Work Text:
Resep 1: Mengaku Salah
PUNGGUNG pegal akibat membungkuk selama berjam-jam akhirnya diregangkan. Joonie, yang mulai merasakan pedih pada matanya, menguap dan memutar kepalanya. Seluruh tubuhnya terasa kaku, kebas, seperti mau copot dari kerangkanya. Dia menutup laptop dan menatap ke luar jendela. Langit sudah gelap begitu cepat tanpa dia sadari. Barulah saat perutnya menggerung, dia tahu dirinya sudah menghabiskan waktu lebih larut dari hari kemarin.
Sebenarnya pekerjaan belum selesai, tapi dia tak bisa lagi me- nahan lapar setelah perutnya rewel. Tenggorokannya bahkan terasa luar biasa kering karena terakhir dia minum—mungkin—tiga jam lalu, itu pun kopi hitam. Joonie menandai buku bacaanya dengan pulpen sebelum menutupnya. Dia punya kecenderungan akan terus membaca kalau bukunya terbuka—aneh, memang.
Langkahnya lambat dan lemas. Sesaat, Joonie berpikir kalau dia terlambat makan lagi, dia mungkin bisa pingsan. Dia tak tahu apa yang akan masuk ke dalam mulutnya sebentar lagi. Joonie sudah tak ingat apa yang masih disimpan di dalam kulkasnya. Apel? Salad?
Sebaiknya aku keluar dan cari makanan sungguhan; begitu pikir Joonie. Dia mengambil jaketnya dan hendak menyembunyikan rambut berantakannya dengan topi, ketika bel apartemen membuat Joonie terkejut. Bunyinya tak sabaran, kasar, dan seram. Dia sempat berpikir itu penjahat—tapi penjahat bodoh macam apa yang membunyikan bel? Jadi Joonie berjalan ke pintu depan untuk membukakan pintu—sebelum bisa didobrak (kalau mendengar dari betapa darurat gedoran dan bunyi belnya).
“P-Papa?”
Sorot mata Papanya, Namgil, di hadapan Namjoon membuat si pemilik apartemen yang kelaparan menjadi tegang dan kehabisan kata untuk merespons kedatangan tak terduga itu.
“Kemasi barang-barang kamu sekarang. Kita pulang,”
“H-Hah?”
“Bawa yang penting saja. Gak usah ribet. Pokoknya kita pulang ke Korea sekarang juga. Cepat, penerbangannya sebentar lagi.”
Namjoon yang masih terheran melihat Papanya berdiri di hadapannya, terbata-bata berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab, “tapi—tunggu—kenapa tiba-tiba pulang? Papa juga … kenapa ada di sini—gak bilang sama Joonie?”
Namgil mendengus kasar sebelum menaikkan nada bicaranya dan berkata, “gak usah banyak tanya dan cepat bereskan barang yang penting, lalu kita ke bandara, Lee Namjoon!”
“Pa—” suaranya tersendat, tidak mengharapkan Papanya akan membentak seperti itu. Dia berdalih, “tapi aku gak bisa sekarang.”
“Memangnya kamu sedang menyelamatkan dunia?!”
“Pa,” rengek Namjoon. “Aku—aku gak bisa sekarang—ada pekerjaan yang harus aku selesaiin dulu. Kalau pindah tempat, aku gak bisa fokus—”
Namgil menginterupsi alasan anaknya dengan masuk ke dalam apartemennya dan berjalan ke kamar lelaki itu. Langkahnya terburu, tak sabaran, dan meninggalkan amarah di tiap jejaknya. Dia membuka lemari pakaian anaknya dan menunjuk pada Namjoon yang mengikutinya dengan panik. “Cepat bereskan—atau Papa yang siapkan semuanya? Papa gak menerima alasan apapun—pokoknya cepat bawa barang-barangmu dan pulang ke rumah.”
“Pa—”
“Ini perintah, Lee Namjoon—sebelum kamu menyesal.”
Belum pernah Joonie melihat Papanya semarah itu. Kepalanya yang sudah penuh dan kusut tambah amburadul—bingung harus bergerak mengikuti perintah Papanya, atau pingsan sekarang. Dia menyayangkan dirinya yang masih cukup kuat untuk bergerak meraih tas ransel dan mengemasi barang-barangnya. Geraknya seperti diawasi oleh polisi, dan rasanya sangat menegangkan hingga Joonie tak sanggup untuk sekedar menelan ludahnya sendiri.
Saking tak bisa berpikirnya, dia naik ke mobil bersama Namgil dengan sandal jepit alih-alih sepatu hangat. Dia kelihatan seperti gelandangan, jika disandingkan dengan Papanya yang mengenakan pakaian rapi—bukan jas formal atau sepatu pantofel, tapi Namgil pandai membuat pakaian sederhana jadi licin dan tampak apik.
Meskipun mereka saling diam selama perjalanan, juga Namgil yang tampak sangat marah seperti bisa memukulnya kapanpun, pria itu tetap mengambil alih tas Joonie untuk dibawa olehnya. Joonie mau menolak, tapi takut semakin dimarahi. Jadi dia menurut saja dan diam, berjalan kikuk di belakang Papanya yang berjalan cepat untuk segera check in, tanpa protes, dan pasrah pada nasibnya.
Pada saat krusial itu, perut Joonie berulah dengan menggerung kencang seperti belum makan lima hari. Barangkali mau ikut melampiaskan marah karena sejak tadi diabaikan. Joonie kesal karena semuanya selalu marah dan menyalahkannya—tak pernah ada di sisinya untuk mendukungnya bahkan untuk menjadi pendiam dan tidur saja di pesawat sampai di Korea.
Namgil mendengar suara keras itu dan menatapnya seperti bisa menembus ke dalam perutnya yang kosong itu. Dia menghela napas dan mengajaknya makan ke restoran di dalam bandara. “Sebaiknya kita makan dulu. Papa juga belum makan,”
“Iya, Pa.”
“Makan apa saja, okay? ”
Joonie tak punya pilihan. Toh, perutnya sudah berisik. Bahkan jika dia harus mengunyah ban karet, sepertinya Joonie sudah cukup berterima kasih. Jadi dia mengangguk tanpa protes. “Iya,”
Mereka pilih kedai sandwich dan Namgil memesan untuk keduanya. “Tapi cepat makannya. Sebentar lagi sudah mau take off, ”
“Baiklah.”
Setelah mengisi perut, mereka masuk ke dalam pesawat dan terus berdiam diri. Terakhir mereka saling bicara hanya saat Namgil mengajaknya makan—sekitar tiga puluh menit lalu. Bahkan Joonie terlalu takut untuk mengucapkan terima kasih saat Papanya memba- yar makanan mereka. Meskipun begitu, dia tetap merasa gelisah dan tak nyaman saling diam dengan Papanya.
Bagi Joonie, Lee Namgil adalah sosok yang menjadi role model dalam hidupnya. Papanya mengajarkan banyak hal padanya sejak kecil; selalu percaya dan mendukungnya. Joonie menyayangi Papanya secara khusus (dia berharap Ayahnya tak sakit hati untuk tahu), dan ini adalah pertama kali dia bertengkar dengan Papanya. Adu mulut pun tak pernah terlintas di kepalanya, tapi sekarang dia bahkan tak bisa membuat tubuhnya bergerak nyaman di samping Papanya yang biasanya digelayuti dan dibawelinya dengan beragam pertanyaan.
Berbeda dengan Ayahnya—Jungkook—yang sering bawel dan ngomel hingga biasa beradu mulut, Papanya lebih tenang dan tidak mudah marah apalagi menggunakan nada bicara yang tinggi. Maka, saat dia—akhirnya—mendengar Papanya membentak dan panggil nama lengkapnya, Joonie tahu dirinya sudah sepenuhnya salah.
Rasanya malu sekali duduk berdampingan dengan hati yang tak tenang seperti detik ini. Dia juga tak bisa membayangkan betapa me- malukan sosoknya di mata adik-adiknya jika mereka telah melihat tingkahnya yang seperti seorang pengecut pembangkang. Dia tidak berharap satupun dari Ara atau Ayoung meniru dirinya yang ini.
Tapi, bukankah Papa yang lebih dulu datang tiba-tiba dan marah? Aku gak balas marah. Harusnya Papa pikirkan perasaanku juga. Aku gak bertingkah macam-macam di sini, jadi kenapa itu dianggap seperti tindakan kriminal? Aku tak mengerti— tapi Namjoon tahu itu hanya sisi kekanakannya yang tak mau mengalah.
Aku harus minta maaf, pikirnya, meskipun tak tahu apa—
“Jujur, baru kali ini Papa kecewa sama kamu, Namjoon.”
Jemarinya dimainkan, selagi Joonie mengulum bibirnya gugup.
“Papa tahu kamu sudah besar; punya pemikiran dan prinsip sendiri, tapi apa yang kamu lakukan itu keterlaluan, Nak.” Namgil menatap tegas pada sorot mata anaknya yang ketakutan. Dia membayangkan beginikah sosok Kim Namjoon di masa lalu—saudara dari Papinya—tapi dia buru-buru mengembalikan fokusnya dan berikan penjelasan pada anaknya. “Tapi Papa gak pernah ajari kamu—Papa gak tahu kamu belajar dari mana—buat melawan orang tua,”
Lelaki kecil di hadapan Namgil hanya diam.
“Punya keinginan besar bukan berarti kamu boleh mengabaikan orang tua. Kamu bukan anak remaja yang emosinya naik turun, atau sedang mencari jati diri dengan kenakalan untuk cari perhatian; Papa tahu kamu cuma ingin meraih mimpi—tapi apa bagusnya usaha yang dibayar dengan air mata dan rasa sakit Ayahmu?”
Namjoon, masih memainkan jari-jarinya, mulai gemetar.
Di sisinya, Namgil memakai selimut dan terus bicara. “Belum cukup kamu gak peduli sama omongan Ayah—untuk jangan pergi ke Hongkong; dan kamu tetap nekat pergi sendiri, kamu pun mudahnya melupakan Ayah, Papa, dan adik-adikmu. Papa seperti kehilangan anak, tidak tahu kemana, tidak tahu sedang melakukan apa, tidak tahu sudah makan atau belum—gak ada kabar satu detik pun lewat telepon atau chat. Bahkan tahanan saja bisa bertukar kabar dengan keluarga meski mereka dikurung penjara—dan Papa iri,”
“Pa—gak gitu—”
“Sampai Ayah sakit juga kamu gak mau tahu,”
Sontak, Joonie melotot panik. Kini matanya memupuk air mata begitu cepat. Bibirnya bergerak takut. “Ayah—Ayah sakit? Ayah—”
Namgil mengangkat bahu. “Begitulah keadaannya.”
“Tapi—Ayah gimana? Sakit apa? Parah? Masuk rumah sakit? Udah berapa lama—Ayah—Papa gak bilang,”
“Bukannya Namjoon yang gak mau telponan atau kirim chat sama keluarganya? Tahu-tahu menghilang gak ada kabar? Katanya gak mau diganggu dulu, ‘kan.” Namgil menghela napas lalu menggeleng. Biar bagaimanapun, dia tak bisa kalau bersikap menyalahkan anaknya seperti barusan—rasanya seperti dia telah melakukan satu tindakan payah: gaslight. “Tapi Ayah gak sakit parah. Hanya demam, karena khawatir sama anak sulungnya,”
Deru napas Joonie yang gemetar menjadi tanda bahwa dia tak bisa memberi respons apapun kecuali merasa bersalah. Namun, saat ini bibirnya terlalu kelu untuk menjawab. Namgil menatapnya tajam, menghela napas, dan lanjut menceritakan keadaan rumah. “Ayah udah pucat dan kelihatan gak baik-baik aja dari hari Rabu. Wajahnya waktu pulang ke rumah seperti zombie— bahkan mungkin lebih buruk dari yang bisa Papa bayangkan,” dia menggeleng sedih. “Waktu Ayah dengar kamu mau tidur di apartemen—bukannya di rumah—dia sudah tak karuan perasaannya. Lalu, kamu diam-diam betulan pergi ke Hongkong—tak peduli omongan Ayah yang gak kasih ijin.”
“Maaf—”
“Gak ada yang lebih buruk daripada mengetahui sesuatu yang penting buat kita, tapi bersumber dari orang lain—dan Ayahmu tahu dari ucapan orang di kantor—alih-alih dari kamu sendiri dengan suara lantang seperti anak laki-laki bertanggung jawab,”
Di sisinya, Joonie semakin ciut.
Namgil masih punya waktu untuk memberi kabar pada anaknya yang diserang keterkejutan. “Sejak kamu pergi, Ayah gak mau keluar kamar. Badannya lemas, kepalanya pusing, dan demam. Kalau gak ada Kakek yang membujuk, mungkin Ayah sampai hari ini gak mau makan atau minum sedikitpun,” katanya dengan dada tersayat tiap mengingat raut wajah suaminya yang pucat dan menyedihkan. Dia tak akan pernah tega melihatnya sedih. “Tidurnya gak nyenyak, memanggil nama Joonie terus tiap malam. Entah apa yang dimimpi- kan Ayah sampai keringatnya sebesar biji jagung—membasahi seluruh wajahnya semalam suntuk,”
Kabar buruk ini membuat Joonie menahan napas dramatis dan bisa ikut pingsan di tempat. Matanya terbelalak oleh rasa panik yang muncul dengan cepat.
Bibirnya terbuka dengan gemetar, “Ayah—”
“Dokter bilang Ayahmu kecapekan dan terlalu banyak pikiran, makanya Ayah sekarang hanya di kamar dan beristirahat. Meskipun rasanya gak akan pernah cukup, kalau tidur saja gak pulas. Isi kepala Ayah gak tenang mikirin kamu, Namjoon. Seisi rumah ikut pusing, adik-adikmu khawatir, dan Grandpa menjadi sensitif karena Kakek ikut-ikutan drop karena mengurus Ayah—yang memang suka bandel kalau lagi sakit dan gak mood, ”
Joonie menjilat bibirnya sebelum mengucap, “maafin Joonie. Aku—Joonie—gak tahu kalau Ayah sakit. Joonie gak tahu kalau tingkah gegabah Joonie bikin Ayah kecewa dan sakit parah. Maafin,”
“Namjoon, hanya karena Ayah lebih bawel dan galak, kelihatan sehat dan kuat—Ayah gak bisa jatuh . Bahkan, Papa rasa, Ayah gak akan selemah ini kalau Papa yang pergi. Tapi karena kamu anak Ayah—anak Ayah yang disayanginya betul-betul—Ayah gak sampai hati dan terus menyalahkan diri sendiri,”
Joonie memberanikan diri bertanya, “kalau separah itu keadaan di rumah, kenapa gak ada yang bilang sama Joonie? Kenapa gak ada yang cerita dan marah dari kemarin sama Joonie—Joonie gak tahu … kalau Joonie udah biki keluarga kita rusak,”
“Omongan macam apa itu?! Siapa yang ngajarin?”
“Pa—”
“Dengar, Nak.” Namgil meletakkan telapak tangannya di pucuk kepala anak laki-lakinya tanpa mengelus atau mengusap lembut seperti biasanya. Amarah masih terkumpul dalam dirinya.
Dia menjelaskan, dengan suara rendah, “terlepas dari Papa yang kecewa sama cara kamu mengambil keputusan—gak ada yang bikin keluarga kita rusak; bahkan dengan masalah begini, gak ada yang rusak sama sekali. Papa tahu Namjoon gegabah sesekali, tapi gak ada niat Papa mau bikin kamu mikir kamu perusak—itu jahat,”
Namjoon menahan napasnya takut.
“Papa juga minta maaf karena gak ngabarin Joonie. Rasanya gak pernah ada waktu untuk ngabarin kamu. Di rumah agak kacau balau, dan bertepatan juga sama beberapa agenda akademik di kampus yang gak bisa ditinggal. Adik-adikmu juga sibuk dengan sekolahnya selain mengurus Ayah di rumah.”
“Gak,” Joonie menggeleng. “Ini tetap salah Joonie yang bikin Ayah kecewa dan sakit. Kalau Joonie mau dengerin Ayah dan nurut, ini semua gak bakal terjadi—’kan? Rumah pasti akan baik-baik saja, gak ada siapapun yang sakit atau repot; sampai buang-buang uang nyusul ke Hongkong kayak Papa sekarang.”
Namgil menghela napasnya. Akhirnya mengacak-acak rambut Joonie. “Ini bukan masalah uang atau siapa yang direpotkan,
“tapi Papa mana tega ngeliat Ayahmu tidur saja gak bisa? Ayah itu tukang tidur bahkan posisi duduk tegak saja—kalau ngantuk—dia bisa terlelap dalam hitungan detik. Tapi ini gak bisa,” kata Namgil mengungkapkan alasan tindakannya. “Demam satu malam mungkin bisa dibilang biasa, tapi tiga malam terus begitu—Papa juga gak tahan. Apapun harus dilakukan supaya Ayah merasa senang, dan gak perlu mengigau dalam tidurnya lagi. Papa udah gak bisa mikir apa-apa lagi selain memutuskan untuk nyusul kamu ke Hongkong, seret kamu pulang—sebagai langkah alternatif kalau kamu masih bandel gak mau diajak pulang, dan membawamu ke hadapan Ayah. Papa gak peduli kalau kamu masih marah—tapi Papa lebih marah karena Ayah jadi sakit karena kamu,”
Joonie, yang refleks menunduk sejak tangan Papanya berlabuh di atas kepalanya, mengambil napas gugup. Tahu benar bahwa dirinya salah (apapun posisi dan niatnya di awal). Membayangkan Ayah, yang biasanya bawel menyuruhnya dan adik-adiknya berolahraga supaya tetap bugar, kini berbaring di kamar dingin dengan wajah pucat dan bibir kering sungguh menjadi hukuman paling ringan—tapi sanggup membuat Joonie sakit hati.
“Sekarang coba ceritakan apa isi kepala pintarmu ke Papa, biar Papa tahu alasanmu nekat begini,” kata Namgil setelah bosan dengan bisu yang diberikan anaknya. “Lihat dan tatap mata Papa kalau lagi diajak ngobrol serius—begitu, ya—Papa ingin tahu alasan payah apa yang bikin kamu sampai gak mikirin perasaan Ayah—gak usah ngelak, karena buktinya kamu ngeyel dan tetap pergi,”
Jooni mendongak dan menatap ke dalam mata Papanya yang lebih keruh dari terakhir kali diingatnya. Tanpa sadar meneguk ludah yang terasa menyakitkan. Dia membuka mulutnya yang sejak tadi terasa lengket luar biasa. “Papa pasti tahu—kalau Ayah cerita—soal kantor cabang di Hongkong yang dirumorkan akan ditutup karena dinilai gak bisa kasih profit lagi,”
“Sekarang perusahaan lebih penting?”
“Kumohon, dengar dulu.”
“Sebaiknya itu dasar alasan yang bagus dan berguna,”
“Aku ada di dalam rapat yang alot itu,” kata Joonie. “Awalnya aku gak percaya sama rumor—laporan bilang kalau keuntungan Park Company masih bagus, gak ada yang gagal atau merugikan. Tapi, lama-lama, kantor cabang itu—entah kenapa—terus turun performanya. Aku sampai khawatir kalau kantornya benar-benar ditutup,”
Alis Namgil naik tak senang. “Apa urusannya?”
“Kedengarannya sedikit bias, tapi karena aku punya pengalaman magang di sana, kupikir kantor cabang Hongkong cuma perlu sedikit rombakan. Isu ini memang harusnya diagendakan sejak ada beberapa peraturan pemerintah baru untuk usaha cabang di sana. Tapi itu bukan berarti satu-satunya jalan dengan menutupnya!”
Joonie menarik napas dalam, agar dapat menyusun kalimat yang tidak menambah amarah di dada Papanya. Dia melanjutkan ceritanya, “rapat yang sulit itu emang gak langsung mutusin buat menutup kantornya. Ayah—yang memimpin rapat waktu itu—butuh beberapa informasi sebelum keputusan akhir. Tapi aku khawatir,
“sebagian besar anggota setuju kalau kantor itu ditutup saja. Itu bukan jawaban yang tepat, Pa! Sungguh. Aku rasa Grandpa akan setuju, sebab cabang Hongkong—bisa dibilang—jadi satu milestone historik dari Park Company. Perusahaan itu bukan cuma setahun dua tahun—sudah belasan tahun berdiri—pasti masih ada cara lain agar menyiasati kepunahannya. Pasti ada cara.
“Aku menemui Ayah di ruang kerjanya setelah rapat yang bikin kepala sakit—sepertinya nyaris enam jam. Aku bilang pada Ayah kalau aku punya idea: biarkan aku pergi ke Hongkong dan mencari tahu cara yang efektif untuk menyelamatkan kantor malang itu. Aku pernah bekerja di sana sewaktu kuliah—saat liburan musim panas; aku punya teman-teman dan orang-orang baik yang bisa dimintai tolong. Ini akan sangat mudah. Aku rasa gak ada salahnya untuk turun ke lapangan dan melihat sendiri: apa yang salah dan bisa diperbaiki, alih-alih meruntuhkannya.
“Tapi Ayah bilang itu sangat berbahaya—aku gak ngerti. Ini bukan semacam aku liputan ke negara perang. Ini cuma Hongkong, lagipula aku pernah hidup di sana selama beberapa minggu. Ayah gak suka dengan ideku. Gak usah terlibat dan aneh-aneh; katanya. Tapi aku serius. Aku gak main-main soal ini, Pa. Aku bersyukur dipercaya untuk bekerja di sini, dan gak pernah sedetikpun main-main,”
Namgil merespon setelah pidato itu. “Biar bagaimanapun, apa yang terjadi sampai sebegini nekat? Namjoonie yang Papa tahu itu memang pintar, tapi bukan gegabah. Lee Namjoon pintar dan juga berpikiran matang, tenang, dan penuh rencana.”
“Aku ke sini bukannya tanpa rencana, Pa.”
Namgil mendengus. “Ini tetap tindakan gegabah, kalau Ayah gak menyangka kamu benar-benar pergi ke sini. Ayah sudah bilang ke kamu untuk jangan pergi—lalu kenapa dilanggar?”
“Ayah marah dan bilang kalau terlalu berisiko kalau aku pergi ke Hongkong—dan menjalankan ideku—karena keputusan soal kantor itu melibatkan banyak pihak. Pemerintahan, orang lokal, peraturan rumit, dan juga uang yang tak sedikit. Tapi—”
“Memangnya apa yang bisa dilakukan mereka dengan anak kecil kayak kamu, Joonie? Hanya ada dua skenario buruk yang kemungkinan besar terjadi: mereka meremehkanmu, atau mereka menggunakan namamu sebagai keluarga Park untuk kepentingan pribadi—yang mungkin bisa lebih memperburuk keadaan.” Kata-katanya terdengar lelah, nyaris kehila- ngan suaranya. Sorot matanya redup oleh kantuk. “Sudahlah, gak usah repot memikirkan perusahaan—nanti rambutmu rontok dan beruban. Itu gak bagus buatmu. Lekas pulang dan tidur—tunggu, Ayah periksa email dulu, baru kita pulang,”
Namun Joonie mengepalkan tangan kesal. “Kalau begitu, Ayah juga gak ada bedanya sama mereka? Ayah mikir aku anak kecil yang gak ngerti apa-apa soal perusahaan—aku bahkan di sini otomatis karena aku anak Ayah. Memang apa yang aku tahu—yah, tapi aku mau cari tahu dan buktiin kalau aku mampu—bukan cuma karena aku keturunan Park.”
“Kamu ngomong apa? Ayah cuma gak mau kamu ngurus perusahaan yang merepotkan itu—Ayah saja pusing. Lagipula, Ayah gak bilang akan menutupnya sekarang juga. Ayah masih harus konsultasi banyak hal,”
“Dan biarkan aku membantu! Ini kayak aku bantu Ayah menjaga adik kalau Ayah pergi kerja supaya mereka baik-baik saja—aku juga mau bantu Ayah menjaga perusahaan Grandpa yang sekarat itu,”
Jungkook mendengus jengkel. “Ayah sudah menutup rapat untuk hari ini—gak perlu ada omongan lagi. Besok saja ‘kan bisa. Kamu terlalu tegang dan serius sampai gak bisa mikir jernih,”
“Ini ‘kan memang masalah serius!”
“Kamu ini sedang mementingkan nama baikmu saja?”
“Ayah—gak susah membiarkan aku pergi ke Hongkong dan melihat langsung. Mendapatkan informasi yang lebih jelas dan nyata. Aku bisa kasih tahu data lapangan ke Ayah, lalu memutuskan strategi yang tepat—”
Jungkook menginterupsi dengan nada tegas. “Gak ada siapapun yang pergi ke Hongkong—untuk urusan perusahaan atau apapun. Kalau pun ada—itu bukan kamu, Joonie. Pokoknya Ayah gak mau.”
“Kenapa? Karena aku cuma anak bawang, yang bakal bikin Ayah malu karena gak bisa apa-apa kalau sudah di Hongkong?”
Jungkook menatapnya marah. “Apa-apaan omonganmu, Joonie?”
“Aku bisa, Ayah. Aku cuma butuh Ayah percaya,”
“Kalau kamu ngotot begini, Ayah semakin gak suka.” Jungkook me- raih jasnya dan mengatakan keputusan akhirnya, “mulai sekarang kamu gak usah mengurusi kantor cabang Hongkong. Sepertinya Ayah salah bikin kepalamu terlalu penuh—ini cuma bukan saatnya kamu repot. Besok, pergilah ke lantai dua puluh dua dan bantu cabang London,”
Alih-alih merasa senang oleh beban yang dikurangi, Namjoon semakin marah dan berkata, “terserah Ayah. Aku tetap menentang kantor Hongkong ditutup—aku bisa menyelamatkannya dengan caraku sendiri.”
“Lee Namjoon!”
“Maaf. Aku akan telpon Paman Shin untuk jemput Ayah—aku pulang ke apartemen buat malam ini.”
Jungkook mengejar anaknya yang berjalan cepat keluar dari ruangan kantornya, tapi dia terlalu lelah untuk bisa mendapatkan lengan besar Joonie yang sudah jauh di depan. “Lee Namjoon!”
Mengingat hingga ke detailnya sungguh menambah beban hu- kuman untuk Joonie. Rasanya payah sekali sudah memperlakukan Ayahnya sedemikian buruk. Joonie sudah mengutuk dirinya sendiri saat mendengar suara Ayah malam itu—yang terakhir didengarnya dengan begitu marah, kecewa, sekaligus sedih. Joonie tak punya satu pun pembelaan lagi dari ceritanya—yang ditutup dengan sangat tak elegan, “makanya aku segera menyusun rencana, membeli tiket ke Hongkong, dan langsung pergi ke sana besok paginya. Hanya itu … dan aku gak tahu sudah membuat segalanya makin rumit, ”
“Menurutmu begitu?” tanya Namgil.
Joonie mengangguk pelan.
“Semuanya berjalan sesuai rencana?”
Joonie mengangguk lagi. “Kecuali sekarang aku pulang,”
“Apakah rasanya menyenangkan—sebelum duduk di sini?”
Pertanyaan itu hanya dibalas bisu.
Sementara itu, Namgil memanfaatkan waktu singkat itu untuk mengatur napas yang memburu. Dia marah, tapi tak mau kelewatan saat merespon tingkah anaknya yang buat dia kalang kabut.
Bukan sebuah keterkejutan luar biasa bagi Namgil mendengar cerita pertengkaran hebat antara putra sulung dan suaminya, sebab Jungkook sendiri membagikan kisahnya. Namun, pada awalnya, dia berpikir kalau Jungkook mungkin sedikit berlebihan menanggapi situasinya—sebab begitulah karakter Jungkook dan Namjoon yang dia kenal selama ini. Di dalam kepalanya, tak pernah sekalipun Namgil membayangkan Namjoon bisa marah-marah, membangkang, apalagi membuat hati Jungkook sakit demi kemenangan sendiri.
“Papa masih gak ngerti kenapa kamu harus bersikap begitu ke Ayah—hanya karena sebuah perusahaan.” Namgil kembali menatap tajam pada anaknya. Tangan dikepal erat. “Kita semua kenal Ayah yang suka ceplas-ceplos saat bicara, tapi Ayah adalah pria berhati lembut dan gak akan marah kalau sesuatu berjalan baik-baik saja. Bahkan meskipun Ayah marah ke kalian, Ayah akan melupakan semuanya begitu mudah dan minta maaf dengan ucapannya langsung. Ayah gak pernah gengsi untuk minta maaf sama kalian jika memang itu kesalahan Ayah—bukan cuma kabur dan pura-pura gak ada yang terjadi di antara kalian. Jadi, Papa bingung ajaran payah dari mana yang kamu jadikan panutan sampai bertingkah kurang ajar?”
Namjoon tahu posisinya salah . Dia mengaku, “aku yang gak bisa kendalikan diri dan asal marah ke Ayah. Aku cuma mikir kalau Ayah gak pernah ngeliat aku sebagai pria dewasa—dan itu bikin aku kesal, kecewa, sedih—tapi apa artinya pembuktian kalau aku malah bikin Ayah sakit? Aku—sungguh—menyesal, Pa. Nyesel banget,”
“Kalau Ayah gak sakit, kamu gak akan kepikiran? Kamu bakal terus anggap tindakanmu benar?”
Namjoon, di sisinya menggeleng. “Aku payah dan bodoh karena egois. Apapun keadaan Ayah—sakit atau gak—aku sadar kalau aku salah karena udah ngomong gak sopan dan bikin Ayah lebih kecewa. Kalau dipikir, ada benarnya ucapan Ayah: Joonie masih anak-anak. ” Dia mengambil napas panjang sebelum berkata, “aku idiot.”
Alih-alih setuju akibat amarah dalam dada, Namgil mengambil napas panjang yang sama dan mengendalikan dirinya. Membuang jauh-jauh pikiran untuk bertindak gegabah pada anaknya hanya karena dia marah. Jika dia membiarkan pikiran intrusifnya menguasai, maka tak ada bedanya dia dengan anak dua puluhan tahun di sisinya sekarang. Justru Namgil harus memberi contoh. Dia bersandar ke bangkunya dan melirik Namjoon. Bertanya akibat rasa penasaran yang tak terjawab—karena tak dipahaminya. “Papa masih gak ngerti apa pentingnya perusahaan itu buatmu, Joonie.”
Empunya nama sedikit lega karena Papa sudah memanggilnya dengan nama kecil alih-alih nama lengkapnya.
“Papa tahu kamu orang yang penuh rencana. Papa kenal kamu dari bayi. Kamu gak hanya suka menyusun strategi, tapi juga punya alasan yang kuat untuk melakukan sesuatu. Papa ingat kamu yang dulu mau punya laptop mahal untuk design —padahal kamu aja gak terlalu suka menggambar. Kamu gak mau dibantu Papa atau Ayah, kamu juga gak cerita kenapa kamu mau laptop baru. Pokoknya, kamu mau dapatkan uang untuk beli laptop itu. Rupanya, kamu membeli itu untuk teman sekolahmu yang baru kena musibah—teman yang sama yang menolongmu saat kena rampok,”
Namjoon mengangguk. “Bisa dibilang, kali ini sama saja.”
“Apa masalahnya?”
“Kalau Papa ingat, perusahaan di Hong Kong itu adalah tempat magang pertama buatku. Grandpa yang menyuruhku untuk bisa mulai terjun ke dunia kerja sungguhan. Aku senang sekali. Grandpa selalu punya tantangan dan aku selalu suka tiap Grandpa memberiku misi untuk diselesaikan. Kalau Grandpa percaya aku bisa membantu perusahaannya, tentu aku merasa sangat spesial! Terlepas dari aku memang cucu pertamanya.”
Namgil mulai bisa membayangkan alurnya. “Ya, Papa ingat.”
“Waktu pertama Grandpa minta aku magang di anak perusahaannya, aku sudah siap! Bahkan jika Grandpa suruh aku pergi ke anak perusahaan di Kairo, aku akan berangkat. Grandpa tertawa dan berpikir untuk mengirimku ke London atau Swiss, tapi Ayah gak setuju, dan minta Grandpa untuk menempatkanku di anak perusahaan yang lebih dekat—Hong Kong lah pilihannya.
Aku masih ingat Grandpa yang adu mulut dengan Ayah dan segala ledekan mereka yang biasa: betapa Ayah selalu manja pada Kakek dan sekarang gantian manja padaku. Awalnya Grandpa jengkel dan gak setuju karena Hong Kong terlalu dekat buatku belajar dan kerja di negeri orang, tapi Ayah selalu punya cara untuk membuat Grandpa luluh—terlebih sekarang Ayah yang memegang perusahaan, dan bukan Grandpa lagi. Ayah mau aku pergi ke Hong Kong jika itu harus ke luar negeri—atau tidak sama sekali. Sejujurnya, aku gak masalah! Hong Kong, India, atau Kairo—aku tetap mau berangkat.”
Namgil mengangguk. “Ayahmu gak bisa jauh darimu, Nak. Hanya butuh sekitar 4 jam buat nyusul kamu kalau Ayah kangen sama kamu yang sibuk di Hong Kong. Kalau di luar Asia Timur, Ayah bisa uring-uringan selain karena perbedaan zona waktu yang jauh, dan gak bisa sembarangan beli tiket pesawat. Susah mengaturnya,”
Sifat manja Ayahnya tak pernah membuat Joonie malu. Dia senang jika Ayah sangat menyayanginya hingga tak rela berpisah de- ngannya bahkan di usianya yang sudah cukup dewasa. Memikirkan itu, Joonie kembali dilanda rasa bersalah. Namun, dia melanjutkan ceritanya terlebih dahulu. “Setelah sepakat, aku pergi dan memulai hidup baru di sana. Orang-orang di sana baik padaku, sekalipun mereka gak tahu siapa aku—aku dan Ayah setuju untuk gak membawa embel-embel anggota keluarga—dan memperlakukanku sangat ramah. Mereka hanya tahu aku anak magang dari kampus ternama, mungkin itu yang bikin agak bias, tapi aku senang sekali di sana. Bukan artinya aku sama sekali gak pernah dimarahin. Kepala divisi dan rekanku di sana, bisa ngomel panjang lebar kalau aku melakukan kesalahan—tapi mereka akan ngajarin yang benar dan ngasih solusi supaya aku gak mengulang kesalahan sama. Setelah masalah teratasi kami akan senang-senang seperti sebelumnya. Mereka gak bawa hati saat bekerja, dan tetap jadi teman baik kalau bertemu di akhir pekan. Bisa dibilang, aku punya ikatan emosional khusus untuk mereka.”
“Dan kamu kasihan pada teman-temanmu di sana, kalau suatu saat perusahaan itu, mungkin, benar-benar dibubarkan?”
Joonie mengulum bibir akibat ngeri membayangkan hal buruk terjadi di sana. “Kedengarannya memang egois, ya?”
“Kamu kasihan sama mereka?”
Joonie mengangguk lemah. “Mereka sudah bekerja sangat lama untuk Park Company—begitu setia—dan kupikir, mengecewakan sekali kesetiaan itu tak dihargai sama sekali hanya karena keuntungan pihak teratas. Meskipun mereka cuma pekerja bawahan, tetap saja, tanpa mereka kita gak akan jadi sebesar ini di Hong Kong. Bukannya Grandpa sendiri yang bilang siapapun yang bekerja untuk Park Company adalah keluarganya juga? Aku cuma membayangkan, kalau itu adalah ayah dan ibuku sendiri yang hidupnya dipertaruhkan, menunggu kepastian dengan was-was, hanya bisa berharap suatu keajaiban berpihak pada mereka—supaya mereka tak perlu pergi ke tempat lain dan memulai semuanya dari awal. Kebanyakan karyawan di sana adalah orang berumur, dan anak-anak muda lebih suka cari kerja di startup agency.” Matanya melirik pada Papanya. “Aku minta maaf karena berlagak jadi pahlawan,”
Helaan napas Namgil keras, tetapi tak mengisyaratkan amarah seperti beberapa menit lalu. Air mukanya tak lagi kaku. “Papa ngerti kamu peduli sama mereka—orang-orang yang pernah jadi bagian hi- dup buat kamu berkembang dan memulai dunia pertama kali,”
“Iya,”
“Tapi, apapun niat baikmu untuk dunia; gak ada artinya jika kamu menyakiti orang yang paling penting buatmu. Papa gak tahu prioritasmu apa: karyawan cabang Hong Kong, atau Ayah— tapi di dunia ini, gak ada orang sukses yang menyakiti hati orang tersayangnya. Gak ada orang yang berhasil saat mereka menelantarkan orang yang selalu ada untuknya di setiap momen pahit dan manis.”
Singkatnya, Namgil mengingatkan Namjoon bahwa tidak ada kesuksesan yang dibayar dengan rasa sakit orang lain. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah; keluarganya sendiri. Bisa dimengerti jika dia mempunyai keluarga yang berantakan dan buruk, tetapi Namgil selalu berusaha menciptakan rumah hangat yang nyaman dan suportif untuk keluarganya—sehingga tak ada alasan bagi siapapun yang ada di bawah atapnya berani bertindak kurang ajar dan menyakiti satu sama lain. Namgil berkata pada anaknya, “gak ada salahnya punya rencana besar dan keinginan kuat untuk berhasil—tapi apa artinya kalau kamu gak bisa pulang untuk menunjukkannya? Apa artinya jika gak ada yang bahagia bersamamu? Apa artinya jika itu membuat Ayah sakit dan merasa uring-uringan? Bukankah kamu bilang bahwa ini semua untuk pembuktian diri bahwa kamu bisa—lalu pada siapa kamu akan membuktikan, kalau caramu kurang ajar bisa merusak hubungan sama Ayah?”
“Aku mengerti. Maafin aku,” balas Namjoon.
“Niat baik harus dibarengi dengan cara yang baik pula—baru itu menjadi kesuksesan yang berguna.”
Namjoon mengangguk, mengerti letak kesalahannya.
“Dulu Papa juga sama seperti kamu: ceroboh, gegabah, dan merasa tahu segalanya lebih dari siapapun. Tapi Papa mau kasih tahu, Nak, tak ada yang benar dalam diri kita selagi kita tak menjernihkan kepala. Selalu ada yang tak kita tahu. Apa yang kita pikir benar, belum tentu tepat saat kita benar-benar ada di tempat itu. Daripada asal pergi dan berperang, kita harus duduk dan menghirup udara. Berpikir. Emosi berapi-api nyaris gak pernah berhasil dengan sempurna.”
Saat mengingat tindakannya malam itu bersama Ayah, Joonie merasa sangat malu. Dia membayangkan dirinya bertukar peran dengan Ayah yang lelah dengan segala masalah kantor, rapat alot selama enam jam, ekspektasi besar dan tekanan dari segala sisi; sudah jelas Ayah bisa jengkel dengan omong kosongnya yang memimpikan solusi hebat seolah-olah dirinya adalah seorang raja penuh kuasa yang bisa menghidupkan kota mati. Kini Joonie merasa begitu tolol sudah berdebat dengan Ayahnya, dan bukannya menenangkan kerut di dahi Ayahnya lalu mengajaknya pergi makan enak atau mampir ke tempat relaksasi sepulang dari kantor.
Kalau saja Joonie bersabar sedikit, Ayah mungkin masih sehat.
Kalau saja Joonie berkepala dingin, keluarganya baik-baik saja.
“Maaf sudah bikin Papa, Ayah—semuanya kecewa.”
“Anakku,” sahut Namgil. Kini nadanya lembut, dan tak ragu mengangkat tangan untuk mengelus kepala lelaki tinggi itu. “Meski kamu bikin jengkel oleh drama, dan kata-kata kecewa bisa saja lolos dari mulut Papa dan Ayah tanpa sadar; Joonie tetap putra Papa dan Ayah yang kami banggakan. Joonie tetap abang yang baik, keren, dan pintar. Gak pernah sekalipun kami betul-betul kecewa—sebenarnya, ini juga jadi pembelajaran buat Papa dan Ayah yang mungkin melewatkan satu dua poin penting selama mengasuh anak, padahal kalian sudah mulai dewasa satu per satu. Papa dan Ayah juga minta maaf karena gak memahami Joonie—yang sudah dewasa dan punya suara untuk didengar sebagai seorang pria, bukannya sekedar anak-anak. ”
Mata Joonie panas memupuk air mata. “Joonie yang salah,”
“Dua-duanya salah. Ayah yang gak mau dengar kebawa capek, dan juga Joonie yang asal bicara gak sopan ke Ayah.” Namgil mengu- sap sudut mata anaknya yang basah. Ini masuk ke dalam momen langka saat dia melihat putra sulungnya menangis. “Papa sayang sama Ayah dan juga kalian. Papa gak apa-apa kalau kalian gak jadi penerus perusahaan, cuma jadi guru atau penulis, asalkan kalian semua bahagia dan rukun. Gak usah berantem hebat yang bikin kalian saling benci dan putus hubungan. Tapi, Papa akan beneran kecewa kalau Joonie—maupun adik-adik—bikin Ayah sakit hati dengan cara apapun. Kalian memang gak minta dilahirkan, tapi kalian bisa hidup dengan enak sampai sekarang, juga karena Ayah yang berjuang mempertaruhkan nyawa. Meskipun kedengaran jahat, Papa berani jujur: Papa gak apa-apa ditinggalkan kalian, asal bukan Ayah yang terluka dan pergi. Papa harap Joonie mengerti maksudnya,”
Namjoon mengangguk.
“Orangtua memang gak selalu benar,” imbuh Namgil. “Tapi bukan artinya kamu boleh melawan dengan ucapan kasar. Kamu besar dengan pendidikan, seharusnya bisa menghargai orang tua dan menghargai mereka dalam situasi pelik. Sopan santun gak buat kamu rendah diri, Nak. Orangtua bisa dikasih tahu. Sama seperti anak yang merasa kesal kalau diserbu omelan berbalut nasihat, orangtua pun akan jengkel. Kita, sebagai orang terdidik, harus bisa menyikapi situasi panas dengan kepala dingin,”
“Iya, Pa.”
“Cukup di sini terakhir kali Papa dengar kamu menyakiti Ayah dengan kata-kata. Kalau sampai kamu berani pakai fisik—”
Joonie menggeleng panik. “Aku gak akan begitu, Pa!”
“Papa tahu.”
“Sungguhan! Papa boleh balas pukul atau habisi Joonie kalau Joonie begitu ke Ayah—mimpi saja gak berani,”
Namgil mengangguk, ingin sekali tertawa melihat tingkah lugu putra sulung yang biasanya percaya diri dan tegas jadi kelabakan dan takut dengan sangat lucu. “Papa pegang omonganmu itu, Nak.”
“Sekali lagi, Joonie minta maaf.”
“Gak perlu,” balas Namgil cepat. Tangannya menepuk bahu Joonie yang tegang. “Kamu hanya perlu minta maaf sama Ayah. Ayah yang butuh kalimat itu supaya cepat sembuh dan gak khawatir lagi sama kamu. Berjanji sama Ayah supaya gak akan ulangi kesalahan fatal dengan bersikap kurang ajar—apapun caranya.”
Joonie mengangguk patuh. Kepercayaan diri dan antusiasme kembali mengalir dalam darahnya. “Pasti, Pa.”
“Karena Ayah masih kurang enak badan, meskipun kamu punya hal baik selama penelitian di Hong Kong, jangan bicarakan itu dulu sama Ayah. Sekalipun kamu punya informasi penting yang harus diteruskan sebagai strategi, jangan ngomong ke Ayah dulu. Gak usah bahas apapun soal pekerjaan dan urusanmu di Hong Kong. Ayah harus cepat pulih atau bisa-bisa sakitnya tambah parah. Ayah hanya butuh kamu muncul dengan baik-baik saja tanpa kurang satu apa pun. Temani Ayah, bujuk Ayah makan banyak dan minum obat. Kali ini kamu harus jadi perawat, bukannya business strategist. ”
Kesekian kalinya, Joonie mengangguk. “Siap, Pa.”
“Jangan bikin Ayah tambah sakit, untuk sementara.”
“Pokoknya Joonie janji, begitu sampai nanti, fokus Joonie cuma buat Ayah—harus sehat lagi dan gak makin memburuk.”
Namgil sudah bisa mengangkat sudut bibirnya membentuk senyuman tulus yang lega. “Papa mengandalkan kamu, Nak.”
“Maaf—sekali lagi—bikin Papa sampai repot-repot nyusul ke sini buat nyuruh Joonie pulang. Maaf Joonie udah sebesar ini, tapi masih kekanakan buat bertindak ceroboh dan gak mikirin perasaan Papa maupun Ayah. Joonie janji—gak akan ngeyel dan seenaknya kayak gini lagi, Pa. Jangan benci dan kecewa sama Joonie dulu, ya?”
Terbiasa melihat Lee Namjoon yang tenang, penuh percaya diri; karena selalu menjadi sosok laki-laki dewasa yang bertanggung jawab dan pandai, Namgil menjadi luluh saat mendapati sosok anaknya yang rapuh memohon ampun. Sampai rasanya dia khawatir bisa membuat anaknya sendiri trauma. Dia menggeleng dan mengelus kepala Joonie lembut. “Sudah Papa maafkan, Nak. Papa bisa paham kamu gak asal marah ke Ayah untuk hal remeh.”
“Tetep aja—”
“Mending kamu bobok aja,” kata Namgil. Dia bisa melihat lelah di dalam sorot mata anaknya, dan itu membuatnya tak tega. “Kamu sudah berusaha keras. Mumpung masih ada waktu, kamu bobok aja. Kayaknya, kamu gak bakal bisa bobok kalau udah di rumah,”
Joonie mengangguk kemudian memejamkan mata.
“Selamat tidur, Pa.”
Sementara itu, Namgil tidak tidur dan memilih untuk menikmati waktu sepinya memandangi wajah anak laki-lakinya. Semakin lama melihatnya, semakin banyak dia melihat sosok dirinya sendiri di dalam Joonie. Namgil tersenyum sendiri dengan pemikiran itu.
Dia selalu bangga saat berpikir bahwa Namjoon mewarisi begitu banyak hal darinya. Cekatan, cerdik, penyayang, dan tak pernah malu untuk bertindak layaknya ksatria pelindung bagi orang yang disayanginya.
Barangkali memang begini jadinya jika menyematkan nama besar mendiang Kim Namjoon—saudara Papinya, Taehyung—di dalam nama anaknya. Lee Namjoon juga adalah seorang pahlawan; dia tak akan pernah malu untuk mengatakannya. Namgil mengusap dahi dan seluruh permukaan wajahnya yang berkeringat dingin. Jelas sekali Joonie sangat ketakutan.
“Kamu begitu mirip dengan Papa,” katanya menyuarakan isi kepalanya yang sejak tadi menggema. “Sampai sikap gegabah pun sama seperti Papa—yang satu itu jangan diikuti, dong, Nak. Dasar,”
Di sisinya, Joonie mendengkur pelan. Cepat sekali dia pulas.
Namgil menyelimutinya setelah melihat tangan Joonie sibuk memeluk dirinya sendiri mencari kehangatan. Ini hari yang sangat melelahkan baginya, tapi dia tahu Joonie juga pasti sangat lelah dan pusing dengan begitu banyak pengorbanan untuk berada di sini.
“Hidupmu masih panjang—semoga,” bisik Namgil sebelum mengecup dahi Joonie dan bersiap tidur. “Ayo belajar sama-sama, ya. Jadilah pria dewasa yang lebih baik, bahkan dari Papa atau Ayah.”
Resep 2: Saling Memaafkan
TIUPAN dari mulut untuk menetralkan ramen pa- nas yang diangkatnya sudah dibuat sepelan mungkin. Bahkan, si koki juga memasak dengan sangat hati-hati agar gerakannya tak membangunkan siapapun di rumah. Sebab, sekarang sudah hampir jam lima pagi. Tentu ini jadi waktu ilegal untuk sarapan—terlebih dengan ramen instan.
Namun, suara menggelegar yang familiar membuatnya terperanjat dan nyaris tersedak ramen yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Empunya nama dipanggil, “Ayoung? Ara?”
“ Hmpmh— aduh!”
“Papa—udah pulang—” Ara yang bangun terlebih dulu dari kursi dapur. Matanya menangkap sosok pria lain di sisi Papanya, dan cukup kaget. “Kakak Joonie juga—”
Alih-alih menjawab pertanyaan Ara, Namgil mengerutkan dahi memandang dapur yang terang dengan sepanci ramen dan dua gelas air mineral dingin. “Kalian ngapain jam segini? Biasanya belum pada bangun—jangan bilang kalian begadang?”
Ara melirik adiknya yang gelisah di bangkunya. “Ayoung lapar,”
“Lapar? Jam segini? Kalian gak makan malam?”
Ayoung membalas dengan jawabannya sendiri. “Sudah makan malam, kok! Tapi Ayoung lapar tiba-tiba … sebelum tidur itu udah ngerasa masih lapar, tapi Ayoung tahan—tapi malah jadi gak enak dibawa tidur karena mau makan, tahu-tahu udah jam segini.”
“Kasihan Ayoung tidur ke sana kemari gak jelas, ternyata karena lapar. Jadi Ara bikinin ramen aja yang cepat,”
Namgil menggeleng terheran. “Ya sudah kalau memang sudah makan malam dan ini bukan hasil begadang. Tapi Ayoung,” katanya menatap anak bungsunya tegas. “Kalau memang lapar, boleh saja Ayoung makan—tapi jangan terlalu banyak. Nanti sakit perut. Kalau mau makan juga jangan asal makan—buah segar ‘kan ada banyak. Jangan terlalu banyak tepung-tepungan juga.”
“Iya,” balas Ayoung malu.
Setelah mempersilakan Ayoung meneruskan makan yang sempat tertunda, agar mi dalam mangkuknya tidak mengembang hingga bisa menghilangkan kuah, Namgil bertanya pada Ara. “Kakek sama Grandpa masih tidur, Kak?”
“Iya, Pa. Ara sama Ayoung janji makan pelan-pelan gak berisik biar gak bangunin seisi rumah. Takut Ayoung dimarahin juga,”
“Ayah gak rewel?”
“Gak. Tidurnya pulas banget habis minum obat,”
Namgil mengangguk lega. “Ya sudah. Habis makan, langsung cuci mangkuk dan tidur lagi. Masih terlalu pagi. Kak Joonie juga naik ke kamar dan lanjut tidur. Kita berkumpul nanti jam delapan pagi,”
“Iya, Pa.”
Ayoung sempat mengomel pada Joonie sebelum kakak laki-lakinya itu pergi ke kamarnya sendiri. “Kakak jangan kabur-kaburan lagi kayak anak kecil, yah! Awas kalau bandel—nanti Ayoung gigit!”
“Iya. Gak akan bandel lagi,” balas Joonie.
“Ayah jadi sakit gara-gara Kakak— huh! Nanti tetap Ayoung gigit soalnya Kakak udah bandel!”
“Boleh, tapi habis Kakak ketemu sama Ayah buat minta maaf.”
Namgil mendorong Joonie untuk segera naik ke lantai dua dan pergi ke kamarnya. “Jangan adu mulut sekarang. Ayoung cepat kamu habiskan makananya. Ara jagain adik. Joonie tidur. Jangan ribut!”
“Iya, Pa.”
Setelah itu, Namgil masuk ke kamarnya. Dia buru-buru mencuci muka, menggosok gigi, dan ganti pakaian. Tubuhnya terasa pegal luar biasa. Kantuk mulai menghantamnya. Matanya berat tidak bisa diajak kerja sama. Namun, dia tetap memprioritaskan Jungkook yang tidur pulas di atas ranjang. Selelah apapun Namgil, dia akan tetap pulang untuk memeriksa keadaannya.
“Sudah gak demam,” bisiknya usai meraba dahi dan lehernya. Dia lega sekali dengan hasil pemeriksaan sederhana itu. Dia ucapkan syukur lewat usap lembut di kepala suaminya, serta kecupan manis di atas dahinya yang dingin. “Sayangku jangan sakit lagi,”
Tindakan itu membangunkan Jungkook.
Namgil sudah beringsut ke dalam selimut yang sama dengan Jungkook dan bersiap menidurkannya, tapi Jungkook membuka matanya dan bertanya dengan khawatir, “kamu kemana, sih, Kak?”
“Ini aku di sini, ‘kan?”
“Tadi,”
“Kenapa, memangnya?”
Meski masih mengumpulkan nyawa, Jungkook bisa cemberut dengan lucu dan merengek ke dalam pelukan suaminya. “Aku tidur gak sama kamu—rasanya dingin. Biasanya meluk kamu, tapi tadi cuma meluk guling yang gak bisa dicium. Ara bilang kalau kamu ada urusan kerjaan yang mendadak dan gawat—aku gak percaya, tapi aku juga gak tega kalau bilang Ara bohong dan marahin dia.”
“Jangan,” kata Namgil cepat. “Marahin aku aja,”
Dahi Jungkook mengerut. “Jadi Kakak ngaku kalau bohong?”
Namgil menarik napas panjang. Dia mengusap punggung suami tersayangnya dan mengangguk pelan. “Maaf karena aku sudah minta Ara buat bohong sedikit sama kamu, Sayang.”
“Kok bisa ngajarin anak bohong—”
“Aku ke Hong Kong untuk bawa pulang Joonie.”
Jawaban itu tak pernah ada dalam benak Jungkook, sehingga dia termenung dengan rasa kaget. Bingung, namun juga antusias yang bercampur perasaan lega. Bibirnya gemetar saat bertanya pada Namgil, “jadi … jadi Joonie sudah pulang? Joonie di rumah?”
“Iya.”
“Beneran?”
Namgil mengangguk. Ingin sekali menertawakan air muka pria kesayangannya ini—begitu polos dan lucu, namun dia menahan diri dan hanya tersenyum. “Joonie sudah aku suruh ke kamar dan tidur. Hari ini dia menjalani hari yang melelahkan. Ketemu nanti, ya?”
Jungkook bisa saja lompat dari ranjangnya sekarang dan berlari ke kamar putra kesayangannya. Namun, dia tahu diri untuk biarkan Joonie istirahat. Dia mengangguk, tanpa menghilangkan antusiasme yang membuncah dalam dadanya. Tentu dia sangat senang dengan kabar baik yang mendadak dan tak terduga.
Meskipun ada perselisihan di antara dirinya dengan Joonie, dia lebih khawatir tak mendengar kabarnya dan kehilangan. Maka, saat Namgil (yang tadi kabur entah kemana), tak terkira lagi kesenangan Jungkook dan rasa syukur yang dipanjatkannya. Dia tersenyum pada suaminya yang tampak lelah. “Kok bisa—kok dia bisa nurut pulang pas kamu datengin dia, Kak?”
“Dia memang sudah harus pulang,”
“Aku kenal sekali sama Joonie-ku,” kata Jungkook mengerutkan dahi tanda berpikir. “Aku kenal banget Joonie bisa jadi bandel dan keras kepala kalau sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dia memang orang yang tenang, tapi dia juga berapi-api dan gak mau menyerah kalau sudah meyakini sesuatu. Jadi aku bisa ngerti kalau dia masih bersikukuh tinggal di Hong Kong,”
Namgil tak langsung menjawab. Dia mengeratkan pelukannya dan mengusap punggung Jungkook dengan gerakan cemas. Ada kalanya, dia bisa jadi sangat takut saat bicara dengan suaminya. Tentu ada beberapa hal yang membuat Namgil khawatir jika kebenaran dari mulutnya akan menambah kekacauan dalam kepala Jungkook. Dia mengambil banyak waktu sebelum menjawab jujur, “aku memang paksa dia supaya pulang malam ini juga.”
“Paksa—maksudnya gimana? Jelasin!”
“Jangan marah dulu, not good for your health, ” kata Namgil mengingatkan Jungkook untuk tetap tenang. “Aku sengaja pesan tiket pulang pergi dan gak kasih waktu buat Joonie untuk mikir lagi. Pokoknya dia harus pulang. Kalau gak mau, gak masalah. Aku bisa seret badannya yang tinggi itu ke bandara.”
Jungkook mencubit perut suaminya jengkel. “Aneh!”
“Mau atau tidak mau—aku gak peduli. Joonie harus pulang,”
“Pasti kamu marahin Joonie juga?”
Pertanyaan itu terdengar konyol dan aneh, sampai Namgil tak kuasa memberikan tatapan terheran dengan dahi mengernyit dalam. Dia menghela napas. “Itu sudah pasti. Dia pantas dimarahi,”
“Dan aku gak pernah suka kalau Kakak marahin anak-anak,”
“Itu harus, Dek.” Namgil mengusap kepala suaminya. Sorot matanya tegas, namun tetap lembut. Dia berusaha menunjukkan tak ada kekejaman tak normal yang sudah dilakukannya. Menurutnya, sikap tegas dan omelannya kepada Joonie beberapa jam lalu bukan sebuah hal buruk. “Joonie sudah kurang ajar. Terlepas dari Joonie yang biasanya nurut, kali ini dia sudah kelewatan. Lupakan sejenak sosok Joonie yang kamu sayang—kalau dia salah, ya harus diberi tahu. Kalau dia salah, ya harus diberi perlakuan yang sama kayak adik-adiknya. Kalau dia salah, ya harus dinasihati.”
“Iya, tahu, tapi ‘kan—”
“Kesalahan dia kali ini bukan cuma merugikan dirinya sendiri, tapi sudah menyakiti orang lain. Joonie bikin kamu sedih dan sakit hati, sudah pantas dia diberi teguran supaya sadar itu salah.”
Meskipun sering mengomel pada anak-anaknya, tapi ada rasa ganjil yang tak nyaman tiap dia melihat suaminya marah. Jungkook berpikir cukup dirinya saja yang mengambil peran galak itu di mata anak-anak. Namgil harusnya tetap jadi sosok Papa yang sabar dan tenang saat menghadapi kenakalan anak-anaknya. Namun, di sisi lain, dia juga bisa memahami bahwa semua orang punya ambang batas emosi dan bisa marah—begitu pula Namgil.
Namgil mengusap pipi Jungkook. Merasa—sedikit—bersalah karena membuat pria kesayangannya sedih, namun dia yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. “Sebagai orang tua, jelas kita harus tegas sama anak-anak. Itu tidak mengurangi rasa sayang kita ke anak-anak sama sekali. We can love them endlessly, but also teach them to be strong and always tell them when they’re wrong. ”
“Ngerti, Kak.”
“Kalau anak gak pernah dimarahin, selalu disayang-sayang dan dibiarkan tanpa pengawasan; mereka gak akan pernah tahu kalau mereka salah. Mereka gak akan pernah ngerti perasaan orang lain. Kalau itu hanya menyakiti dirinya di kemudian hari, mungkin gak masalah. Tapi itu mustahil—mereka akan jadi makhluk sosial, dan bisa menyakiti orang lain dengan tindakan mereka. Makanya, kita sebagai orang tua harus jadi guru pertama buat mereka.”
Jungkook mengangguk. “Iya, Kak. Maafin,”
“Gak perlu minta maaf, dong, Dek. Kamu ‘kan yang lebih sering ngomelin anak-anak dibandingkan aku?” kata Namgil jahil.
“Ngeledek terus!”
“Bukannya ngeledek, lah.” Namgil terkikik. “Memang fakta,”
“Gitu aja terus!”
Namgil mengucap maaf dan mencuri kecup lembut di atas bibir suaminya. Dia menceritakan perjalanan singkatnya mencari Joonie dan membawanya pulang ke rumah dengan—sedikit—drama. Kalau diingat-ingat lagi, Namgil merasa seperti baru saja berakting film keluarga yang emosional. “Dari pengamatanku, Joonie menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya. Aku mengabarinya soal kamu yang sakit demam karena khawatir dan gak jaga kesehatan karena memikirkan Joonie terus.”
“Kenapa dikasih tahu?”
“Supaya dia tahu kalau perbuatannya memang menyakiti orang lain. Ini lebih dari sekedar dia memberontak seseorang karena satu rencana ide yang akan dilakukannya. Ini lebih dari sekedar seorang pria dewasa yang ingin menggapai mimpi meskipun ditentang oleh orang tua—tapi ini tentang anak yang lupa kalau dia sudah berani membuat keadaan kacau karena gelap mata oleh emosi sesaat.”
Biasanya, Namgil paling jarang marah. Jika ada sesuatu yang membuatnya kesal atau jengkel, Namgil hanya menggelengkan ke- pala dan menasehati pelan-pelan. Jungkook bisa bayangkan betapa menegangkan situasi di antara Namgil dan Namjoon—dua pria di dalam keluarga kecilnya yang paling pendiam. Jungkook merasa bersalah sudah membuat anaknya dimarahi. “Apa Joonie-ku nangis?”
“Hampir,” balas Namgil. “Tapi gak masalah kalau dia mau menangis. Dia bisa menangis. Dia boleh menangis. Aku memang agak gak tega waktu Joonie sudah berkaca-kaca memohon ampun sambil gemetaran, tapi aku harus membiarkannya mengeluarkan emosi itu.”
Bibir Jungkook mencebik. “Oh, Joonie-ku sayang.”
“Nanti Joonie sepenuhnya milikmu, ”
“Maksudnya?”
Namgil membelai wajah suaminya penuh kasih. “Joonie sudah janji akan datang padamu. Aku gak akan mau repot-repot terbang ke Hongkong dan langsung pulang lagi ke rumah kalau Joonie gak mau ketemu kamu. Dia harus ketemu kamu. Nanti, Joonie bakal minta maaf sama kamu. Dia juga sudah janji bakal jadi dokter spesial buat kamu, untuk menebus kesalahan dia. You’d enjoy it all day, Dek.”
“Dasar tirani,” ejek Jungkook.
Namgil mengelak. “Bukan aku yang suruh. Dia sendiri yang menawarkan diri, kok. Lagipula, itu tanggung jawabnya. Tiga hari orang rumah merawat pasien bandel ini dan gak sembuh-sembuh. Sudah saatnya kita panggilkan dokter spesial, ‘kan?”
Selalu ada hal yang bisa membuatnya tertawa renyah meskipun Namgil bicara dengan nada serius. Pria itu memang punya selera humor payah, tapi Jungkook terbiasa dan menikmatinya seiring berjalannya waktu puluhan tahun hidup bersamanya. Jungkook cubit pipi suaminya yang kering dengan gemas. “Baiklah, baiklah.”
“Aku sudah pesan sama Joonie supaya gak perlu membahas soal pekerjaan apapun—termasuk kantor Hong Kong. Sedetik pun jangan ada omongan soal pekerjaan. Kamu masih harus istirahat total dan sembuh benar. Kalau Joonie berani melanggar syarat ini di belakang aku, langsung kasih tahu aku—biar aku kasih pelajaran tambahan.”
Jungkook mendengus keras. “Tirani!”
“Aku ini sedang menjaga harta yang paling berharga,”
Wajah Jungkook bersemu di dalam ruang yang temaram. Dia berharap Namgil tak perlu melihatnya konyol di saat begini. Pastilah aneh masih malu-malu dengan pujian payah itu di umurnya yang nyaris lima puluh tahun. Bisa diledek habis-habisan dia! Jungkook berusaha keras untuk mengabaikan kalimat (yang sebenarnya me- nyenangkan hati) itu dengan pelukan hangat.
Ah. Kangen sekali. Meskipun cuma satu jam, jika Jungkook tak memeluknya, rasanya ada yang kurang. Padahal seharian ini dia ba- nyak tidur sampai tak sadar Namgil punya waktu yang sangat luang untuk bisa pergi bolak-balik ke Hong Kong. Namun, Jungkook sudah tak gelisah lagi kedua pria kesayangannya—Namgil dan Joonie—ada di dalam rumahnya. “Aku juga gak mau bahas soal pekerjaan sama Joonie begitu nanti kita ketemu. Aku cuma mau tahu apakah dia bisa makan enak dan tidur cukup kalau gak ada aku yang ingetin?”
“Dia bisa menjaga dirinya sendiri, Sayangku.”
“Aku tahu dia sudah besar, tapi instingku menjaga dia gak akan pernah berkurang. Bahkan saat dia sampai ke usiaku sekarang nanti, meskipun dia punya istri dan anak-anak gemuk, aku bakal sempatkan waktu untuk menelpon Joonie buat makan siang dan makan malam. Dia juga harus tidur sebelum jam dua belas malam kalau dia mau jadi orang produktif dan bekerja dengan baik di pagi hari. Aku gak akan pernah bosan melakukannya, ”
Namgil mengangguk memahami perasaan suaminya. “Lucu juga—kalau mengingat betapa siang kamu biasanya bangun sebelum punya anak-anak. Ah, masa lalu yang menggemaskan. ”
“Sekali lagi ngeledek, aku kasih hadiah piring, nih!”
Namgil tertawa pelan.
“Lagipula, Kak, ini juga salahku.” Jungkook menyembunyikan wajahnya di belahan dada Namgil yang bidang. “Maksudku, kalau waktu itu aku juga bisa menahan emosi dan gak asal marahin Joonie, dia gak mungkin kabur. Dia kecewa karena aku gak bisa percaya sama dia. Dia kecewa karena aku selalu melihat dia sebagai anak kecil, dan aku—tanpa sadar—sudah menyakiti perasaannya pula.”
“Hei, Sayang—”
“ Anak gak selalu salah— ya, ‘kan?” Jungkook memundurkan diri dan menatap mata suaminya. “Dia kabur dan bikin aku khawatir sampai sakit; iya. Tapi, tetap gak menghilangkan poin penting lain kalau aku yang bikin Joonie kabur. Emosi seseorang, apalagi masih seusia Joonie, bisa meledak kapan saja. Iya, ‘kan? Kita di usia Joonie sekarang juga masih naik turun. Sudah bukan remaja, dan mulai dewasa, tapi belum sepenuhnya bijak. Dia masih berapi-api, kita juga begitu dulu. Joonie salah, iya—tapi aku juga. Aku, sebagai pria yang lebih dewasa, harusnya, bisa mengajarkan apa itu kesabaran dan bertindak dengan kepala dingin. Bukan ngomong nasehatin saja tapi akunya juga marah-marah. Sama aja. ”
Jika membandingkan puluhan tahun lalu awal Namgil kenal dengan Jungkook, dia sangat terpukau dengan pemikiran pria ini. Sekarang, tak ada lagi Jungkook yang kekanakan dan selalu mau menang dalam setiap situasi. Dia bisa manja, tetapi dia akan menjadi ayah yang baik. Namgil mengangguk. “Sepertinya obatnya bagus,”
“Aku memang berpikir jernih selama disuruh istirahat.”
“Itu bagus, Dek.”
“Habisnya bosan tidur melulu. Tidur doang juga capek. Jadi aku pakai waktunya buat berpikir,” kata Jungkook menceritakan dari sudut pandangnya selama berbaring di kamarnya. “Ada kalanya, aku sampai di kesimpulan bahwa aku—mungkin—Ayah yang buruk.”
Namgil tak suka mendengarnya, jadi dia mencubit pelan bibir Jungkook dan menggeleng. “Jangan ngomong kayak gitu. Kamu gak boleh lupa kalau omongan itu doa. Lagipula, apa yang buruk dari bersikap tegas ke anak? Kamu gak menyumpahi Joonie. Kamu juga gak memukul dia. Kamu mungkin meremehkan dia, tapi itu salah satu insting yang—memang patut diakui—gak bisa lepas dari kamu sebagai Ayah Joonie yang mau melindungi dia. Kamu mikirin kalau Joonie di negara orang bertindak gegabah dan berurusan sama orang jahat. Bisnis itu bisa sangat kotor, dan kamu gak mau Joonie terlibat di dalam dunia kotor—menurut kamu, dia belum siap. Aku gak bilang kamu paling benar, tapi bukan artinya kamu yang terburuk. ”
“Yah, aku memang selalu melihat Joonie sebagai anak kecilku, meskipun aku juga sering melihatnya bergabung di ruangan rapat. Aku melihat Joonie melakukan riset dan mempresentasikan hasil analisisnya yang teliti dan tanpa celah. Aku melihat Joonie membelikan barang-barang bagus, mentraktir kita semua makan enak, dan memberi hadiah natal setiap tahun sejak dia bekerja—tapi aku masih melihatnya sebagai putra kecilku yang selalu menemaniku menjemur baju atau memasak. Kalau dipikir, aku bisa memahami perasaan Joonie malam itu, Kak. Aku ngerti kenapa dia marah.”
Namgil mengangguk. “Oke. Aku pun berpikir demikian. Kalian punya porsi kesalahan masing-masing. Joonie juga sudah mengaku bahwa dia sudah kurang ajar sama orang tua—terlepas dari apapun alasan heroiknya. I’m beyond proud of you both. Gak mudah buat orang bisa mengaku kalau mereka salah.”
“Karena aku juga dulu begitu, ‘kan?” Jungkook bernostalgia ke masa lalunya yang serupa. “Aku juga dulu bandel dan susah dikasih tahu sama Daddy. Aku selalu cari cara lain kalau Daddy atau Papi gak kasih ijin soal apa yang aku minta. Aku merasa terkekang karena gak dibolehin ini-itu meskipun aku sudah besar. Makanya, aku ngerti. ”
“Jadi orang tua gak selalu gampang, ya?”
Jungkook mengangguk. “Tapi, aku gak akan nyerah!”
“Aku juga.”
Mereka berciuman intens. Namgil menggerakkan lidahnya di dalam mulut Jungkook, namun ciuman mereka tidak mengantakan mereka pada kegiatan seksual lebih lanjut. Namgil tahu diri bahwa suaminya perlu istirahat daripada memuaskan nafsunya. Lagipula, dia pun juga sangat lelah dan ingin segera tidur. Dia sama sekali tak bisa nyenyak saat tidur di pesawat.
“Kita akan baik-baik saja, ‘kan?” tanya Jungkook.
“Pasti.” Namgil menangkup wajah suaminya. Jawabannya yakin tanpa perlu berpikir. “Gak usah sedih atau mikir aneh-aneh lagi, ya. Nanti kalian sama-sama minta maaf dan baikan. Kita—keluarga kecil kita— will be fine . Ini cuma hujan deras yang akan reda,”
Jungkook mengamininya. Kemudian mengajaknya tidur.
***
Setelah sarapan, Jungkook menunggu di kamarnya dengan gelisah dan dada berdebar. Dia teringat pada hari pernikahannya dulu, sebab rasa campur aduk antara senang, takut, dan gugup sama persis dengan situasinya hari ini. Padahal, dia hanya menunggu anak laki-lakinya setelah beberapa hari tak saling tukar kabar. Jungkook meyakinkan dirinya bahwa ini hanya anaknya. Anak pertama yang selama ini jadi penenang sekaligus cahaya terang di hidupnya.
Jungkook sudah berjanji untuk tidak marah pada Joonie hari ini meskipun dia sangat ingin. Jungkook sudah berjanji dia akan mendengarkan sudut pandang anak laki-lakinya, alih-alih membela diri. Dia sudah tahu bahwa dirinya pun punya andil dalam perkara. Dia tak mau menjadi pemenang hanya karena dia sakit seperti ini. Dia tak suka dikasihani. Setelah ini, dia akan menunjukkan pada orang di rumahnya, bahwa Joonie pun punya alasan—jika ucapan Joonie mau didengarkan oleh semua orang.
Bibirnya terasa luar biasa kering, padahal Jungkook sudah minum air hingga lima gelas. Itu membuatnya jadi bolak-balik ke kamar mandi. Dia terus memperhatikan jam, dan bertanya-tanya kapan Joonie akan datang. Kenapa lama sekali? Jungkook hampir saja keluar kamar karena berpikir Daddy mungkin sedang mengomeli anaknya, tapi baru akan turun dari ranjang, pintu kamar dibuka.
Layaknya adegan dramatis di film, Jungkook dan Joonie bertatapan lama sekali di posisi masing-masing. Penuh haru.
Jungkook memberi senyum manis dan merentangkan kedua tangannya, mengundang pelukan untuk anak kesayangannya. Maka, tak butuh waktu lama bagi Joonie untuk berlari dan memeluk tubuh kurus ayahnya. Pelukan hangat itu meluruhkan semua kegugupan di dalam dada Jungkook, dan dia menangis keras.
Oh, betapa rindunya. Jungkook tak rela melepaskan pelukan dari tubuh jenjang Joonie. Bahkan Namgil tak ada apa-apanya jika harus dibandingkan (asal jangan mengadukan ini padanya). Jungkook menepuk punggung Joonie dan meminta maaf. Dia merasa seperti seorang kakek tua emosional yang selalu menangis dengan suara me- nyedihkan di pertemuan keluarga besar setiap memeluk cucu dan cicitnya. Jungkook menyadari bahwa pertambahan usia bisa buat dirinya mudah menangis pula. Namun, jika itu tentang anaknya, tentu tak ada salahnya menjadi emosional.
“Sayangku, Joonie-ku, anak bagusku,” panggil Jungkook terus- menerus mengusap punggung anak laki-lakinya. Dia tidak peduli jika ingusnya mengotori baju anaknya. Dia bahkan tidak peduli soal wajah konyolnya sekarang. “Joonie, maafkan Ayah.”
“Ayah—”
“Maafkan Ayah bikin Joonie marah, ya?” Jungkook melepaskan pelukan yang dirasa semakin mencekik. Dia ingin melihat wajah anak laki-lakinya lebih jelas. Wajah tegas yang rupawan itu begitu kecil di dalam tangkupannya. “Ayah yang bikin Joonie kesal—kalau Ayah bisa tahan emosi sebentar saja, Joonie harusnya lagi nganterin Ayah ke Lotte World berdua aja. Maafin Ayah, Joonie.”
Joonie menggeleng dengan gerakan lembut. Kemudian turun, bersimpuh di hadapan ayahnya. Dia memposisikan matanya sejajar dengan mata ayahnya. Tangannya naik menggenggam tangan ayahnya yang berkeringat dingin. Sepintas, dia sedih melihat Ayah yang biasanya gembul, kini agak lebih kurus. Pasti Ayah hanya makan sedikit. Joonie bicara dengan tenang, “Joonie yang salah. Joonie minta maaf sama Ayah karena sudah bikin Ayah kecewa dan sakit begini,”
“Joonie,”
“Ayah memang bikin Joonie kesal malam itu, tapi Joonie juga harusnya tetap hormat sama Ayah. Joonie harusnya sabar dan cari waktu lain buat ngobrol serius soal kerjaan. Salah Joonie yang pilih waktu riskan di saat Ayah juga udah capek. Tapi Joonie malah nakal dan gak dengerin Ayah. Joonie kemakan emosi dan mikir kalau Ayah gak peduli lagi sama Joonie—itu salah. Kalau Ayah gak peduli, gak mungkin Ayah sakit kayak begini karena Joonie. Makanya, apapun pemicu yang Ayah lakuin, pada akhirnya, ini tetap salah Joonie. Sekalipun Ayah marah, gak apa-apa. Ini tetap salah Joonie karena udah membangkang dan main kabur gitu aja. Ini bukan tindakan yang benar, gak bijak, dan sangat malu-maluin. Maafin Joonie, Ayah.”
Wajah Jungkook sudah basah kuyup. Dia mengangguk dan memeluk anaknya lagi. “Iya, Sayangku. Tentu. Tentu Ayah maafin anak kesayangan Ayah. Sebelum kamu minta maaf, Ayah sudah maafin. Ayah sadar kalau Ayah juga salah. Makanya, Ayah pasti maafin.”
“Aku sayang Ayah.”
Keduanya berpelukan lama. Joonie mengayun-ayunkan tubuh ayahnya untuk menunggu tangisnya reda dengan sabar.
Setelah Jungkook berhenti menangis, Joonie melepaskan pelukan dan mengusap wajah ayahnya penuh kasih. Dia tersenyum dan duduk di samping ayahnya, bergenggaman tangan. Dia menikmati usapan lembut dari ibu jari Ayah di punggung tangannya. Juga halus belaian di pucuk kepalanya yang mengisyaratkan rindu.
Jungkook berkata, “jangan pergi jauh-jauh lagi, ya? Ayah gak tenang kalau jauh dari Joonie—rasanya aneh dan membosankan.”
“Iya, Ayah. Joonie di sini terus, kok.”
“Kalau memang mau pergi yang jauh, Ayah mau ikut.”
“Iya,” balas Joonie dengan senyum geli. “Untuk sekarang, Joonie gak akan pergi kemanapun tanpa seijin Ayah. Meskipun Joonie punya tawaran uang yang banyak, lego limited edition, diskon buku seumur hidup—Joonie gak akan pergi kalau Ayah gak mau aku pergi. Ini janji seorang pria dewasa, dan Ayah bisa pegang itu selamanya.”
Tekad yang teguh itu menyentuh hati kecil Jungkook hingga dia tak bisa menemukan padanan kata yang cocok untuk menggambar- kan perasaannya pada Joonie. Bangga—jika ada kata yang punya makna lebih dari itu, Jungkook ingin tahu, dan menyematkannya pada Joonie. “Joonie-ku sudah besar,”
“Iya, dong.”
“Ayah senang dan bangga melihat Joonie pelan-pelan berubah jadi pria dewasa yang bertanggung jawab. Ayah juga belajar untuk menerima dan sadar, bahwa anak-anak Ayah suatu saat nanti di masa depan punya mimpi dan tujuan sendiri yang ingin dicapai. Ayah belajar, suatu hari nanti, kalian pasti akan pergi satu per satu.”
Joonie menggeleng. “Gak ada yang pergi, Ayah.”
“Bukan begitu,” sahut Jungkook lembut. Dia memandang wajah Joonie dan memberi kecupan berkali-kali di setiap sisi. Ini langsung mengingatkannya pada masa-masa ketika Joonie masih bayi. Wangi minyak telon hangat yang bercampur sabun segar—semuanya masih jelas dalam ingatan Jungkook. Kini, dia menghirup aroma sabun dan shampoo yang lebih maskulin. “Ayah sudah menyiapkan diri, saat nanti Joonie, Ara, dan Ayoung sudah besar; kalian punya jalan sendiri untuk menjadi orang seperti apa. Kalian gak bisa selamanya sama Ayah dan Papa. Mungkin kalian punya pekerjaan di perusahaan luar negeri atau menikah dengan orang bule. Tapi, Ayah berharap kalian tetap pulang meskipun sudah asyik dengan hidup kalian,”
Joonie mengeratkan genggaman tangannya. Dia mencium tangan ayahnya dengan lembut. “Ayah, kita mungkin bakal cari tempat untuk jalanin hidup yang kita mau. Tapi, Joonie sendiri gak akan mau tinggal dan menetap di tempat yang gak ada Ayah atau Papa. Biar dibilang anak manja sekalipun, Joonie tetap pilih rumah yang ada Ayah. Nanti Joonie ajarin ini ke adik-adik. Kalaupun mereka gak mau dan gak bisa, biar Joonie yang selalu nemenin Ayah.”
“Gak adil buat kamu, dong, Sayang?”
“Ini yang aku mau, kok, Ayah.” Joonie menyakinkan kepada ayahnya. “Bahkan nanti kalau aku sudah menikah dan punya anak, aku maunya tinggal sama Ayah dan Papa. Biar aku bisa gantian urus Ayah dan Papa di hari tua nanti. Gak harus di mansion, misalnya aku sudah punya rumah yang layak, Ayah sama Papa bisa tinggal di sana.”
Jungkook terkesima. “Benar, ya? Janji?”
Anggukan kepala adalah jawaban paling memuaskan. Joonie beri kecupan lagi pada punggung tangan ayahnya. Berharap dengan sentuhan lembut itu, dapat mengantarkan kesembuhan pada Ayah yang wajahnya mulai kuyu. Joonie bilang padanya, “sampai kapan pun, Joonie akan selalu mau tinggal sama Ayah dan Papa. Ayah dan Papa selalu jadi panutan Joonie, karena selalu ngajarin Joonie banyak hal tanpa pamrih. Joonie gak bisa kasih banyak buat membalasnya, jadi Joonie cuma bisa nemenin kalian sampai kapanpun,”
“Itu sudah lebih dari cukup, Joonie.”
“Joonie janji akan jadi lebih baik dari ini. Joonie gak bakal jadi anak bandel lagi. Joonie sudah dewasa untuk fokus bikin Ayah dan Papa bangga daripada nurutin ego sendiri. Joonie janji, dan juga bakal buktiin kalau Joonie gak akan bikin Ayah kecewa lagi.”
Jungkook tersenyum senang. Tangannya naik mencubit pipi anaknya karena merasa gemas bukan main. “Iya, anakku sayang. Anakku gak pernah bikin kecewa. Maaf Ayah asal ngomong begitu, padahal Ayah gak pernah sama sekali kecewa sama Joonie.”
“Gak apa-apa, Ayah.”
“Aaah, Joonieku yang manis. Bayi kecilku yang lucu sudah besar dan setampan ini! Gimana aku mau gendongnya? Sudah gak kuat!”
Joonie pasrah pipinya jadi adonan. “Joonie bukan bayi, Ayah.”
“Tetap bayi kecilku!”
Meskipun pipinya nyeri, Joonie lebih lega melihat Ayahnya bisa tertawa puas. Inilah senyum yang ditunggu dan dirindukan. Dia tak akan ceroboh menghilangkan keindahan di wajah Ayahnya lagi.
“Sini duduknya di atas, sama Ayah.”
“Iya, Ayah.”
Joonie naik dan duduk bersisian dengan Jungkook. Rasanya sedikit canggung karena sudah lama sekali sejak terakhir dia berada di ranjang tua yang empuk dan beraroma khas milik orangtuanya. Dia sudah mau kepala tiga, dan lembut ranjang yang awet ini membawa Joonie sejenak pada masa kecilnya. Kadang, dia rewel dan meminta tidur bersama Ayah dan Papanya meskipun sudah punya kamar sendiri seperti yang diharapkannya.
Keduanya mengobrol dengan Joonie yang berbaring di atas pangkuan Ayahnya. Kepala yang pusing terasa lebih ringan tanpa beban sedikitpun. Usap dari tangan Ayah pada kepalanya seolah-olah jadi obat mujarab yang meruntuhkan lelah. Joonie merasa beruntung menjadi dirinya yang lahir di keluarga ini—menjadi anak Ayah yang dicintai sepenuh hati tanpa syarat. Bahkan setelah kenakalan yang dibuatnya, Ayah tetap menyayanginya tanpa berkurang.
“Di sana makan enak, ‘kan, Sayang?” tanya Ayah.
Joonie memperingatkan, “gak boleh bahas soal Hong Kong; kata Papa. Tapi, Ayah gak perlu khawatir. Aku baik-baik saja—selama Ayah juga sehat dan baik-baik aja.”
“Ayah baik-baik, kok. Soalnya Joonie sudah pulang, hehe.”
“Iya, Ayah.”
Joonie nyaris ketiduran di tempat ternyaman itu, sebelum Ayah mengingatkan bahwa sudah jam makan siang. “Sana makan siang dulu sama yang lain, Joonie-ku sayang.”
Lantas Joonie pergi ke dapur. Tiba-tiba merasakan lemas pada kakinya. Dapur menjadi jauh sekali untuk dituju. Ada perasaan takut dan gugup saat matanya menangkap sosok gagah Grandpa yang menatap dalam. Segalak-galaknya Papa, bagi Joonie, Park Jimin adalah orang paling menyeramkan saat marah dan kecewa. Mereka belum sempat bertemu pagi ini karena Jimin sedang ada tamu, dan Joonie duduk di hadapannya dengan kaki lemas. Dia menunggu Grandpa-nya bicara lebih dahulu.
“Isi piringmu,” titah Jimin.
Joonie mengangguk kikuk, dan mengambil nasi dan lauk untuk makan siangnya. Tenggorokannya terasa kering sekali, jadi dia ambil segelas air dan minum sampai habis.
“Kalian sudah baikan?”
“Iya,” jawab Joonie siap. “Aku sudah minta maaf—Ayah juga. Kami sudah gak berantem lagi. Aku gak marah ke Ayah, begitu pula Ayah yang gak marah sama Joonie.”
Jimin mengangguk santai, menghabiskan teh hijaunya. “Bagus. Itu yang paling penting,” katanya. Nada bicaranya melembut, selagi dia menaruh potongan paha ayam di mangkuk Joonie. “Santai saja, kenapa kaku seperti kanebo kering begitu?”
“Maafin Joonie,”
“Sudahlah,” kata Jimin lagi. “Grandpa gak akan marah apalagi kasih kamu nasehat. Bukan karena Grandpa biarin kamu bertindak nakal di usia sebesar ini, tapi kasihan saja, pasti kamu sudah habis diomeli Papamu, ‘kan?”
Joonie melirik pada Namgil yang makan dengan tenang. Dia mengangguk lagi, masih kikuk. “Joonie pantas diomeli,”
“Papa harap kamu bisa tepati janji seorang pria,”
“Iya, Pa. Janji.”
Jimin menghela napas lega. Dia menyuruh Joonie untuk segera makan sebelum nasinya dingin. Lalu menatap pada dua cucu yang lain—Ara dan Ayoung, sebelum berkata, “jadikan ini pelajaran soal pentingnya menghormati orang tua. Meskipun nanti kalian sudah punya uang dan rumah sendiri, jangan sekalipun berani menyakiti hati orang tua kalian—Ayah atau Papa kalian.” Bahunya diremas lembut oleh Taehyung. Ada senyum kecil dari pria manisnya, yang mengingatkannya untuk tetap bicara dengan nada ramah pada cucunya. “Kalau kalian merasa tidak setuju dengan suatu hal, masih ada banyak cara untuk menyampaikan dengan baik. Grandpa rasa, Ayah dan Papa kalian sudah memberikan kalian pendidikan yang bagus dan cukup—jadi gunakanlah tata krama dan etika itu. Kalian gak akan jadi orang hebat kalau kalian menyakiti orang lain—apalagi orang tua kalian sendiri. Paham, ‘kan?”
Tak hanya Joonie, Ara, dan Ayoung saja yang mengangguk, tapi Namgil pun turut mengangguk dan berjanji untuk terus berbakti bahkan di usianya sekarang.
Setelah puas dengan nasihat, Jimin beralih lagi pada Joonie dan berkata, “soal urusan cabang Hong Kong, biar Grandpa yang mengurusnya. Ini perintah, ”
“Baiklah,” balas Joonie. “Maafin Joonie sudah bikin Grandpa repot masih urusin perusahaan. Sudah ada beberapa hal yang Joonie lakukan! Nanti Joonie laporkan apa-apa saja perkembangannya,”
Jimin punya tendensi khusus terhadap Joonie yang selalu punya ambisi dan kerja keras. Dia bangga pada cucu pertamanya ini, jadi dia berikan potongan ayam lagi untuknya. “Gak repot. Lagipula, ini memang perusahaan keluarga. Grandpa punya harga diri untuk buat yang terbaik. Kalau ada masalah, tentu Grandpa bisa dan mau melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Ini seperti Grandpa menyelamatkan Ayah, Kakek, dan Kakek Buyut Grandpa.” Dia ambil napas panjang. Pikirannya berkelana pada masa lalu ketika dia pertama kali mengurus perusahaan cabang Hong Kong. Senyum terukir tipis di wajahnya. Masa-masa dirinya belajar dewasa dan ambil keputusan bisnis sendiri. Tentu dia tak akan bisa melupakan perjuangan itu. “Apalagi Hong Kong—sejarah tentang ekspansi Park Company di luar Korea. Asia Timur … dulu sulit sekali membuka cabang di luar negeri. Belum lagi adanya cekcok dengan negara tetangga. Tapi dia sudah berdiri puluhan tahun dengan begitu baik mengikuti zaman yang terus berubah. Tentu itu sangat berharga. Bahkan untuk Grandpa sendiri, mereka punya kenangan tersendiri. ”
Itulah yang kulakukan untukmu, Grandpa; batin Joonie bangga.
“Sekalian melaksanakan rencana Grandpa yang memang mau pergi ke Hong Kong sama Kakekmu,”
Ara tertawa renyah setelah tersedak pelan. “Grandpa pasti mau honeymoon lagi sama Kakek, ya?! Hihihi!”
“Grandpa ini bucin banget, dan kayaknya selamanya bucin, deh! Masa setiap tahun honeymoon melulu,” ledek Ayoung yang ikut tertawa seperti kakaknya.
Jimin tersenyum manis. “Memang betul,” katanya sebelum mencuri kecupan di pipi Taehyung yang mengembang karena sibuk mengunyah nasi hangat. Lantas memeluk suaminya dengan erat, hingga Ara dan Ayoung kembali tertawa geli melihat tingkahnya yang konyol. “Memangnya hanya Ara dan Ayoung saja yang boleh jalan-jalan cantik? Grandpa dan Kakek ‘kan juga mau cari angin, ”
Tentu saja Ayoung mengerti. “Tapi ‘kan Grandpa dan Kakek sudah sering ke luar negeri sejak masih muda. Apalagi Grandpa! Setiap tahun pasti habis jalan-jalan ke negeri orang,”
“Bukan masalah pergi ke tempat yang sama,”
“Memangnya gak bosan? Grandpa juga sering ke Hong Kong.”
Jimin menggeleng. Mengecup pipi Taehyung lagi secepat kilat sebelum dia dapat cubitan atau sikut keras. “Lebih penting pergi sama siapa— mau kemanapun, kalau perginya sama Kakekmu pasti rasanya menyenangkan!”
Tidak hanya Ayoung dan Ara yang terkikik, tetapi Joonie dan Namgil pun tersedak kuah sup karena menahan tawa. Semua orang di rumah tahu bagaimana Jimin mencintai Taehyung. Sebab Jimin tak pernah malu apalagi ragu untuk menunjukkan afeksinya. Beda dengan sikapnya pada anggota lain yang sering dapat ledekan atau delik tajam yang tegas, Jimin akan jadi pria manis yang lucu dengan mata berbinar minta dipeluk atau dicium.
Jimin berdalih, “lagipula, bucin sama pasangan sendiri itu menyenangkan—kalian masih terlalu kecil buat mengerti,”
“Ih, malu, dong!” bisik Taehyung kesal, menyikut lengan Jimin yang melingkari tubuhnya. Selain mengganggunya yang sedang makan, Jimin menggodanya dengan ciuman tanpa henti. “Jangan kayak gitu di depan cucu—malu!”
Sudah puluhan tahun, dan Jimin tak berubah soal afeksi yang ditujukannya pada Taehyung. Dia hanya mendengar keluh Taehyung tanpa benar-benar berhenti memeluknya. Biar saja cucu-cucunya tertawa, Jimin sama sekali tak peduli. Satu-satunya hal yang jadi perhatiannya hanya pipi bersemu milik Taehyung. Begitu cantik, hidup, dan menawan bahkan di usia tua.
“Di rumah sebagai orang tua itu kadang membosankan, tahu? Mendingan Kakek sama Grandpa jalan-jalan lihat pemandangan saja daripada bengong,” kata Jimin.
Namgil memberi usul, “aku bisa temenin, Dad. Aku mikir kalau agak riskan biarin Dada sama Papi pergi jauh sendirian. Bukannya aku gak percaya, apalagi meledek—tapi kalian sudah lanjut usia, tentu beda dibandingkan jaman dulu waktu masih bugar,”
“Gak usah, terima kasih.” Jimin menolak halus. “Kami akan baik-baik saja. Sama seperti perjalanan sebelumnya. Cuma Hong Kong . Dekat. Cuma empat jam perjalanan udara. Daddy mau quality time berdua saja sama Papimu,”
Taehyung melihat Jimin mengerling. Dia mendengus malu.
Senyum geli terpatri di wajah Namgil. Dia sangat mengenal Jimin yang bisa sama keras kepalanya seperti Jungkook. Selain itu, dia sangat mengenal Jimin yang punya jiwa petualang.
Bahkan di usia tua, lebih tepatnya tujuh puluh dua tahun, pria ini tetap berdiri dengan gagah dan sering lari pagi ke taman kota. Kalau Namgil tidak mengenal Park Jimin, dia bisa saja percaya kalau pria ini adalah veteran tentara militer atau paling tidak memegang pangkat tinggi di angkatan laut. Terkadang Namgil dibuat heran bagaimana tubuh kecil Jimin bisa memancarkan kharisma tanpa celah dan berotot begitu. Bikin iri saja. Sejak dulu, Jimin sangat menjaga kesehatan—tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga keluarga dan para pekerja di rumahnya.
Hal yang paling Jimin benci adalah sakit. Makanya, Jimin akan sangat bawel tentang makan bergizi lengkap, olahraga, dan istirahat cukup. Beliau akan sangat mematuhi perkataan dokter. Namgil tidak protes apa-apa dan berharap Daddy-nya memang akan baik-baik saja.
“Biar tua keriput begini, Daddy masih kuat jalan-jalan. Bukan cuma Ara dan Ayoung saja yang bisa hangout, ” kata Jimin.
Namgil mengangguk. “Kalau butuh sesuatu yang urgent, Daddy langsung telpon saja pokoknya, ya.”
“Biar Dad pastikan supaya gak perlu nelpon kamu,”
Namgil mendengus geli. Lanjut makan sisa nasinya. Tidak ada yang bisa melawan Jimin kalau pria itu sudah merencanakan sesuatu apalagi melibatkan suami tersayangnya. “Baiklah, Dad.”
Sementara Ayoung berbicara sambil memancarkan sorot mata yang indah, “kalau begitu, Ayoung mau ikut, dong!”
“Gak bisa, Princess. Kamu ‘kan gak libur sekolah. Mana bisa gak masuk kelas cuma buat jalan-jalan? Gak ada alasan untuk bolos,”
“Aaaah, Papa,” sahut Ayoung kecewa. “Sekali doang?”
Namgil menggeleng tegas. “Tidak.”
Taehyung tertawa. “Ayoung lupa, ya, Papa kamu ‘kan dosen? Jelas gak suka kalau muridnya bolos,” kemudian dia membujuk cucu bontotnya, “nanti Kakek bawakan oleh-oleh yang cantik untuk Ayoung!” Dia berpikir lagi karena melihat Ayoung masih belum puas dengan penawarannya, sehingga dia berkata, “ atau kita pergi pas Kak Ara dan Ayoung sudah liburan semester saja, ya?”
Bibir Ayoung yang memberengut kembali naik. “Summer?”
“Ya!” balas Taehyung antusias. “Kalau libur semester ‘kan bisa punya waktu yang banyak! Nanti kita pergi sama-sama, lengkap satu keluarga, kemanapun Ara dan Ayoung mau pergi. Gimana?”
“Satu keluarga? Lengkap?!” tanya Ayoung memastikan.
Taehyung ingin tertawa keras melihat binar mata Ayoung yang sangat indah. Persis seperti Jungkook—membuatnya teringat saat dia berjanji ada Jungkook semasa kecil supaya bertingkah baik. “Iya!”
Ara berkomentar, sebab Ayoung terlanjur keasyikan sendiri merencanakan destinasi liburan mereka. “Pasti seru! Udah lama gak liburan sekeluarga lengkap, ‘kan? Kalau gak Ara yang sibuk, Kakak Joonie, atau Ayah—atau Papa yang sering ke luar kota untuk rapat organisasi profesi. Kalau full team, pasti lebih seru!”
Taehyung mengangguk senang, bukan hanya karena rencana liburan, tetapi pada fakta bahwa cucu-cucunya masih menghargai acara keluarga dibandingkan liburan dengan teman-teman sebaya. Pikirnya, anak-anak jaman sekarang sudah tak nyaman lagi kalau harus pergi dengan keluarga.
Hati Taehyung menghangat. Merasa bersyukur berada di dalam keluarga yang ini. Dia tak pernah lagi merasa sendirian meskipun tak lagi punya keluarga utuh dari ayah ibunya. Keluarga bersama Jimin hingga mempunya cucu yang lucu adalah rumah paling megah yang Taehyung punya sekarang.
“Kalau begitu, Joonie dan Namgil harus ikut juga,” katanya sedikit memohon. “Karena masih ada cukup waktu, kalian bisa ajukan cuti jauh-jauh hari. Ayo liburan sama-sama! Jangan kerja melulu,”
Namgil tertawa dan mengangguk. “Baiklah, Papi.”
“Ara dan Ayoung langsung kasih tahu Grandpa kalau sudah tahu mau kemana, biar Grandpa urus akomodasinya. Jadi kalian hanya perlu siap-siap barang yang mau dibawa,” kata Jimin. “Lumayan jadi aktivitas untuk kakek tua yang sering merasa bosan ini,”
Semua orang di meja makan tertawa.
Namgil mengingatkan, “tapi selesaikan dulu soal sekolahnya!”
“Papa juga jangan lupa ambil cuti,” ledek Ayoung.
“Itu urusan orang dewasa.” Namgil membalas tegas.
Ayoung hanya menjulurkan lidahnya. Begitu cekatan bergerak menghindari Papanya yang akan mencubit pipinya saking gemasnya.
Setelah makan siangnya selesai, Taehyung bangkit merapikan peralatan makannya, kemudian bergegas menyiapkan makan siang untuk Jungkook yang menunggu di kamar. Jimin memandangnya dengan helaan napas dan menggerutu, “bukannya Jungkook sudah sembuh? Kenapa kamu masih repot begitu, Sayang?”
“Gijeokie masih lemas, Sayang.”
Jimin menggeleng. “Tidak. Ini cuma akal-akalan Jungkook yang mau disuapi kamu terus. Lagipula, dia sudah besar. Anaknya tiga dan sudah besar semua! Paling tidak, dia bisa makan sendiri.”
“Dia tetap bayi kecilku,” sahut Taehyung dengan senyum manis yang tak lekang oleh waktu. Tangannya pun masih cekatan menaruh mangkuk berisi nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah di atas nampan. Dia berkata, “kamu gak akan ngerti.”
Jimin mendengus. “Sepertinya sifat babying Jungkook ke anak- anaknya yang sudah besar itu menurun dari tingkahmu yang selalu menganggapnya bayi,”
“Biarin!” Taehyung memberengut dan memperingatkan, “gak usah bawel. Nanti kamu gak boleh ikut makan puding coklat!”
Kemudian Taehyung pergi ke kamar Jungkook, meninggalkan Jimin yang termangu oleh ancaman paling lucu sedunia. Dikelilingi pekik tawa para cucu yang mendengar keributan kecil di antara mereka berdua Alih-alih merasa takut, Jimin malah gemas. Memang kenapa kalau dia gak dapat jatah makan puding coklat? Dia bisa mengambil jatah kokinya saja.
***
“Karena summer, kita butuh sunscreen— bahkan sunblock! ” kata Jungkook menambahkan daftar catatan di bukunya. Dia berkata dengan keyakinan penuh, “Ayoung itu suka main di alam—pasti dia akan pilih tempat yang ada pantainya! Aku bisa bayangkan dia akan main watersport sampai basah kuyup. Terus, gak bakal mau ikutan duduk di bawah payung. Pasti main melulu—dia anak yang paling aktif di antara kakak-kakaknya. Makanya, dia harus pakai sunblock supaya gak belang dan gosong seperti tahun lalu! Ya ampun, dia kayak kepiting rebus saja!”
Namgil mengangguk tenang menjadi pendengar yang baik.
“Dan aku harus siapkan beberapa teh herbal,” kata Jungkook menuliskan daftar baru. “Kalau Ara, aku yakin dia bakal ajak kita ke kafe-kafe lucu. Aku paling senang ide ini, sebenarnya—tapi sejak aku sudah bertambah umur, aku mulai memperhatikan gula yang akan masuk! Aduh—tapi butter dan keju gurih—tidak, kayu manis dan karamel atau whipped cream di atas coklat frappe— ya ampun!”
Perdebatan itu terdengar sangat lucu di telinga Namgil.
“Ah, entahlah! Pusing!”
“Kenapa?”
Jungkook tidak jadi menyerah, dan kembali memeriksa catatan barang apa saja yang perlu dibawanya untuk liburan. “Aku excited ba- nget sama liburan kali ini! Soalnya, Papi cerita kalau semua bakalan ikut tanpa terkecuali. Full team! Ini ‘kan agak susah! Antara aku atau Kakak yang jadwal sibuknya beda, Joonie yang mulai sering rapat di project besar, Ara terkadang acara organisasi kampus— susah! ”
Namgil mengangguk. “Itu terjadi begitu saja,” katanya. “Lagipula, karena waktunya masih agak lama—sekitar tiga bulan lagi, jadi semuanya bisa alokasi jadwal dan minta cuti jauh-jauh hari.”
“Rasanya tiga bulan itu lama banget! Aku udah gak sabar!”
“Ara dan Ayoung yang jadi seksi acara pasti bakalan sibuk, tuh.”
Jungkook terkikik membayangkannya. “Bahkan meskipun aku sudah jalan-jalan ke banyak tempat di dunia—bukannya aku mau sombong—tapi, kalau sama keluarga sendiri, rasanya beda! Akan selalu lebih seru!”
“Bukan karena kamu gak punya temen kecuali Yeonjun, ‘kan?”
Bibir Jungkook memberengut. “Gak usah buka kartu!”
Beruntung suasana hatinya sangat bagus. Jungkook tak marah, dan kembali sibuk dengan catatan tentang rencana liburan keluarga di musim panas nanti. Mulutnya komat-kamit mengingat apa saja yang harus dipersiapkan kalau ternyata anak-anaknya minta liburan ke luar negeri. Musim panas di Korea saja sudah membuat pusing, apalagi kalau harus di negeri orang?
Di tengah kerutan dahinya, Jungkook tetap tersenyum antusias karena perasaan membuncah dalam dada. “Musim panas memang paling cocok berenang … jadi aku juga harus siapkan baju renang … tunggu—terakhir aku berenang itu lama sekali! Sekarang sudah lebih gendut—pasti bajunya sudah gak muat! Menurut Kakak, aku harus beli baju renang baru atau diet saja?”
Jawaban yang ditunggu tak kunjung hadir.
“Kak?” Jungkook menoleh, dan terheran melihat Namgil malah nyengir daripada menjawabnya. “Ngapain nyengir-nyengir begitu? Lagi nonton kartun, emangnya?”
Namgil akhirnya terkikik dan menggeleng lembut. Kemudian membawa suaminya ke dalam pelukan hangat yang berayun. Dia bernapas lega dan mengecup leher belakang Jungkook. “Aku senang lihat kamu senang begitu, Dek. Lucu. Kayaknya aku kena sindrom Papi—soalnya lihat kamu kayak anak kecil lagi yang antusias mau ikut study tour sekolah,”
“Anak kecil—nanti kena tuntut, loh! Kayak pedofil aja!”
“Kamu tahu bukan itu maksudku, Dek.”
Jungkook mendengus. “Iyaaa, paham.”
“Aku juga senang kamu sudah sehat,”
Jungkook melepas pelukan dan mengangguk. “Tentu aja! Aku sehat lagi karena merasa senang! Kata dokter, aku gak boleh stres, ‘kan? Harus happy! Gimana gak happy kalau semuanya lengkap ada di rumah?” Jungkook ikutan nyengir lucu. “Joonie sudah pulang dengan selamat—juga sehat tanpa kurang satu apapun. Itu yang paling pen- ting buatku. Aku juga sudah minta maaf sama Joonie—jadi rasanya sangat lega buat saling memaafkan. Soalnya, seperti yang udah aku bilang; kami punya porsi salah masing-masing. ”
“Tentu aku juga senang lihat kalian udah gak marahan,”
“Aku gak bisa berantem sama anak-anak,”
Namgil mengangguk. Tangannya membelai pipi Jungkook de- ngan lembut. “Aku pun ngerasa sedih habis marahin Joonie.”
“Sudah minta maaf ‘kan, habis marahin dia?”
Namgil mengangkat bahu, menjawab separuh yakin, “rasanya, sih, sudah. Tapi besok aku akan minta maaf lagi. Seharian Joonie masih terlihat kaku dan merasa bersalah. Padahal semuanya gak ada yang benci apalagi merasa marah lagi. Mungkin, kali ini dia benar-benar menyesal dan takut. Bikin sedih saja,”
“Dia anak baik,”
“Hanya saja, kadang dia terlalu keras kepala.”
“Dia terbiasa jadi orang yang harus bertanggungjawab. Terbiasa jadi kakak tertua yang memimpin dan menjaga adik-adik, juga harus cekatan ambil keputusan tanpa perlu menunggu Ayah atau Papanya yang suka sibuk kerja,” kata Jungkook. “Kadang, aku melihat Joonie yang bertingkah itu sebagai akibat peran yang terlalu besar untuk dia semasa kecil. Makanya, aku gak bisa terlalu marah sama dia.”
Namgil setuju. “Nanti aku ajak dia pergi makan enak,”
“Ajak main juga, dong! Dia itu paling jarang main! Kerja terus seperti robot saja Joonie itu—kasihan aku melihatnya,”
“Iya, nanti aku ajak main game arcade.”
Jungkook meletakkan buku catatan ke atas meja karena sudah lelah berpikir dan ingin lanjut besok. Dia meminta Namgil untuk mengganti lampu utama dengan menyalakan lampu tidur yang temaram, untuk bersiap tidur. Jungkook berkata, “aku sudah benar-benar sehat. Gak demam dan gak pusing lagi. Makanku habis, dan obat juga sudah sisa untuk konsumsi 2 hari. Rencananya, aku mau pergi ke kantor besok. Pasti kerjaanku sudah numpuk banyak! Gak apa-apa, ‘kan? Kalau ditunda terus, aku malah kepikiran mulu.”
“Boleh, Sayangku.” Jemari Namgil merapikan helaian rambut Jungkook dan mengingatkan suaminya itu, “asalkan jangan langsung paksa kerjain yang berat. Kepalamu ini jangan diajak berpikir terlalu keras. Rapat juga gak usah lama-lama. Tidak usah workout juga habis pulang dari kantor. Jangan lupa makan siang terus obat dari dokter diminum— harus— tepat waktu.”
“Siap, Bos!” kata Jungkook sambil terkikik.
Namgil berpesan tanpa bosan, “jangan sampai kecapekan lagi. Meskipun sudah sembuh, kamu masih dalam pantauan dokter. Apalagi obatnya masih ada dua, ‘kan? Kamu juga masih ada jadwal cek ke dokter minggu depan. Aku gak mau nolongin kalau kamu kena amuk Pak Dokter lagi karena bandel,”
“Iyaaaa,” balas Jungkook mengangguk. “Pak Dokter yang ini juga sukanya ngomel melulu, deh.”
“Aku cuma gak mau—gak suka—kamu sakit,”
Jungkook setuju. “Aku juga gak suka! Istirahat total seharian di kamar, terlalu lemas dan pusing buat jalan kaki itu gak enak! Aku ‘kan juga mau jalan-jalan sebentar ke taman bunga. Di kamar terus itu ngebosenin banget, Kak. Gak banyak yang bisa aku lakuin.”
“Makanya punya hobi baca buku, dong.”
“Ogah banget!” Jungkook berakting muntah dengan jenaka. “Baca buku malah bikin aku tidur pulas. Masalahnya, tidur melulu bukannya bikin aku merasa enak, malah tambah pusing dan bosan! Soalnya kalau tidur malam, jadi gak nyenyak dan terbangun terus—kebanyakan tidur di siang hari. Pokoknya gak enak, deh!”
Namgil tersenyum geli. “Makanya, sehat selalu, ya?” pintanya sebelum mencium bibir Jungkook intens. Napasnya terengah-engah, tapi dia tak akan melewatkan kesempatan untuk berkata, “aku sangat sayang kamu—juga keluarga kita. Harapanku gak muluk-muluk, cuma supaya kalian bahagia, akur, dan sehat.”
“Amen,” balas Jungkook. Dahinya mengerut hingga wajahnya tampak lucu. “Gak lagi-lagi aku sakit, deh! Kayaknya, semakin kita tua, makin berasa kalau lagi sakit biasa. Udah gitu, sembuhnya jadi lama banget. Imun tubuh kita sudah melemah,” keluhnya. Lantas dia memeluk suaminya dan tersenyum manis. “Makasih, ya, udah mau ngurusin aku yang masih manja dan rewel—susah diatur—di usia setua ini. Ngerepotin kamu dan orang-orang rumah hanya karena aku lebay langsung sakit perkara berantem doang.”
Namgil menggeleng. Memberi cium lembut di seluruh wajah suaminya. “Gak ada kata repot buat keluarga kesayanganku. Kamu sakit itu wajar, bukannya lebay . Tapi soal ketahanan tubuh kita sama penyakit yang lebih rendah—itu benar. Bukan artinya aku bakal bia- rin kamu gitu aja, ‘kan? Aku sayang kamu, dan ini bukti rasa sayang yang aku bisa lakuin. Bahkan kalau bisa, sampai akhir hayat nanti.”
Pernyataan itu membuat Jungkook berdebar kencang. Tak pernah dia terbiasa dengan ucapan manis yang romantis dari belah bibir Namgil itu. Rasanya selalu seperti pertama kali dia mendapat ungkapan cinta—dan itu menyenangkan. Mereka berciuman lagi, dan Jungkook tidur setelah berkata, “aku juga sayang Kak Namgil,”
TAMAT