Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)

2024, Filsafat Hukum

Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang. Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang dinamis menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan ilmu atau buah pikiran yang telah mereka hasilkan. Hal yang demikian ini juga terjadi dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya, dan filsafat hukum pada khususnya. Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dalam artian filsafat merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Filsafat adalah pengetahuan yang membangun banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari manusia. Diantara ilmu yang dihasilkan dan dikembangkan oleh manusia dari berfilsafat antara lain adalah ilmu hukum yang merupakan salah satun produk dari filsafat. Sebuah adagium mengatakan, ibi ius ibi societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebagian keilmuan, teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum didasari oleh filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat. Berbagai pergulatan pemikiran hukum yang terus menerus berkembang dalam filsafat hukum, menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat hukum tersebut terjadi dialektika yang membahas asal usul terciptanya hukum. Maka dari itu, penulis merangkum beberapa aliran dari filsafat hukum, aliran utilitarian dan aliran atau mazhab sejarah dalam makalah ini.

Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang. Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang dinamis menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan ilmu atau buah pikiran yang telah mereka hasilkan. Hal yang demikian ini juga terjadi dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya, dan filsafat hukum pada khususnya. Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dalam artian filsafat merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Filsafat adalah pengetahuan yang membangun banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari manusia. Diantara ilmu yang dihasilkan dan dikembangkan oleh manusia dari berfilsafat antara lain adalah ilmu hukum yang merupakan salah satun produk dari filsafat. Sebuah adagium mengatakan, ibi ius ibi societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Sebagian keilmuan, teori-teori dan penemuan normanorma dalam hukum didasari oleh filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat. Berbagai pergulatan pemikiran hukum yang terus menerus berkembang dalam filsafat hukum, menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat hukum tersebut terjadi dialektika yang membahas asal usul terciptanya hukum. Maka dari itu, penulis merangkum beberapa aliran dari filsafat hukum, aliran utilitarian dan aliran atau mazhab sejarah dalam makalah ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana aliran filsafat hukum utilitarian? 2. Bagaimana mazhab sejarah dalam filsafat hukum? Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 52 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 BAB II PEMBAHASAN A. Aliran Utilitarian Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan keman faatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, tergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for greatest number of people). Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat paham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.1 Berikut penulis menguraikan beberapa pendukung dari aliran filsafat hukum utilitarianisme yang paling penting adalah: 1. Jeremy Bentham (1748-1832) Jeremy Bentham dilahirkan di Spitalfields, London pada tanggal 15 Februari tahun 1748 dan pada saat usianya tujuh tahun (1775), dia dikirim oleh ayahnya untuk mengenyam pendidikan di Westminster School. Pada tahun 1769 ketika usianya dua belas tahun dia melanjutkan pendidikannya di Queen’s College University of Oxford. Tahun 1763 dia mendaftarkan dirinya menjadi seorang barrister di The Honorable Society of Lincoln’s Inn, dan berhasil menyelesaikan ujian barristernya pada tahun 1768. Setelah merayakan kelulusannya menjadi seorang barrister, dia kembali ke Queen’s College untuk melakukan voting terhadap pemilihan 1 Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020), hlm. 104-105. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 53 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 parlemen di universitasnya. Sesaat sebelum melakukan voting, dia mengunjungi perpustakaan universitas dan beristirahat sejenak di kedai kopi depan perpustakaan tersebut. Disitulah dia kemudian menemukan salinan pamflet yang baru diterbitkan oleh Joseph Priestley dengan judul “Essay on Government”. Di dalam pamflet itu dia menemukan istilah paling terkenalnya, yaitu “The greatest happiness of the greatest number”.2 Jeremy Bentham merupakan filsuf utilitarian Inggris, ahli ekonomi dan ahli hukum teoritis, yang memiliki pengaruh besar dalam melakukan reformasi pemikiran pada abad ke-19 baik di Inggris maupun pada level dunia. Dia dijuluki sebagai Luther of the Legal World (Luther dalam bidang Hukum). Hal ini dikarenakan pada akhir abad ke-18 M, sistem hukum Inggris yang kuno, korup dan belum direformasi bisa dipandang sebagai agama nasional, sementara ia tidak hanya berani menentangnya, akan tetapi juga mencipta suatu struktur hukum baru, yang menarik banyak penganut dan pada akhirnya mengilhami terjadinya reformasi. Ia telah melakukan kritik radikal dan rekonstruksi terhadap semua institusi Inggris baik di bidang ekonomi, moral, agama, pendidikan, politik maupun hukum. Bentham berpendapat bahwa alam ini telah menempatkan manusia dalam kekuasaan, kesusahan dan kesenangan. Karena kesenangan dan kesusahan itu kita memiliki gagasan-gagasan, semua pendapat dan semua ketentuan dalam hidup kita yang dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang akan ia katakan. Tujuannya hanyalah mencari kesenangan dan menghindari kesusahan. Memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Dalam konteks ini, tidak adanya ruang untuk mendikotomikan kedua variabel Bentham tersebut. Baginya, kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan 2 Endang Pratiwi, Theo Negoro dan Hussanain Haykal, Teori Utilitarianisme Jeremy Betham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?, Jurnal Konstitusi, Vol. 19, No. 2, (Juni, 2022), hlm. 275. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 54 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara kegunaan. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Bagi Bentham, tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan, yaitu to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup), to provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah), to provide security (untuk memberikan perlindungan), to attain equality (untuk mencapai persamaan). Menurut Bentham, para pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang, harus melibatkan penemuan sarana-sarana untuk mewujudkan kebaikan. Sang legislator harus mempertimbangkan fakta bahwa, tindakan-tindakan yang ingin ia cegah adalah keburukan atau kejahatan. Suatu undang-undang barulah dapat diterima sebagai hukum, jika undang-undang itu bertujuan untuk mencapai tujuan: kelimpahan, perlindungan terhadap status dan kepemilikan, serta untuk meminimalisasi ketidakadilan. Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh Friedmann. Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini menyebabkan terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi kebijakan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Ia juga terlalu yakin dengan kemungkinan kodifikasi ilmiah yang lengkap melalui prinsip-prinsip yang rasional, sehingga dia tidak Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 55 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 lagi menghiraukan perbedaan-perbedaan nasional dan historis. Padahal, pengalaman terhadap kodifikasi di berbagai negara menunjukkan, bahwa penafsiran yang elastis dan bebas dari hakim senantiasa dibutuhkan. Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.3 Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara kegunaan. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lain). Untuk menyeimbangkan antarkepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan agar ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiaannya, dengan sendirinya kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.4 2. Jhon Stuart Mill (1806-1873) 3 Zainal B. Septiansyah dan Muhammad Ghalib, Konsepsi Utilitarianisme dalam Filsafat Hukum dan Implementasinya di Indonesia, Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol. 34, No. 1, (Juni, 2018), hlm. 28-30. 4 Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Op. Cit., hlm. 104-105. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 56 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 Lahir di London, Inggris tahun 1806 John Stuart Mill atau disingkat J. S. Mill dikenal sebagai seorang tokoh sosial-politik dan filsuf etika, khususnya etika yang beraliran utilitarian. Memiliki ayah yang bernama James Mill dan berkecimpung di dunia ekonomi, politik, dan filsafat, membuat Mill muda memiliki masa depan yang cukup menjanjikan. Bahkan ayahnya sendiri merupakan kerabat dekat dari tokoh etika utilitarianisme yang pertama yakni, Bentham. Kepribadian dan pemikiran John Stuart Mill yang kritis sudah mulai dibentuk dari semenjak kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari kemahiran bahasa Yunani yang dimiliki oleh John Stuart Mill, telah dia asah semenjak usia tiga tahun. Oleh karena itu, diusia remaja, tepatnya pada usia dua belas tahun, Mill muda sudah tidak asing lagi dengan teks-teks berbahasa Yunani, dari mulai teks sastra, sejarah, hingga teks yang membahas ilmu matematika. Inilah yang membuatnya lebih mudah memahami pemikiran para tokoh filsuf terdahulu, tidak terkecuali tulisantulisan dari bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith.5 Tidak sedikit dari para peneliti ketika menjelaskan mengenai sebuah konsep atau pemikiran tokoh mengalami kesulitan dalam menguraikannya. Untuk itu, dalam rangka menjelaskan ide atau gagasan John Stuart Mill mengenai utilitarianisme, berikut akan dijelaskan secara lebih mendalam agar memudahkan dalam memahami peta pemikiran utilitarianisme Mill. Untuk itu perlu kiranya diklasifikasikan menjadi empat poin penting. Poin yang pertama, dan perlu menjadi catatan bahwa apa yang dilakukan oleh Mill dengan konsep utilitarianismenya merupakan rekonstruksi ulang dari utilitarianisme Bentham. Artinya secara ilmiah Mill mencoba memperbaiki definisi utilitarianisme yang dianggap sebagai faham atau ideologi sesat akibat kesalahan yang dilakukan oleh utilitarianisme terdahulu.6 5 Asep Saepullah, Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmuilmu atau Pemikiran Keislaman, Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11, No. 2, (Desember, 2020), hlm. 250-251. 6 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm, 181. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 57 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 Mill memulainya dengan membuat konsep baru mengenai “prinsip kebermanfaan”. Seperti yang sudah dijelaskan diawal. Hal tersebut mengacu pada perbuatan-perbuatan baik dan benar apabila memiliki tujuan akhir sebagai alat pendukung keadilan, dan buruk apabila untuk mendukung kejahatan. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.7 3. Rudolf van Jhering (1818-1892) Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme individual, sedangkan rekannya Rudolf von Jhering (dalam beberapa buku ditulis Lehering) mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan positivisme Hukum dari Jhon Austin. Mula-mula von Jhering menganut mazhab sejarah yang dipelopori von Savigny dan Punchta, tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menentang pandangan von Savigny tentang hukum Romawi. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang timbul setelah dia melakukan studi yang mendalam tentang hukum Romawi. Huijbers memasukkan Jhering sebagai salah satu tokoh penting Positivisme Hukum. Menurut von Savigny, seluruh hukum Romawi merupakan pernyataan jiwa bangsa Romawi, dan karenanya merupakan hukum nasional. Hal ini dibantah oleh von Jhering. Seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian pula halnya dalam bidang kebudayaan karena pergaulan intensif antarbangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan. Hukum Romawi dalam perkembangannya berfungsi sebagai ilustrasi kebenaran tersebut. Sudah barang tentu lapisan tertua hukum 7 Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Loc. Cit. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 58 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 Romawi bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat perkembangannya berfungsi sebagai ilustrasi bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan yang lebih lanjut hukum itu makin mendapat ciri-ciri universal. Inilah jalan biasa dalam perkembangan suatu sistem hukum; ciriciri hukuman makin diasimilasikan dalam hukum nasional, sehingga hukum yang pada mulanya nasional makin menjadi hukum-hukum universal. Dengan mengetengahkan gagasan ini, von Jhering mendukung pandangan von Savigny bahwa hukum romawi dapat digunakan sebagai hukum nasional Jerman tetapi alasannya berlainan. Hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain sehingga hukum itu lebih bersifat universal daripada nasional. Pertimbangan ini diperkuat oleh von Jhering mengenai timbulnya hukum. Menurut von Savigny, hukum timbul dari jiwa bangsa secara spontan, tetapi menurut von Jhering hal ini tidak dapat dibenarkan. Bagi Jhering, tujuan hukum ialah melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan-kepentingan ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.8 B. Mazhab Sejarah Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai 8 Sukarno Aburaera and Maskun Muhadar, Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik), Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 1116-117. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 59 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul ”Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft” (Tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut: Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah: 1. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial; 2. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.9 Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikiran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum 9 Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), hlm. 60. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 60 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adatkebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.10 Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman). Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta, murid Savigny yang paling setia, dicirikan sebagai Volkgeist, menurut Puchta hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum ini. Dikatakannya: “Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya”.11 Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan. 2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang 10 Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 11 Sajdipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 285. 64. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 61 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang. 3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah. Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dengan demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu konsep yang diselubungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif di situ terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 62 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ketidakpuasan para sarjana hukum yang melihat lemahnya doktrin legismepositvisme tersebut, timbul adanya kebutuhan untuk mengadopsi dan membangun sebuah paradigma baru untuk menggantikan posisi doktrin yang sudah tak relavan termakan usia tersebut. Maka ketika itu, ada beberapa aliran dalam filsafat hukum yang ditawarkan untuk melengkapi kesenjangan hukum di negeri ini, seperti pernah diutarakan untuk mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika hukum para yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in concreto). 2. Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dengan demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu konsep yang diselubungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif di situ terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 63 Zulfahmi Hukum Pidana Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal 2024 52-64 DAFTAR PUSTAKA Aprita, Serlika dan Rio Adhitya, Filsafat Hukum, Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2020. Arifin, Mohammad, Teori dan Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, Jakarta: CV. Rajawali, 1990. Aburaera, Sukarno and Maskun Muhadar, Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik), Filsafat Hukum (Teori Dan Praktik), Jakarta: Kencana, 2013. Pratiwi, Endang, Theo Negoro dan Hussanain Haykal, Teori Utilitarianisme Jeremy Betham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?, Jurnal Konstitusi, Vol. 19, No. 2, Juni, 2022. Rahardjo, Sajdipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Rasyidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Saepullah, Asep, Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmu-ilmu atau Pemikiran Keislaman, Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 11, No. 2, Desember, 2020. Septiansyah, Zainal B. dan Muhammad Ghalib, Konsepsi Utilitarianisme dalam Filsafat Hukum dan Implementasinya di Indonesia, Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol. 34, No. 1, Juni, 2018. Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Filsafat Hukum: “Aliran-aliran Filsafat Hukum (Utilitarian dan Mazhab Sejarah)” Page | 64