Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Kajian psikologis tentang masalah yang dihadapi guru disekolah

makalah ini pandangan sekilas mengaenai satu kasus yang dihadapi guru disekolah

KAJIAN PSIKOLOGIS TERHADAP KASUS YANG TERJADI DI SEKOLAH Proses pembelajaran di sekolah tidaklah mudah untuk diaplikasikan,guru sering dihadapkan dengan bermacam-macam masalah termasuk didalamnya dalam menentukan teknik, metode dan media yang sesuai dengan karakter siswa. Persoalannya adalah di sekolah berbagai macam pula karakterisktik siswa. Sejumlah siswa mungkin dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan,tetapi di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Sebagai seorang guru yang sehari-hari mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Anak-anak sepertinya sulit sekali menerima materi pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta berhitung. Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana menghadapi anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka menjadi anak yang pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah kesedihan mereka ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan dalam belajar. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya. Kesulitan belajar bila tidak ditangani dengan baik dan benar akan menimbulkan berbagai bentuk gangguan emosional (psikiatrik) yang akan berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidupnya di kemudian hari. Idealnya anak dengan kesulitan belajar dapat ditangani dengan baik dan dapat mengatasi masalah yang menimpanya. Namun demikian, sering tampak perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru tidaklah sesuai yang diharapkan. Anak kesulitan belajar sering dicap sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal. Hal inilah yang menjadi penghambat bagi anak dengan kesulitan belajar. Salah satu contoh kasus yang saya hadapi adalah kasus Bryce. Bryce seorang siswa yang duduk di kelas X IPA. Secara fisik bryce termasuk anak yang normal, diabisa lolos seleksi penerimaan siswa baru di sekolah pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa bryce anak yang cerdas. Artinya, ia mampu melewati tahapan seleksi dan tes penempatan untuk jurusan IPA. Seiring berjalannya proses belajar, Bryce menjadi pewarna yang berbeda di kelasnya. Kelebihan Bryce adalah periang, innocence, “nggemesin”. Oya, Bryce lahir dari seorang ibu yang menikah dengan suami berkebangsaan Australia, jadi Bryce “kebule-bulean”. Masalahnya adalah pertama, setiap hari Bryce selalu datang terlambat (Ia tinggal apartemen Kalibata), jarak sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh untuk ukuran Jakarta, letak sekolah di Bilangan Pondok Indah, tanah kusir Jakarta Selatan. Kedua, Bryce selalu memancing kericuhan dikelas baik dengan cara berteriak atau mengomentari penjelasan guru tetapi tidak “nyambung”. Ketiga, Bryce juga penidur yang hebat. Keempat, Bryce menjadi salah satu siswa termalas di sekolah. Ia tidk peduliguru sudah menegur dan memperingatinya, termasuk saya sebagai guru ekonominya agar mengumpulkan tugas-tugasnya. Polah dan tingkah laku yang dilakukan Bryce dapat saja dipegaruhi oleh banyak faktor, (1) Pola pengasuhan yang salah, sehingga kekekliruan kecil sering kali diabaikan seperti tidur yang larut malam dan keterlambatan bangun pagi, pola asuh dua budaya yang bertolak belakang antara ibunya dengan ayahnya, (2) Akumulasi dari masalah keluarga, latar belakang keluarga Bryce broken home,(3) kemampuan bersosialisasi dengan teman seusia yang sulit, Bryce termasuk siswa yang jarang ditemani oleh siswa lain dikelasnya, (4) Guru telah melabeli Bryce sebagai siswa yang sulit diatur, sehingga ia akhirnya beranggapan dirinya memang sulit diatur dan pengacau suasana. Teori labeling memiliki hipotesis bahwa label yang diterapkan kepada seseorang akan mempengaruhi perilaku orang tersebut, khususnya label yang bersifat negatif akan memunculkan perilaku menyimpang. Menurut Peggy Thoits (1999), orang yang diberi label menyimpang (deviant) dan diperlakukan sebagai orang yang menyimpang, akan menjadi menyimpang. Sebagai contoh, jika seorang anak diberi label ”nakal”, misalnya, maka ia pada akhirnya akan menjadi anak yang nakal. Labeling memberikan dampak negatif melalui 3 cara. Pertama , melalui self-labeling (self-concept/konsep diri). Menurut Sigmund Freud, konsep diri berkembang melalui pengalaman, terutama perlakuan orang lain terhadap diri sendiri secara berulang-ulang. Dengan menerima label”nakal” dari orang lain maka dalam diri anak akan terbentuk konsep bahwa dirinya adalah seorang anak yang nakal. Dengan konsep diri sebagai ”anak nakal”, maka ia mengukuhkan konsep diri tersebut dengan menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang menurut anggapan umum adalahperilaku anak nakal. Kedua, melalui persepsi orang tua/orang dewasa lain terhadap anak. Apapun yang anak lakukan, orangtua/orang dewasa lain menganggapnya sebagai nakal. Walaupun anak berusaha menampilkan perilaku baik, misalnya membereskan kembali mainannya, namun karena orangtua/orang dewasa lainnya sudah memiliki persepsi negatif, maka bisa saja perilaku baik anak tidak didukung karena dianggap sebagai perilaku ”ada udang di balik batu”. Hal ini membuat anak frustrasi dan tidak mau mengulangi perilaku baiknya karena ia menemui kenyataan bahwa berbuat ”salah sudah jelas dianggap nakal, berbuat baik pun tidak dihargai”. Ketiga, melalui perilaku orangtua/orang dewasa lain terhadap anak. Berbekal persepsi negative tentang anak, akhirnya orangtua/orang dewasa lainnya menampilkan perilaku yang tidak memberikan peluang bagi anak untuk memperbaiki diri, misalnya ”Sudahlah, tak usah dinasihati lagi, buang waktu saja. Dia memang nakal, susah dikasih tau”. Akibatnya anak makin tidak tahu perilaku mana yang bisa diterima masyarakat. Demikian proses ini terjadi berulang dan berputar seperti bola salju. Solusi Mengatasi Masalah Bryce Untuk mengatasi masalah pertama, yakni intensitas yang tinggi keterlambatan dating ke sekolah, menurut hasil konsultasi antara ibunda Bryce dan tim konseling sekolah, (1) mengatur jadwal tidur malam agar bangun tidak lagi kesiangan secara bertahap, (2) Untuk mengatasi jarak rumah dan sekolah, Bryce dan Ibundanya disarankan menyewa ojek motor, (3) jika saran nomor 1 dan 2 sudah dilaksanakan ternyata Bryce masih selalu telat juga, disarankan pindah sekolah yang terdekat dengan tempat tinggal. Solusi kedua untuk permaslahan berikutnya, yakni masalah keluarga, tim konseling dan ibunda untuk saling memperhatikan dan ibundanya diminta untuk mengurangi kesibukannya sebagai seorang event organizer. Konseling sekolah melakukan pemantauan dan pembimbingan di sekolah, sementara ibunda Bryce menambah waktu dan kasih sayangnya dirumah bersama anggota keluarga lainnya. Untuk mengatasi permasalahan ketiga, yakni Bryce selalu tertidur di kelas tanpa memandang waktu. Solusinya adalah sama seperti dengan yang pertama yaitu mengatur jadwal tidurnya agar secara bertahap dapat tidur dan bangun teratur. Untuk permaslahan terakhir, yakni pemberian label sebagai siswa perusuh, jahil dan malas. Sebaiknya guru melakukan beberapa hal berikut ini : 1. Memberi/memanggil dengan nama/julukan yang baik Allah Subhanahu Wataala dalam firmannya menyatakan bahwa : ”Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk” (QS Al Hujuraat:11) Sementara Rasululloh dalam sebuah hadits shahih bersabda : ”Sesungguhnya kamu, di hari kiamat kelak, dipanggil dengan namamu dan nama bapakmu.Karena itu, perbaguslah namamu” (HR Abu Daud). dalam hadits yang lainnya ia bersabda ”Bukanlah orang mukmin itu orang yang suka mencela, mengutuk, berkata keji, dan berkata kotor”. (HR Turmudzi) Dr. Masaru Emoto dari Jepang telah melakukan penelitian yang membuktikan bahwa air sangat peka terhadap kata-kata. Air yang diberi label kata -kata ya ng baik, kasih sayang, sopan, semangat, kristalnya akan terbentuk sangat indah dan air tersebut memiliki khasiat menyembuhkan. Sebaliknya, air yang diberi label kata-kata negatif, misalnya ”kamu bodoh”, bentuk kristalnya sangat kacau. Sementara tubuh manusia terdiri atas 70% air,tentu akan sangat peka pula terhadap kata-kata/perlakuan yang ia terima 2. Berikan respon secara spesifik terhadap perilaku anak, bukan pada kepribadiannya. Bila anak menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan,jangan langsung memberikan label karena label akan dianggap anak sebagai gambaran pribadinya, bukan perilakunya. Contohnya, bila siswa masih belum focus belajar atau mengganggu siswa lainnya, padahal siswa yang lain sudah siap belajar, hindarkan kata-kata, misalnya “Eh, pemalas sebaiknya kamu diluar saja”, atau “Dasar kamu pengganggu, sudah tau gurunya siap mengajar masih gangguin temannya saja”. Akan lebih baik bila kita coba dengan kalimat, misalnya “Kamu hari ini ceria banget deh, bagaimana kalau kamu bantu saya menghapus papan tulis, kamu kan suka kebersihan.” Bagi yang belum biasa, barangkali banyak berbicara seperti itu dianggap merepotkan dan buang waktu, namun memang dibut-uhkan usaha yang sungguh-sungguh dalam mendidik anak. 3. Memberikan pujian dan hukuman secara tepat Adakalanya orangtua/penanggung jawab anak, guru menghindari pemberian label negatif kepada anak dan menggantikannya dengan pujian (label positif). Pemberian pujian memang akan bias meningkatkan perilaku anak, akan tetapi bisa jadi pujian tidak akan efektif bila “diobral”.Sebaliknya, hukuman pun tidak akan efektif lagi dalam menghentikan perilaku anak yang tidak dikehendaki bila pemberian hukuman itu tidak sesuai. Guru juga orang tua harus tahu kapan waktu yang tepat untuk memberikan pujian atau sangsi agar anakatau siswa merasa tidak dihakimi dan disanjung secara berlebihan. 4. Mengenali potensi yang dimiliki anak Untuk mengenali potensi anak dibutuhkan pengamatan yang cermat dan tekun dari orang tua dan guru terhadap keseharian anak. Orangtua juga perlu berkorban” untuk memberikan kesempatan seluas mungkin kepada siswa agar memperoleh berbagai pengalaman. Mengembangkan kelebihan siswa akan membuatnya merasa senang dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Siswa yang percaya diri akan termotivasi untuk lebih mengembangkan diri sehingga akan lebih mudah dibimbing. Sumber : http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/196605162000122-HERLINA/LABELING_DAN_PERKEMBANGAN_ANAK-salman.pdf http://psikologi.ugm.ac.id/uploads/resources/File/Psikologi%20Pendidikan/Susetyo%20-%20Perilaku%20mengajar%20Humanis.pdf