Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 0 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>" - DEFAULTSORT dengan huruf kecil) |
||
Baris 3:
== Istilah dan Definisi ==
[[
Istilah ''Filsafat Indonesia'' berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh [[M. Nasroen]], seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di [[Universitas Indonesia]], yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti [[Sunoto]], [[R. Parmono]], [[Jakob Sumardjo]], dan [[Ferry Hidayat]]. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas [[Filsafat]] di [[Universitas Gajah Mada]] (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama ''Jurusan Filsafat Indonesia''.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari ''mupakat'', ''pantun-pantun'', ''Pancasila'', ''hukum adat'', ''gotong-royong'', dan ''kekeluargaan''.<ref>{{Cite book|title=Falsafah Indoensia|last=Nasroen|first=M.|date=1967|publisher=Penerbit Bulan Bintang|isbn=|location=Jakarta|pages=14, 24, 25, 33, 38|url-status=live}}</ref>
== Mazhab Pemikiran ==
Baris 31:
=== Mazhab Tiongkok ===
Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migran-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan [[Taoisme]] dan [[Konfusianisme]] kepada mereka.<ref>{{Cite book|title=IPS Sejarah|last=Larope|first=J.|date=1986|publisher=Penerbit Palapa|isbn=|location=Surabaya|pages=4|url-status=live}}</ref>
Mazhab Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. [[Sun Yat-senisme]], [[Maoisme]], dan [[Neo-maoisme]] merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI).<ref>{{Cite book|title=Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien|last=Suryadinata|first=Leo|date=1990|publisher=LP3ES|isbn=|location=Jakarta|pages=15|url-status=live}}</ref>
Filsuf-filsuf utama dari mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: [[Tjoe Bou San]], [[Kwee Hing Tjiat]], [[Liem Koen Hian]], [[Kwee Kek Beng]], dan [[Tan Ling Djie]].
Baris 45:
=== Mazhab Islam ===
10-abad proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan [[Sufisme]] Persia, dan Sufisme mulai mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya. Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya [[kerajaan]]-kerajaan dan [[kesultanan]]-kesultanan Islam yang masif di Indonesia.<ref name=":0">{{Cite book|title=Islamic Spirituality II: Manifestations|last=Nasr|first=Syed Hossein|date=1991|publisher=Crossroad|isbn=|location=New York|pages=262, 282-287|url-status=live}}</ref>
Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok: [[Ghazalisme]] dan [[Ibn Arabisme]]. Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran [[Al-Ghazali]], sedangkan Ibn Arabisme dari doktrin-doktrin [[Ibn Arabi]]. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti [[Nuruddin Al-Raniri]], [[Abdurrauf Al-Singkeli]], [[Abd al-Shamad Al-Palimbangi]], dan [[Syekh Yusuf Makassar]], sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah [[Hamzah Al-Fansuri]], [[Al-Sumatrani]], [[Syekh Siti Jenar]], dan lain-lain.<ref name=":0" />
[[Wahhabisme]]-Arab juga pernah diadopsi oleh Raja [[Pakubuwana IV]] dan [[Tuanku Imam Bonjol]], yang misi utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran Quranik.<ref>{{Cite book|title=Perkembangan Kebatinan di Indonesia|first=Hamka|date=1971|publisher=Penerbit Bulan Bintang|location=Jakarta|pages=62-64|url-status=live}}</ref>
Di saat [[Modernisme Islamik]], yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan [[filsafat Pencerahan]] Barat, dimulai oleh [[Muhammad Abduh]] dan [[Jamaluddin Al-Afghani]] di Mesir tahun 1800-an, maka [[muslim]]-muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini tampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh [[Syaikh Ahmad Khatib]], [[Syaikh Thaher Djalaluddin]], [[Haji Abdul Karim Amrullah]], [[Kyai Ahmad Dahlan]], [[Mohammad Natsir]], [[Oemar Said Tjokroaminoto]], [[Haji Agus Salim]], [[Haji Misbach]], dan lain-lain.<ref>{{Cite book|title=Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942|last=Noor|first=Deliar|date=1996|publisher=LP3ES|location=Jakarta|url-status=live}}</ref>
=== Mazhab Barat ===
Baris 59:
Filsafat Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan [[republik]] Indonesia, [[konstitusi]]nya serta distribusi kekuasaan (''distribution of power''), [[partai politik]] dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan [[ideologi]]nya ``[[Pancasila]]’’ (Yang telah diciptakan oleh [[Soekarno]] atau yang kemudian disalahgunakan oleh [[Soeharto]]), terinspirasi dari ideal-ideal Barat tentang [[humanisme]], [[demokrasi-sosial]], dan [[sosialisme nasional]] Nazi Jerman, seperti yang tampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.
Sangat menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan konkret. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi [[demokrasi]] Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut ''Demokrasi Terpimpin''.<ref>{{Cite book|title=Di Bawah Bendera Revolusi|first=Soekarno|date=1963|publisher=Panitya Penerbitan|location=Jakarta|pages=376|url-status=live}}</ref>
=== Mazhab Kristiani ===
Bersama-sama dengan pencarian [[kapitalis]] Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran [[Kristen]] mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15.<ref name=":1">{{Cite book|title=Indonesia: Land Under the Rainbow|last=Lubis|first=Mochtar|date=1990|publisher=Oxford University Press|isbn=|location=Singapore City|pages=78, 85, 99|url-status=live}}</ref>
Sekolah-sekolah Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkan [[teologi]] di dalamnya, tapi juga [[Filsafat Kristen]] (''Christian Philosophy''). Satu sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas swasta Katolik dan [[Protestan]] yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel ''Master'' dalam bidang filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristen Indonesia.<ref>{{Cite book|title=Philosophers in Indonesia: Southeast Asian Monograph Series No.12|last=Hiorth|first=Finngeir|date=1983|publisher=James Cook University of North Queensland|isbn=0-86443-083-3|location=Townsville|pages=4|url-status=live}}</ref>
Di Indonesia timur, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Filsafat sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan di wilayah tersebut. Di wilayah ini filsafat berkembang setelah masuknya misionaris eropa SVD di wilayah itu dan mendirikan salah satu sekolah Tinggi filsafat di Maumere flores, NTT. Sekolah Tinggi itu adalah [[Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero]] / STFK Ledalero. Di sekolah ini keilmuan dalam bidang filsafat dikembangkan dengan berbagai pendekatan sosial. Dari sekolah ini banyak terlahir pemikir dan pengajar serta relawan kemanusiaan yang tersebar di hampir 300 negara di dunia. Di sekolah ini terdapat berbagai grup diskusi filsafat yang kemudian memberikan warna tersendiri bagi khasanah filsafat sebagai ilmu. Beberapa nama yang menjadi pelopor perkembangan filsafat di Ledalero adalah Fritz Braun, Joseph Pianezek, Leo Kleden, [[Paulus Budi Kleden]], Kondrad Kebung dan Lain sebagainya.
Baris 71:
=== Mazhab Pasca''Soeharto'' ===
Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah [[Filsafat Politik]], yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai ''Peristiwa ITB Bandung 1973'' dan ''Peristiwa Malari 1974''. Sejak praktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktikkan dalam [[utopia]]; [[praksis]] dan [[inteleksi]] dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya [[penalaran]] yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. [[Pancasila]] menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945).<ref>{{Cite book|title=Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia|last=Hidayat|first=Ferry|date=1971|publisher=|isbn=|location=|pages=62-64|url-status=live}}</ref>
Dalam ‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di antaranya seperti: [[Sri-Bintang Pamungkas]], [[Budiman Sudjatmiko]], [[Muchtar Pakpahan]], [[Sri-Edi Swasono]], dan [[Pius Lustrilanang]].
|