Actions

Work Header

Melestarikan Budaya lewat Kawin

Summary:

River, mahasiswa Antropologi yang sedang penelitian harus menahan napsu selama 2,5 bulan karena tuan rumahnya yang kelewat seksi.

Untung cuma 2,5 bulan sih...

Notes:

Hai guys(*´∀`)♪

Sedikit warning tentang fic ini, ada beberaoa bahasa jawannya, but it's okay karena langsung kutranslate dan kukasih referensinyaa\(_ _)

WARNING LAGI
akan menyinggung sedikit banyak tentang budaya Jawa, spesifikasi Yogyakarta, jadi buat temen-temen yang gak nyaman boleh skip ajaa

Enjoyyeyeye(^з^)-☆

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

Kota Perjuangan, Kota Pelajar, Kota, Budaya, Kota Wisata, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sudah terhitung 2,5 bulan semenjak River memulai penelitiannya di kota ini. Harusnya untuk menyelesaikan tugas akhirnya demi mendapatkan gelar Sarjana Sosial, tetapi rasanya dia cuma main-main di Jogja, kebanyakan senang. Sekarang pun sama, di tiga hari sisanya di Yogyakarta, pokoknya River mau senang-senang saja.

“Mas-”

Fuck!” River menyahut kaget, mendelik ke arah pintu kamarnya yang memperlihatkan kepala Gian yang senyum-senyum nakal. Habis, River kelepasan misuh¹, padahal ia harusnya menjadi pemuda beradab yang menjaga lisan di rumah orang.

¹Memaki

Giandra Yudhayana, anak lanang satu-satunya dari tuan rumah tempat singgah River selama di Jogja. Umurnya sepantaran River sebenarnya, tetapi panggil River pakai “Mas”. Katanya adabnya begitu di Jogja. Yah, tidak dapat dipungkiri juga kalau Gian itu medok sekali darah Jawanya. Lembut kalau omong, dengn yang lebih tua pakai Jawa Krama. Apalagi anak itu masih berdarah biru, jadi kalau urusan berbudaya Gian 100 banget.

“Mau ikut gak, Mas? Aku mau ndalang,” ajak Gian sambil bergerak sedikit sampai seluruh tubuhnya yang menjulang tinggi itu terlihat. Sudah siap ternyata, sudah rapi berbalut lurik dan jarik.

“Di mana?”

“Di plataran Kemagangan. Jalan kaki 10 menit dari rumah sampai.” River mengangguk, meminta lima menit untuk bersiap, meskipun hanya dapat tiga karena ternyata Gian sudah terburu-buru. Memang asem! Sudah kesusu baru mengajak pula. Tetapi sekali lagi, sisa tiga hari ini pokoknya River mau senang-senang.

River harus banyak-banyak bersyukur memang karena sudah diberi penak untuk tinggal di jantung Kota Jogja, dekat sekali dengan Keraton pula. Pemandangannya setiap hari tidak jauh-jauh dari Abdi Dalem atau Pawon Ageng yang mondar-mandir, sibuk dengan tugasnya. Bangsal Kemagangan, salah satu bangunan di plataran dengan nama yang sama, seringnya dipakai untuk mementaskan wayang kulit, seperti saat ini. Sekali lagi, Gian itu memang Jawa pol, bapaknya saja PNS yang sudah naik menjadi Abdi Dalem Keprajan jadi dari kecil sudah diajari untuk cinta budayanya.

Gian cerita ia sudah coba banyak seputar kebudayaan Jawa, sekarang yang kebetulan cocok itu jadi dalang, itu lho yang tugasnya memainkan wayang. Memang masih amatir, sih, tetapi kalau level amatir sudah bisa main di plataran sih… Sekalipun pakai pembimbing lho ya. River ambil posisi duduk lesehan di antara masyarakat sekitar yang memang datang untuk menonton. Sengaja River ambil posisi duduk di belakang kelir², supaya ia bisa lihat dengan lebih jelas bagaimana detail dari kulit yang susah-susah di pahat indah itu (dan melihat punggung seksi Gian ketika bermain).

²Layar putih untuk menangkap bayangan wayang

Hari ini membahas Mahabharata cerita waktu Pandawa diasingkan. Wayang Kulit Purwa memang begitu, yang selalu dimainkan di Keraton ya tentang Mahabharata atau Ramayana. Sudah begitu, diceritakan pakai bahasa Jawa pula, sekalipun ngoko³, River tidak paham.

³Tingkatan bahasa Jawa terendah. Dipakai untuk teman sebaya atau yang tua ke yang lebih muda

“Kamu keren hari ini,” puji River tulus begitu mereka sampai rumah. Gian kelabakan, habis bukan biasanya River memuji begitu.

“Terima kasih.” Kardus di tangan River diambil oleh Gian, sekarang mereka sedang beres-beres ubarampe⁴ pagelaran barusan, ditata di dalam gudang rumah, pada rak-rak tinggi yang isinya juga ubarampe macam-macam.

⁴Perlengkapan (wayang)

“Ini semua memang punya sini makanya kamu bawa pulang?” tanya River penasaran.

“Punya Pakdhe Agus sebenarnya, tapi karena rumah beliau jauh dan mau dipakai lagi dalam waktu dekat, jadi simpannya di sini dulu.” River hanya membulatkan bibir, tangannya ganti menahan tangga lipat yang Gian pakai untuk menjangkau tempat yang lebih tinggi. “Tadi aku lihat kamu diam aja, padahal aku ngelawaknya gak jayus, masih gak paham ngoko, ya?” tanya Gian tiba-tiba, memecah keheningan.

River merengut, tiga bulan di sini saja belum sudah disuruh fasih. Masalahnya, bahasa Jawa itu susah habis untuk dipelajari, banyak tingkatannya, kosa katanya juga susah kalau makin bertingkat. Ya… River bisa sih sedikit-sedikit, bagian misuh doang tetapi.

You are jayus.” Kan! Biasanya River tuh begini, makanya Gian heran tadi dipuji.

“Mas tahu Pandawa kan? Tadi itu ceritanya tentang Pandawa semasa pengasingan 12 tahun, kan’ kalah judi tuh sama Kurawa, terpaksa deh mereka mengasingkan diri,” jelas Gian yang pikir River berakhir sampai di situ, tetapi ternyata enggak. Gian bergeser ke rak sebelah, mengeluarkan satu kardus lain dari sana. Isinya hampir sama dengan kardus yang baru saja mereka taruh, bedanya ini jauh lebih antik. “Ini punya kakung, dikasih ke aku waktu umur 10, biar belajar ndalang. Yuk, bantu pasang!”

Kardus itu dibawa pakai satu tangan, sementara tangan yang lain terulur, ajak River ke pojok gudang yang memang dibuat lapang untuk kegiatan seperti mbatik, ndalang, atau sekedar leyeh-leyeh⁵.

Tiduran

“Tolong bantu pasang, Mas!” pinta Gian, mengeluarkan kelir dari dalam kardus.

River menurut, ambil satu sisi layar putih itu untuk diikat di ujung ruangan, kemudian menggantung blencong⁶ di tengah-tengah.

Lampu minyak

Gian ambil satu kardus lagi, isinya tiga wayang kulit yang jelas asing bagi River (di matanya semua sama). Pada dasarnya wayang kulit pakai kulit kerbau, jadi kalau dijaga baik-baik pasti awet. Yang ada di tangan Gian sekarang umurnya sudah 47 tahun, dijaga baik-baik oleh dari generasi ke generasi. Gian duduk di balik layar, juga tarik lengan River untuk bersila di sampingnya. “

Ini sebenarnya Ramayana, yang putih ini Anoman, terus ini Laksamana, dan yang merah itu Rahwana. Raden Rama sama Dewi Sinta juga ada, tetapi aku gak berani mainnya.”

“Kamu mau kasih aku private show wayang, no?” River mengernyit, bingung sebenarnya dengan Gian hari ini. Anak itu tersenyum tipis, kemudian mengangguk, buat River tersentak melihatnya. Kenapa baru sekarang sih?

“Aku bakal ceritain lagi kamu tonton, ya!” pinta Gian memelas, padahal dari remang-remang blencong pun terbayang raut memohon Gian yang sudah seperti anak anjing itu.

“Bro, dari pada kamu ceritain soal Mahabharata, mending kamu ceritain tentang materiku skripsi,” tantang River. Gian mengernyit, bibirnya sampai maju tiga senti.

Engkang sapisan, don’t ‘bro’ me! Engkang kaping kalih⁷, aku gak tau materimu skripsi.”

⁷"Yang pertama, jangan panggil bro, yang kedua...

Gasp! Tega, like it's the only thing I've done these past months!” River pura-pura menutup mulut, tatap Gian tidak kalah memelas.

Gian meringis, langsung buang muka sambil pukul pundak River pelan. Gemes! Muka Gian langsung mirip tomat, merah terang. “Mau dari Mataram Islam?” tawar Gian tanpa berani balik tatap River, pakai alibi mainin wayang yang tertancap di atas debog⁸.

Batang pohon pisang yang dipakai untuk menancapkan wayang

“Dari Giyanti,” putus River yakin. Gian mengangguk, River pikir karena setuju, tetapi adam itu malah bangun dari duduknya.

“Kalau gitu kita butuh ambil wayang lagi.” Yang Gian bawa kini jauh lebih familiar, mungkin juga dampak tokohnya begitu populer di media sosial, si tengah Pandawa, Janaka dan- “Dewi Srikandi.”

“Kenapa Dewi Srikandi?”

“Memang suka sih… Karena Janaka jadi berondong.”

River sontak melengos. “Is that the same reason you called me ‘Mas’?”

“Lah kamu ‘kan memang lebih tua,” Gian mengangkat bahunya, memberi alibi dari hal yang sangat personal itu. River menyeringai, dengan penuh penghakiman. Reaksi yang buat Gian merasa bersalah, inilah kenapa personal jangan diangkat ke eksistensi hubungan yang tidak ada.

Pada dasarnya hari ini memang sudah hampir habis, cahaya remang-remang dari blencong dk jadi satu-satunya penerangan setelah LED dimatikan oleh Gian. Dua anak lanang memang tidak semestinya menghabiskan hari di pojok gudang yang gulita, namun masa bodoh hari ini, hari ini saja.

Dari sisi lain kelir, Gian dapat melihat jelas lekuk bayangan River, duduk bersimpuh tenang sambil sekali-kali tangan lentiknya memainkan wayang dengan hati-hati. Hari ini Gian memang bodoh sekali, padahal ia memikul pengalaman 11 tahun, padahal ia tahu kalau semestinya bayangan dalang tidak terlihat di balik kelir. Tetapi River memang cantik sekali, bahkan siluetnya yang remang-remang pun ingin Gian cium sampai sesak napas. Membayangkan itu saja buat telinga Gian panas sendiri, dilihat sekilas pun orang bodoh pasti sadar kalau suasana saat ini amat intim. Pikiran kotor barusan buru-buru Gian tebas, habis sangat tidak beradab kalah ia berpikir saru pada orang yang jauh-jauh datang untuk belajar.

Gian menarik napas panjang, berusaha meyakinkan diri sendiri kalau ini professional, “Mas! Niki kula kepareng ngerekam mboten?” “Hah?!” balas River, menyalak sedikit. Gian terkekeh, gemas. “Aku rekam, ya?”

“Terserah.” Sebetulnya tugas akhir River tidak pergi jauh-jauh sampai masa perjanjian Giyanti pada tahun 1755, mungkin saja itu hanya alibi agar lama waktu yang tersisa tidak habis untuk mendekam dengan revisinya. Pada dasarnya Keraton Ngayogyakarta memang menyimpan sejarah panjang, dan River sedikit banyak menyalahkan kolonialisme. Karena sekalipun River mengambil antropologi, sejarah itu jauh dari favoritnya, lebih pilih tidur atau bolos saja sekalian.

Kecuali, sangat kecuali, dalam pembelajaran ada hal menarik yang dapat River lihat. Dalam kasus ini, Gian, bukan wayang, Gian. River jadi berspekulasi, kalau dahulu sekali waktu pertunjukan wayang dipakai untuk mengajar macam-macam, ajarannya bisa tersebar karena dalangnya seksi. “Pangeran Diponegoro ada di zaman ini. Bapake iku Sri Sultan Hamengku Buwono III, anake mbarep⁹, tetapi karena lahir dari selir jadi dianggap gak sah buat jadi Pemangku Adat¹⁰.

Anak sulung

¹⁰Sultan

“Oh, kayanya aku tahu, I watched ‘Mencuri Raden Saleh’,” sahut River sambil mengangguk paham. Gian tidak langsung menjawab, memberi reaksi dengan menggerakan Laksamana di tangannya sampai hampir menimpuk River. “Gian, what the fuck?!”

“Sebenarnya hampir gak ada hubungannya sih, tapi ya sudah, soalnya ini pertama kali kamu menanggapi dari tadi.” River cuma angkat bahu, habis bagaimana lagi, fokusnya kan ada pada Gian. “Sekarang masuk ke favoritku personal, Sri Sultan Hamengku Buwono IX,” cerita Gian dengan penuh semangat setelah secara buru-buru bercerita dari HB IV sampai VIII.

Damn, personal banget, nih?” Gian jawab dengan anggukan lemas. “Habis beliau keren sekali!” Gian ambil Rahwana dari sisi kirinya, menemani Janaka yang sudah mendapat peran ganda menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. “Ceritanya waktu Jepang yang jajah, ‘You must send your people to romusha!’ terus dijawab sama HB IX, ‘Wegah! wong-wongku arep tak kon gawe selokan¹¹!’ Jadi biar warga Jogja gak dikirim romusha, sebagai gantinya mereka bangun Selokan Mataram.” jelas Gian, memainkan wayang seakan-akan Janaka sedang memukuli Rahwana.

¹¹'Tidak mau! Rakyat saya akan pergi membangun selokan'

I see, kuat banget, ya, Keraton berarti?”

“Ya, kan! Sudah kuat, sugih¹² lagi!” Mata Gian semakin berbinar, sudah macam anak anjing waktu minta makan. Rahwana di tangan kiri Gian kembali ditancapkan pada gebog, ditukar dengan Anoman.

¹²Kaya

“Waktu Batavia diserang, Seokarno datang minta begini, ‘King, saya mbok minta dukungan sedikit,’ terus sama King kita begini, ‘Nyoh duit! Sekalian tuh, Keraton pakai sebagai Ibukota sementara’.” River tertawa, habis bergairah sekali Gian membanggakan mantan gubernurnya itu. “Oh! Kamu ketawa, sudah gak jayus aku berarti,” seru Gian berseri-seri, menyikut perut River gemas.

“Dapat diterima,” aku River pasrah.

“Sekarang kita epilog?” “Oke, tetapi kita langsung lompat ke 2004.”

Why-” Langsung dipotong, tangan Janaka dipakai Gian untuk membungkam bibit River.

“Tiga puluh Agustus 2004, lahirlah seorang anak lanang tampan dan rupawan di RSUP Dr. Sardjito.” Ah… River langsung paham arahnya. Perasaan mereka seharusnya membahas Keraton Ngayogyakarta, kenapa malah membahas kehidupan Gian? River bukan protes, karena jujur saja, ia merasa kegirangan mendengarkan Gian yang bercerita banyak tentang diri sendiri, berasa lagi PDKT. “Kehidupan anak itu lancar-lancar sebenarnya, sampai, badai petir menyambarnya.” Rahwana diambil lagi. “Kata bapak begini, ‘Besok ada anak e wong bakal nginep di sini, jadi ada baiknya combrotmu kuwi dijaga sek!¹³’ ‘nggih, bapake!¹⁴’.”

¹³Lisannya tolong dijaga

¹ ⁴Siap, pak

River tertawa lagi, memang kurang ajar anak itu, bapak sendiri pakaikan Rahwana padahal ia pakai Janaka sebagai avatar.

“Sampai tibalah saat itu.” Rahwana dia taruh kembali, ditukar dengan Dewi Srikandi. Gian buat Janaka membelakangi Dewi Srikandi yang lama-lama mendekat. “Permisi, saya River Sagara, mahasiswa yang akan penelitian di sini.”

Janaka dibuat berbalik, sedikit terlempar ke belakang. “WOSEMMMM, Gusti nu agung matur nuwun sampun paringaken kula berkah ingkang mlimpah!¹⁵

¹⁵Tuhan Maha Agung terima kasuh sudah memberkati saya

Tidak butuh otak jenius untuk River agar sadar kalau ekspresi Janaka barusan ditujukan untuk Dewi Srikandi. Ekspresi Gian barusan ditujukan untuk River. Netra kedua anak lanang itu beradu, Gian menatapnya dengan penuh harap, buat serak kerongkongan River. Masa bodohlah, River juga sudah depresi. Dewi Srikandi di tangan Gian diambil olehnya, sekarang sudah bukan main wayang lagi, sekarang sudah jadi main peran, roleplay.

And his reaction was, ‘Holy shit, how am I going to focus on my study when there is an anomaly LOOKIN’ LIKE THIS!’.”

Gian gelagapan, sama sekali tidak menyangka reaksi River yang begitu tidak beradab di balik figur Dewi Srikandi yang bergeming. “Gak beradab!” cercanya, sekalipun yang River lihat hanya wajah supermerah.

“Kamu duluan!”

“Janaka ‘kan cowok, beda lah!” Buru-buru Gian menutup mulutnya, habis, misoginis sekali kalimatnya barusan.

“Jadi kamu menyimpulkan kalau perempuan gak boleh berahi gitu?” Gian baru hampir mengiyakan, sebelum ia mendapatkan sendiri simpulan dari kalimat River.

“Jadi kamu menyimpulkan kalau aku berahi sama kamu?” Pertanyaan retoris. River pun tahu jelas jawabannya. Bocah bodoh itu cuma dapat tatapan menghakimi, dari kaki Gian yang naik satu pun sudah kelihatan kalau dia sedang menyembunyikan selangkangan.

“Jangan berlaku kaya kamu gak mau makan tempikku gitu lah!” Gian menganga, netranya yang sudah belok itu dibuat hampir keluar oleh kalimat erotis River barusan. Bahkan mau menjawab pun tidak bisa, kalimat yang keluar tidak jadi lengkap, sepotong-potong semua.

“W, woi! Eh- Eyyyyy, tu, tunggu! Gusti nu agung! He- hei, itu saru- anjir? Anjirrr!!” River menunggu dengan sabar, sekalipun tatapannya berbinar, jelas terhibur dengan reaksi bodoh barusan. “Be, bentar! Kamu tahu DARI MANA ITU!” jerit Gian. “Kamu-, kamu tahu apa artinya? TERUS, tempik?” Kata yang terakhir dibuat keluar lebih pelan, tetapi nada Gian dibuat sedemikian seksi, bass sekali.

You heard me loud and clear.” Sudah. Gian dan reaksi hiperbolanya, langsung terlempar ke belakang. Pusing sekali kepala lanang itu, membayangkan kalau selama ini, pemuda cantik di hadapannya, yang super manis dan seksi itu punyanya tempik, bukan kontol, tempik. Gian masih tercekat, mulutnya mangap-mangap sudah macam ikan yang habis dipancing, butuh udara.

Dan River bukan orang Jawa yang secara stereotip penyabar, apalagi dia sudah mendamba hari ini selama 2,5 bulan, pipi Gian langsung dia tangkup, bawa yang lebih muda ke dalam ciuman. Manis. Bibir River teramat manis berkat pelembab stroberi yang jarang lepas dari genggaman pemuda itu. Gian menangkup pipi River dengan satu tangan, mengusap bibir bawah yang lebih tua dengan jari yang lain, meminta izin untuk menginvasi mulutnya. River juga bukan penurut, lebih dulu memasukan lidahnya ke dalam mulut Gian. Kedua lidah panas anak lanang itu berkelindan, menari mencari penake dewe.

Memang hari ini Gian lah yang kepalang napsu, sambil memperdalam ciuman, topangannya pada River semakin menurun. Tangan yang lebih tua digenggam, dituntun untuk mengalungi lehernya. Punggung yang lebih tua digerayangi, sudah macam anak anjing yang memberi tanda atas miliknya.

“A, ah!” River mendesah pendek begitu tangan kurang ajar Gian sudah sampai bokongnya. Bongkahan itu diangkat oleh Gian, hanya untuk ditaruh lagi di antara pahanya yang njedul¹⁶ di balik jarik itu. Gian goblok, kelewat goblok.

¹⁶Menggembung

Bahkan jariknya sudah tidak mampu menutupi goblokannya. Mulut River Gian lepaskan, ganti kecupi tiap inci wajah pemuda di atasnya. Cantik, River cantik sampai buat ia kepayang. Semuanya harus diapresiasi, tiap sudutnya ingin Gian kasihi. Kini hilang sudah citra pemuda beradab yang Gian junjung dari mata River, salah sendiri sekarang yang lebih tua dilucuti bajunya.

Ingin River teriaki ‘Tidak berdab!’, namun mulutnya dibuat sibuk merintih enak lantaran leher jenjangnya dijilati oleh Gian. Benar-benar macam anak anjing!

“Bentuk hati,” gumam Gian rendah sebelum sesap halkum River sampai merah.

Holy shit! Kamu gila?!” Gian tertawa, gemas dengan reaksi River yang sudah memelototinya ngeri.

“Kamu cantik banget, Mas ayu…”

I'm River, not Ayu,” balas River ketus sekalipun telinganya yang merona itu berkata lain.

Yangku seng paling ayu¹⁷…” gumam Gian lagi, makin melantur, apalagi setelah disuguhi dada telanjang River yang buat otaknya semakin ngawur.

¹⁷Cowokku yang paling cantik

Gian kecupi lagi pahatan elok di hadapannya, yang lama-lama bergerak semakin turun, turun, dan turun sampai bibirnya bertemu dengan bibir bawah River yang masih berbalut denim. River mendesah frustasi, bawahnya yang becek itu dibuat makin becek oleh gerakan beringas lidah Gian. “Fu-, fuck! Gian take it off!” pintanya, berusaha melepas celana sendiri sekalipun tangannya ditahan di kedua sisi oleh Gian.

Bisa apa Gian selain menurut? Denim donker yang sudah becek parah itu ditarik turun. Badan River lalu diangkat, dibuat duduk di atas mukanya buat tempik yang bikin iler Gian menetes tiga detik lalu berhadapan dengan mulutnya. Goblok! Goblok! Lanangan goblok! Rambut Gian sudah River jambaki, memohon minta dilepaskan. Tetapi entah bagaimana ceritanya, tidak bisa, rasanya paha River justru makin mengampit kepala Gian. Habis, Gian jago mampus buat tempiknya itu bocor…

“Hnggh- Ahhnn~ Giandra fuckk!” Tempik River sudah betul bocor, buat basah wajah rupawan Gian yang naas tidak digubris, masih sibuk colek-colek bagian dalam River dengan lidahnya. River sudah angkat tangan, apalagi kala tangan Gian yang awalnya menumpu River sudah ganti tusuk-tusuk bolnya. Mani River yang melimpah ruah itu dipakai Gian jadi pelumas untuk jari-jarinya masuk ke bool River.

Bulu kuduk River langsung berdiri ngeri, kepala Gian ia peluk erat sebagai ganti tumpuan yang sudah diambil. Tempiknya diemut sampai kelu, pantatnya dicucuk sampai ngilu, “Ah- ah! Iyaa, situ lagii ihhh- Gian-!” River mau menangis! Sudah ada tiga jari yang masuk ke bool River sebelum akhirnya dilepaskan.

Baru sedetik River bernapas lega, kini tempiknya dijahili lagi. Itil bengkak pemuda itu dikucek jahat, buat yang punya menggeliat geli. Tangan Gian yang lain merayap ke samping, merogoh kardus di sebelahnya. Mata River mau tidak mau mengikuti, salah fokus, apalagi begitu Gian menarik keluar sesuatu dari sana.

Cempala.

River mendelik, panik karena sadar tujuan Gian mengambil cempala itu dan itu sama sekali tidak bagus untuknya. River menurunkan bokongnya, mendudukan diri ke selangkangan Gian. “Kamu gak niat masukin itu kan?”

“Kamu gak percaya ya sama aku?” balas Gian, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan. “Padahal aku udah buat tempik kamu muncrat-muncrat, tetapi kamu masih gak percaya sama aku?”

Ingatkan River untuk tidak pelihara Husky (terlambat), karena satu di hadapannya sekarang sudah buat pening mampus. Gian mendekatkan wajahnya, sengaja menghembuskan napas panas pada telinga River yang sudah merah padam. River gigit bibir bawahnya, bete ia dibuat oleh tingkah Gian yang semaunya sendiri. Buat Gian, diam sudah masuk sebagai jawaban. Jawaban setuju.

Bibir River dicium lagi, lebih lembut dari yang tadi, lebih lagi buat dia terbuai. Terbukalah kesempatan Gian untuk bertindak sembrono, pelan-pelan cempala di tangannya didorong masuk ke rektum River. Yang dimasuki mendelik panik, sudah hampir menjerit, untung buru-buru ditahan oleh cium nakal Gian.

Cukup. Cempalanya berhasil masuk dengan nyaman ke bokong perawan River. Entah karena itu sudah becek atau memang Gian yang kelewat jago perihal ngentot.

“Pintere Mas Ayu,” puji Gian sambil kecupi pipi River.

“Masukin!”

“Hah?”

Kontolmu kuwi lho gek lebok no!¹⁸” Aduh! River ingin loncat dari puncak Gunung Merapi sekarang juga!

 

¹⁸Masukin cepet kontolmu!

Gian tertawa, setengah mengejek, tambah gemas dengan ekspresi River yang merengut sekalipun matanya sembab dan pipinya merah. Sama sekali tidak ada niat Gian untuk langsung masuk, malah tepuk-tepuk sambil gesek-gesek tipis kontolnya ke kelentit River yang sudah bengkak total.

“Gian iihh~ masukin!” River sudah merengek, namun pemuda di hadapannya masih kukuh bergeming.

“Coba deh, Mas! Jangan minta, akunya disuruh.”

“Kan dari tadi udah di suruh!” River paham betul maksud Gian, tetapi ia sama sekali tidak mau mengikuti fantasinya itu. Kecuali, sangat kecuali, saat ini River sudah frustasi setengah mati saking inginnya dimasuki. “Cah bagus, pinter kan kamu, Le? Mau bikin Mas enak, ya, Gian?” River berbisik di telinga Gian sambil jilat cuping merah padam itu.

Sekarang ganti Gian yang diusili oleh bokong River yang maju-mundur, tidak diberi kesempatan untuk masuk. “Maass!” Ganti Gian yang merengek.

“Kenapa?”

“Mau kontolin Mas River~” balasnya manja.

“Ya udah masukin kontolnya.” Detik itu keduanya hampir melonjak kesenangan, akhirnya, akhirnya! Ini kali pertama River kena sodok depan belakang, penuh mampus tempiknya itu harus menampung Gian yang sudah mentok masuk itu.

“Mas River~ Gian mau gerak…” Sepertinya River kenal betul nada itu, seperti bocah-bocah sekitar yang mengajak temannya main waktu sore. Persis.

Napas River masih tersenggal, belum selesai menyesuaikan diri, tetapi ia tetap mengangguk. Mau bagaimana lagi? Anak lanang di bawahnya sekarang buat kepalanya pening sekali. Gian mengangkat paha River, kembali meniduri pemuda elok itu di atas tikar. Gerak Gian masih hati-hati, berusaha jadi yang lemah lembut karena serius takut menyakiti River.

“Gian- Gian, fuck! C, cepetin lagi!” Gian menurut. Tangan pemuda itu menggenggam erat pinggang River sebagai tumpuan. Gemas. Saking kecilnya, jari-jari Gian hampir bersentuhan melingkari River.

“AH! Gi- Gian! Putingku juga mau- HHGhhnn~” Gian menurut. Mulutnya meraup puting kanan River dan tangannya memainkan yang kiri. Yang satu diisap sampai mencuat sementara yang lain dipakai main sampai bengkak.

“A, ah?!” River melenguh panjang, terlalu banyak stimulasi dari sana-sini. Puting yang sudah merah, tempik yang pegal, dan jangan lupakan bokongnya yang penuh dan terus bergesek dengan tikar yang kasar buat River lemas dalam kungkungan Gian.

Pripun, Mas¹⁹? Mau minta apa? Bilang aja nanti Gian manut,” katanya sok manis sambil emut perpotongan leher River.

¹⁹Gimana, Mas?

Hghhn- Wanna cum!” Sekali lagi, Gian menurut. Itil River dikucek asal-asalan, menambah lagi stimulasi baginya. River kembali muncrat, basahi apa yang sudah basah kuyup. Namun, Gian belum selesai, kembali menggerakan pinggulnya sambil terus mengusap itil River.

Yang ada di bawah sudah menangis, mohon-mohon agar Gian berhenti. Hasilnya? Tidak ada. Baru setelah kontol Gian semakin bengkak di dalam, Gian menarik keluar, memuntahkan maninya di atas perut River.

Deru napas keduanya beradu di ruangan yang kini terasa senyap. Rasanya lega, mereka terlihat seperti baru menang Pemilu padahal hanya memenuhi napsu, memang pemuda-pemuda lucu.

Gian ambruk, hampir menimpa River kalau tidak buru-buru menghindar. Dijatuhi pemuda 70 kg? River tidak mau.

“Bobok aja gapapa, nanti aku yang beresin,” kata Gian lembut. Tangannya mengelus pelan punggung telanjang River sebelum akhirnya turun sampai ke bokong. Cempala yang masih tertancap di bokong River itu kembali dimainkan, dibuat keluar-masuk bolnya secara sembrono.

River merengut, persetanlah dengan bobok, napsunya lebih penting sekarang ini. River kembali menggerakan tubuh, naik ke atas Gian dengan posisi tempik menghadap muka yang lebih muda buatnya berhadapan dengan kontol Gian.

“Mas?”

Tidak dijawab, lantaran mulut River penuh oleh Gian yang pada dasarnya besar. Kebesaran… sudah River coba raup sampai sesak tapi sisanya masih banyak.

Terlewat gemas! Jadi makin ingin Gian usili. Cempala di dalam River ditarik, kini dipakai untuk reseki itil River. Dipakai buat main-main, dimasukan ujungnya cuma untuk ditarik lagi, buat yang sibuk memakannya sekarang kewalah, meracau dengan mulut penuh kontol.

Ahh… Malam ini memang akan jadi malam yang panjang rupanya.

Notes:

Semoga kalian menikmati gusy(((UωU` *)(* ´UωU)))