dbo:abstract
|
- Pieter Erberveld (ca. 1660 – April 14, 1722) was a Eurasian resident of Batavia, Dutch East Indies (now Jakarta), the headquarters of the VOC in Asia, during the 17th and early 18th centuries who was accused of plotting a rebellion with Javanese for January 1, 1722, but was captured and executed, and a monument erected where his house had stood. Although he is often described as half-Javanese, or half-Dutch, Pieter Erberveld was the son a German (Westphalian) father, a tanner of hides, and Siamese Christian mother. He was born around 1660 in the Siamese kingdom of Ayuthya. When his father moved the family to Batavia, he had them all baptized in November 1671. Erberveld was among the more wealthy residents of Batavia, although he was not a VOC employee. In the early 18th century, he had a dispute with the VOC authorities about his inheritance, which may have played a role in later events. In 1721, he was accused of plotting a rebellion with thousands of Javanese, with the goal of establishing an Islamic state, but was arrested at his residence with a small number of people, tortured, and quartered. The monument which was erected on the site of his residence featured a concrete or plaster skull on a spike (which was rumored to be real), and carried a plaque stating that no one should ever build or plant on this site again. This monument remained in its original location on the Jacatraweg until the Japanese demolished it in early 1942, as one of their efforts to rid Indonesia of the Dutch and the colonial atmosphere, but even Japanese visitors had been regularly taken to visit the monument in prewar years. After the war, the monument was rebuilt, before being moved again to the Taman Prasasti Museum in Tanah Abang. Pieter Erberveld was locally relatively well known, and is sometimes referred to as Pangeran Pecah Kulit (broken skin prince) either because of the means of his death (drawing and quartering) or more likely from the local area's nickname, derived from the presence of a tannery in the area. Numerous stories about Erberveld have circulated in Indonesian society since at least 1888, including a novel published in 1924 by Tio Ie Soei and one version of the story about his was made into a TV drama in the 1980s. The spelling of Pieter Erberveld varies in different sources, including Pieter Erbervelt and Pieter Elberveld. (en)
- Pieter Erberveld (juga Pieter Erberfeld atau Peter Elberfeld, lahir Ceylon, tidak diketahui - meninggal Batavia, 12 April 1722) adalah seorang tokoh yang tercatat pernah dihukum mati oleh VOC pada tahun 1721 karena dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC. Elberfeld adalah orang Indo Jerman-Siam namun kemudian bekerja di Batavia. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal (NRW), Jerman. Ayahnya datang ke Batavia sebagai penyamak kulit. Setelah ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya. Menurut versi VOC, Elberfeld bersekongkol dengan beberapa pejabat Banten di Batavia untuk membunuhi orang Belanda pada suatu perayaan pesta. VOC juga menuduh ia bersekongkol dengan keturunan Surapati di Jawa bagian timur. Tidak diketahui motivasi Elberfeld sesungguhnya, apakah ia memang ingin membantu orang Banten (dipimpin ) menguasai kembali Batavia, atau ia memiliki rencana sendiri, apabila Belanda enyah dari sana, karena ia sakit hati atas perlakuan Gubernur Jenderal Johan van Hoorn yang telah menyita tanahnya. Rencana pembunuhan ini bocor karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten-lah yang membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Elberfeld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya. Godee Molsbergen, yang menulis tentang peristiwa itu, melihat banyak kejanggalan pada tuduhan yang dialamatkan VOC terhadap Elberfeld. Ia dihukum mati bersama dengan Kartadriya dan 17 orang penduduk asli lainnya di halaman selatan Benteng Batavia, bukan di halaman Balai Kota. Pelaksanaan hukuman mati itu digambarkan sangat sadis, dilakukan dengan menarik kedua tangan dan kaki, masing-masing diikat pada seekor kuda. Akibatnya, tubuhnya terpotong. Hal ini dilakukan VOC untuk memberikan efek jera kepada penduduk agar tidak lagi mencoba-coba melakukan perlawanan pada mereka. Tubuh Elberfeld dimakamkan di suatu sudut di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta sekarang dan di sana kemudian didirikan suatu tugu peringatan. Di tugu itu dipajang tengkorak Elberfeld yang ditusuk tombak dan di bawahnya terdapat prasasti. Saat kedatangan Jepang 1942, tugu itu dihancurkan namun prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya kemudian didirikan kembali. Sejak tahun 1985 tugu itu kemudian dipindahkan ke Museum Prasasti Jakarta karena tempat tugu itu berdiri dijadikan ruang pamer mobil. Kampung tempat makam ini sekarang dinamakan Kampung Pecah Kulit, konon karena kulit Elberfeld terkelupas akibat hukuman itu. (in)
- Pieter Erberveld (ook wel Pieter Erbervelt, Pieter Elberfeld of Peter Elberfeld, later ook aangeduid als Pangeran Pecah Kulit) (gedoopt te Batavia, 9 januari 1676 - gestorven aldaar, 12 april 1722) was een welvarend Indo-Europese inwoner van Nederlands-Indië, in de hoofdstad Batavia, het latere Jakarta, die in 1722 terechtgesteld is. Zijn vader was een leerlooier uit Duitsland, zijn moeder was een christelijke vrouw uit Thailand. In december 1721 werd Erberveld gearresteerd omdat hij leider zou zijn geweest van een samenzwering tegen de Vereenigde Oostindische Compagnie, de machthebbers in Nederlands-Indië. Het zou de bedoeling zijn geweest om op 31 december 1721 alle blanken in Batavia te vermoorden. Op 12 april 1722 werden hij en anderen hiervoor op wrede wijze geëxecuteerd. Zijn huis bij de Jacatraweg (tegenwoordig Jalan Jakarta) werd verwoest en aan de straatzijde werd een muur gemaakt met een gedenksteen met tekst in het Nederlands en in het Javaans met daarboven een doodskop, als een waarschuwing om niet in opstand te komen. In 1942 is deze muur door de Japanse bezetters gesloopt. Na de oorlog werd het monument herbouwd en naderhand verplaatst naar het Taman Prasasti Museum in Tanah Abang. De schrijver Eddy du Perron maakt melding van het monument in zijn autobiografie Het land van herkomst (1935): In de oude stad had Po Hin een ander huis, dat nauwelijks minder somber was, en dit stond niet ver van het muurtje waarop de Compagnie de kop van de verrader Pieter Erberveld had geplant: de doodskop, met een lanspunt er door en een schand-inscriptie er onder, was in de loop der eeuwen tot een integraal cementen kop bijgepleisterd; toch droeg de aanwezigheid ervan niet bij tot de beminnelijkheid van het stadsdeel. (nl)
|
rdfs:comment
|
- Pieter Erberveld (ca. 1660 – April 14, 1722) was a Eurasian resident of Batavia, Dutch East Indies (now Jakarta), the headquarters of the VOC in Asia, during the 17th and early 18th centuries who was accused of plotting a rebellion with Javanese for January 1, 1722, but was captured and executed, and a monument erected where his house had stood. The spelling of Pieter Erberveld varies in different sources, including Pieter Erbervelt and Pieter Elberveld. (en)
- Pieter Erberveld (juga Pieter Erberfeld atau Peter Elberfeld, lahir Ceylon, tidak diketahui - meninggal Batavia, 12 April 1722) adalah seorang tokoh yang tercatat pernah dihukum mati oleh VOC pada tahun 1721 karena dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan VOC. Rencana pembunuhan ini bocor karena ada budak yang melapor ke VOC. Versi lain mengatakan, kalau Sultan Banten-lah yang membocorkan karena ia khawatir akan pengaruh Elberfeld dan Kartadriya yang akan merongrong kekuasaannya. (in)
- Pieter Erberveld (ook wel Pieter Erbervelt, Pieter Elberfeld of Peter Elberfeld, later ook aangeduid als Pangeran Pecah Kulit) (gedoopt te Batavia, 9 januari 1676 - gestorven aldaar, 12 april 1722) was een welvarend Indo-Europese inwoner van Nederlands-Indië, in de hoofdstad Batavia, het latere Jakarta, die in 1722 terechtgesteld is. Zijn vader was een leerlooier uit Duitsland, zijn moeder was een christelijke vrouw uit Thailand. De schrijver Eddy du Perron maakt melding van het monument in zijn autobiografie Het land van herkomst (1935): (nl)
|