Bahasa Proto-Melayik
Bahasa Proto-Melayik adalah bahasa proto yang direka ulang untuk bahasa-bahasa Melayik, yaitu bahasa-bahasa yang kini tersebar luas di Asia Tenggara Lautan. Seperti kebanyakan bahasa proto lainnya, bahasa Proto-Melayik tidak mempunyai bukti tertulis apa pun. Bahasa ini secara ekstensif dikaji di sebuah makalah yang berjudul Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology, yang dilakukan oleh K. Alexander Adelaar di tahun 1992.
Proto-Melayik | |
---|---|
Reka ulang dari | Bahasa-bahasa Melayik |
Wilayah | Lihat #Urheimat |
Leluhur reka ulang | |
Urheimat
suntingMenurut kajian H. Kern di tahun 1917 yang berjudul Taalkundige gegevens ter bepaling van het stamland der Maleisch-Polynesische volkeren, Urheimat atau wilayah asal penutur bahasa Proto-Melayik diusulkan untuk berada di Semenanjung Malaya, yang didasarkan pada kata berbahasa Melayu selatan, diturunkan dari kata selat "selat: laut di antara pulau-pulau". Makalah lain yang berjudul Kerinci sound-changes and phonotactics oleh D. J. Prentice di 1978, percaya bahwa inti dari bahasa Melayu berada di kedua sisi Selat Melaka, walau di makalah itu tidak menyertakan bahasa-bahasa Melayik Dayak.
Namun, kini banyak linguis, termasuk Adelaar, menolak usulan Kern dan menyatakan bahwa penutur bahasa Proto-Melayik berurheimat di Borneo, sebab bahasa-bahasa yang ada di sana mempunyai pengaruh Sanskrit atau Arab yang sedikit.[1]
Fonologi
suntingBahasa Proto-Melayik mempunyai 19 konsonan dan 4 vokal. Konsonan lelangit (kecuali *y) dan letupan bersuara (*b, *d, *j, *ɡ) tidak dapat mengakhiri suatu kata, dan juga bahasa ini hanya membolehkan rangkaian konsonan yang berupa sengau-letupan yang homorganik (keduanya berada di letak pengucapan yang sama) serta rangkaian konsonan *ŋs. Adelaar mencantumkan bunyi *t sebagai konsonan gigi, bukan rongga-gigi.[2] Hentian celah suara *ʔ, yang mana hanya terjadi di akhir kata, adalah konsonan yang paling baik dijaga dalam bahasa Iban, walau tidak ditunjukkan lasngsung dalam penulisan (Bahasa Iban pakuʔ, Bahasa Melayu paku ← *pakuʔ).[3]
Bibir (Dwibibir) | Rongga gigi | Lelangit | Lelangit belakang | Celah suara | ||
---|---|---|---|---|---|---|
Letupan | Nirsuara | *p | *t | *c | *k | *ʔ |
Bersuara | *b | *d | *j | *ɡ | ||
Sengauan | *m | *n | *ɲ | *ŋ | ||
Geseran | *s | *h | ||||
Likuida (Hampiran sisi dan Getaran) | *l | *r | ||||
Hampiran | *w | *y |
Ketinggian | Depan | Madya | Belakang | ||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Tertutup | *i | *u | |||||
Tengah | *ə | ||||||
Terbuka | *a |
Menurut Adelaar, bahasa ini hanya mempunyai 2 diftong: *-ay, dan *-aw. Namun, Anderbeck di 2012 mengajukan diftong lain, yaitu *-uy, yang mana hanya dipertahankan dalam bahasa Duano, dan digabung dengan -i di bahasa-bahasa Melayik lainnya.
Struktur kata
suntingLeksem bahasa Proto-Melayik kebanyakan bersuku kata dua, dengan yang lainnya bersuku kata satu, tiga, hingga empat. Leksem-leksemnya mempunyai stuktur suku kata seperti berikut:[2]
* [C V (N)] [C V (N)] [C V (N)] C V C
- Catatan: C = konsonan, V = vokal, N = sengauan
Perubahan fonologis
suntingTerhadap Proto-Melayik
suntingBerikut adalah perubahan fonologis dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia ke Proto-Melayik.[4]
- *-əy, *-iw, > *-i; *-əw > *-u. Diftong *-uy dalam bahasa Proto-Melayik masih dipertahankan dalam bahasa Duano (məloŋoy < *mA-laŋuy "berenang").[5]
- *z > *j (pengucapannya mirip, tapi penulisannya diubah), *-D-, *-j- > *-d-.
- Penirsuaraan konsonan hentian akhir untuk *-b, *-d, dan *-g ke *-p, *-t, *-k, kecuali untuk *-D > *-r.
- *-ə- sebelum *-h > *-a-, contoh *tanəq > *tanəh > *tanah "tanah".
- *w- > *∅-, contoh *wahiR > *air "air".
- *q > *h, contoh *puluq > *puluh "puluh".
- *h > *∅, contoh *haŋin > *aŋin "angin".
- *R > *r.
- C¹C² (dengan konsonan pertamanya bukan sengauan) menjadi C² di perulangan (imbuhan-imbuhan lolos dari perubahan bunyi ini).
- C¹C² (dengan konsonan pertamanya sengauan heterorganis, yaitu tidak seletak dengan konsonan berikutnya) diubah menjadi homorganis (seletak), contoh *DəmDəm > *dəndəm "dendam".
- Vokal pepet *ə menyebabkan sisipan sengauan sebelum letupan (apalagi letupan nirsuara), contoh *həpat > *əmpat "empat", dan *qəti > *hənti "henti".
Pasca proto-Malayik
sunting- Vokal pepet *ə di akhir suku kata yang tertutup masih dipertahankan dalam bahasa Proto-Melayik (contoh *daləm "dalam"), tetapi hanya terus dijaga dalam bahasa Betawi (termasuk bahasa Indonesia gaul), Melayu Bangka dan bahasa Palembang (khususnya ragam Palembang Lama).[6][7] Di bahasa Melayik lainnya, ia digabung dengan vokal *a di letak tersebut (> *dalam).
- Sisa-sisa vokal *ə di bahasa Banjar dan Minangkabau umumnya digabung dengan vokal a [8]
- Struktur bunyi *-aba- hanya dipertahankan dalam bahasa Iban, dan diubah menjadi *-awa- di bahasa Melayik lainnya (*laban > *lawan "lawan").[9]
- Vokal *a di akhir kata kebanyakan masih dipertahankan di bahasa-bahasa Melayik di Borneo (terkecuali bagian baratnya), tetapi di Sumatra atau Semenanjung Malaya, vokal tersebut bermutasi ke vokal lain, yaitu vokal /ə/, /o/, /e/, atau bahkan setinggi vokal /ɨ/ dan /u/. Hasilnya berbeda-beda di setiap dialek. Uri Tadmor menyatakan bahwa perubahan ini disebabkan oleh pengaruh bahasa Jawa.[10] Pengecualian jelas untuk perubahan ini adalah bahasa Haji di Sulawesi Selatan, yang masih mempertahankan vokal *a di letak tersebut.[11]
Rujukan
sunting- ^ Adelaar 1992, hlm. 206–207.
- ^ a b Adelaar 1992, hlm. 102.
- ^ Adelaar 1992, hlm. 63.
- ^ Adelaar 1992, hlm. 195.
- ^ Anderbeck, Karl (2012). "The Malayic speaking Orang Laut: Dialects and directions for research". Wacana: Journal of the Humanities of Indonesia. 14 (2): 265–312. Diakses tanggal 26 May 2019.
- ^ McDowell & Anderbeck 2020, hlm. 14–15.
- ^ Nothofer 1995, hlm. 88–89.
- ^ Adelaar 1992, hlm. 40.
- ^ Adelaar 1992, hlm. 75.
- ^ Tadmor, Uri (2003). "Final /a/ mutation: a borrowed areal feature in Western Austronesia" (PDF). Dalam Lynch, John. Issues in Austronesian historical phonology. Pacific Linguistics 550. Canberra: Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. hlm. 15–36.
- ^ Anderbeck, Karl (2007). "Haji: One language from twelve? A brief description of an interesting Malay dialect in South Sumatra". Reflections in Southeast Asian seas: Essays in honour of Professor James T. Collins: Book II. hlm. 51–91.
Daftar pustaka
sunting- Adelaar, K. Alexander (1992). Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Lexicon and Morphology. Pacific Linguistics, Series C, no. 119. Canberra: Dept. of Linguistics, Research School of Pacific Studies, the Australian National University. hdl:1885/145782 .
- Nothofer, Bernd (1995). "The History of Jakarta Malay". Oceanic Linguistics. 34 (1): 87–97. JSTOR 3623113.
- McDowell, Jonathan; Anderbeck, Karl (2020). "The Malay Lects of Southern Sumatra" (PDF). Journal of the Southeast Asian Linguistics Society Special Publication. 13 (5).