Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Candi Singasari

bangunan kuil di Indonesia
(Dialihkan dari Candi Singhasari)

7°53′16″S 112°39′50″E / 7.8878732°S 112.6638588°E / -7.8878732; 112.6638588

Candi Singasari
ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦱꦶꦔꦱꦫꦶ
Candi Singosari
Peta
Informasi umum
Gaya arsitekturCandi Jawa Timuran
LokasiKelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur
KotaKabupaten Malang
Negara Indonesia
RampungKira-kira abad ke-14
Desain dan konstruksi
ArsitekSinghasari & Majapahit
Arca Resi Agastya.
Bentuk dan denah candi

Candi Singosari atau Candi Singasari merupakan candi Hindu-Buddha peninggalan bersejarah dari Kerajaan Singasari yang berlokasi di Kelurahan Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia, sekitar 10 km dari Kota Malang. Candi ini merupakan tempat pendharmaan bagi raja Singhasari terakhir, yaitu Kertanegara, yang meninggal pada tahun 1292 M. Candi ini berada di lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuno pada ketinggian 512m di atas permukaan laut.

Cara pembuatan Candi Singasari ini menggunakan sistem menumpuk batu andesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah.

Penemuan

sunting

Candi Singasari ditemukan oleh Nicolaus Engelhard—seorang berkebangsaan Belanda yang menjabat Gubernur Pantai Timur Laut Jawa sejak 1801—pada 1803.[1][2] Sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang berkedudukan di Semarang, Engelhard bertemu dengan pimpinan keraton Surakarta dan Yogyakarta sekaligus mengunjungi Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Candi Sari pada 1802. Ia lalu melakukan darat ke daerah Malang, Jawa Timur di mana ia menemukan reruntuhan bangunan yang dikenal sebagai Candi Singasari. Engelhard adalah orang Eropa pertama yang mengemukakan beberapa perbedaan pada candi-candi yang dibangun di Jawa Tengah dan Jawa Timur.[2]

Atas perintah Engelhard, arca-arca di Candi Singasari mulai dipindahkan pada 1804 dan diangkut ke Belanda pada 1819, ditujukan untuk raja Belanda atau museum.[1][2] Sebagian arca menjadi koleksi museum-museum di Leiden, Belanda. Sebagian lagi dipindahkan ke tempat tinggal Engelhard di Semarang sebagai koleksi pribadi.[2]

Ketika Hindia Belanda dikuasai Inggris (1811-1816), Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengunjungi candi ini pada 1815. Raflles juga menyebutkan kunjungannya ke Malang dan hubungannya dengan Engelhard di bukunya The History of Java (1817).[2] Candi ini disebut berada di tengah hutan jati yang baru dibabat pada tahun 1820.[3]

Pembangunan candi

sunting

Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 M yang terletak di halaman kompleks candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istananya diserang tentara Gelanggelang yang dipimpin Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.[4]

Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, tetapi para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M. Berdasarkan penelitian J.L.A Brandes, H.L. Leydie Melville, dan J. Kneebel yang menerbitkan buku pada tahun 1909, candi ini dibangun atas keputusan Dewan Pertimbangan Agung (Battara Sapta Prabu) dan perintah Tribhuwana Wijayatunggadewi pada Mahapatih Gajah Mada. Pendirian candi untuk memperingati wafatnya Kertanegara dan mahabrahmana, kepala agama Siwa-Buddha, dari Kerajaan Singasari pada 1292. Pembangunan candi diserahkan kepada Patih Jinordhana. Dapat disimpulkan bahwa Candi Singasari merupakan candi peninggalan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi.[1]

Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi untuk menghormati Siwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Siwa di halaman candi. Candi ini dibangun dengan memadukan unsur agama Hindu (khususnya Siwa) dan Buddha yang berkembang pada masa kerajaan Singasari dan Majapahit.[5]

Struktur dan kegunaan

sunting

Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Candi yang juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara ini menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di sekelilingnya. Namun, sekarang di kompleks ini hanya Candi Singasari yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya tidak diketahui bekasnya.[4]

Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman. Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi yang saat ini tersisa 14,1 m.[1] Tubuh candi berdiri di atas batur kaki setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak diapit oleh pipi tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-candi lain. Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan, terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala atau Kirti Murka. Pahatan ini dipercaya mengusir roh jahat yang dapat membawa bencana. Sedangkan sebagian besar relief yang terukir pada Candi Singasari berbentuk bunga dan binatang. salah satunya adalah relief singa yang salik bertolak pandang.[5] Adanya beberapa pahatan dan relief yang sangat sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari belum sepenuhnya terselesaikan.[4]

Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga tanpa bingkai dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain tubuh Candi Singasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan bilik penampil dan di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang sederhana. Di tengah ruangan utama terdapat yoni yang sudah rusak bagian atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat pahatan apapun.

Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah bersusun dua karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi, menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya relung-relung tersebut semula berisi arca, tetapi saat ini keempatnya dalam keadaan kosong. Di atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh.

Di bagian dalam Candi Singasari terdapat sebuah ruangan yang digunakan untuk menempatkan sebuah arca Lingga dan Yoni. Sedangkan pada tiap sisinya terdapat arca Ganesa di sebelah timur, arca Agastya di sisi selatan, dan arca Durga di sisi sebelah utara. Namun, yang tersisa hanya arca Agastya, sedangkan yang lain sudah tidak ada.

Di dekat Candi Singasari ada lapangan yang dikenal sebagai "alun-alun" yang terdapat sepasang penjaga pintu (Dwarapala) besar.[3]

Arca-arca

sunting
 
Salah satu dari sepasang arca dwarapala Singosari.

Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4 m, disebut Dwarapala) dengan posisi gada menghadap ke bawah. Hal ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua makhluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Posisi arca ini hanya ada di Singasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Di dekat arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di kompleks pusat kerajaan.

Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, kedua arca Dwarapala itu awalnya menghadap ke timur, ke arah Candi Singasari. Namun, arca di sisi selatan saat ini menghadap ke arah timur laut karena pergeseran saat pengangkatan dari dalam tanah. Hingga akhir 1980an, arca di sebelah selatan masih tenggelam hingga sebatas dada. Di belakang arca ini terdapat reruntuhan bangunan yang tampak seperti tembok. Kedua arca ini diduga berfungsi sebagai penjaga gerbang masuk istana Kerajaan Singasari yang terletak di sebelah barat (membelakangi) patung tersebut.[4]

Letak candi Singasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, gerbang Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau Gaurī). Penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan Gunung Arjuno dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu karena letak candi Singasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang berada pada jalan menuju Gunung Arjuno.

Di dalam ruang utama candi terdapat sepasang arca lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara dulu berisi arca Durga yang sudah hilang, di timur dulu berisi arca Ganesha, dan di selatan berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Tropenmuseum, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.

Pemugaran dan usaha konservasi

sunting

Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 . Restorasi dan pemugaran Candi Singasari dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai dalam keadaan berantakan pada tahun 1936. Namun, pemugaran ini tampaknya belum selesai karena di sekeliling halaman candi terdapat tumpukan batu yang belum dikembalikan ke posisi semula.[4]

Candi Singasari ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional melalui SK Menteri Pendidikan & Kebudayaan bertanggal 21 Juli 1998.[1]

Galeri

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e "Candi Singosari - Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-02-26. 
  2. ^ a b c d e Jordaan, Roy (2016). "Nicolaus Engelhard and Thomas Stamford Raffles: Brethren in Javanese Antiquities". Indonesia (101): 39–66. doi:10.5728/indonesia.101.0039. ISSN 0019-7289. 
  3. ^ a b Sedyawati, Edi, 1938-. Candi Indonesia. Latief, Feri,, Indonesia. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, (edisi ke-Cetakan pertama). [Jakarta]. ISBN 9786021766934. OCLC 886882212. 
  4. ^ a b c d e Perpustakaan Nasional RI. "Candi Singasari". Diakses tanggal 26-02-2022. 
  5. ^ a b "Candi Singosari, Candi Penghormatan Untuk Sang Raja". Indonesia Kaya. Diakses tanggal 2022-02-26. 

Pranala luar

sunting