Chapter Text
"Love seeketh not itself to please,
Nor for itself hath any care,
But for another gives its ease,
And builds a Heaven in Hell's despair.”
“So sung a little Clod of Clay
Trodden with the cattle's feet,
But a Pebble of the brook
Warbled out these metres meet:
"Love seeketh only self to please,
To bind another to its delight,
Joys in another's loss of ease,
And builds a Hell in Heaven's despite.””
—-- Blake, William. 1794. The Clod and the Pebble.
Tampan, pintar, atletis, ramah, jujur, dan baik hati. Beberapa kata yang dapat menjelaskan sosok Nero. Tumbuh besar dengan berbagai karunia seperti ayah dan pamannya, cocok dengan peribahasa buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Sisi minus yang dimilikinya hanyalah mudah merasa emosional dan terkadang kelihatan naif serta jumawa.
Tidak ada seorangpun di Universitas Fortuna yang tak mengenal nama keluarga Sparda. Marga elit yang tiap anggota keluarganya selalu menorehkan prestasi dan duduk di jabatan penting. Seperti Dante yang sukses menjadi artis terkenal, atau sang kakak kembarnya, Vergil, yang memilih mengejar karir di bidang pendidikan sebagai dosen almamaternya. Dan layaknya para Sparda yang lain, Nero menimba ilmu di kampus yang sama dengan tempat sang ayah mengajar.
Apa dengan menjadi anak dosen maka hidup Nero di kampus akan lebih mudah?
Sayangnya tidak.
Lahir di keluarga sosialita bergengsi tanpa pernah merasakan kasih sayang orangtua tentunya membuat Nero sangat kesepian. Ibu yang telah menjadi almarhumah sebelum ia belajar merangkak, serta ayah yang lebih memilih menyibukkan diri dengan paper-nya membuat pemuda bersurai kelabu tersebut haus akan perhatian serta pengakuan. Terutama dari ayahnya yang bertabiat sedingin es, Vergil. Selain itu, tekanan dari lingkungan sosialnya menjadikan Nero diam-diam memberontak dengan adu pukul bersama para penindas di kampusnya. Teman di sekolahnya sendiri cuma bisa dihitung dengan jari (Kyrie, Nico, Credo, dan V). Sesekali Dante berkunjung dan mengajak Nero bermain bisbol bersama, atau berjalan-jalan menemani pamannya syuting.
Kini Nero sudah menginjak usia dua puluh tahun. Ia sudah dewasa dan memutuskan untuk berhenti menjadi berandal. Sifatnya masih mudah terbawa emosi dan sering berkata kasar, tapi setidaknya pemuda bersurai kelabu tersebut bisa lebih mengontrol output perbuatannya. Selain itu, Nero lebih sering menyibukkan diri dengan belajar dan menahan emosi. Semua demi satu tujuan.
……yaitu merebut paksa apa yang ia inginkan sedari dulu.
‘Cinta’ dan perhatian dari darah dagingnya sendiri.
Dingin, kalkulatif, dan tidak pernah segan bersikap tegas terhadap orang-orang yang menurutnya tak sesuai dengan kemauannya. Vergil terkenal sebagai pengajar sukses dengan metode tangan besi. Tak sedikit siswa yang berhasil, maupun keluar karena tak tahan di kelasnya. Bahkan pada anaknya sendiri, pria dengan surai putih yang dirapikan ke belakang itu selalu kelihatan keras dan tegas.
“Jangan lengah, Nero. Hanya karena nilai kuismu A bukan berarti makalahmu bisa kuterima begitu saja.”
Mendengarnya membuat Nero mendecakkan lidahnya. Di kepalanya saat ini hanya ada pikiran 1001 cara membuat Vergil diam dan mau bertingkah laku layaknya ayah yang baik padanya. Seharusnya ia tak menolak proposal Dante untuk tinggal di Hollywood bersamanya.
“Berisik, aku tahu itu.” ucap Nero sekenanya.
Vergil segera melemparkan pandangan tajam pada sang anak. “Berhenti menjawabku seperti itu.” balasnya setengah menggertak.
Sudah hal biasa jika Nero dan Vergil beradu mulut karena tabiat bandel sang anak yang membuat ayahnya kesal. Bahkan ada satu hari dimana Vergil tak segan menampar pipi Nero atau Nero berusaha melawan balik sang ayah dengan bogem mentah namun berhasil dihentikan pamannya. Tapi itu dulu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memasang pencitraan anak baik. Sekarang nampaknya sudah percuma Nero membohongi diri sendiri terus-terusan.
“Bagaimana kalau kau menjadi ayah yang baik satu hari saja dan menghargai usahaku? Kau pikir belajar di bawah bimbinganmu itu mudah? Pikir dengan kepalamu yang dingin dan keras itu, Vergil.”
Pria paruh baya di hadapan Nero itu mengkerutkan alis. “Sudah berani menjawab, lalu menghinaku seperti itu. Kau pikir kau tahu apa yang sudah kau lakukan, Nero?!”
Sang pemuda bersurai kelabu itu mendekat. Ditariknya paksa rambut ayahnya hingga sepasang bola mata biru milik keduanya saling bertatapan. Tak puas, Nero menyambar bibir sang ayah, dan menggigit bagian bawahnya hingga Vergil dapat merasakan metalik di indera pengecapnya.
“Nnnhh….!”
Nero melepas cumbuannya, meninggalkan seutas saliva bercampur sedikit darah. Lengkap dengan parasnya yang memerah—-bukti dari rasa kesal dan nafsu menjadi satu.
“Puas?” tanya Vergil kaku. Ia tak punya waktu untuk meladeni amarah remaja yang baru saja tuntas pubertas. Tapi, dalam benaknya ia memutuskan Nero adalah pengecualian. Masih dengan tatapan setajam bilah pedang, sang ayah mengamat lekat anak lelakinya yang terengah akibat perbuatannya sendiri.
Cengiran terdengar dari mulut Nero. “Hah, baru kali ini aku mendengarmu bertingkah laku seperti seorang ayah.”
“Wajar saja. Aku mendidikmu dengan keras untuk kebaikanmu sendiri dan prestis keluarga Sparda. Apa otakmu itu hanya sebagai pajangan saja?”
“Aku tidak pernah mendengarmu berterimakasih padaku! Jangankan itu, kata ‘sayang’ saja tak pernah keluar dari mulutmu untukku! Apa yang harusnya kudapatkan malah kau berikan untuk Dante!”
Vergil terdiam. Bagai dihujam hujan pedang, dadanya terasa sesak.
“Jangan sebut nama itu di hadapanku!”
Nero terkekeh. “Ah, jackpot. Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan di kamar bersama tiap malam, ya. Ayah lebih menyayangi Dante daripada aku. Apa aku salah?”
Pria paruh baya di hadapan Nero tersebut merapikan rambut dan kerah bajunya. Berusaha untuk tenang dan kalkulatif—-walaupun nampaknya percuma saja karena sang anak sudah terlanjur mengetahui rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat.
Vergil menjawab dengan cemoohan. “Jika iya, lalu apa yang kau mau? Memanjakanmu dengan manisan dan mainan?”
“Yang aku mau sudah ada di hadapanku. Aku hanya perlu merampasnya dengan paksa.”
Didorongnya tubuh sang ayah hingga punggungnya mendarat tepat ke atas meja. Tidak puas, pemuda bersurai cepak kelabu itu merobek kemeja Vergil dengan paksa. Memperlihatkan dada bidang penuh dengan bekas kemerahan yang separuh memudar.
“Nero—-!”
Vergil terkesiap. Ucapannya belum selesai namun Nero sudah membungkuk dan mendaratkan giginya ke kulit mulusnya hingga meninggalkan bercak keunguan. Kedua tangan sang anak juga turut sibuk bekerja. Satu tangannya meraba-raba tubuh Vergil, sedangkan satunya lagi melepas celana yang membungkus kejantanan sang ayah yang mulai mengacung. Puas menggigit leher pria paruh baya itu, Nero berpindah meninggalkan jejak di bagian selangka dan dada Vergil.
“Daripada ayah, kau lebih cocok jadi pelacur, Vergil.” ucap Nero kemudian menggigit kecil kedua puting milik ayahnya secara bergantian. Kini satu tangannya sibuk mengusap kelentit kepunyaan Vergil yang perlahan berdiri keras. Tak lupa pemuda itu memberikan servis tambahan dengan memijat testis pria yang lebih tua itu. Sedangkan tangannya yang lain memegangi pinggul ramping lawannya—-sesekali meremas erat pantat kenyal Vergil.
Vergil sendiri berusaha untuk melawan. Sayangnya tenaga Nero lebih kuat darinya dan badannya telah terlampau sensitif akibat rangsangan di sana-sini. Kini fisik Vergil penuh dengan tanda cinta dari sang anak, dan ia bisa merasakan batang dagingnya sedikit membasah karena precum. Sang pria yang lebih tua itu berusaha mengatur napasnya, berharap anaknya berhenti melakukan perbuatan bejat ini.
“Nero…. Hentikan….!”
“Tidak akan. Sampai kau tunduk padaku, dan menyerahkan dirimu seutuhnya.”
Kini giliran Nero yang menanggalkan pakaian, memamerkan kejantanannya.
“Akan kubuat kau melihat surga lalu kujatuhkan ke neraka bersamaku, Vergil.” bisik sang pemuda. Ia mengambil pelumas dari kantongnya dan segera mengoleskannya ke tiga jemarinya.
“Tapi sebelum itu….”
Jemarinya bermain-main di sekitar cincin anal sang ayah hingga Vergil berjengit karena sensasi dingin pelumas. Paras mereka kembali saling mendekat sampai hampir tiada jaraknya.
“Cium aku, ayah. Seperti saat kau mencium ibu dan Dante.” ucap Nero polos. Seolah gertakannya yang tadi telah menghilang.
Vergil terdiam. Namun ia memutuskan untuk menurut. Diberikannya ciuman lembut ke bibir sang anak. Ia biarkan Nero menjelajahi tiap rongga di dalam mulutnya. Lidah saling bertaut, gigi yang gemeretak, dan napas keduanya saling beradu. Tak lupa pemuda itu menggesekkan batang sanggamanya ke milik sang ayah sambil menggerakkan pinggulnya.
Vergil akui Nero memberikan kenikmatan yang hampir sama dengan Dante. Hanya saja lebih kikuk—-karena kurangnya pengalaman. Tetapi caranya memperlakukan partnernya jauh lebih baik dari Dante. Dante biasanya akan melewatkan foreplay dan langsung memasukkan penisnya ke dalam tanpa peduli erangan sang kakak karena ia sudah paham persis lubang milik Vergil memang telah terbentuk sesuai miliknya. Tapi Nero berbeda… Terlepas dari betapa amarah dan nafsu menelan akal sehatnya, Nero masih cukup memikirkan kenyamanan pasangannya.
Sebuah hal manusiawi yang tidak dimiliki Dante dan Vergil. Ironis, karena Nero tumbuh hampir tanpa cinta dari darah dagingnya sendiri. Dalam benaknya, pria yang surai putihnya mulai menjuntai turun itu berpikir di mana ia melakukan kesalahan dan bagaimana bisa sang anak tumbuh seperti ini.
“Ah, kalau begini kalian memang kembar, ya.” kekeh Nero ketika melihat paras sang ayah yang persis dengan pamannya. Buru-buru Vergil merapikan rambutnya. Rupa yang ia benci namun juga berharga baginya.
Wajah itu pula yang membuat Nero ingin memilikinya secara utuh. Nero ingin tahu seperti apa ekspresi ayahnya ketika ia berlutut, memohon untuk dirusak, dan diperlakukan penuh kasih sayang dalam berbagai makna. Seperti apa ketika bola mata secantik kristal aquamarine itu melembut dan mengharap afeksi dari sang pemuda. Membayangkannya sudah membuat Nero terkesiap dan meneguk ludah. Jika ayahnya bisa kelihatan serupawan ini, tentu ia boleh berbangga diri dikaruniai wajah yang tampan pula.
“Aku anggap ini adalah hadiah kecil darimu, Vergil.” bisik sang anak seraya menjambak rambut putih ayahnya. Tiga jemari Nero masuk, menyiapkan jalan di dalam rektum, dan sesekali menyenggol titik sensitif Vergil. “Longgarnya. Pasti Dante sudah memakaimu berkali-kali.”
Vergil mendecakkan lidahnya. “B-bukan urusanmu….”
“Toh, tidak lama lagi ayah akan menjadi milikku juga.”
Kini tanpa basa-basi lagi, Nero menghujam masuk ke dalam lubang anal kepunyaan sang ayah. Sontak punggung Vergil menukik, terkejut dengan serangan penuh yang diterimanya. Nero segera merengkuh tubuh ayahnya, sambil menopang salah satu kaki Vergil agar ia bisa lebih leluasa memuaskan pria di hadapannya itu.
“Enak, yah?”
Nero menggerakkan pinggulnya, membiarkan barangnya menyerang titik-titik lemah lelaki yang lebih tua tersebut. Dinding rektum di dalamnya makin mengetat, memberikan sensasi hangat pada kejantanan sang anak.
“Aaahh…. khhh—-Nero….!”
Napas Vergil yang terhela tepat di telinga Nero membuat anak laki-lakinya makin terpacu. Vergil bukan tipe yang bersuara keras saat meranjang, tapi anggota tubuhnya yang lain bisa terlihat lebih ekspresif. Raut mukanya yang memerah hingga ke daun telinga adalah salah satu buktinya. Geraman dan kuku yang makin menancap ke punggung sang anak juga termasuk gestur yang ia keluarkan ketika semakin merasa terangsang.
Lucu…..
Pinggul Nero bekerja semakin cepat. Tak lupa ia tinggalkan tanda kemerahan di berbagai penjuru tubuh Vergil. Bagai hewan buas yang posesif pada pasangannya. Bagi Nero, Vergil kini adalah miliknya. Bukan Dante, atau orang lain. Hanya untuk Nero seorang.
Peluh bercampur air mata menetes bersamaan di wajah Vergil. Bagaimana bisa anaknya membuat raganya mabuk kepayang dan tenggelam dalam hawa nafsu? Harga diri Vergil terlalu mahal untuk mengakui kenikmatan yang diberikan Nero secara cuma-cuma padanya. Tapi tak dapat dipungkiri kalau sebentar lagi ia akan mencapai batasnya.
“Ayah—Vergil…. Apa kau menyukai ini? Apa akhirnya ayah akan lebih memilih aku daripada Dante?”
Alis pria yang lebih tua itu terlihat berkerut. Ia sudah jatuh ke pelukan sang anak—-dalam artian berbeda.
“Ya, Nero….. Akulah milikmu seorang.….”
Senyuman gelap terlukis di wajah Nero. “Jika aku tidak bisa merebut hatimu dari Dante, setidaknya aku bisa membuat ragamu memuaskanku layaknya pelacur. Ayah tidak keberatan, ‘kan?”
Vergil menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Seolah mendapatkan pertanyaan sulit yang ia sudah tahu jawabannya apa, namun tak bisa pria itu ungkapkan. Sedangkan Nero langsung memahami apa yang dipikirkan ayahnya.
Tentu saja ayah lebih memilih Dante. Aku tahu itu.
Tapi, rasanya pedih sekali.
“Kalau begitu, bolehkah aku menciummu sekali lagi, Vergil?”
Vergil mendekap tubuh anaknya, mendekatkan parasnya sampai tiada jarak di antara keduanya. Dicumbunya bibir Nero dengan lembut. Tidak ada luka atau amarah yang tersirat. Hanya ada kelembutan dari sang ayah.
Tak lama Nero menghentikan gerakannya. Membiarkan cumbuan dari Vergil membungkam mulutnya. Limpahan cairan sperma dari kejantanan pemuda itu lantas memenuhi liang sanggama milik ayahnya. Di saat yang bersamaan, likuid putih juga keluar dari kepunyaan Vergil, membasahi perutnya. Keduanya sama-sama terengah, sampai Nero akhirnya melepas cumbuannya agar mereka mendapat kesempatan untuk mengatur napas.
“Apa pada akhirnya kau membenciku?” tanya Nero dengan nada memelas.
Vergil menggeleng. “Aku tidak membencimu, nak. Yang aku benci hanya diriku sendiri, luput memperhatikan apa yang ada di sekitarku. Seharusnya aku tahu kalau kau kesepian. Tapi aku tidak berbuat apa-apa untuk itu.”
“Kau takut menyakitiku… Tapi apa yang kau perbuat juga tak jauh beda. Terkadang harus ada orang yang menyadarkanmu kalau kalkulasimu bisa meleset, tahu.”
Pria itu tersenyum tipis seraya merapikan rambut putihnya ke belakang. “Kau jadi sombong sekarang, Nero.”
Nero membalas dengan tawa ringan. “Seorang Sparda memang harus seperti itu. Ayah sudah mengajariku bertahun-tahun untuk bersikap percaya diri.”
“Ya, tapi aku tidak menyangka kalau kau akan melakukan ini. Kau jadi seperti pamanmu, Nero.”
Pemuda berambut kelabu itu tersipu. “Sudahlah! Aku tidak akan berhenti, sampai kau melihatku seorang saja!”
“Cobalah sampai bisa.” Vergil balik terkekeh.
Keduanya sama-sama tertawa. Sebuah pemandangan yang hampir tak pernah dialami Nero dan Vergil.
“Kau tahu, Nero. Aku baru saja mendapatkan ide bagus.”
Malam telah tiba. Suara mesin motor terdengar lalu berhenti tepat di kediaman keluarga Sparda. Sesosok lelaki bertubuh besar dengan rambut putih menjuntai dan janggut kecil tumbuh di mana-mana memasuki rumah itu dan menginvasi ruang kantor Vergil yang tertutup rapat.
“Ah, Dante. Aku sudah menunggumu.”
Vergil menyambut lelaki itu—adik kembarnya, dengan menuangkan sebotol wine ke kedua gelas.
“Tumben. Suasana hatimu sedang baik, Verg. Sebuah pemandangan langka.” ujar Dante seraya duduk di sofa sekenanya. Disesapnya pula minuman yang sudah disuguhkan oleh kakaknya. Manis, tapi tetap terasa berkelas.
“Ah, karena pada akhirnya aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan.”
Alis putih sang adik terangkat sebelah. “Oh? Apa maksudnya?”
“Kau tahu, seorang pemburu harus sabar dan penuh perhitungan hingga ia mendapatkan mangsanya. Ayah selalu mengajarkan kita itu, apa kau ingat?”
Dante mendengus. “Ah, ya. Memang anak kesayangan ayah selalu patuh, ya. Lalu apa hubungannya dengan senyuman riangmu yang membuatku merinding itu?”
Vergil membuka kemeja tidurnya. Memperlihatkan bekas kemerahan yang menyebar di sekujur tubuhnya. Seketika Dante langsung terbelalak melihatnya.
“Siapa—-?!”
“Aku pikir aku harus menunggu lebih lama lagi. Tapi ternyata akhirnya umpannya termakan juga.” ucap Vergil dengan tenang. “Aku sudah lama mengincarnya, menginginkan anak itu untuk memberikanku cintanya. Sama sepertimu padaku. Ternyata menjadi tamak itu sangat menyenangkan, Dante.”
Sang adik hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Nero, ya. Hobimu jelek sekali, kak. Sudah kuduga ia tahu tentang kita.”
Kakak kembarnya memasang seringai layaknya iblis yang hendak menggoda sang adik. “Cepat atau lambat memang ia akan tahu. Tapi, apa yang akan kau lakukan, Dante?”
Dante balik tertawa, seraya bangkit dari peraduannya dan merengkuh pinggang kakaknya. “Jawabannya sudah jelas, bukan? Malam masih panjang, dan aku baru saja sampai.
….akan kurebut kau kembali. Walaupun aku harus memaksa.”
Vergil tersenyum, dan berbisik dengan suara lembut, namun menyimpan kekejian di dalamnya. Kedua tangannya menerima pelukan dari sang kembaran yang mulai menerjang tubuhnya ke sofa.
“Datanglah padaku, Dante. Sebelum anak itu melahapku lebih dalam.”
—-end?