Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationships:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Series:
Part 1 of NAMJOON AND THE FRIEND WHO ALWAYS WITH HIM
Stats:
Published:
2022-03-16
Words:
1,691
Chapters:
1/1
Comments:
6
Kudos:
43
Bookmarks:
1
Hits:
532

S O L A N D I S

Summary:

Kim Namjoon terlalu istimewa untuk mendapatkan sesuatu yang biasa saja.

Beruntung ia punya seseorang yang bersedia memberikan semesta untuknya.

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Work Text:

 

 

 

 

 

SEKILAS melirik jam digital yang menyatu dengan kulkas besar berwarna hitam di dapur kering apartemennya, seorang lelaki berusia tiga puluhan mendesah puas. Sekali lagi ia memastikan aneka hidangan di atas meja makannya—yang hampir tidak pernah dipakai kecuali sedang bersama yang tersayang—sudah tersaji dengan rapi.

Lelaki favoritnya akan datang tidak lama lagi, menurut info yang ia dapat setengah jam tadi.

Hyung-ie, 45menit lagi aku sampai, adalah pesan yang didapat langsung dari nomor ponsel seseorang yang penting dalam hidupnya, bukan dari manager atau asistennya, seseorang yang kemarin baru saja menyelesaikan konser musik terakhirnya.

Kim Namjoon.

Betul, Kim Namjoon yang itu. Yang wajahnya sering muncul di televisi dan duduk bersisian dengan presiden di satu atau atau dua acara kenegaraan.

Selain pada hari pertama, ia tidak dapat hadir dalam konser musik di hari kedua dan ketiga yang digelar grup band lelakinya yang sudah mendunia ini. Keduanya hanya bertemu sekejap di belakang panggung—ia masih ingat bagaimana wajah Namjoon berseri-seri saat menerima buket bunga sederhana darinya—atau bertukar pesan untuk memastikan bintangnya tidak terkena flu karena hujan-hujanan di hari setelahnya.

Keduanya bukan lagi remaja, bukan juga manusia pengangguran—ayolah, lelakinya ini artis kelas dunia, dispensasinya tentu lebih banyak. Saling melewatkan momen penting dalam hidup tanpa ditemani yang terkasih di sisi bukanlah hal yang mengecewakan sama sekali. Mereka sudah melewati proses itu bersama-sama, sudah terlalu terbiasa. Dukungan moril pada jam-jam kala langit sedang gelap-gelapnya menjadi pengganti keaalpaan diri bagi satu sama lain.

Itu saja sudah cukup.

Kecuali hari ini. Hari Senin malam yang ia sangka Namjoon akan menghabiskan waktunya untuk beristirahat di kamarnya sendiri, ternyata yang bersangkutan memutuskan mengunjungi apartemennya secara dadakan.

Bayangan bahwa lelakinya yang baru bangun tidur dengan wajah kantuk mengiriminya pesan sudah cukup membuatnya terlalu bertenaga menyiapkan makanan kesukaan kesayangannya, setelan tidur yang ditinggal Namjoon di lemarinya, dan air hangat di bak mandi dengan taburan garam Himalaya dan sabun busa wangi melati di dalamnya.

Apa saja untuk Namjoon.

Namjoon-ienya.

Tidak lama, interkomnya berbunyi dan menunjukkan wajah lelaki spesialnya di layar. Tertutup topi bisbol dan masker, memang, namun kedua matanya membentuk bulan sabit terbalik. Kentara sedang tersenyum.

Manis sekali.

“Wangi apa ini!? Wah, Hyung! Hyung masak, ya?!”

Selalu heboh.

Namjoon berteriak riuh seperti tidak sedang kelelahan setelah dihajar konser tiga hari sebelumnya. Seperti anak kecil yang antusias. Seperti anakan anjing yang diajak berjalan-jalan sore hari.

“Mm, Namjoon-ieku pasti belum makan,” ujarnya sembari membantu Namjoon membuka mantel berwarna tanah yang ia kenakan untuk digantung di area foyer. Lalu mengambil alih tas selempangnya untuk ditaruh di sofa ruang tengah.

“Sok tau.”

“Oh, udah makan?”

Tumben sekali.

“Belum sih,” Namjoon meringis. Menggoda untuk dicubit, kedua lesung pipinya itu.

“Anak nakal.” Yang lebih tua mengacak rambut terang Namjoon kemudian menyisirnya sembarangan.

Namjoon suka jika kepalanya diusap.

Anak itu seketika mencebik ketika hyungnya membujuk, “Mandi dulu, ya?”

“Ini betulan Hyung, ‘kan? Kok bawel ya, kukira ibuku?”

“Anak ini.” Ia mencubit ujung hidung Namjoon dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Lelaki jangkung di hadapannya ini memang tubuhnya saja yang bongsor. Tapi soal imut, tetap tidak ada yang mengalahkan.

“Airnya masih panas, ‘kan? Aku tunggu di sini aja sambil unboxing roti-rotiku.”

“Jajan roti lagi?” tanyanya. Namjoon menjawab dengan ringisan.

Lelaki kesayangannya ini sedang terobsesi mengumpulkan kartu-kartu Pokemon hadiah dari pembelian roti yang sempat ramai di tahun 90-an dan kini kembali diperjualbelikan. Minggu lalu, sepulang keduanya bersepeda di pinggir sungai, Namjoon membeli hampir lima belas roti dari ketiga rasa yang ada—cheesecake, chocolate cake roll, dan custard bread—dari delapan minimarket yang berbeda. Ialah yang menjadi korban harus menghabiskan roti yang terburu-buru dibuka untuk diambil kartunya saja oleh sang kekasih.

Namjoon sempat makan lima buah sebelum mengeluh bahwa perutnya yang sekarang—yang sudah kencang dan keras di berbagai permukaan itu—terasa tidak enak jika harus dimasuki makanan terlalu banyak. Rayuan dengan wajah bulat dan mata yang mengerjap (berlagak) polos, terlalu persuasif untuk hyungnya tolak.

“Cuma lima aja kok kali ini, serius!”

“Itu juga banyak, Joon-ie. Nanti kalau kamu kekenyangan makan roti, masakan Hyung terancam diterlantarkan ini. Gawat.”

I won’t do that, Baby,”

Wah.

Kartu as yang keluar.

Yang dirayu hanya menatapnya sambil menaikkan satu alis, sekuat tenaga memasang wajah sedatar mungkin, menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. Namjoon seketika mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah.

“Oke, Hyung Bawel, aku mandi sekarang.”

Ia berjalan ke arah kamar mandi seraya melepaskan satu per satu pakaiannya dan menjatuhkannya di lantai dengan sembarangan seperti bocah umur lima yang disuruh pulang lalu mandi dari sesorean bermain di taman.

Menggelengkan kepala sambil terkekeh, hyungnya mengambil satu-satu helai baju yang bertebaran di lantai apartemennya untuk dikumpulkan dalam keranjang cucian di area laundry. Terdengar sayup-sayup teriakan Namjoon yang protes mengenai air mandinya yang terlalu panas.

Anak manja ini, benar-benar.

Sambil tertawa, ia menghampiri kamar mandinya yang terbuka lebar dengan Namjoon yang sedang membenamkan tubuhnya perlahan ke dalam air berwarna merah jambu di dalam bak sambil memekik Aw, panas! Aw, panas! berkali-kali.

Imut sekali.

“Hyung cek tadi udah nggak sepanas sebelumnya. Masih terlalu panas, ya?” ujarnya sambil menyalakan kran air dingin.

“Hyung-ie ‘kan dari tadi ada di bawah penghangat ruangan. Aku ‘kan dari dunia luar. Kedinginan.” Namjoon mencebik lagi dramatis.

“Mobilmu ‘kan juga pakai penghangat, Namjoon-ie. Maaf ya, airnya kurang dingin?”

It’s okay, Hyung. It’s nice …,” gumamnya sambil bersandar di bibir bathtub yang telah hyungnya beri bantalan handuk ekstra.

“Mau kopi atau cokelat anget? Hyung bikinin, ya—” belum ia selesai berbicara, Namjoon sudah lebih dahulu sigap menahan pergelangan tangannya.

“Hyung di sini aja.”

“Nontonin Namjoon-ie berendam satu jam?” ujar hyungnya berlagak menyindir walau tubuh sudah duduk bersila di lantai marmer kamar mandinya sendiri, duduk di samping Namjoon yang tersenyum menang.

“Dua puluh menit, janji. Aku terlalu lapar kayaknya, Hyung.”

Okay, Big Boy. How’s your day?

Satu pertanyaan sederhana, dan tangannya yang terjulur untuk memberikan pijatan ringan di sepanjang lengan kanan Namjoon, memancing lelaki yang lebih muda lebih relaks untuk semakin luruh di dalam bak sembari menceritakan harinya, juga keseruan konsernya tiga hari lalu.

Namjoon bercerita soal suaranya yang sempat hilang sebentar semalam dengan tubuh yang panas namun keluhannya hilang di pagi hari karena semalam sudah dicekoki aneka ramuan. Sesekali ia tertawa sambil bermain busa, menceritakan bagaimana orang tuanya selalu emosional setiap menonton konsernya, lalu mendongeng soal dirinya yang habis disindir member bandnya saat mengantuk berat di atas panggung. Semuanya diutarakan bersamaan dengan hyungnya yang menyabuni punggung, menggosok belakang telinganya, kemudian memijat kedua pundak dan rambutnya saat disampo.

Namjoon masih berceloteh ketika ia sudah bersih dibilas dan sedang dihanduki hyungnya sambil berdiri dengan air di dalam bak mandi sudah nyaris surut. Lelaki yang lebih tua hanya mendengung dan ikut terkekeh sesekali mendengar manusia favoritnya mendongeng dengan kecepatan tinggi selayaknya sedang mengerap di atas panggung.

Sudah terlalu terbiasa.

“Mau ganti baju tidur sekarang atau begini dulu?” tanyanya saat kekasihnya melangkah keluar bak dengan berpegangan kaku pada satu lengan hyungnya—Namjoon pernah terpeleset di situ saat keduanya terlalu asyik berbuat nakal di dalam bak, kejadian yang cukup membuat trauma keduanya. Mereka mendesah lega saat kedua kaki Namjoon sudah menjejak lantai, menjulang memakai kimono mandi dan gulungan handuk di atas kepala yang membentuk corong es krim.

Kim Namjoon terlihat begitu manis dan menyenangkan untuk dipeluk.

Seperti Baymax.

Versi alot dan berotot.

“Begini dulu boleh, Hyung?”

Matanya mengerjap lucu, membuat hyungnya mengangguk lalu meraih tengkuk Namjoon pelan untuk dikecup dahinya beberapa saat.

“Boleh, Sayang,” gumamnya sambil tersenyum, menatap Namjoon yang sedang membuka kedua matanya perlahan. Kedua pipinya bersemu menggemaskan.

“Cium yang agak lama lagi boleh, Hyung?” bisik Namjoon seraya meremas kedua pinggang hyungnya dan menariknya merapat. Suaranya terdengar super seksi dari dekat.

Selalu membuat sinting.

Sure. I’m all yours, Namjoon-ie,” bisik sang hyung setelah mengecup bibirnya sekali.

Keduanya lalu berciuman dengan kedua tangan yang tak mau diam mengelus. Sesekali melambatkan tempo untuk saling memagut dan menghela napas. Kemudian kembali terengah untuk mengutarakan kerinduan. Tidak peduli dengan baju dan celana hyungnya yang ikut menjadi kuyup dan berpotensi membuat flu keesokan hari.

Ia merasa otot perutnya mengencang karena gerakan satu telapak tangan Namjoon yang berpetualang terlalu semangat di balik bajunya yang sudah basah. Ketika pergelangan tangan lelaki itu dicengkeram untuk dihentikan, Namjoon menggerung protes.

“Kita makan dulu ya, Joon-ie? Hyung tadi masak steak. Tunggu sebentar, nanti Hyung tambah bibimmyeon. Gimana?”

Namjon terlihat ingin protes, namun bunyi dari perutnya saat mendengar hyungnya menyebutkan dua makanan favorit membuat Namjoon mengalah juga.

“Untung Hyung jago masak,” gerutu yang lebih muda ketika dituntun ke arah meja makan. Sayup-sayup ia mendengar Namjoon yang menggumam soal masakannya yang mendistraksi keinginan Namjoon untuk menariknya langsung ke kamar tidur.

Di meja makan, Namjoon kembali bercerita soal satu poster mencolok dari penggemar dengan kalimat yang kurang lebih memintanya membuat negara sendiri. Lucu, melihat bagaimana Namjoon mengatakannya dengan kedua pipi yang penuh makanan. Hyungnya beberapa kali menyodorkan gelas ke arahnya supaya lelakinya itu tidak lupa menelan. Namjoon sering tersedak saat sedang bersemangat akan sesuatu—ia paham karena kadang dirinya yang menjadi sesuatu itu.

Ehm.

Menanggapi celotehan Namjoon, hyungnya memberi beberapa masukan mengenai tokoh masyarakat yang dapat kekasihnya dekati jika suatu saat ia mau mempertimbangkan membeli pulau dengan rakyat yang bisa ia atur sendiri dalam usaha menghindari keadaan politik dalam negeri yang terancam tidak stabil setelah diangkatnya presiden periode terbaru ini.

Namjoon akan mengatakan dirinya konyol sembari tertawa. Sepasang matanya akan melengkung membentuk bulan sabit. Kedua pipinya merona. Saat itulah yang lebih tua akan menggamit satu tangan Namjoon dan membawanya mendekat untuk dikecup punggungnya perlahan.

You worked so hard, Namjoon-ie. Thank you. Hyung is proud of you. So proud of his Namjoon-ie.”

Namjoon, Kim Namjoon-nya, tidak akan berkomentar apa pun. Ia hanya akan memberinya senyuman lebar paling damai sebagai anggukan penerimaan.

Mungkin rona wajahnya akan lebih naik lagi dari tingkatan merah jambu, entah karena sanjungan kekasih hati atau karena efek anggur merah yang Namjoon teguk di sela kunyahan. Yang pasti ia tahu, Namjoon-nya butuh itu. Butuh tempat aman untuk menjadi diri sendiri tanpa aneka lapisan pertahanan.

Apa pun yang Namjoon inginkan—bersepeda di bawah rintik hujan di pinggir sungai Han, berkunjung ke museum di sudut kota London, berburu roti Pokemon, atau membuat negaranya sendiri—ia bersumpah akan mengusahakan itu semua untuk lelaki tampan dengan sepasang lesung pipi yang memesona.

Demi Kim Namjoon.

Kim Namjoon-nya.

Karena Kim Namjoon terlalu istimewa untuk mendapatkan sesuatu yang biasa saja.

 

 

 

*

Notes:

Happy belated birthday to you. Hope you enjoy this (very) short story.
Sehat dan bahagia selalu ya, Nath! ❤️

Series this work belongs to: