AKUNTABILITAS SOSIAL ATAS AIR
Oleh Rizki Estrada OP.1
“ Polisi akan menjadi “Penjaga” bagi mereka yang dapat membayar air, sementara kita mati
kehausan” teriak pengunjuk rasa di Kota Sao Paulo, Brasil.
Salah satu media di Brasil memberitakan tentang ribuan orang yang berasal permukiman miskin
berjalan menyisir perumahan-perumahan mewah di Kota Sao Paulo, Brasil. Kota dengan 20 juta
orang yang tinggal dikota tersebut terpaksa hanya dapat menikmati air selama dua hari dalam
seminggu. Sementara, perumahan-perumahan kaya hampir sebagian besar memiliki tangki-tangki air
yang mereka miliki sendiri.
Salah satu demonstran berjalan sambil membawa ember dan meneriakkan “ Air.. Ya..Air”, sehingga
mendorong pernyataan salah seorang Direktur Pengelola Air di Kota tersebut menyatakan bahwa
kemungkinan orang-orang di Kota sudah saatnya meninggalkan kota. Akan tetapi, 93 wilayahwilayah kecil di Brasil pun menghadapi kelangkaan air, sementara keberadaan waduk besar di pusat
kota tersebut hanya mampu memasok 30 persen jumlah penduduk di kota , terutamanya bagi
perumahan-perumahan orang kaya. Kisah kelam diatas diberitakan media tersebut merupakan
gambaran dimana kondisi Brasil tengah dihadapkan dengan situasi kekeringan yang cukup parah.
Kondisi yang dialami warga Sau Paulo-Brazil, menuntun ingatan saya pada salah satu buku yang
pernah di tulis oleh Zaky Yamani berjudul “ Kehausan Di Ladang Air”, buku yang mengisahkan
potret warga Kota Bandung dalam memenuhi air untuk kebutuhan sehari-harinya. Keberadaan PDAM
yang dipandang tebang pilih dalam memasok kebutuhan air warga kota, disertai dengan nuansa
nepotisme, permaian meter air dan premanisme di tubuh institusi milik kota Bandung, turut mewarnai
kemelut pengelolaan air bagi warga kota tersebut.
Melihat kondisi di dua kontek kota yang berbeda, kelihatannya terdapat kemiripan peristiwa yang
dialami kedua warga yang tinggal di dua ruang yang berbeda, yang akhirnya memunculkan
pertanyaan, apakah keberadaan PDAM di daerah, sebenarnya air dipasok untuk siapa? Institusi
sekelas PDAM pada intinya adalah badan usaha, yang artinya mengusahakan air untuk masyarakat,
dan kata “usaha” dapat dipandang sebagai “dagang”, kalau orang maupun organisasi ber”dagang”
tentunya ada yang diperdagangkan yang disebut “produk” untuk diperjualbelikan, dan tentunya
keuntungan adalah orientasinya.
Atas dasar itu, sempat terpikir apa mungkin pasokan air yang digelontorkan benar-benar mampu
diakses bagi warga yang miskin atau justru sebaliknya, diarahkan kepada warga-warga yang memiliki
daya beli tinggi dan tinggal diperumahan-perumahan mewah?.
Logikanya, tingkat daya beli yang rendah yang selalu melekat pada warga miskin, mampu
mengeluarkan sejumlah uang yang bisa dikatakan tinggi bagi ukuran kantong mereka, untuk
memasang instalasi pipa penyaluran ke rumah mereka. Belum lagi, bayaran tarif tiap bulannya yang
harus mereka bayarkan, Nah , kalau menunggak tiap bulannya, pertanyaanya apakah PDAM tidak
merugi? Lantas, bagaimana caranya bisa menutupi biaya operasional mereka?
Bukankah cara pandang berdagang adalah bagaimana bisa untung, boleh jadi masyarakat penganut
kemapanan saja yang dipandang mampu secara berlanjut mengkonsumsi air, yaitu orang-orang yang
1
Rizki Estrada Aktif di Perkumpulan INISIATIF - Bandung
bermukim di rumah-rumah yang ditandai pagar-pagar teralis melebihi tinggi manusia dan tertutup
rapat, atau yang tinggal di kamar-kamar gedung pencakar langit dengan sistem keamanan yang ketat.
Warga inilah yang boleh jadi dipandang menguntungkan, dibanding warga miskin yang justru dapat
membuat usaha merugi. Maka, meski perusahaan tersebut milik pemerintah, cara pandang warga
masyarakat dalam konteks “usaha” dipandang bukan lagi sebagai warga negara yang memiliki hak
untuk dipenuhi oleh pemerintah, tetapi lebih dipandang sebagai konsumen, dengan kata lain pengguna
akhir dari suatu produk, dimana air sebagai komoditi unggulannya.
Apabila cara padang dan situasi diatas terus terjadi, lima sampai 10 tahun lagi, boleh jadi Kota
Bandung akan dipenuhi warganya yang menjerit minta air karena kehausan, dan hanya warga
penganut kemapanan saja yang bisa memperolehnya. Manakala air yang sudah masuk mekanisme
pasar, cenderung mendudukan warganya sebagai pengambil harga (price taker), semakin mahal suatu
produk, tidak ada pilihan kecuali membelinya-tidak punya uang , tindak kriminal bisa jadi jalan pintas
yang paling cepat diambil dan berujung pada tindakan hukum. Maka tidak heran bila salah satu
demonstran di Brazil menyatakan, polisi sebagai pelindung para warga yang mampu membayar air,
sementara warga lainnya mati akibat kehausan.
PEMERINTAH ABAIKAN WARGANYA
Dengan jumlah penduduk Kota Bandung berjumlah 2.455.517 di tahun 2012, yang tersebar di 30
kecamatan. Sebanyak 150.657 warganya tercatat sebagai pelanggan PDAM. Artinya, baru 30.6
persen saja warga yang mampu mengakses air, atau setara dengan 753.285 warga kota Bandung.
sementara penghitungan belum termasuk bagi golongan instansi pemerintahan, niaga, rumah sakit,
industri dan lainnya
Asumsi diatas, apabila dalam satu rumah tangga terdiri dari 5 (lima) anggota keluarga, maka total
pelanggan, dikali rata-rata anggota rumah tangga, dibagi dengan total jumlah penduduk kota Bandung
dikali 100, hasilnya adalah 30,6 persen. Lantas sebanyak 60,4 persen warga Bandung, siapa yang
memenuhi pasokan airnya? boleh jadi, itulah yang dilihat sebagai pasar oleh para pengusaha dan
pedagang air.
Selanjutnya, berbicara soal kualitas dan keamanan air yang di konsumsi, seberapa dijaminkah?. Bau
kaporit, keruh atau kotor sampai aliran air yang tidak konsisten, sudah jadi hal yang sering
dikeluhankan dari sejumlah pelanggan PDAM. kondisi ini juga yang dimanfaatkan oleh pedagang air
untuk membuka depot-depot air minum isi ulang (DAMIU) yang diperjualbelikan untuk konsumsi
minum sehari-hari, sementara untuk keperluan mandi, cuci dan kakus terpaksa memesan jasa yang
saya sebut freshwater delivery order (FDO) yang umum dilihat lalu lalang dengan truk tangki air
berlabel “Air Pegunungan” yang didatangkan dari sumber-sumber mata air pegunungan dan terletak
di wilayah perdesaan, tanah yang siap mengantarkan air sampai depan pintu rumah.
Segudang peralatan sterilisasi dan hygienis yang lengkap seakan mengaburkan mata, sehingga
menganggap air yang diperoleh dari depot isi ulang terkesan terhindar dari bakteri yang dapat
merugikan kesehatan alias aman dan sehat. Pertumbuhan bisnis depot ini pun bak jamur, hampir
memenuhi sudut dan pinggiran kota Bandung. Herannya, hingga saat ini tidak banyak warga kota
Bandung yang tahu berapa jumlah keberadaan depot-depot, dan seberapa aman dan sehat air yang
diolah tersebut layak dikonsumsi. Padahal , keberadaan depot-depot tersebut tidak lepas dari izin yang
harus dikantongi dari Dinas Kesehatan sebelum beroperasi, dan setiap enam bulan sekali, dinas
kesehatan sudah menjadi kewajibannya untuk memeriksa kualitas airnya, untuk menjamin air
terhindar dari bakteri yang dapat merugikan. Faktanya, jauh panggang dari api. Pengawasan ya
pengawasan, usaha ya tetap jalan , menunggu kejadian luar biasa akibat keracunan air baru bertindak.
Artinya, pemerintah tidak pernah dapat menjamin kondisi itu, logisnya kalau benar pengawasan itu
dilakukan, setidaknya warganya tidak harus merogoh kantong lebih dalam untuk membeli minuman
siap teguk atau air minum dalam kemasan (AMDK) yang diperoleh pertokoan, mini market sampai ke
pedagang eceran. Jika benar pengawasan pemerintah itu ada, minimalnya sosialisasi. Setidaknya
warga tahu tentang kualitas air yang dikonsumsi, nah kalau sampai saat ini saja, boro-boro warga tahu
soal itu, lantas apa benar pengawasan itu ada?
Kondisi diatas hanya secuil contoh tindakan pemerintah yang mengabaikan kepentingan warganya
dari aspek kesehatan, yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan lainnya, misalnya di sektor
perhotelan, restoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebagai contoh, jika alokasi penggunaan air untuk
hotel bintang 5 dihitung 250 liter/kamar, maka bila jumlah kamar dalam hotel tersebut sebanyak,
katakanlah 200 kamar, maka untuk memenuhi seluruh kamar membutuhkan air sekitar 50.000 liter,
belum termasuk hitungan kebutuhan untuk fasilitas kolam renang. Sekarang tinggal dihitung, berapa
jumlah kunjungan orang dari berbagai daerah disetiap akhir pekan ( sabtu dan minggu) di Kota
Bandung, untuk menginap dua hari saja, dari jumat malam sampai minggu siang, hotel tersebut
memerlukan air sebanyak 10.000 liter, dan itu baru dari satu hotel berbintang lima yang berkedudukan
di Kota Bandung.
Tahun 2012, Kota Bandung tercatat memiliki total 340 hotel, 9 diantaranya hotel bintang lima dengan
total kamar 1.958, diikuti dengan 25 buah hotel bintang 4 dengan 3.323 kamar, 30 hotel bintang 3
dengan 2.974 kamar, dan dari hotel bintang 2 sampai kelas melati tiga, jika ditotal mencapai 16.150
kamar. Maka bayangkan, di setiap akhir pekan bila hotel-hotel tersebut terisi penuh, dikalikan dengan
asumsi alokasi penggunaan per kamarnya, maka sekitar 161.500.000 juta liter air disediakan untuk
para tamu hotel. Dan itu belum dihitung dengan keperluan air untuk fasilitas kolam renang, dan juga
belum disandingkan dengan jumlah penggunaan air bagi 24 pusat-pusat perbelanjaan yang sudah
berdiri menjulang di Kota Bandung.
Dari kondisi diatas, pertanyaan selanjutnya ialah siapakan yang memasok? PDAM kah? Tangki air
kah?. Lantas, lantas darimana lagi kalau bukan dari air tanah sebagai sumbernya, dan sebagai
dampaknya, cukup dengar saja teriakkan warga permukiman di sekitar kawasan hotel atau perpaduan
hotel dan pusat perbelanjaan yang menjerit karena harus menggali lebih dalam sumur-sumur mereka,
atau membeli di pedagang air keliling. Lalu , bagaimana pemerintah kota bandung melakukan
pengendaliannya, bukankan untuk memperoleh izin saja harus menembus kepala daerah
(walikota/bupati) dan bukankah tiap tahunnya ditarik retribusi untuk pendapatan daerah? Nah,
dimanakah pemerintah?
Yang tak kalah menariknya adalah menyangkut transportasi. Dinas Perhubungan Darat Propinsi Jabar
menyatakan di tahun 2012, mencatat jumlah kendaraan sebanyak 6,8 juta kendaraan, peningkatan
terjadi sebanyak 10% pada moda dan 15 % pada kendaraan bermotor. Jika diasumsikan, jumlah
penduduk kota Bandung sebanyak 0,1 persennya mempunyai mobil dan motor, hasilnya setara dengan
4.000 mobil dan motor yang hilir mudik memenuhi setiap ruas jalan kota bandung dari pagi sampai
sore, yang tiap hari tak lepas dihinggapi kotoran debu atau kotoran akibat banjir, dan mendorong
pemiliknya untuk membersihkan kendaraan mereka.
Singkatnya cukup dimasukan ke bengkel-bengkel berlabel “Car Wash” atau “Car Salon” alias tempat
cuci mobil atau motor. karena air di rumah tidak mencukupi. Menurut International Carwash
Association di AS, penggunaan air untuk mencuci satu mobil disalah satu industri jasa pencucian
mobil di Amerika membutuhkan sekitar 19 galon per vehicle (gpv), bila dikonversikan setara dengan
285 liter per kendaraan.
Kini bila satu mobil dicuci menghabiskan 285 liter dan cukup membayar 35.000 s/d 40.000, untuk
salon mobil yang mampu melayani 10 mobil per hari saja membutuhkan air kurang lebih 2.850 liter
per hari, dan tentunya keuntungannya bukan buat si pemilik mobil kan?. Pertanyaannya, tahukah
pemerintah soal hal ini? adakah pengawasan dan pengendalian?
Gambaran diatas merupakan portret peranan pemerintah yang mengabaikan warganya di Kota
Bandung, dan nampaknya kondisi tersebut pun turut terjadi di kabupaten/kota di seluruh Indonesia,
yang boleh jadi menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan seluruh
isi dari Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan enam peraturan
pemerintah lainnya yang mengabaikan tentang pembatasan pengelolaan sumber daya air, dan
memberlakukan kembali Undang-undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan dengan
mengedepankan enam prinsip dasar tentang pembatasan pengelolaan sumber daya air. Maka, 10 tahun
lamanya pemerintah absen dari pengawasan dan pengendalian untuk menjamin warganya atas air.
AKUNTABILITAS SOSIAL ATAS AIR
Pasal 2 Undang-undang 11/1974 menegaskan bahwa “ Air beserta sumber-sumbernya, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya mempunyai fungsi sosial serta digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.” Dan yang tertera dalam Pasal 5, Undang-undang 7/2004, bahwa
“Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal seharihasil guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.”
Dua butir yang terkandung dalam kedua undang-undang tersebut pada hakekatnya sama, yakni
menekankan Negara yang berkewajiban untuk menjamin hak setiap warga negaranya dalam
pemenuhan air dalam melangsungkan kehidupannya. Dalam kontek hubungan negara yang dalam hal
ini jalankan oleh pemerintah dan rakyatnya. Bentuk amanat rakyat terhadap negara yang tidak dapat
dijelaskan dan dipertanggungjawabkan dari semua tindakan maupun kegiatan yang telah dimandatkan
dalam UU tersebut, maka pada dasarnya rakyat berhak menggugatnya, yang tidak selalu dibatasi
melalui organisasi masyarakat sipil berbadan hukum yang harus bergerak di bidang air saja,
melainkan setiap individu atau setiap warga negara.
Mengingat air memiliki fungsi sosial dan lingkungan, tentunya menyangkut domain publik dan/ atau
hajat hidup orang banyak termasuk beragam aspek permasalah sosial didalamnya yang dihadapi.
Pembatalan UU 7/2004 tentang SDA merupakan konsekuensi, manakala rakyat menuntut
akuntabilitas sosial terhadap negara/pemerintah sebagai penerima mandatnya. Dan dalam masa
pemberlakuan UU 11/1974 tentang Pengairan pun negara wajib memastikan pemenuhan rakyat atas
air untuk melangsungkan kehidupannya yang sehat, aman dan produktif merupakan akuntabilitas
sosial yang perlu dipikul, bukan sebatas akuntabilitas kinerja, melainkan akuntabilitas nyata.
Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret 2015, mengusung tema Air dan pembangunan
Berkelanjutan, tema ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi negara untuk hadir ditengah
rakyat, agar tidak tuli, buta dan bisu terhadap pemenuhan hak atas air dan hak gugat rakyatnya , dalam
pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 tahun 1974. Semoga.