.
Di samping itu, ada pula contoh lainnya
yaitu tasharruf atau conduct or disposition
yang secara substansi menjelaskan “hubungan
segala sesuatu yang bersumber dari kehendak
seseorang baik berupa perkataan maupun
perbuatan, di mana syarat menetapkan atasnya
sejumlah akibat hukum, baik yang menyangkut
kepentingan orang tersebut maupun orang
lain.”
Terhadap fakta hukum bentuk perjanjian (akad) ataupun perikatan (iltizâm)
berdasarkan prinsip hukum ekonomi syariah
dalam sebuah akta perjanjian atau perikatan
di perbankan syariah yang tidak dicantumkan
dalam akta notaris dapat dianggap sebagai
sebuah produk hukum yang tidak memiliki
kepastian hukum. Konsekuensi dari adanya
ketidakpastian hukum tersebut tentunya
dapat menye satkan para pihak apabila
disuatu saat nanti terjadi perselisihan atau
perseng ketaan. Oleh karena itu penulis
berpendapat bahwa indikator notaris syariah
yang paripurna ialah notaris yang mampu
memahami fakta hukum dan prinsip hukum
ekonomi syariah dalam setiap akad maupun
perikatan terjadi dalam praktek perbankan
syariah. Dengan kata lain, sudah sepantasnya
apabila badan hukum atau lembaga yang
menerbitkan sertiikasi notaris syariah lebih
memfokuskan pembahasan tersebut dalam
setiap materinya.
Untuk memberikan ruang bagi keber adaan notaris syariah dalam sistem
hukum Indonesia, penulis merujuk kepada
ketentuan dalam Pasal 1 butir 1 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(UUJN). Dalam Pasal tersebut ditegaskan
bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Deinisi Notaris juga lebih lanjut diatur
dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris
(PJN) bahwa “Notaris adalah Pejabat
Umum satu-satunya yang berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang akta itu oleh
suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”
Menurut Abdul Ghofur Anshori, akta
sendiri ialah surat yang berguna sebagai
alat bukti yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian. Penandatanganan surat wajib
dilakukan sehingga dapat berbentuk akta
Deni K. Yusup: Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis |711
yang berasal dari Pasal 1864 KUHPerdata
tetapi tidak dapat diberlakukan menjadi
akta otentik karena disahkan oleh pegawai
yang tidak berwenang atau cakap (van
onbevoegheid of onbek waamheid van den
ambtenaar). Akta yang ditandatangani oleh
para pihak mempunyai kekuatan (kracht)
yang disebut tulisan di bawah tangan (onderhandsch geschrift). Tanda tangan memberikan
ciri atau untuk mengindividualisir sebuah
akta. Pendek kata, akta adalah surat yang
ditandatangani dengan maksud dan sengaja
yang berisi klausula-klausula dari kesepakatan
pembuatnya sebagai alat bukti. Ada dua
teori dalam pembuatan akta otentik. Secara
teoritis, akta yang ditandatangani oleh
Notaris menjadi akta.24
Sistem pembuktian dalam hukum
tentunya tidak terlepas dari aspek pengakuan dari pelaku, sumpah, kesaksian, dan
dokumentasi tertulis. Alat pembuktian
dalam bentuk dokumentasi tertulis ini telah
ditegaskan dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 282
yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu›amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar.
dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
24
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia:
Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 23.
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya……
Ayat di atas secara substansi menegaskan
bahwa apabila setiap manusia berbisnis
(bermuamalah) tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, maka hendaklah
kalian menuliskannya. Hendaklah penulis
menuliskannya dengan benar. Jangan lah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya.
Apabila dicermati, penulisan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Q.s. alBaqarah [2]: 282 di atas salah satunya telah
menjadi kewajiban bagi seorang Notaris,
yang di dalamnya menerangkan bukti
tentang siapa yang berhak dan apa yang
terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah
(faktubûh)” dalam ayat tersebut bersifat
umum, maka mencakup semua perjanjian
bisnis (muamalah) dan semua dokumen
terkait, termasuk pula perjanjian, katabelece,
keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan
lain-lain.
Namun hasil penelusuran penulis
belum menemukan peraturan perundangundangan yang secara tegas dan rinci
membahas secara spesiik mengenai notaris
syariah, padahal terhadap obyeknya antara
kenotariatan semua praktik perjanjian
bisnis di perbankan syariah telah memiliki
peraturan perundang-undangan tersendiri.
Misalnya saja, ada ketentuan di dalam Pasal
17 Poin 1 (i) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang
mengatur bahwa “Notaris dilarang melakukan
pekerjaan lain yang bertentangan dengan
norma agama, kesusilaan, dan kepatutan
yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan notaris”.
Secara formal, ketentuan hukum di
dalam Pasal 17 Poin 1 (i) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris tersebut di atas tidak mengatur sama
sekali keberadaan notaris syariah, namun
secara substansi-meskipun tidak secara
tegas-dipandang terbukanya ruang untuk
menggagaransi keberadaan notaris syariah.
712| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
Proses amandemen perlu dilakukan untuk
menjamin legalitas notaris syariah dalam
membuat semua akta otentik perjanjian
bisnis di perbankan syariah.
Sejauh ini, agar notaris syariah dapat
diakui legalitasnya, maka ia harus mengikuti
proses sertiikasi dengan pelatihan yang
terintegrasi dgn Ikatan Notaris Indonesia
(INI), salah satunya program sertiikasi yang
bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan
Perbankan Indonesia dan International
Center for Development in Islamic Finance
(ICDIF) atau juga Iqtishad Consulting
(IC). Bahkan saat ini INI dan MUI sudah
berada dalam kesepakatan untuk membentuk
Kompartemen Syariah INI dalam rangka
melakukan sertiikasi notaris dari aspek
syariah.
Menurut perspektif teori kritik hukum,
penulis dapat menganalisis dari perspektif
tata urutan peraturan perundang-undangan
di Indonesia dapat dilakukan beberapa
terobosan untuk melakukan legislasi bagi
keberadaan notaris syariah. Terobosan
pertama yang mungkin dapat dilakukan
adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah
(PP), Keputusan Presiden (KEPRES), atau
Instruksi Presiden (INPRES). Namun
menurut teori konstitusi, PP, KEPRES atau
INPRES tersebut tidak dapat dikeluarkan
apabila bertentangan dengan ketentuan
hukum yang lebih tinggi, kecuali ada ruang
atau pasal di dalam UUJN bagi keberadaan
notaris syariah.
Terobosan yang kedua adalah pemerintah
dapat menerbitkan Peraturan Pengganti
Undang-Undang (PERPU). Namun syarat
utama bagi terbitnya suatu PERPU adalah
harus karena alasan “darurat” karena ketidak pastian hukum. Sedangkan untuk
menerbitkan sebuah PERPU juga tidak
dapat dikeluarkan apabila tidak memenuhi
syarat darurat. Selain itu, upaya ini tentu
membutuhkan waktu yang cukup lama
karena pemerintah juga perlu mendapatkan
persetujuan dari DPR untuk menerbitkan
sebuah PERPU.
Terobosan yang ketiga adalah strategi
yang paling memungkinkan, yakni melakukan judicial review di Mahkamah
Konstitusi terhadap sejumlah pasal—salah
satunya adalah Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris). Upaya hukum ini dapat dilakukan
dengan menambahkan atau sekurangkurangnya mengamandemen pasal-pasal yang
memungkinkan bagi dimuatnya klausa materi
hukum untuk menggaransi notaris syariah.
Menurut hemat penulis, langkah ini relatif
lebih cepat dan efektif karena apabila judicial
review ternyata dikabulkan oleh MK, maka
pemerintah dengan persetujuan DPR dapat
secepatnya menerbitkan sebuah PERPU yang
menggaransi notaris syariah.
Mengacu kepada upaya terobosan
hukum di atas, ada hal yang harus diperhatikan yaitu notaris dalam menerbitkan
akta dalam praktik perjanjian bisnis di
perbankan syariah hendaknya melihat fakta
hukum seperti jenis akad mana yang akan
dilaksanakan harus dicantumkan secara jelas
dan tegas. Sebagai contoh, apabila ada jual
beli Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)
dengan menggunakan akad syariah di bank
syariah, maka fakta hukum akad syariah bay‘
al-murâbahah harus dimuat secara tegas dan
jelas di dalam akta pembiayaan oleh notaris.
Contoh tersebut di atas tentunya berbeda
dengan praktik jual beli Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) di bank konvensional, yang
mana fakta hukumnya hanya mencantumkan
perjanjian kredit jual beli tanah dan bangunan
tanpa mencantumkan akad syariah. Apabila
dikemudian hari ternyata Akta Perjanjian
KPR tersebut diterbitkan, tentu tidak
dapat dijadikan alat bukti otentik dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah,
karena notaris hanya melakukan konirmasi
terhadap asli atau tidaknya akta notaris.
Sedangkan jika akta notaris yang diajukan
sebagai alat bukti di Pengadilan Agama (PA),
maka ia menjadi batal karena salah satu
kompetensi absolut PA adalah berwenang
dalam penye lesaian sengketa ekonomi
Deni K. Yusup: Peran Notaris Dalam Praktik Perjanjian Bisnis |713
syariah. Demikian pula jika ditemukan akta
asli dengan kelalaian notaris di dalamnya,
maka kreditur dan debitur dapat dirugikan
sebagai akibat dari ketidakjelasan suatu akad
dalam akta perjanjian.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis
berpendapat bahwa peranan notaris syariah
dalam pembuatan akta otentik dalam setiap
perjanjian bisnis di perbankan syariah
sangatlah penting. Ia bukan hanya berkaitan
langsung dengan kewenangannya di dalam
pembuatan akta otentik yang diperlukan
dalam kerja sama tersebut, namun juga
perjanjian-perjanjian lainnya yang dibuat
antara bank syariah dengan nasabah untuk
lebih mendapatkan jaminan kepastian hukum
bagi kedua belah pihak. Pada umumnya
para pihak sangat menghendaki dituangkan
akad syariah di dalam bentuk akta notaris,
sehingga seorang notarispun dituntut untuk
membekali diri dengan pengetahuan yang
cukup memadai tentang jenis-jenis akad
dan produk-produk keuangan di bank
syariah. Alasannya adalah ada karakteristik
yang berbeda antara bank syariah dengan
bank konvensional. Demikian pula dalam
pendirian kantor bank syariah diperlukan
pula peran notaris syariah, karena dalam
pendirian suatu badan hukum harus
dituangkan dalam bentuk akta notaris atau
akta otentik berdasarkan prinsip syariah.
Penutup
Indikator notaris telah mampu memenuhi
prinsip syariah ialah notaris dapat menuangkan gagasan syar’i didalam akta akadnya.
Indikator tersebut dapat dilihat apabila akta
tersebut tidak bertentangan dengan Iltizâm
dan Nazhariyyah al-‘Uqûd yang menjadi
tolak ukur adanya transaksi bisnis syariah.
Perjanjian (akad) ataupun perikatan (iltizâm)
berdasarkan prinsip hukum ekonomi syariah
dalam membuat sebuah akta perjanjian/
perikatan di perbankan syariah dapat dianggap
sebagai sebuah fakta hukum yang apabila
tidak dicantumkan dalam akta notaris dapat
dianggap sebagai sebuah produk hukum yang
tidak memiliki kepastian hukum. Konsekuensi
dari adanya ketidakpastian hukum tersebut
tentunya dapat menyesatkan para pihak
apabila disuatu saat nanti terjadi perselisihan
atau persengketaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis
berpendapat bahwa salah satu indikator
notaris syariah yang paripurna ialah notaris
yang mampu memahami fakta hukum dan
prinsip hukum ekonomi syariah dalam
setiap akad maupun perikatan terjadi dalam
praktek perbankan syariah. Salah satu upaya
hukum yang mungkin dapat dilakukan
adalah dengan melakukan judicial review
di Mahkamah Konstitusi terhadap sejumlah
pasal-salah satunya adalah Pasal 17 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Jabatan Notaris). Upaya ini dilakukan
dengan cara menambah atau sekurangkurangnya mengamandemen pasal-pasal yang
memungkinkan untuk menggaransi notaris
syariah. Dengan cara demikian, sekurangkurangnya badan hukum atau lembaga yang
menerbitkan sertiikasi notaris syariah dapat
memfokuskan pembahasan tersebut dalam
setiap materinya, atau bahkan dikemudian
hari diharapkan adanya peraturan perundangundangan yang secara khusus eksistensi
notaris syariah.
Pustaka Acuan
Abdurrahman I, Doi, Syariah: he Islamic
Law, Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman
(Pent.), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan
Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika,
Yogyakarta: UII Press, 2011.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah
Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, Jakarta: PT. Raja Graindo
Persada, 2007.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hashbi, Fiqh Muamalah,
Semarang: CV. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Faturrahman, Djamil, Penyelesaian Pembiayaan
714| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 4, Desember 2015
Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta: PT.
Sinar Graika, 2012.
Friedman, Lawrence Meir, an American Law,
London: W.W. Norton & Company,
1984.
Hasin, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi
dalam Islam: Fiqh Muamalat, Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 2003.
Jawziyyah, al-, Ibn Qayyim, I’lâm alMuwaqqi‘în, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.
Manzhûr, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Kairo: Dâr
al-Mishriyah, t.t.
Mas’adi, Ghufron A., Fiqih Muamalah
Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Graindo
Persada, 2002.
Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat
di Indonesia: Suatu Penjelasan, Jakarta:
PT. Rajagraindo Persada, 1993.
Rasjidi, Lili M. dan Sidarta, Arief, Filsafat
Hukum, Madzhab, dan Refleksinya,
Bandung: Rosda Karya, 1993.
Sanhûrî, al-, ‘Abd. al-Razâq, Mashâdir
al-Haqq i al-Fiqh al-Islâmî, Dirâsah
Muqâranah bî al-Fiqh al-Gharbî, Bayrût:
Dâr al-Hana li al-hibâ‘ah wa al-Nasyr,
1958.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris.
Unger, Roberto Mangabeira, he Critical
Legal Studies Movement, USA: Havard
University Press, 1986.
Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâm wa
Adillatuh, Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1989.
Abdurrahman, Yahya, “Al-Iltizâm”, artikel
yang dipublikasikan dalam http://iqh1.
wordpress.com/2010/05/15/al-iltizâm/
diakses pada tanggal 28 Februari 2011.