Showing posts with label family. Show all posts
Showing posts with label family. Show all posts

Thursday, May 19, 2016

gambar di dinding toilet


Kampus itu menjulang gagah dihadapanku. Bagaimana tidak gagah jika predikat terbaik sering nempel pada status universitas ini? Di mana-mana pula beritanya. Universitas terbaik. Kampus bergengsi. Mahasiswa terpandai. Fasilitas terlengkap. Citra yang selalu berhasil bikin orang berdecak kagum apabila mendengar berita apapun tentang universitas itu. Semuanya yang excellent ada di situ. Semuanya.

Kecuali hatiku.

Di depan kampus itu aku gentar sekaligus geram. Hari ini hari pertamaku sebagai mahasiswa baru setelah satu minggu orientasi. Iya, baru. Kelas baru. Guru baru yang sekarang dipanggil dosen. Tas (kebetulan) baru. Sepatu (juga kebetulan) baru. Mau tahu apa lagi yang paling baru? Topengku.

Topeng? Mengapa harus memakai topeng? Bukankah aku seharusnya gembira? Bukan gentar, apalagi geram? Sebab di luar sana banyak anak muda yang tidak seberuntung diriku.  Sehingga aku tidak perlu bekerja keras membanting tulang dan menabung untuk sekolah. Seperti anak-anak muda kurang beruntung itu. Ya kan? Ya kan? Selalu begitu nasehat yang kudapat jika aku mulai mencoba mengungkapkan isi hatiku tentang kuliah yang kuambil.

Mbok ya sudah. Turuti saja ayah ibumu biar mereka senang. Kamu kan belum tentu bisa nyenengin mereka seumur hidupmu.” Ini kata nenek.

“Kamu itu mustinya bersyukur masih bisa kuliah. Di universitas yang bergengsi lagi. Berapa banyak sih yang bisa dapat kesempatan kayak kamu? Aku pengen kuliah di situ saja nggak bisa.” Kalau yang ini kata salah seorang kawan.

Pendetaku lain lagi reaksinya saat aku mencoba menyampaikan uneg-uneg. Si pendeta malah mengajakku ke kolong jembatan. Mengajakku ke daerah pinggiran kota dimana rumah-rumah kardus dan rumah-rumah yang bahkan tidak sampai seluas ruang tamu rumahku berjajar asimetris tak keruan. Ibarat slilit di gigi yang mengganggu namun sulit untuk dicungkil. Diperlihatkannya padaku anak-anak yang dekil, kotor dan berwajah memelas. Juga ibu-ibu yang rambutnya seperti tidak keramas berbulan-bulan. Kemudian baru dimulailah khotbah pendek itu. Tentang anak-anak yang tak seberuntung aku. Tentang hidupku yang nyaman. Tentang betapa bajingannya aku kalau masih menggerutu dan mengeluh hanya karena harus mengikuti apa kata orang tua dalam memilih kuliahnya. Apa salahnya sih menuruti apa kata orang tua?

Bukannya jadi lebih baik, aku justru makin sering merenung. Apalagi waktu orientasi berlangsung. Aku merasa seperti robot. Disuruh apapun aku menurut. Dari yang aneh banget sampai yang aneh saja. Karena itu aku malah tidak banyak diincar oleh kakak-kakak senior. Sebab sangat tidak menarik menghadapi robot pasif sepertiku. Sudah robot, pasif pula. Invisible. Ya. Mungkin itu kata yang paling tepat. Aku ada namun tak ada. Aku tak ada namun ada. Ya kalau merenung ini bikin jadi optimis. Yang ada aku makin pesimis. Dan jika sudah begini, jari-jariku gatal. Ingin menggambar di mana-mana. Di kertas. Di meja. Di papan. Di tanah. Di tembok.   

Kakiku mulai melangkah masuk. Melalui gerbang megah dengan tulisan nama universitas yang dipasang dengan anggun. Ragu, namun maju. Persis di hadapan kantor Tata Usaha Fakultas Ekonomi langkah kakiku berhenti. Petugas TU menyapa ramah.

“Mahasiswa baru? Kelas perkenalan dimulai lima belas menit lagi ya. Lantai 2 di ruangan 220.”

Dalam hatiku: “Terima kasih, tapi informasi itu sudah melekat di otakku. Diingat-ingatkan berkali-kali oleh ibuku yang selalu khawatir.”

“Toilet dimana ya?” tanyaku menyahut pengumuman ramah dari petugas TU tersebut.

“Oh, kamu terus saja nanti ada belokan ke kanan. Nah, di situ toiletnya.”

Aku mengangguk dan mengikuti arahan petugas TU.

Lima belas menit. Cukup waktu untuk jari-jariku yang gatal ini.

Iya, aku ke toilet bukan untuk memenuhi panggilan alam. Jari-jariku memanggil. Dan aku tak tahan. Gatal. Sangat gatal.

Toilet sepi.

Kumasuki salah satu cubicle. Kututup pintunya rapat-rapat. Kubongkar tasku. Kuambil barang-barang yang sengaja kubawa dari rumah tanpa ayah dan ibuku tahu. 

Temboknya kuning pucat. Tidak ada apa-apa disana. Bersih. Dan baru kusadar, toilet ini wangi bukan main.

Mari, jari-jariku. Menarilah di atas tembok itu. Yang belum ada apa-apa disana. Lima belas menit waktumu.

Lima belas menit kemudian, jari-jariku tak lagi gatal. Ujung-ujungnya yang kotor kubersihkan sebisa mungkin. Dan aku melangkah keluar toilet menuju ruang 220 di lantai 2 dengan lebih ringan.

Siangnya petugas kebersihan toilet yang tadi pagi kumasuki dan menjadi tempat bermain jari-jariku heboh. Ia menjerit keras-keras saat berlari keluar toilet. Meraung-raung sambil memohon-mohon pada supervisornya untuk tidak memecatnya karena ada tembok yang tak lagi berwarna kuning pucat dan bersih. Si supervisor langsung menuju TKP dan memeriksa cubicle toilet yang sudah dikerumuni banyak orang.

Di situ, di tembok salah satu toilet, terpampang gagah gambar pria dan wanita berdiri berjajar seperti layaknya hendak diambil gambar di studio untuk keperluan foto keluarga. Hanya kepala pria dan wanita itu berupa kepala anjing yang menetes-neteskan air liur dengan matanya yang nyalang. Dibawah gambar itu ada tulisan besar-besar seperti ini:

#AYAHIBUKUASU

Keesokan harinya, fakultas psikologi mengadakan seminar dengan topik “Menghadapi Generasi Muda yang Makin Kurang Ajar”. Laku keras. Para orang tua di kota itu berbondong-bondong datang dan mendengarkan dengan seksama nasihat dan petuah para psikolog itu. Mengangguk-angguk. Seperti cecunguk. Setuju bahwa ada yang salah dengan generasi muda zaman sekarang. Yang tidak peduli. Yang semaunya sendiri. Yang tidak punya mimpi.

Keesokan harinya lagi, surat kabar kota memuji-muji universitas bergengsi itu. Yang dengan cepat bertindak positif terhadap masalah yang mereka hadapi. Citra mereka makin naik. Statusnya makin bergengsi. Yay. Tepuk tangan, Saudara-saudara.

Dan aku? Salah satu generasi muda itu? Aku tidak peduli. Semauku sendiri. Dan aku tidak punya mimpi.

Meski jari-jariku yang selalu gatal tidak setuju aku menyandang ketiga predikat itu.

Tapi, siapa sih yang mau mendengarkan jari-jariku? Ayah ibuku saja tidak mau.


Bandung – Surabaya
 4 -19 Mei 2016

Gambar diambil dari sini.


Thursday, March 20, 2014

"Ada! Ibu rumah tangga!"

Sejak subuh tadi perempuan itu sibuk. Menjerang air. Menyiapkan sarapan. Mencuci baju. Belanja sayuran di depan rumah. Supaya tiap makhluk hidup yang tinggal serumah dengannya dapat memulai hari dengan tenang. Tak berapa lama suaminya bangun. Seperti biasa, ritual yang dilakukan adalah mandi, ganti baju kemudian sarapan. Setelah membaca surat kabar sebentar, sang suami berangkat. Itu berarti tinggal makhluk hidup satu lagi dalam rumah itu yang belum memulai harinya.

Si perempuan membuka pintu kamar si makhluk hidup satunya, yaitu anak laki-lakinya – seorang mahasiswa – dengan hati-hati. Sebab ia tahu semalam anaknya tidur lewat jam dua belas karena mengerjakan tugas kuliah. Lewat pukul sembilan pagi, setelah ia merapikan kamar tidurnya, dan anaknya belum juga bangun, ia bangunkan anaknya pelan-pelan karena ia tahu pukul sepuluh anaknya harus mengikuti kelas wajib.

Sambil menggerutu sedikit, tanpa ganti baju si anak mengambil sarapan paginya, membawanya ke ruang tengah dan makan sambil nonton siaran pagi. Selesai sarapan, si perempuan, ibunya bilang air hangatnya sudah siap di kamar mandi untuknya. Pukul sepuluh kurang sedikit, si anak sudah sampai di kelasnya siap untuk mengikuti kuliah.

Di rumah, ibunya menyiapkan makan siang untuk ia sendiri lalu mulai menyeterika baju, menyapu dan mengepel lantai rumah. Menginjak sore, sang ibu akhirnya punya waktu sejenak untuk diri sendiri. Diseduhnya teh dan dibacanya novel yang minggu lalu ia beli. Tak lama, si suami pulang dan selesai lah waktu untuk diri sendiri pada hari itu. Ia kembali menyiapkan air hangat untuk mandi suaminya, lantas menyiapkan makan malam.

Si anak baru pulang ke rumah setelah makan malam – sambil mengomel kanan kiri tentang dosen yang menyebalkan, tugas yang sulit, teman kuliah yang cerewet dan juga pacar yang cemburuan. Didengarkannya curhatan si  anak dengan sabar sambil menemaninya makan malam. Perempuan itu mengerti bahwa malam itu akan dilewati lagi oleh anaknya hingga larut untuk mengerjakan tugas kuliah yang belum rampung.

Esoknya, rutinitas sang ibu tetap sama, namun anaknya bangun lebih pagi. Ia makan sarapannya dengan cepat dan buru-buru berangkat kuliah. Pagi itu, si anak ada janji kerja kelompok bersama teman-teman sekelasnya.

Di kampus, selesai kerja kelompok, mereka ngobrol ngalor ngidul – mengeluhkan pekerjaan apa yang akan dilakukan selepas lulus nanti. Ada yang bilang kalau ia pernah ditawari kerja di bank, tapi ngeri dengan targetnya yang berbunyi satu setengah em. Ada juga yang menyahut lebih ngeri lagi kalau dapat kerja yang waktunya shift-shift­an - kapan pacarannya coba? Lantas mereka berpikir: Memang ada pekerjaan yang gampang? Yang nggak pake target?

Si anak laki-laki tadi, sambil makan bekal yang disiapkan oleh ibunya, berucap dengan lantang: “Ada! Ibu rumah tangga!”

Sementara di rumahnya, sang ibu sedang memasak makanan kesukaan anaknya untuk makan malamnya nanti karena ia tahu anaknya baru melewati dua malam yang melelahkan.

Thursday, 20 March 2014
4:45 pm
   

Monday, July 29, 2013

seorang laki-laki tua

Tak ada yang istimewa dari penampilan laki-laki tua yang sudah beruban itu. Yang khas barangkali adalah kekehnya yang cenderung beruntun dan senyumnya yang sering menghias di wajahnya. Itu saja. Tampan? Ia sudah cukup tua untuk dapat dikatakan tampan. Gagah? Ia juga sudah cukup berumur untuk dapat dikatakan gagah meski tak bungkuk jalannya. Tinggi? Ia tak juga tinggi. Sederhananya sederhana: lihatlah ia sekilas saja, belum tentu sosoknya tinggal dalam benakmu.

Berapa banyak orang, kau pikir, ingin menjadi seperti dia? Barangkali tak banyak. Dan barangkali hanya dapat dihitung dengan jari. Apalagi anak-anak muda jaman sekarang, yang cita-citanya tidak jauh-jauh dari orang terkenal, bintang film, fotomodel, penyanyi, anak band atau sederet profesi dengan bonus diliput media, diikuti paparazzi dan dimintain tanda tangan dan foto kemanapun mereka pergi. Atau yang agak beda sedikit, anak-anak muda yang bermimpi mengubah dunia dengan kepintaran mereka dikombinasikan dengan ambisi yang ditanamkan orang tua sejak kecil melalui sekumpulan piagam dan piala dari segala penjuru.

Dari sekian banyak anak-anak muda itu, berapa banyak yang melihat laki-laki tua sederhana tadi sebagai panutan? Entah. Yang jelas, ada yang perlu kau tahu tentang laki-laki tua tak menarik ini. Dulu tiap minggu, ia selalu menggandeng istrinya yang menderita alzheimer ke gereja untuk mengikuti kebaktian. Apabila ada acara makan-makan, ia akan mengambilkan sekaligus menyuapi istrinya dulu sebelum ia sendiri makan. Tak pernah kulihat atau kudengar ia mengeluh atau marah-marah pada istrinya. Ia pernah mengatakan pada kami, ia sudah berjanji akan terus menjaga istrinya apapun keadaannya, dan itu akan terus ia pegang. 

Menurutku, ia lebih dari seorang bintang film Hollywood. Atau penyanyi K-Pop yang digandrungi remaja masa kini. Atau bahkan presiden kita yang doyan ngomong prihatin itu. Laki-laki tua ini mengajarkanku arti cinta sejati yang dibungkus komitmen. Boleh jadi ia anonim, boleh jadi ia tak terkenal, tapi orang-orang seperti ia yang akan terus tinggal dalam hati ini. Menjadi inspirasi sekaligus teladan lebih daripada orang-orang terkenal itu.


Minggu, 28 Juli 2013
5 menit menuju 29 Juli 2013

#36harimenulisrandom - day 2




Monday, November 19, 2012

cinta

Cinta itu lucu. Apalagi kalau dirasakan sekaligus dipikirkan sesaat menjelang pernikahan. Saat itu, cinta tak lagi terasa absurd. Cinta nyata, ada dan bermuara. Legalitas yang bikin hati senang karena ada sesuatu yang baru yang akan dijalani bersama. Ada juga yang bilang cinta bukanlah cinta jika tidak membahagiakan. Tapi memang kebahagiaan itu bukan akibat, melainkan sebab. Kelak sepasang muda-mudi  yang telah berjanji setia di hadapan pendeta atau para pemuka agama lainnya berangsur-angsur akan mengerti, dalam pernikahan cinta tak lagi melulu soal rasa, melainkan hak sekaligus kewajiban. Cinta tak lagi pasif, tapi aktif. Ah, tapi bukankah cinta memang seharusnya aktif jika ingin berjalan ke tempat yang lebih baik?

Barangkali itu sebabnya aku tak pernah suka lagu-lagu cinta manusia kasmaran atau apa lah itu yang pada intinya seperti ini: “I love you just the way you are.” Kupikir, cinta tak sedangkal dan sesederhana itu. Cinta sepatutnya menjadikan manusia menjadi lebih baik dengan apa adanya ia pada dirinya.

Catatan ini ditulis setelah perjalanan dengan pesawat dari Kota Pahlawan menuju ibukota. Penumpang di sebelah tempat dudukku adalah perempuan setengah baya. Mungkin tak ada yang tahu, dan entah ia merasa atau tidak, sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Bukan. Bukan karena ia menarik atau tetap cantik meskipun usia mencuri sedikit-sedikit kulitnya yang kencang, rambutnya yang hitam dan menambahkan lemak-lemak tak perlu pada bagian tubuhnya disana-sini. Pernahkah memikirkan apa yang kupikirkan saat itu? Bahwa kelak bukannya tak mungkin aku akan seperti dia. Tak lagi muda. Kulit tak lagi kencang. Rambut tak lagi setebal atau sehitam dulu. Dan lemak-lemak… oh gosh aku berharap lemak-lemak tak perlu itu eksis di tubuhku kelak. Dan kalau nantinya aku tak lagi muda dan bahenol, masihkah suamiku mencintai dan menerimaku?

Tapi disitulah komitmen unjuk gigi. Janji yang diucapkan di depan pendeta, di hadapan para saksi, jelas bukan perkara main-main. Ini perkara kontrak seumur hidup, bersama orang yang barangkali tak kamu sadari baru setengah atau bahkan seperempatnya saja kamu kenal.  Seperti yang Meg Cabot pernah katakan:  pernikahan seumpama teken kontrak seumur hidup pada sebuah toko kue. Kue yang menurutmu enak dan gurih, sehingga bikin ketagihan. Lantas kamu berjanji pada toko kue itu bahwa  kamu akan terus membeli kuenya, apapun bentuk dan rasanya. Meskipun di sebelah toko kue tersebut muncul toko kue lain yang lebih menarik. Atau di seberang toko kue itu dibuka toko kue lainnya lagi yang kata-kata orang yang sudah mencicipi, kuenya lebih bikin ketagihan daripada toko kuemu. Dan kontrak yang sudah telanjur kamu tandatangani menyebabkan kamu tak lagi bisa mencicipi kue-kue di toko-toko yang lain – semenarik dan semenggiurkan apapun kue-kue mereka.

Cinta memang istimewa. Ia seperti ada dimana-mana. Di novel, komik, film, sinetron, panggung, lagu, mimbar keagamaan, kampus, rumah, de es be, de es be. Barangkali karena ia memberi diri dengan lapang dada untuk didefinisikan dalam berbagai bentuk oleh segala makhluk, terutama manusia.

Ah, tapi aku percaya kamu akan temukan sendiri definisi cintamu – khusus untukmu sendiri. Karena perjalanan cinta masing-masing orang itu berbeda. Dan perbedaan itu melahirkan definisi cinta yang berbeda-beda pula. Dan tak ada yang lebih indah dari sesuatu yang berbeda-beda. Sebab warna hitam tak lagi mencolok dan kelihatan indahnya jika dijajarkan dengan hitam lainnya.

Tulisan ini untuk sepupuku yang menikah hari Sabtu, 17 November 2012 kemarin. Kuucapkan selamat mencintai, dicintai, bercinta dan mendefinisikan cinta mereka sendiri.


Jakarta, 16 November 2012
11:42 pm

PS : Gambar courtesy of Daniel A. Sudarmadi

Sunday, April 01, 2012

tinggi di langit


Teman-temanku bilang aku kampungan. Yang lain bilang aku ndeso. Yang lebih halus bilang aku nggak gaul. Semuanya karena benda yang sekarang ada di tanganku ini. Tapi aku tak peduli. Biarpun barangkali harus sendiri aku memainkannya. Atau dengan ibuku.

Ibuku bilang, untuk memainkan benda ini, aku harus cari tanah lapang yang luas dan berumput. Kilahku, aku pernah melihat anak-anak kampung memainkannya di jalanan, kenapa aku tak boleh. Sampai aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada anak kampung yang tertabrak sepeda motor karena bermain dengan benda ini di jalanan. Sejak itu lah aku mulai terobsesi mencari tanah lapang yang luas dan berumput seperti kata ibuku supaya aku dapat memainkan benda yang saat ini ada di tanganku tanpa harus membahayakan diriku.

Berminggu-minggu aku mencari tanah lapang yang luas dan berumput itu. Tapi tak kunjung juga kutemukan. Pernah suatu hari kutemukan tanah lapang itu tak jauh dari rumahku. Buru-buru aku pulang mengambil mainanku dan ketika aku kembali ke tanah lapang itu, sudah ada para pria berhelm kuning yang melarangku masuk ke tanah lapang itu karena berbahaya. Kutanya pada mereka, apa bahayanya? Aku toh baru dari situ dan tahu bahwa tempat itu baik-baik saja. Tapi mereka ngotot mengatakan bahwa tempat itu berbahaya karena mereka akan segera memasang alat-alat untuk membangun ruko. Kutanya lagi pada mereka apa itu ruko. Mereka menjawab dengan tak sabar bahwa ruko adalah sesuatu yang bisa menghasilkan duit. Diamlah aku, padahal aku masih belum mengerti apa itu ruko. Apakah sama dengan bank?

Esoknya lagi kucari di tempat yang agak jauh dari rumahku. Kutemukan ada tanah lapang yang biarpun tidak terlalu luas tetapi berumput hijau segar. Lagi-lagi aku berlari pulang untuk mengambil mainanku dan kembali ke tempat itu. Dan ketika aku kembali, sudah banyak anak-anak kampung situ yang bermain bola di tanah lapang berumput hijau tadi. Ragu-ragu kulangkahkan kakiku menginjak rerumputan hijau itu, tiba-tiba ada seorang anak yang membentakku.

"Hei, kamu! Mau ngapain disini?" bentaknya. "Kamu mau mainan itu ya?" Ia menunjuk benda yang kupegang.

Kuanggukkan kepalaku berharap dia tidak marah jika aku berkata jujur.
"Kamu bukan anak kompleks sini kan? Kalau bukan anak kompleks ini tidak bisa pakai! Kamu nggak tahu sulit sekali cari tanah lapang model beginian buat kami bermain bola! Enak saja kamu mau merebut dari kami!"

Ingin sekali kujawab bahwa aku tahu dan sependapat dengannya tentang betapa sulitnya mencari tanah lapang yang luas dan berumput untuk aku bermain benda yang ada di tanganku ini dan bermain bola seperti mereka. Ingin juga kukatakan padanya bahwa aku tak bermaksud merebut dan bahwa aku tidak keberatan berbagi tanah lapang itu untuk bermain bersama. Tapi anak itu badannya lebih besar, jadi aku mundur sebelum babak belur.

Melihatku sering melamun dan selalu lunglai sesampainya di rumah sesudah mencari tanah lapang untukku bermain, ibuku turun tangan. Suatu hari ia mengajakku ke gedung olahraga yang punya lapangan sepakbola yang luas. Ibuku bilang pada petugas gedung bahwa kami datang untuk meminjam lapangan sepakbola itu sebentar saja. Hanya supaya aku dapat bermain dengan benda yang kubawa itu sejenak.

"Tak sampai satu jam lah, bapak," kata ibuku. Tapi petugas itu tetap menggelengkan kepalanya. Jika ingin meminjam lapangan bola, ibuku harus mengisi formulir tertentu disertai surat permohonan sebagai lampirannya kemudian formulir dan surat permohonan itu akan diajukan oleh petugas gedung tadi kepada bapak pengelola gedung. Nanti bapak pengelola akan memberikannya pada para pengurus gedung untuk dibawa ke rapat paripurna supaya dapat diputuskan apakah aku dapat bermain di lapangan bola itu atau tidak. Aku sungguh tak menyangka bahwa untuk bermain di lapangan bola barang sejenak saja diperlukan proses sepanjang itu. Maka aku pun menarik tangan ibuku mengajaknya pulang karena percuma bernegosiasi dengan birokrasi semacam itu. Anehnya ketika kami beranjak pulang, si petugas gedung tadi membisikkan sesuatu di telinga ibuku yang membuat raut muka ibuku begitu mengerikan. Tak pernah kulihat ibuku marah bukan main seperti hari itu.

"Apa-apa kok duit! Sudah bobrok negara ini!" Begitu omelnya ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku diam saja karena merasa bersalah sebab rupa-rupanya aku sudah menularkan obsesiku pada ibuku. Hanya untuk benda yang ada di tanganku ini.

Sekonyong-konyong, kudongakkan kepalaku ke langit. Lewat jendela mobil, kulihat diatas sana ada benda serupa dengan yang sedang kupegang ini. Kuremas tangan ibuku dan menunjuk ke langit. Ibuku memekik senang, lupa dengan kemarahannya pada petugas gedung olah raga tadi. Ia langsung memutar setirnya mengikuti arah benda yang kutunjuk tadi. Belok kanan, belok kanan lagi, belok kiri, lurus, belok kanan, belok kiri lagi, seolah jalanan itu tak ada ujungnya. Tapi kemudian sekujur tubuhku bergetar karena melihat tanah lapang yang begitu luas dengan rumput hijau yang segar. Disana ada beberapa anak yang sedang bermain dengan benda seperti milikku ini. Turunlah aku dari mobil dan mendekati lapangan hijau yang selam ini kucari-cari. Anak-anak itu tersenyum dan memberi isyarat padaku untuk bergabung dengan mereka. Kulangkahkan kakiku ringan mendekati mereka. Seperti inilah rasanya ketika kamu merasa bahwa sebentar lagi obsesimu menjadi kenyataan. Ada rasa yang tak terdefinisikan saat waktu itu akan tiba.
Ibuku kemudian mengambil benda yang sedari tadi kupegang erat-erat, yang sudah menjadi obsesiku selama berminggu-minggu. Aku menarik simpul benang di ujung benda tadi sambil berjalan mundur. Tadinya berjalan, lama kelamaan aku berlari sambil menarik benang itu. Pada saat itu lah ibuku mulai melepaskan benda tadi.

"Tinggi! Tinggi!" kata anak-anak tadi sambil bersorak-sorak. "Lebih tinggi lagi! Masih bisa!"

Aku mulai menarik-narik benang mengikuti arah angin, membiarkan benda itu melayang tinggi, lebih tinggi dari gedung-gedung dan ruko-ruko. Luar biasa sensasinya. Seperti ada yang mengaduk-aduk perutku saking senangnya hatiku. Kami semua yang ada di lapangan melihat mainanku tinggi di langit, melawan sinar matahari yang menyengat. Ia bergoyang-goyang riang diatas sana, bercakap-cakap dengan angin, barangkali juga dengan awan, atau bahkan dengan burung yang kebetulan lewat. Setelah berminggu-minggu kukurung di kotak mainanku di rumah.

Terbanglah layang-layangku, walaupun kamu kuno, kamu kampungan, kamu nggak gaul jika dibandingkan dengan mainan-mainan bertombol nan canggih yang dimainkan teman-temanku di rumah mereka yang ber-AC. Terbanglah, selagi masih ada tanah-tanah lapang yang luas dan berumput hijau seperti ini di tengah-tengah gedung pencakar langit, ruko-ruko yang menjamur dan perumahan-perumahan mewah yang tersebar untuk orang-orang kaya. Terbanglah, supaya aku tahu bahwa bumi ini sesungguhnya masih bisa diselamatkan dari kapitalis-kapitalis rakus dan birokrasi-birokrasi tak penting yang saat ini merajalela.

Terbanglah, layang-layangku. Tinggi. Tinggi di langit.

Sunday, 1 April 2012
11:34 am

PS: Gambar diambil dari sini

Tuesday, December 13, 2011

sebuah cermin dan seorang pemilik restoran

Pada sebuah restoran ada sebuah cermin yang tingginya menjulang hingga ke langit-langit. Si empunya restoran cinta betul dengan cermin itu karena melaluinya ia seperti menonton layar lebar yang dibintangi oleh tamu-tamunya sendiri. Jika sedang sendu hatinya atau muram harinya, ditatapnya cermin itu lama-lama pada jam-jam makan dimana restorannya dipenuhi pengunjung untuk mengisi perut mereka. Dan hatinya kembali senang, harinya kembali riang. Suatu hari, saat restorannya kembali ramai dengan pengunjung, ditatapnya kembali cermin itu lama-lama. Mencoba mencari kehangatan dan keakraban yang bisa bikin hatinya kembali senang dan harinya kembali riang dari para pengunjungnya. Tapi berapa kalipun mengejapkan mata hingga mendelik, tetap saja hatinya masih sendu dan harinya masih muram. Bertanya-tanyalah ia pada diri sendiri apa ada yang salah pada dirinya atau cermin itu. Ia dongakkan lagi kepalanya, ditatapnya kembali cermin kebanggaannya itu lekat-lekat, kemudian ia tersentak. Keesokan harinya ia tatap kembali cermin itu, dan tetap saja tak ia temukan yang ia cari. Begitu juga dengan keesokan harinya lagi dan lagi dan lagi.

Barulah setelah frustasi selama berminggu-minggu tak menemukan yang ia biasa ia dapatkan dari tamu-tamunya, sebuah kesadaran menggetok kepalanya atas sebuah pertanyaan tentang mengapa tak lagi bisa ia lihat kehangatan pada cermin itu. Dan barangkali untuk pertama kalinya, matanya beralih menatap langsung pada pengunjung-pengunjungnya, pada tamu-tamunya. Diamatinya tiap keluarga yang makan disitu. Diamatinya satu persatu dan kemudian hatinya semakin sedih, harinya makin muram. Masuklah ia ke ruangannya dan menangis tersedu-sedu disana

Tamu-tamunya, keluarga-keluarga yang datang ke restorannya, yang dulu selalu membawa kehangatan atas keakraban yang terjalin diantara mereka sudah berubah. Tak lagi ada kehangatan yang ia rasakan. Meskipun duduk mengelilingi satu meja, bersama-sama dalam satu tempat, mereka sibuk sendiri-sendiri. Mereka tak lagi saling ngobrol, saling berceloteh, atau saling melempar gurauan. Mereka asyik sendiri-sendiri dengan benda yang ada di tangan mereka. Tersenyum-senyum sendiri sambil membaca entah apa pada benda itu. Anak tak lagi ngobrol dengan ayah ibunya karena sibuk memberi komentar pada status teman-temannya di situs jejaring sosial. Istri tak lagi berceloteh manja pada suaminya karena sibuk dengan online shop yang baru ia rintis. Kakak tak lagi menggoda adiknya karena sibuk memperbarui status tentang dimana ia berada saat itu. Nenek tak lagi dapat berbincang-bincang dengan cucunya karena cucunya sibuk menggebuki musuh melalui benda yang ia pegang kemana-mana. Mereka hanya berhenti sibuk dengan benda itu jika makanan datang.

Tak lama kemudian, pada jurnal hariannya si empunya resto dengan menggebu-gebu menulis begini:  Apa jadinya sebuah keluarga jika mereka sudah tak saling peduli satu dengan yang lain? Apa jadinya sebuah keluarga jika mereka lebih peduli dengan siapa yang tidak bersama-sama dengan mereka daripada dengan siapa yang bersama-sama dengan mereka? Jika sebuah keluarga harus sibuk, bukankah seharusnya mereka harus sibuk mempedulikan satu dengan yang lain? Mengapa kelihatannya jauh lebih penting apa yang terjadi di luar sana ketimbang apa yang terjadi pada keluarganya sendiri? Apa cermin itu harus kuhancurkan agar aku tak perlu lagi melihat keluarga modern tapi dingin yang lebih sering muncul daripada keluarga yang akrab dan hangat?

Pemilik restoran itu lantas berhenti menulis. Direnungkannya kembali yang ia tulis dan melalui jendela ruangan kantornya ia tatap kembali tamu-tamunya. Sudut matanya menemukan sebuah keluarga dengan tawa dan gelak yang telinganya rindukan. Senyumnya mengembang. Tak perlu ia hancurkan cermin itu, karena ia percaya masih ada keluarga-keluarga yang tetap akrab dan hangat di tengah-tengah modernitas yang sedang merajalela.

Ia keluar dari ruangannya, mendekati meja dimana keluarga yang sudah membuat hatinya kembali senang dan harinya kembali riang. Dan senyumnya semakin lebar. Karena tak ada benda-benda mahal dan katanya pintar itu diatas meja mereka.

“Mau pesan apa? Hari ini saya yang traktir,” katanya kemudian.

                Surabaya, 23 September 2011 
PS : Gambar diambil dari sini

Thursday, June 24, 2010

ayah, seekor anak kucing dan manusia-manusia sok tahu

Seekor anak kucing mati di pinggir jalan. Entah sepeda motor atau kendaraan roda empat menyerempetnya tanpa ampun sehingga ia tergeletak begitu saja dengan usus memburai. Setiap orang yang lewat mengernyitkan hidungnya jijik. Ada juga yang langsung lari menghindari mayat binatang malang itu. Sampai seorang perempuan muda lewat dan mendekatinya.
Ia menatap anak kucing itu lama-lama, seperti tidak peduli dengan bau yang sudah menyengat menghampiri cuping hidungnya. Kemudian ia menangis. Mulanya hanya satu-dua tetes lewat diatas pipinya, tapi kemudian ia sesenggukan. Orang-orang mulai heran melihat seorang perempuan muda berdiri dekat anak kucing yang mati sambil menangis. Mereka mengira anak kucing ini peliharaan perempuan muda itu.

Tapi mereka salah.

Anak kucing dan perempuan muda tadi tidak ada hubungannya sama sekali. Apakah jika tidak ada hubungan maka tidak ada urusan dengan emosi? Belum tentu. Perempuan muda tadi contohnya. Ia masih disitu. Menangis sesenggukan sambil terus menatap si anak kucing - tidak peduli dengan orang-orang yang lewat. Dan ketika menit demi menit berlalu dan perempuan itu masih saja disitu, orang-orang mulai berpikir dia tidak waras karena menangisi anak kucing yang mati di pinggir jalan. Toh masih banyak anak kucing lainnya. Yang butuh tempat perlindungan dan makanan. Yang tidak berwarna cokelat kotor seperti yang mati tadi.

Namun itu toh yang hanya berhasil dilihat oleh mata manusia. Dalam hati perempuan muda itu, siapa yang tahu?

Perempuan itu tidak menangisi si anak kucing yang mati. Ia hanya teringat masa lalu. Ketika anak kucingnya terserempet mobil ayahnya hingga mati dan lehernya hampir terputus. Ia ingat betapa sedihnya hatinya melihat anak kucingnya mati. Itu terjadi ketika ia masih duduk di bangku SMP. Suram sekali hari itu.

Tapi lagi-lagi, ia sesenggukan bukan hanya karena teringat anak kucingnya yang mati bertahun-tahun yang lalu. Ia sesenggukan karena mengingat masa-masa yang sudah lalu itu. Ia teringat pergi ke pantai dengan ayahnya. Ia teringat membuat panik ayahnya saat belajar mengendarai sepeda motor.
Ia teringat benda-benda yang dibelikan ayah tanpa sepengetahuan ibunya. Ia teringat dibelikan soto ayam belakang gereja oleh ayahnya sepulang sekolah atau nasi gudeg malam-malam selepas pulang dari kursus. Ia teringat kumis ayahnya selalu menggoda dan menggelitik pipinya. Ia teringat ayahnya. 

Dan karena ia teringat ayahnya itu pula ia sesenggukan. Hari-hari dimana ia tidak mengerti kenapa ayahnya selalu ingin tahu tentang teman-teman lelakinya? Kenapa ayahnya terobsesi memelihara kumis? Kenapa kulit ayahnya hitam padahal saudara-saudaranya tidak? Kenapa ayahnya tahu cerita-cerita dan skandal yang terjadi sampai sudut kota? Kenapa ayahnya tidak pernah terus terang jika ia punya masalah? Dan kenapa ayahnya meninggalkannya sebelum melihat cucunya?

Perempuan itu rindu ayahnya. Sesenggukan di jalan di depan anak kucing yang mati bukan berarti ia menangisi anak kucing itu. Ia hanya tiba-tiba rindu. Dan rindu selain datang tanpa memberitahu, tidak bisa diredam, apalagi diabaikan atau ditunda.

Karena itu lah, ketika ia puas sesenggukan, ia langkahkan kakinya ringan dan mengerti bahwa akan selalu ada manusia-manusia sok tahu, yang walaupun tidak betul-betul tahu apa yang ada dalam pikirannya tapi merasa tahu sambil mulutnya menggumam: “Orang gila.”

Thursday, 24 June 2010
11:01 am

Catatan hari ayah yang terlambat beberapa hari.

PS: Gambal diambil dari sini

Saturday, February 27, 2010

a goodbye

Hari-hari dimana ketika terima sms jantung kayak mau meloncat

Hari-hari dimana meskipun ada sesuatu yang ditunggu tetapi ketika sesuatu itu akhirnya datang juga masih merasa kaget

Hari-hari dimana semuanya serba dadakan

Akhirnya ke Pekalongan juga

To say goodbye to my granny

Granny, thank you so much for every memorable moment with you

We love you

Saturday, 27 February 2010
8:03

PS: I juz remember that today is also the third year after my dad passed away. Love you too, Dad.

Thursday, February 18, 2010

si emak

"It is as grandmothers that our mothers come into the fullness of their grace." - Christopher Morley

Berbahagialah mereka yang punya kakek. Saya enggak punya kakek, hanya punya satu nenek dari pihak mama saya. Dan ternyata punya satu nenek juga sesuatu yang membahagiakan. Dulu saya kepengen sekali punya kakek. Biasanya cucu perempuan bisa cukup dekat dengan kakek kan? Tapi dulu saya juga cukup dekat dengan nenek saya. Dan menurut saya, nenek saya sedikit unik. Saya menemukan bahwa nenek saya unik sejak saya menemukan sebuah kaset Westlife album yang pertama di salah satu rak dekat televisi di rumah saya di kampung halaman. Waktu itu saya sudah kuliah di Surabaya dan sedang pulang liburan. Biasanya kaset-kaset seperti itu justru saya yang beli. Tapi karena saya bukan penggemar Westlife, saya nggak pernah beli album mereka. Lebih unik lagi waktu saya nemuin VCD klip-klipnya Westlife (Swear It Again, Flying Without Wings, I Have A Dream, ingat ga?) di rak yang sama. Kemudian saya tanya adik saya, apa dia yang beli. Kalau betul dia yang beli maka itu juga sesuatu yang baru. Adik saya juga bukan penggemar Westlife. Kemudian saya tanya papi saya, kali beliau membelikan anaknya yang paling cantik ini. Tapi papi saya juga bilang enggak beli. Yang beli kaset berikut VCD itu ternyata NENEK saya. Bujubune... saya langsung ngacir menemui nenek saya (saya manggilnya emak) dan bertanya akan kebenaran yang aneh tersebut. Kira-kira begini bunyi percakapan kami:

Saya: Lho, emak yang beli kaset ama VCD Westlife ini tho?
Emak: Iya. Memangnya kenapa? Nggak boleh?

Saya: (terpana sambil melongo) Memangnya Emak tahu Westlife?

Emak: Ya tahu tho. Lagu-lagune apik-apik (bagus-bagus, Red). Emak paling seneng sama yang paling banyak nyanyi tu lho, sapa n
amane? Saya: Ehm.. Shane?
Emak: Iya itu! Pokoke kalo nyanyi mulute bentuke kotak.

Saya: *Gubrak*

Itu keunikan pertam
a yang baru saya sadari. Tapi berikut-berikutnya saya baru sadar kalo memang emak saya ini unik bin stylish. Beliau rajin ke salon untuk ngebenerin rambut. Udah gitu, jumlah sepatu beliau lebih banyak dari sepatu saya. Terus beliau rajin menyemir rambut. Nyemir sendiri lho, enggak pake semir sepatu tentu saja, tapi pake semir rambut. Pernah nih beliau dibelikan oleh salah satu menantunya semir hitam, tapi rupanya tante saya ini salah baca. Tante saya beliin semir rambut buat emak saya yang hitam kebiruan. Emak saya tahu sih, tapi beliau bilang enggak papa sama-sama hitamnya, padahal kalau dibawah sinar matahari rambutnya jadi semburat ungu. Bah, cucunya aja kalah stylish!

Suatu hari setelah kebaktian di gereja jam 6 pagi (selesai sekitar jam set
engah 8), beliau minta cepat-cepat diantar pulang. Saya bingung, tumben banget nih si emak minta cepat-cepat pulang. Ya saya tanya kenapa kok buru-buru. Jawaban si emak: "Sebentar lagi ada tinju. Mike Tyson yang main. Emak mau lihat!" Cape dee... Terus pernah juga suatu sore saya lagi nonton MTV, pas lagunya "All around the World"nya Oasis lagi diputar. Emak saya lagi-lagi bilang, "Bagus nih lagu. Enak." Saya yang nggak terlalu suka lagu-lagunya Oasis cuma bisa mengedip-ngedipkan mata tanda tak percaya.

Hanya saja, saat ini saya sudah enggak lagi bisa menikmati momen-momen unik dan hangat itu lagi. Mengapa? Sudah beberapa tahun terakhir ini kondisi emak saya menurun. Jika saya bilang menurun, maka itu artinya emak saya udah nggak bisa apa-apa lagi. Untuk bertahan hidup seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, buang air besar dan minum obat harus selalu dibantu. Pikunnya semakin menjadi. Jika ditemui beliau jarang bisa mengenali. Atau jika mengenali pun, mulut beliau enggak bisa menyebut namanya. Dan minggu lalu, kondisi beliau semakin menurun. Tidak mau makan, tidak mau minum, hanya tidur saja. Tubuhnya semakin dingin sebelum beliau dilarikan ke rumah sakit. Kabar terakhir yang saya dengar malah katanya kami harus bersiap-siap menunggu 'sesuatu'. Percayalah, 'sesuatu' itu bukan sesuatu yang menyenangkan.

Semoga yang terbaik saja yang terjadi.. ;(

Thursday, 18 February 2010
4:08 pm

PS: Tulisan ini dibuat untuk emak saya yang sedang berbaring tak sadar di rumah sakit ratusan kilometer dari tempat saya sekarang. Setiap momen denganmu selalu unik, Mak, termasuk momen kita bertengkar begitu pulang dari salon karena tukang salonnya salah potong rambut cucumu ini. Maaf ya, Mak...

Friday, October 16, 2009

supermom?

Baru teringat bahwa sudah setahun ini saya hidup tanpa pembantu. Seumur-umur, seingat saya, dari kecil saya sangat bergantung pada pembantu. Sampai saya kuliah pun, kost tempat tinggal saya juga tantenya pakai pembantu. Saya berhenti menggantungkan diri pada pembantu setelah saya menikah. Bukan karena saya tiba-tiba kerajinan melakukan tugas-tugas rumah tangga, tapi karena pada waktu itu saya sempat diajak suami menikmati hidup ala kadarnya di Melbourne, Australia. Hidup pas-pasan tanpa pembantu. Kembali dari negeri kangguru itu, saya masih tinggal di rumah mertua, yang lagi-lagi memakai jasa pembantu. bulan keempat sesudah saya punya anak, saya mulai berburu pembantu, karena saya bekerja. Lagipula saya butuh punya pembantu sendiri kalau pindah rumah nanti. Akhirnya saya dapat pembantu yang lumayan cocok untuk saya ikutan boyong pindahan rumah, tapi ia tidak kembali setelah lebaran tahun lalu. Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya dengan pembantu atau babysitter. Maraknya berita tentang babyistter yang menganiaya anak majikan bikin saya keder untuk meninggalkan anak dan pembantu sendiri di rumah. Jadi selama bekerja, anak dan pembantu saya titipkan di rumah mertua. Waktu itu. Setelah ia tak kembali, saya tak lagi berburu pembantu baru, tapi saya berburu daycare yang bagus tapi tidak terlalu mahal. Seperti yang sudah pernah saya katakan, saya tipikal orang yang act first, think later. Maka dengan gagah berani tapi tidak sakti mandraguna, saya bilang, tak apa-apa anak di daycare selama jam kerja, tugas-tugas rumah tangga saya yang urus! Berbulan-bulan setelah keputusan itu, saya baru merasakan beratnya pekerjaan pembantu tapi terlalu gengsi mengakuinya.

Jika saya bilang mengerjakan tugas pembantu, maka saya memang mengerjakan tugas pembantu. Hubby kadang-kadang masih membantu juga, thank goodness, enggak semua pria di Indonesia mau melakukan seperti yang dia lakukan. Ada yang bilang saya hebat karena selain kerja di kantor delapan jam sehari, saya masih harus ngurus rumah dan batita. Tapi barangkali lebih banyak lagi yang bilang saya tolol: ada yang gampang kok cari yang sulit. Menyusahkan diri sendiri saja. Makanya jangan sekali-kali menganggap remeh perempuan yang memilih karir menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, karena jam kerjanya bukan delapan jam sehari, tapi dua puluh empat jam sehari dan tidak dapat libur di akhir pekan. Barangkali seperti motto McD (eh sekarang di Indo TonyJack's ya?): 24/7.

"Ciecie itu supermom." Begitu yang pernah saya dengar seseorang berkata pada saya. Awalnya saya anggap itu pujian. Senangnya bukan main diberi titel supermom. Menjadi supermom adalah sesuatu yang membanggakan. Tapi yang sebenarnya menjadi supermom itu melelahkan. Apalagi kalau menuruti tuntutan masyarakat yang tersebar di iklan-iklan di televisi. Bayangkan saja, seorang ibu dituntut untuk memasak makanan yang enak (pakai minyak ini, bumbu penyedap itu, kecap ini, dsb), dituntut untuk kreatif bikin snack (puding ini, sirup itu, es krim ini, roti itu), dituntut untuk membuat lantai tetap bersih (karena hidup terjadi di atas lantai), dituntut untuk mencuci pakaian tapi tetap cantik (jangan lupa memutihkan baju putih yang kotor dan menghilangkan noda pada pakaian warna), dituntut juga untuk cuci piring (sekaligus mengumpulkan ibu-ibu arisan biar dapat tambahan duit belanja), dan... ah saya capek nulisnya! Intinya begitu-begitu tugas ibu semua dah! Selain itu, seolah-olah belum cukup tugas-tugas yang harus dikerjakan, ibu-ibu diatas tiga puluh dan empat puluh juga dituntut untuk menunda kerutan dan menjaga supaya tetap awet muda (biar masih bisa memasak, mencuci baju, mencuci piring, mengepel, menyeterika, dll).

Seandainya jadi supermom itu semudah iklan obat nyamuk di televisi. Nyamuk datang, ibu semprot dengan obat nyamuk merk B dengan gaya keren, dan semua berteriak menyambut SUPERMOM! Ah, indahnya dunia barangkali jika semudah itu. Tapi tidak. Tidak semudah itu. Mungkin ada juga yang akan bilang, kalau mau dapat titel supermom ya memang ada harga yang harus dibayar, ada sesuatu yang harus dilakukan, ada kecoak yang harus dibunuh (eh? ga nyambung ya? biarin! blog saya ini! hehehe)! Entahlah, saya juga nggak tahu apa yang saya lakukan sekarang ini benar adanya? Atau bodoh tak terkira-kira? Atau hanya karena idealisme belaka (makan tuh idealisme!)? Atau apa?

Yang jelas ini melelahkan. Pergi tidur dalam keadaan lelah juga tidak bikin tidur jadi nyenyak. Yang jelas ini bikin capek. Dan rasa capek sama sekali tidak membantu saya untuk lebih memperhatikan hubby dan anak saya. Terlebih, tidak menyehatkan pergaulan pula.

Apa saya terdengar mengeluh? Mungkin. Tapi tidak. Saya tidak mengeluh. Saya hanya curhat.

Friday, 16 October 2009
12:38 am

Monday, April 27, 2009

keputusan


Ada kalanya, kau menghindari memutuskan sesuatu. Bukan karena kau tidak mau atau tidak bisa, tetapi lebih karena kau takut memikirkan akibat dari keputusan tersebut. Atau barangkali lebih karena kau takut keputusan itu datangnya bukan dari dirimu sendiri tapi dari orang lain yang berhasil mempengaruhimu.

Seperti saat ini.

Anakku sudah dua tahun. Sudah waktunya masuk playgroup. Heran juga, kemana waktu-waktu berlari? Dulu, umur dua tahun, aku masih bermain-main dengan pembantu di rumah saja. Belum waktunya pergi sekolah. Tapi sekarang? Umur dua tahun belum masuk sekolah/playgroup pasti dipertanyakan, apa nggak takut ketinggalan, yang lain semua sudah sekolah. Bagiku, bahkan keputusan masuk playgroup pun, aku menghindarinya.

Ingin kudaftarkan ia di tempat daycare-nya, tetapi ingin juga aku melihat dia belajar di sekolah nasional plus plus dimana bahasa inggris adalah bahasa kesehariannya. Jika kudaftarkan ia di playgroup tempat daycare-nya, kemudian taman kanak-kanak diteruskan di sekolah nasional itu, maka ia akan ketinggalan. Bahkan playgroup di sekolah plus plus itu sudah diajari bahasa inggris dan mandarin. Tapi, jika kusekolahkan ia sejak playgroup di sekolah plus plus itu, maka kami tak akan mengirimkannya lagi ke DayCare. Kenapa? Karena kelas level playgroup di sekolah plus plus itu hanya tiga hari dalam seminggu. Itu pun setiap kali pertemuan hanya dua jam. Kalau memaksakan diri untuk tetap dititipkan di DayCare-nya itu, siapa yang akan menjemput? Siapa pula yang akan mengantarkan ke DayCare-nya? Sekolah plus-plus itu di daerah tengah kota, sedangkan DayCare lebih dekat dengan rumah kami.

Sekolah plus plus akan mengubah banyak hal. Yang pertama, kami harus menggunakan jasa pembantu lagi. Hilang privacy lagi. Aku menikmati rumah tanpa pembantu. Lebih hangat, lebih personal. Tidak perlu pula ngurusin makannya pembantu. Kalau dapatnya pembantu muda, barangkali ada saatnya dia berponsel ria, centil sana-sini. Repot. Tanpa pembantu, biarpun lebih capek, karena semua harus dibersihkan sendiri. Belum lagi ada anak kecil yang tidak pernah tenang jika ruang belum berantakan. Biar saja orang bilang aku tolol karena merepotkan diri sendiri daripada mengeluarkan uang sedikit untuk pembantu. Yang kedua, pembantu saja tidak cukup. Harus sewa antar jemput juga, yang tentu harus bisa dipercaya.

Ribet kan?

Tapi jika tetap di DayCare, memang kehidupan yang sekarang aku jalani *ceilah* nggak akan berubah. Semuanya tetap seperti biasa. Tapi barangkali anakku tidak akan masuk sekolah plus plus itu. Yang sebetulnya jauh di hati kami yang paling dalam, kami ingin melihat ia mengenakan seragam dan belajar di sekolah itu.

Monday, 27 April 2009
3:48 pm