Kampus itu menjulang gagah dihadapanku. Bagaimana tidak
gagah jika predikat terbaik sering nempel pada status universitas ini?
Di mana-mana pula beritanya. Universitas terbaik. Kampus bergengsi. Mahasiswa
terpandai. Fasilitas terlengkap. Citra yang selalu berhasil bikin orang
berdecak kagum apabila mendengar berita apapun tentang universitas itu.
Semuanya yang excellent ada di situ.
Semuanya.
Kecuali hatiku.
Di depan kampus itu aku gentar sekaligus geram. Hari ini
hari pertamaku sebagai mahasiswa baru setelah satu minggu orientasi. Iya,
baru. Kelas baru. Guru baru yang sekarang dipanggil dosen. Tas (kebetulan)
baru. Sepatu (juga kebetulan) baru. Mau tahu apa lagi yang paling baru?
Topengku.
Topeng? Mengapa harus memakai topeng? Bukankah aku
seharusnya gembira? Bukan gentar, apalagi geram? Sebab di luar sana banyak anak
muda yang tidak seberuntung diriku. Sehingga aku tidak perlu bekerja keras
membanting tulang dan menabung untuk sekolah. Seperti anak-anak muda kurang
beruntung itu. Ya kan? Ya kan? Selalu begitu nasehat yang kudapat jika aku mulai
mencoba mengungkapkan isi hatiku tentang kuliah yang kuambil.
“Mbok ya sudah.
Turuti saja ayah ibumu biar mereka senang. Kamu kan belum tentu bisa nyenengin
mereka seumur hidupmu.” Ini kata nenek.
“Kamu itu mustinya bersyukur masih bisa kuliah. Di
universitas yang bergengsi lagi. Berapa banyak sih yang bisa dapat kesempatan
kayak kamu? Aku pengen kuliah di situ saja nggak bisa.” Kalau yang ini kata
salah seorang kawan.
Pendetaku lain lagi reaksinya saat aku mencoba menyampaikan
uneg-uneg. Si pendeta malah mengajakku ke kolong jembatan. Mengajakku ke daerah
pinggiran kota dimana rumah-rumah kardus dan rumah-rumah yang bahkan tidak
sampai seluas ruang tamu rumahku berjajar asimetris tak keruan. Ibarat slilit
di gigi yang mengganggu namun sulit untuk dicungkil. Diperlihatkannya padaku anak-anak
yang dekil, kotor dan berwajah memelas. Juga ibu-ibu yang rambutnya seperti
tidak keramas berbulan-bulan. Kemudian baru dimulailah khotbah pendek itu.
Tentang anak-anak yang tak seberuntung aku. Tentang hidupku yang nyaman.
Tentang betapa bajingannya aku kalau masih menggerutu dan mengeluh hanya karena
harus mengikuti apa kata orang tua dalam memilih kuliahnya. Apa salahnya sih
menuruti apa kata orang tua?
Bukannya jadi lebih baik, aku justru makin sering merenung.
Apalagi waktu orientasi berlangsung. Aku merasa seperti robot. Disuruh apapun aku
menurut. Dari yang aneh banget sampai yang aneh saja. Karena itu aku malah tidak
banyak diincar oleh kakak-kakak senior. Sebab sangat tidak menarik menghadapi
robot pasif sepertiku. Sudah robot, pasif pula. Invisible. Ya. Mungkin itu kata yang paling tepat. Aku ada namun tak
ada. Aku tak ada namun ada. Ya kalau merenung ini bikin jadi optimis. Yang ada aku
makin pesimis. Dan jika sudah begini, jari-jariku gatal. Ingin menggambar
di mana-mana. Di kertas. Di meja. Di papan. Di tanah. Di tembok.
Kakiku mulai melangkah masuk. Melalui gerbang megah dengan
tulisan nama universitas yang dipasang dengan anggun. Ragu, namun maju. Persis
di hadapan kantor Tata Usaha Fakultas Ekonomi langkah kakiku berhenti. Petugas
TU menyapa ramah.
“Mahasiswa baru? Kelas perkenalan dimulai lima belas menit lagi
ya. Lantai 2 di ruangan 220.”
Dalam hatiku: “Terima kasih, tapi informasi itu sudah
melekat di otakku. Diingat-ingatkan berkali-kali oleh ibuku yang selalu
khawatir.”
“Toilet dimana ya?” tanyaku menyahut pengumuman ramah dari
petugas TU tersebut.
“Oh, kamu terus saja nanti ada belokan ke kanan. Nah, di situ
toiletnya.”
Aku mengangguk dan mengikuti arahan petugas TU.
Lima belas menit. Cukup waktu untuk jari-jariku yang gatal ini.
Iya, aku ke toilet bukan untuk memenuhi panggilan alam.
Jari-jariku memanggil. Dan aku tak tahan. Gatal. Sangat gatal.
Toilet sepi.
Kumasuki salah satu cubicle.
Kututup pintunya rapat-rapat. Kubongkar tasku. Kuambil barang-barang yang
sengaja kubawa dari rumah tanpa ayah dan ibuku tahu.
Temboknya kuning pucat. Tidak ada apa-apa disana. Bersih. Dan
baru kusadar, toilet ini wangi bukan main.
Mari, jari-jariku. Menarilah di atas tembok itu. Yang belum
ada apa-apa disana. Lima belas menit waktumu.
Lima belas menit kemudian, jari-jariku tak lagi gatal. Ujung-ujungnya
yang kotor kubersihkan sebisa mungkin. Dan aku melangkah keluar toilet menuju
ruang 220 di lantai 2 dengan lebih ringan.
Siangnya petugas kebersihan toilet yang tadi pagi kumasuki
dan menjadi tempat bermain jari-jariku heboh. Ia menjerit keras-keras saat
berlari keluar toilet. Meraung-raung sambil memohon-mohon pada supervisornya untuk tidak memecatnya
karena ada tembok yang tak lagi berwarna kuning pucat dan bersih. Si supervisor langsung menuju TKP dan
memeriksa cubicle toilet yang sudah
dikerumuni banyak orang.
Di situ, di tembok salah satu toilet, terpampang gagah gambar
pria dan wanita berdiri berjajar seperti layaknya hendak diambil gambar di
studio untuk keperluan foto keluarga. Hanya kepala pria dan wanita itu berupa
kepala anjing yang menetes-neteskan air liur dengan matanya yang nyalang.
Dibawah gambar itu ada tulisan besar-besar seperti ini:
#AYAHIBUKUASU
Keesokan harinya, fakultas psikologi mengadakan seminar
dengan topik “Menghadapi Generasi Muda yang Makin Kurang Ajar”. Laku keras.
Para orang tua di kota itu berbondong-bondong datang dan mendengarkan dengan
seksama nasihat dan petuah para psikolog itu. Mengangguk-angguk. Seperti cecunguk. Setuju bahwa ada yang salah
dengan generasi muda zaman sekarang. Yang tidak peduli. Yang semaunya sendiri.
Yang tidak punya mimpi.
Keesokan harinya lagi, surat kabar kota memuji-muji
universitas bergengsi itu. Yang dengan cepat bertindak positif terhadap masalah
yang mereka hadapi. Citra mereka makin naik. Statusnya makin bergengsi. Yay. Tepuk
tangan, Saudara-saudara.
Dan aku? Salah satu generasi muda itu? Aku tidak peduli.
Semauku sendiri. Dan aku tidak punya mimpi.
Meski jari-jariku yang selalu gatal tidak setuju aku
menyandang ketiga predikat itu.
Tapi, siapa sih yang mau mendengarkan jari-jariku? Ayah ibuku saja tidak mau.
Bandung – Surabaya
4 -19 Mei 2016
4 -19 Mei 2016
Gambar diambil dari sini.