Papers by Moch Nur Ichwan
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia
Full text here: https://scholarhub.ui.ac.id/wacana/vol23/iss3/
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Apr 5, 2022
Bookmarks Related papers MentionsView impact
ISEAS Publishing eBooks, Dec 31, 2013
The collapse of the Soeharto regime in 1998 led to the opening up of previously unimaginable poli... more The collapse of the Soeharto regime in 1998 led to the opening up of previously unimaginable political opportunities and transformations in Indonesian society. The Reformasi (reformation) movement demanded democratization, good governance, and the empowerment of civil society. Most existing Muslim organizations redefined their orientation and political platforms, as did most other associations; and many new Muslim organizations, movements, and political parties emerged, armed with new nationalist, liberal or Islamist paradigms. They have endeavoured to present their own concepts of Reformasi, and to avoid the stigma of being anti- Reformasi. The Majelis Ulama Indonesia (Indonesian Council of Ulama, or MUI),1 a semi-official institution of Indonesian ulama established by Soeharto in 1975, is no exception.2 At the beginning of the Reformasi era, the MUI seemed disoriented and struggled to come to terms with the changes. During the Habibie era, it focused not on issuing fatwas, but on ...
Bookmarks Related papers MentionsView impact
PUSLITBANG LEKTUR, KHAZANAH KEAGAMAAN, DAN MANAJEMEN ORGANISASI Gedung Kementerian Agama, Nov 1, 2019
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Politics, Religion & Ideology
Bookmarks Related papers MentionsView impact
LIKUID: Jurnal Ekonomi Industri Halal
Korean culture was caused by the Korean wave or Hallyu wave that entered and spread among young p... more Korean culture was caused by the Korean wave or Hallyu wave that entered and spread among young people in Indonesia. The halal industry is considered an industry that can answer their needs and desires in this era of the booming Korean wave. The purpose of this study is to determine the impact of the Korean cultural phenomenon caused by the Korean wave on the economic, social, and consumptive cultural aspects of the younger generation, and to analyze the opportunities and challenges for the halal industry in dealing with this phenomenon. The method in this study is the netnographic method carrying out data collection techniques carried out by observing online and observing the facts in the field. Other supporting data sources are obtained from literature studies, be it journals, books or articles, and other writings. The results of this study indicate that Korean culture spreads to all aspects of the life of the younger generation who behave consumptively due to the bandwagon effect...
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam
Bookmarks Related papers MentionsView impact
217
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Al Mizan, 2014
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Islam and Christian–Muslim Relations, 2020
ABSTRACT This article aims at examining the recent (re)construction of citizenship in Aceh, which... more ABSTRACT This article aims at examining the recent (re)construction of citizenship in Aceh, which is based on sharia as well as on ethno-religious nationalism, and the impact of this (re)construction on minority rights in the province. Because sharia has become a cultural, social, political and legal fact in Aceh, the province has gradually created its own notion of civic belonging, which departs from national citizenship, defined by religion and protected by religious ethno-nationalism. It is argued that such religious ethno-nationalism has created what we call dormant citizenship, in which citizens of Aceh are divided on the basis of religious affiliation into ‘ummatic citizens’, who are considered as the ‘hosts’ of the sharia land with their full rights, and non-ummatic citizens, who are considered as ‘guests’ with only partial rights provided by the ‘hosts’. We shall also argue that dormant citizenship is a synthesis between four political traditions: Islamic, ethnic, Indonesian, and Western. At the end of this article, we shall outline some conditions that might enable non-Muslims to enjoy much broader rights.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Ada perasaan sedih saat menangkap kesan ketidakpercayaan atau keheranan beberapa peserta workshop... more Ada perasaan sedih saat menangkap kesan ketidakpercayaan atau keheranan beberapa peserta workshop agamawan non-Muslim di Kaliurang pada paruh akhir dekade 2000-an terhadap presentasi saya yang mendiskusikan amar ma‘ruf dan nahy munkar dengan gambaran yang positif.1 Dalam bayangan mereka konsep ini terkait dengan penggunaan kekerasan atas nama agama, sebagaimana yang mereka lihat di televisi di mana sekelompok orang berbaju putih-putih dengan garang membawa pentungan, batu atau bahkan parang merusak kafe, restoran, atau hotel atau menyerang kelompok-kelompok keagamaan yang mereka pandang “sesat”. Dengan meneriakkan “Allahu akbar” mereka melakukan kekerasan. Saya tidak menyalahkan mereka itu, dan banyak orang lainnya, karena fakta itu memang ada, dan bahkan setelah Reformasi, fenomena ini menjamur di mana-mana. Saya sedih karena betapa ajaran profetik yang luhur ini telah dipahami oleh sebagian saudara seiman saya sebagai ajaran yang menghalalkan cara-cara kekerasan yang menurut standard etika publik tidak dapat diterima sebagai perilaku orang beriman. Bukan hanya non-Muslim, banyak orang tua Muslim pun khawatir terhadap gejala semacam ini, karena anak-anak mereka dapat saja beranggapan bahwa begitulah seharusnya Muslim yang baik, suka melakukan kekerasan. Ajaranajaran kebaikan dan akhlak luhur yang mereka ajarkan di rumah, atau diajarkan di sekolah, TPA dan masjid, rontok hanya karena melihat tayangan kekerasan di televisi-televisi, di koran dan di internet. Hal ini ditambah dengan “pembiaran” negara terhadap kasus-kasus kekerasan semacam itu. Intelejen dan polisi sudah mengetahui aksi-aksi kekerasan akan terjadi, namun mereka sebagai aparat berwenang tidak mencegah agar kekerasan ini tidak terjadi. Dan bahkan dalam sejumlah kasus terdapat indikasi adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum mendukung aksi-aksi semacam itu dari balik layar. Selain itu, tak sedikit tokoh agama yang ikut-ikutan melegitimasi penggunaan kekerasan sebagai tindakan yang “Islami”, dengan alasan adanya kemaksiatan di sana. Dengan retorika hiperbolik, mereka menggambarkan kondisi kemaksiatan sudah mengancam martabat manusia.2 Berbagai dalil atau dalih keagamaan mereka keluarkan untuk melegalkan tindak kekerasan itu. Seringkali kita mendengar khutbah, ceramah, atau wawancara di media di mana mereka memojokkan para Muslimin lain yang tidak bersikap seperti mereka sebagai orang-orang yang beriman lemah, dan sebagai para pendosa yang dapat menurunkan azab Tuhan dalam bentuk berbagai bencana. Ummat awam menjadi bingung sikap siapa yang sebenarnya ma‘ruf. Muncul kesan tidak sehat bahwa, dalam Islam, semakin religius seseorang semakin ringan pula dia melakukan kekerasan. Tentu ini tidak benar. Ada masalah pemahaman etika politik (al-akhlaq al-siyasiyah) di sini, dan oleh karena itu adalah penting untuk melihat konsep amar ma‘ruf dan nahy munkar (al-amr bi l-ma‘ruf wa n-nahy ‘ani lmunkar) dalam konteks etika politik. Etika politik bertujuan, sebagaimana dikatakan Ricoeur, untuk mengarahkan ke kehidupan yang baik, bersama dan untuk orang lain, dan dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.3 Dalam konteks ini, saya berargumen bahwa sesungguhnya amar ma‘ruf dan nahy munkar itu adalah bagian dari “etika publik”, yang dipahami sebagai “etos, cara berada dan cara menilai yang khas pada suatu masyarakat yang tidak bisa disamakan dengan suatu doktrin atau agama tertentu, melainkan mengelompokkan atau menciptakan konvergensi di antara visi-visi yang berbeda tentang dunia. Etos ini yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan perundang-undangan. Ia mencakup tujuan, nilai dan norma tentang keadilan yang menjadi inspirasi baik praktik-praktik politik maupun institusi-institusi politik.”4 Oleh karena itu, ma‘ruf dan munkar bukanlah didefinisikan oleh agama, melainkan oleh “konvergensi di antara visi-visi yang berbeda tentang dunia”... “yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan perundang-undangan...” yang mencakup “tujuan, nilai dan norma tentang keadilan yang menjadi inspirasi baik praktik-praktik politik.” Ketika menyebut ma‘ruf dan munkar, saya merujuk kepada pengertian ini.5 Selain itu, saya akan membawa konsep ini dari paradigma Islamisme ke “post-Islamisme”, sebagaimana disarankan oleh Asef Bayat.
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
The collapse of the Soeharto regime in 1998 led to the opening up of previously unimaginable poli... more The collapse of the Soeharto regime in 1998 led to the opening up of previously unimaginable political opportunities and transformations in Indonesian society. The Reformasi (reformation) movement demanded democratization, good governance, and the empowerment of civil society. Most existing Muslim organizations redefined their orientation and political platforms, as did most other associations; and many new Muslim organizations, movements, and political parties emerged, armed with new nationalist, liberal or Islamist paradigms. They have endeavoured to present their own concepts of Reformasi, and to avoid the stigma of being anti- Reformasi. The Majelis Ulama Indonesia (Indonesian Council of Ulama, or MUI),1 a semi-official institution of Indonesian ulama established by Soeharto in 1975, is no exception.2 At the beginning of the Reformasi era, the MUI seemed disoriented and struggled to come to terms with the changes. During the Habibie era, it focused not on issuing fatwas, but on ...
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia
Bookmarks Related papers MentionsView impact
KELAM ARAŞTIRMALARI DERGİSİ, 2014
“Yorum, metnin diger yuzudur. Bu ifade Ebu Zeyd'in baska bir yerde soyledigi gibi, epistemolo... more “Yorum, metnin diger yuzudur. Bu ifade Ebu Zeyd'in baska bir yerde soyledigi gibi, epistemoloji duzeninde islemektedir. "Metin, tefsir ve yorumdan bagimsiz bir varliga sahiptir. Bu ifade metnin kendi dunyasini kesfetmek icin yorum fiiline yol actigi seklinde anlasilmalidir. Metin ve yorum bir madalyonun iki ayri yuzudur. Bu gorus, Ebu Zeyd, onlara atifta bulunmasa da, oldukca benzer sekilde J. L. Kogel ve R. A. Greer'de vardir. Onlar soyle demektedirler: Normal 0 21 false false false EN-US X-NONE AR-SA /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Normal Tablo"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-fareast-language:EN-US;}
Bookmarks Related papers MentionsView impact
JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM, 2012
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Journal of Islamic Studies, 2011
This article focuses on the position and role of the Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU; Consulta... more This article focuses on the position and role of the Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU; Consultative Assembly of Ulema) in the process of re-Islamization, in the sense of Sharīʿatization, of Aceh in post-New Order Indonesia. Sharīʿatization in Aceh is a complex issue, related not only ...
Bookmarks Related papers MentionsView impact
Uploads
Papers by Moch Nur Ichwan
Artikel ini memfokuskan diri pada posisi MUI dalam gerakan Aksi Bela Islam (ABI), dan berargumen bahwa periode pasca-2015 adalah masa “bulan madu” MUI dengan gerakan-gerakan Islamis, dan gerakan ABI adalah bukti permulaan kemesraan hubungan mereka yang saling menguatkan (mutual empowering). Namun dalam konteks gerakan ABI, penulis melihat bahwa gerakan-gerakan Islamis lebih merupakan aktor utama, walaupun mereka mendasarkan gerakannya pada “fatwa” MUI itu. “Pendapat dan posisi keagamaan MUI” tidak dapat dibayangkan pengaruhnya yang luas tanpa adanya peran GNPF MUI dan segala unsur pendukungnya yang meningkatkannya menjadi “fatwa MUI” dan mengadvokasinya melalu berbagai media, forum dan jaringan. Tanpa
legitimasi “fatwa MUI”, gerakan ABI tidak dapat dibayangkan juga akan
mendapatkan simpati dan dukungan dari umat Islam secara luas, terutama “umat mengambang” (floating ummah) dan “umat terambang” (floated ummah). Dalam penutup tulisan ini penulis melihat bagaimana prospek MUI pasca-ABI.
I also discuss the relative weight accorded to MUI decisions—variously called "opinions," pieces of "advice," and "fatwās"—arguing that these "discursive products" reflect a conscious attempt by MUI to break free from the circumstances of its birth and to guide the reformation process in postSuharto Indonesia.
65 Tahun Prof. Dr. KH. Muhammad Machasin, MA, diedit oleh Moch. Nur Ichwan dan Ahmad Rafiq tentang sejarah hidup Prof. Machasin dari masa kanak kanak sampai saat ini, yang tumbuh menjadi intelektual Muslim yang juga sebagai kiai, akademisi dan pejabat Kementerian Agama yang selain berintegritas juga mempunyai keberpihakan kepada kelompok keagamaan minoritas.
The author argues that the perception of the ulama of
Banda Aceh, and even Aceh in general, about the nation-state, is strongly influenced by government sharia politics in the concept of “nanggroe syari’ah in the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI)” which is a long crystallization of negotiations and canalization for the spirit of religious ethnonationalism
of Acehnese ulama . In this context, the author also argues that ulama rejectionism towards the concept of the nation-state, at least until now, is more a phenomenon of decline from high to low, rather than vice versa. However, the concept of “nanggroe syari‘ah in the framework of NKRI” will also treat ideal visions about the application of the Islamic political system, but in the context of the Republic of Indonesia, not in the context of an independent Aceh. This vision has also been, is being,
and will continue to lead to the “kaffah” of the application of Shari’a in Aceh in the future.
understanding of puritans, and politically voiced the aspirations of Muslims and developed religious activism. This article will specifically look at the new direction of the MUI, the emergence of new wings within the MUI, internal contestation, and the influence of this new wing on the discourse and political attitudes of the MUI.
non-mediated, and how their contents were delivered to from one person to another. In other words, circulation is related to the availability of literatures while transmission is related to how the literatures were accessed, consumed
and disseminated by and to the readers. While transmission always entails circulation, not every circulation involves transmission. In this context,
literatures are circulated due to their being accessed and consumed, not simply by being available. Based on these definitions, the discussion on circulation herein
will be attributed to the locus of availability of the literatures, such as bookstores, book fairs, online stores, libraries, et cetera. Meanwhile, the discussion on transmission will be attributed to the acts of accessing and consuming Islamic literatures, such as book discussions, student activities, and communal reading of the Qur'an.
Tulisan ini merupakan refleksi atas politik tadbir keagamaan di Indonesia sejak masa kolonial sampai saat ini, secara garis besar, dan tidak akan masuk dalam detil-detil masalah. Meskipun menyinggung Kementerian Agama, artikel ini lebih mendiskusikan tentang tadbir keberagaman agama (governance of religious diversity) oleh negara secara luas yang mempunyai kementerian khusus yang menangani masalah agama. Dengan refleksi ini diharapkan kita dapat mengetahui arti penting tadbir keragaman agama di Indonesia, mengevaluasinya dan berupaya menawarkan konsep yang relevan dengan konteks Indonesia masa kini. Apa yang saya maksud dengan tadbir humanistik atas keragaman agama dengan mendasarkan diri pada nilai humanisme Indonesiawi, yakni tadbir keragaman agama di Indonesia berdasarkan atas prinsip kemanusiaan, keadilan dan keberadaban. Sebelum sampai pada tawaran itu, penulis akan melihat perkembangan tadbir keragaman agama di Indonesia selama ini secara kritis.
Pembahasan sirkulasi di sini dikaitkan dengan lokus atau tempat ketersediaan literatur, seperti toko buku, pameran buku, toko online, perpustakaan, dan lain-lain. Sedangkan pembahasan tentang transmisi dikaitkan dengan tindakan atau aktivitas diakses atau dikonsumsinya literatur keislaman, seperti bedah buku, Rohis, LDK, pengajian, organisasi siswa, dan mahasiswa Muslim. Berkembangnya pemikiran dan gerakan Islam telah memunculkan bukan hanya medan pengaruh dan kontestasi antarkelompok Islam, tetapi juga pasar yang lebih luas bagi buku-buku, majalah-majalah, dan media online keislaman. Ini juga bermakna ketersebaran literatur-literatur itu, bukan hanya dalam makna spasial, tapi juga dalam makna intelektual. Ini menuntut ketersediaan literatur keislaman di toko-toko buku, baik offline maupun online, di perpustakaan-perpustakaan, dan pameran-pameran buku. Ini menggairahkan dan memicu penulisan dan produksi terus-menerus. Terjadi dinamisasi sirkulasi dan transmisi bukan hanya literatur keislaman, namun juga gagasan-gagasan dan pemikiran keislaman. Ada hubungan timbal-balik antara sirkulasi dan transmisi dengan produksi dan pasar pada satu sisi, dan perkembangan pemikiran Islam pada sisi lain. Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa dalam proses sirkulasi dan transmisi literatur keislaman itu bukan hanya tersedia, tetapi juga diakses, dibaca, didiskusikan, dikaji, diperdebatkan, disebarkan, dan diapropriasi sesuai dengan konteks lokal dan masanya.
Amran Waly and the Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT), which I call
the Tauhid Tasawuf movement, to official shariatisation by the state and
shariatism in general. Amran Waly and the MPTT try to synthesise the
wujudiyya Sufi doctrine with orthodoxy, a concern which has led to
them being charged with heterodoxy. However, the fact that the MPTT
survives to this day and is even spread widely not only in Aceh but also
elsewhere in Indonesia and Southeast Asia deserves further analysis.
Amran Waly’s views on Sharia, ‘tauhid tasawuf ’ and wahdat al-wujud,
and the way Sharia ulama have reacted will get special attention here.
I will argue that the long struggle between Sharia and Sufi ulama should
be understood in the context of the local politics of Aceh and that the
dissemination of Sufi views and ways of life reflects their resistance
against the overwhelming official Sharia implementation and shariatism
in Aceh today.