Golongan putih
Bagian dari seri Politik |
Pemungutan suara |
---|
Portal Politik |
Golongan putih (disingkat golput) adalah istilah politik ketika seorang peserta dalam proses pemungutan suara tidak memberikan suara atau tidak memilih satupun calon pemimpin, atau bisa juga peserta yang datang ke bilik suara tetapi tidak ikut memberikan suara hingga prosesi pemungutan suara berakhir.[1] Kemunculannya berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama pada era Orde Baru. Pesertanya adalah 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Tokoh yang terkenal dalam memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih pada kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu, jarang ada yang berani untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.[2] Istilah lain dari golongan putih adalah "suara putih", "suara rusak", "suara protes", dan "suara kosong".
Sejarah
suntingGolongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama pada era Orde Baru dilaksanakan. Arief Budiman sebagai salah seorang eksponen golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Menurut kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI. Kebanyakan tokoh pencetus Golput adalah “Angkatan ‘66”, walaupun sebagian tokoh “Angkatan ‘66” diakomodasi Orba dalam sistem. Mereka ada yang menjadi anggota DPR-GR bahkan menteri. Namun, ada pula yang tetap kritis melawan rezim baru yang dianggap mengingkari janji itu. Pencetusan gerakan itu disambung dengan penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan ikut serta dalam pemilu. Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih, kampanye tersebut langsung mendapat respon dari aparat penguasa.[2]
Konteks
suntingPangkopkamtibda Djakarta menyatakan Golput sebagai organisasi terlarang dan pamflet tanda gambar golput mesti dibersihkan. Sejumlah diskusi yang digelar anasir golput juga dilarang oleh Komando Keamanan Langsung (Kokamsung) Komda Metro Jaya. Kokamsung sempat pula memanggil para eksponen Golput, yaitu Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan. Larangan serupa juga dilakukan di Jawa Tengah. Bahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik menyebut golput sebagai golongan setan. Menyambut minggu tenang, Golput sebagai gerakan moral membuat memorandum berisi seruan agar masyarakat menggunakan haknya dengan keyakinan. Siapa pun dipersilakan memilih atau tidak memilih. Memorandum berbunyi, "kalau ada jang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar kejakinan itu pula".[2]
Jenis
suntingAdapun jenis-jenis Golput yang ada di Indonesia menurut Nyarwi Ahmad sebagai berikut: [2][3]
Golput Teknis
suntingGolput Teknis adalah mereka yang gagal menyalurkan hak pilihnya, contohnya tidak bisa datang ke tempat pencoblosan (TPS) karena suatu alasan, seperti di luar domisili,[4] keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah, atau namanya tidak terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) akibat kesalahan penyelenggara Pemilu.
Golput Pemilih Hantu
suntingPemilih hantu atau ghost voter mengacu pada nama-nama yang ada dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetapi setelah dicek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai pemilih karena berbagai alasan. Misalkan saja, nama yang terdaftar di DPT ternyata sudah meninggal, atau nama pemilih ternyata terdaftar ganda dan sudah mencoblos di tempat lain.
Golput Ideologis
suntingGolput Ideologis adalah mereka yang tidak mencoblos karena tidak percaya pada sistem ketatanegaraan yang tengah berlaku. Kelompok Golput Ideologis ini menganggap negara sebagai korporat yang dikuasai sejumlah elit dan tidak memegang kedaulatan rakyat secara mutlak. Golput Ideologis juga digambarkan sebagai bagian dari gerakan anti-state yang menolak kekuasaan negara.
Golput Pragmatis
suntingGolput Pragmatis adalah mereka yang tidak ikut mencoblos karena menganggap Pemilu tidak memberi keuntungan langsung bagi pemilih. Golput jenis ini menilai bahwa mencoblos ataupun tidak mencoblos, diri mereka tidak akan merasakan pengaruh ataupun perubahan apa-apa. Golput jenis ini memandang proses politik seperti Pemilu secara setengah-setengah, percaya sekaligus tidak percaya, tren golput ini meningkat salah satu faktornya karena pemilu berdekatan dengan libur panjang.[5]
Golput Politis
suntingGolput Politis adalah orang-orang yang percaya pada negara dan Pemilu. Hanya saja, kelompok ini tidak mau mencoblos karena merasa kandidat-kandidat dalam Pemilu tidak mampu mewadahi kepentingan serta preferensi politik mereka.
Statistik
suntingSejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah,golput pada pemilu 1955 sebesar. Golput pada Pilpres 2004 putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat . Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar . Angka-angka golput ini cukup tinggi.[2]
Pemilu Legislatif | Persentase golput (sumber: Tirto)[6] | Persentase golput (sumber: Data Jurnal[2]) |
---|---|---|
1955 | 8.60% | 12,34% |
1971 | 3.40% | 6,67% |
1977 | 3.50% | 8,40% |
1982 | 3.50% | 9,61% |
1987 | 3.60% | 8,39% |
1992 | 4.90% | 9,05% |
1997 | 6.40% | 10,07% |
1999 | 7.30% | 10.40% |
2004 | 15.90% | 23,34% |
2009 | 29.10% | 29% |
2014 | 24.89% | data tidak tersedia |
Pemilu presiden dan wakil presiden | Persentase golput [6][2] | |
---|---|---|
2004 | Putaran I | 21.80% |
Putaran II | 23.40% | |
2009 | 28.30% | |
2014 | 29.01% | |
2019 | 18,03% [catatan 1] |
Dasar hukum
suntingKlausul yang dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah "hak" bukan "kewajiban". Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamendemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas". Artinya bebas digunakan atau tidak.[butuh rujukan]
Catatan
sunting- ^ Pada Pemilu 2019, pemilihan legislatif dan eksekutif dilaksanakan serentak.
Referensi
sunting- ^ "Frequently Asked Questions about RONR (Pertanyaan ke-6)". Official Robert's Rules of Order Website (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-01-24.
- ^ a b c d e f g Ahmad, Nyarwi (Maret 2009), Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif, hlm. 281–305, diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-19, diakses tanggal 2019-04-11
- ^ Adi Ahdiat (06 Feb 2019), Ketahui 5 Jenis Golput dalam Pemilu, diakses tanggal 11 April 2019
- ^ "Warga Palembang Gagal Memilih: Mulai TPS Cepat Tutup, hingga Masalah Domisili". gatra.com. Diakses tanggal 2024-02-14.
- ^ CNN Indonesia (4 Februari 2019), Waspada Libur Panjang Buat Angka Golput Pemilu 2019 Meningkat, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-07, diakses tanggal 11 April 2019
- ^ a b Desi Purnamasari (28 Agustus 2018). "Gelombang Golput yang Tak Pernah Surut". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-12. Diakses tanggal 11 April 2019.