Wednesday, December 31, 2008
Menjelang Tahun Baru
Pagi, azan subuh dan sembahyang, Saya memulai membuka hari. Dalam gelap, saya berjalan ke warung 24 jam mengambil koran. Di sebelah toko itu, saya mengambil kotak kardus yang telah dibuang, dengan harapan akan diletakkan di bawah kotak surat sebagai tong sampah kertas yang acapkali diselerakkan oleh penghuni flat. Memang, petugas kebersihan sering membersihkannnya, namun hanya sebatas pagi. Menjelang siang hingga malam, kita akan sering menemukan kertas iklan belanja, tawaran pinjaman, kursus yang dimasukkan ke kotak surat itu mulai memenuhi lantai, tak elok dilihat.
Hari ini, saya mencoba membuka mata lebar-lebar apa yang bisa dinikmati untuk mempelbagaikan pengetahuan. Aha, kebetulan saya melewati Fakultas Seni, tanpa ragu saya memasukinya untuk menikmati pameran lukisan solo Syed Bakar Syed Salim yang mengambil tema Imagine Peace. Meskipun miskin pengetahuan tentang lukisan, saya mencoba mencatat beberapa judul dari karyanya, seperti Whirling Water at Lubok, Pool of Pleasure, Mixed Feelings, Blink Blue, Breath of Montain, 1 s/d 4, Palestinians Crisis dan Life's like that. Pada gambar terakhir yang dibuat hitam putih tampak suasana alam yang ditingkahi orang berbaris teratur. Mungkin, pesannya bahwa seyogianya hidup ini mengandaikan keteraturan, jangan menyerobot milik orang lain. Kadang saya memeras otak agar bisa mengaitkan judul-judul itu dengan gambaran visual, namun masih gagap. Lidah kelu dan jemari pun sekarang masih menerka kemana saya harus menautkan kata itu dengan coretan arcylic di atas kanvas.
Tuesday, December 30, 2008
Kehilangan dan Kebaikan
Duh, degup jantung ini mulai berjalan normal. Saya mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tak lama kemudian, tuan rumah, seorang lelaki muda, berkata, nak ambil kunci ya? Saya menukas cepat, ya. Saya mengucapkan terima kasih banyak. Tambahnya, dia telah mengetuk pintu untuk mengembalikan kunci, namun tidak ada suara. Ya, kami mungkin sedang menikmati ketupat di sebuah warung Relau. Meski gugup, sebab saya tidak berbicara banyak untuk menyatakan kegembiran atas kebaikannya. Lalu, kembali ke rumah untuk beristirahat setelah makan malam bersama Bunda dan Mas Ayi.
Kami pun bertiga ngobrol santai tentang pelbagai isu. Namun, di hati, saya masih menyisakan pertanyaan bagaimana membalas kebaikan keluarga tersebut. Sebenarnya, saya juga mengalami hal yang sama, ketika tiba-tiba menemukan kunci motor saya telah digantung di papan pengumuman depan lift. Ya, ada seseorang yang berbaik hati mengembalikan kunci yang mungkin tertinggal di motor atau jatuh di jalan. Inilah pengalaman yang telah menambatkan hati ini dengan flat tempat kami tinggal. Ia telah menjadi rumah yang menentramkan karena satu sama lain menjaga dan menebar kebaikan.
Pelajaran lain adalah saya telah banyak melakukan keteledoran. Ini disebakan kehendak menyelesaikan banyak hal dengan tergesa-gesa. Tidak tenang. Adakah ini pertanda awal tahun baru yang buruk? Saya rasa tidak. Sebab, saya justeru memulai dengan anugerah, dibantu orang lain dan tentu saya ingin melakukan hal yang sama.
Monday, December 29, 2008
Menyambut Tahu Baru
Meneruskan membaca buku Daniel Pipes, In the Path of God, saya kembali menjejak masa lalu Islam berkaitan dengan pola hubungannya dengan liyan, selain relasi internal yang mencemaskan. Karena tiba-tiba kantuk menyerang, saya lalu menjerang air. Kopi dan teh panas untuk Bunda tersedia. Kami pun menikmati pagi dengan seteguk minuman panas yang kemudian hangat. Kemudian dilanjutkan dengan membacakan jurnal Mingguan Moments and Milestones Pregnancy Journal : A Week-by-Week Companion oleh Jennifer Leigh Youngs and Bettie B. Youngs, yagn memasuki minggu ke-26. Kata buku ini, sang janin telah mengembangkan sistem pendengaran dan penglihatan.
Acara selanjutnya, kami pun memasak nasi goreng bersama. Saya menumbuk garam, cabe, kemiri, bawang merah dan Bunda menggoreng krupuk. Selanjutnya, Bunda menggoreng daging ayam yang telah diiris kecil, lalu bumbu dan daging itu disatukan dengan nasi di wajan. Hanya perlu waktu beberapa menit, hidangan nasi goreng itu telah siap disantap. Benar-benar sarapan pagi yang menyenangkan. Hujan yang masih setia menemani pagi menambah makan kami bersemangat. Ada banyak kehangatan dalam momen seperti ini.
Sunday, December 28, 2008
Menikmati Minggu
Kami sendiri memulai hari libur ini dengan bangun pagi dan berolahraga. Dengan gelap masih bergelayut di udara, kami pergi ke lapangan bola kampus. Sesampai tempat lari, saya berjalan menjejaki rumput untuk pemanasan dan Bunda menyusuri jalan berbeton. Lamat-lamat kokok ayam terdengar dari perumahan sebelah trek. Setelah satu putaran, saya pun berlari kecil hingga kemudian kencang agar tubuh panas dan melelehkan keringat. Lima putaran cukup membuat badan saya panas dan tapi tidak basah. Mungkin, dingin pagi menghalangi cairan itu keluar. Namun, saya merasakan langkah dan tubuh ini ringan. Ada rasa nyaman berpendaran.
Lalu, kami berjalan keluar dari trek dan menuju tempat parkir motor. Matahari masih tampak tidak jauh dari batas ufuk. Seperti rencana sebelum berangkat, kami akhirnya mengaso di warung Mamak (sebutan khas India Muslim) sambil minum kopi. Malah, saya juga membeli koran Minggu Berita Harian untuk mengasup informasi terkini. Kami berbagi koran dan masing-masing menekuri berita. Tulisan Johan Jaafar tentang warna baru Malaysia cukup menggelitik karena mengurai pernak pernik perubahan di tahun 2008 dan bahkan juga menyentuh peristiwa yang melanda dunia.
Tidak lama kemudian, kami pun beranjak. Pulang dengan riang. Betul-betul libur yang menyenangkan, mudah dan murah.
Friday, December 26, 2008
Sedekah di Surau Itu
Pada masa itu, orang tua berjanggut itu datang lagi. Ya, seperti janjinya, setiap hari Rabu, beliau akan selalu mengunjungi surau. Malah, ada beberapa temannya yang turut meramaikan. Bahkan, setelah sembahyang Isya', salah seorang dari rombongan menyampaikan pentingnya iman dan amal. Saya telah mendengar tema ini setiap kali anggota jamaah tabligh menyampaikan ceramah setelah sembahyang. Dengan meneladani sang Nabi, mereka tidak akan pernah merasa lelah mengajak saudaranya mewujudkan masyarakat yang peduli dengan ibadah. Sebuah ajakan mulia.
Tentu, keteguhan Zakri, seorang pelajar sekoleh menengah, yang selalu mengumandangkan azan, demikian pula Encik Yusuf, juga merupakan sedekah kebaikan yang membuat penghuni flat tergerak untuk turun menghadiri shalat jamaah. Tidak hanya mereka berdua, kadang Nuruddin, warga flat dari Nigeria, dan Na'im, dari Pakistan, acapkali melakukan hal yang sama.
Ternyata, dari cerita di atas ini, saya memerhatikan ada banyak cara berbagi dengan orang lain. Yang pertama, mereka yang menyumbangkan hartanya untuk kebajikan dan yang kedua, mereka yang berbagi pengetahuan tentang kebaikan. Lalu, kita ada di mana?
Thursday, December 25, 2008
Menumbuhkan Gairah Membaca Huruf
Kehadiran penulis novel remaja terkenal, seperti Ahadiat Akashah dan Mawar Shafe'ie, melengkapi pertemuan ini dengan protes penulis novel 'pop' yang selama ini dianggap tidak mempunyai bobot ternyata tidak beralasan. Mereka justeru mempunyai tanggungjawab moral bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan pada pembacanya. Tentu, beberapa pembicara lain yang berbicara dari perspektif psikologi dan filsafat turut mengayakan pembahasan bagaimana seharusnya mewujudkan korpus sastra remaja dan tentu menyebarluaskan karya ini kepada khalayak luas.
Tentu, dukungan yang kuat dari orang nomor satu USM, Tan Sri Dato Dzulkifli Abdul Razak, dalam pidato utama (keynote speech) telah mewarnai perbicangan menjana korpus dan membinca khalayak sastra selama dua hari, 23-24 Desember 2008 di Dewan Budaya. Informasi yang kaya tentang masalah kerusakan lingkungan, krisis identitas, dan kemiskinan diharapkan menjadi data dalam penulisan novel, sehingga remaja bisa mengenal isu lebih luas, tidak hanya melulu cinta.
Tuesday, December 23, 2008
Menemukan Identitas Melayu
Majalah Dewan Budaya, yang saya beli 3 hari yang lalu, menurunkan sebuah tulisan oleh Profesor Awang Sariyan, dosen di Beijing University, yang mencoba memberi jawaban terhadap makna menjadi Melayu (lihat edisi November 2008). Di sini, ketua kajian Melayu di Universitas Beijing ini mengurai asal muasal Melayu sebelum Islam datang. Penegasan, dengan merujuk kepada Prof Naquib al-Attas, bahwa Islam telah memberikan pandangan dunia (weltanschauung) yang khas terhadap identitas Melayu tentu mengubah lanskap pemikiran tentang kemelayuan.
Lalu, bagaimana identitas Melayu di era postmodern yang mengandaikan bahwa identitas itu merupakan mitos? Mungkin kita perlu membuka kembali pengertian identitas (Sheldon Stryker dan Peter Burker, 2000: 284) yang secara relatif digunakan pada tiga pemahaman berbeda, yaitu hakikatnya mengacu pada kebudayaan sebuah masyarakat, yang kadang tidak dibedakan antara identitas dan etnik. Yang lain merujuk pada identifikasi umum dengan sebuah kategori kolektivitas atau sosial. Di dalam teori identitas sosial (Tajfel 1982) ia menciptakan sebuah kebudayaan yang sama di antara partisipan. Lalu, ia mengandaikan sebuah kedirian yang mengandung makna-makna yang melekat pada seseorang dalam membawakan pelbagai peran yang dimainkan di dalam masyarakat yang sangat majemuk.
Michele Lamont (2002) mencoba untuk menyuguhkan posisi di antara primordial-esensialis (modern) dan kontruktivis (pascamodern), bahwa identitas itu dibentuk dan sekaligus diikat oleh kebudayaan yang diakses oleh seseorang dan konteks struktur tempat dia hidup. Mungkin posisi ini bisa dijadikan pijak bagaimana identitas itu dipahami dan dijadikan 'alat' sementara untuk mewujudkan komunikasi efektif antara sesama.
Dengan demikian, pengertian identitas hakikatnya menuntun seeorang pada khazanah yang sangat kaya. Dengan demikian ia tidak semudah membalikkan tangan disematkan pada seseorang. Namun, di dalam kenyataan sehari-hari, identitas mudah diucapkan dan dilekatkan pada diri seseorang dengan segala konsekuensi terhadap pengertian diri (self) dan masyarakat (society). Kehendak untuk memartabatkan sebuah identitas tentu merupakan kebutuhan dasar dalam memosisikan diri dalam pergaulan. Meskipun, kadang identitas itu juga berkait dengan peran yang memungkinkan menyapa identitas lain. Konflik yang acapkali mendera tentu bisa dilacak pada kepentingan, dengan segala pengertiannya.
Monday, December 22, 2008
Makan adalah Mengasup Bahan
Lalu, apakah saya menampik makanan yang dilakukan secara seremonial? Maksudnya dimulai dengan penaik selera (appetizer), makanan utama, lalu pencuci mulut (desert). Tidak, sebab ini adalah pengalaman menikmati lezatnya makanan. Meskipun kadang membosankan karena saya menunggu terlalu lama untuk beranjak dari meja makan. Ia adalah penjara yang menyenangkan. Sambil ngobrol ke sana ke mari, saya menikmati udang yang menjadi pembuka. Ditingkahi ketawa dengan kawan yang kebetulan terlibat dalam kegiatan ini, acara makan menjadi tidak menjemukan. Mungkin karena tidak terbiasa, saya kadang merasakan perut ini sesak.
Sejauh mungkin saya selalu mengincar ikan dan sayur karena dua menu ini, katanya, baik untuk kesehatan. Memang tidak mudah, sebab aneka makanan daging lebih mengundang selera. Tapi, inilah hidup. Jika kita memilih, kita harus bersedia menerima akibatnya. Pendek kata, kitalah yang menentukan sehat dan tidaknya tubuh ini.
Friday, December 19, 2008
Menyampaikan Kritik dengan Kelakar
Pembukaan ceramah yang dibuka dengan anekdot orang Kelantan pergi ke London dan terpaksa tidak menggunakan toilet umum karena tertulis Male. Kata yang terakhir ini dalam dialek Kelantan merupakan penyebutan kata malam, sehingga yang bersangkutan berpikir bahwa toilet tersebut hanya digunakan untuk malam saja. Saya pun tergelak dan mendapatkan suguhan cara bertutur yang merangsang keterlibatan lebih jauh dengan ceramah.
Ternyata, isinya memang menyentak karena menyentuh masalah yang jarang diungkap, yaitu hubungan antara etnik di kampus, dan tentu sebagai cermin dari keadaan sosial lebih luas. Namun demikian, kritik internal itu saya lihat sebagai bentuk kecintaan beliau untuk meletakkan pondasi yang kokoh bagaimana kampus menjadi peneraju hubungan yang harmoni dan tentu ini harus diletakkan dalam sikap terbuka dan saling menjaga. Memang tidak dapat dielakkan bahwa budaya 'sate' yang beliau jelaskan menyebabkan pengurusan banyak hal terhambat karena ada sekelompok orang yang selalu mencucuk dan mengipasi keadaan.
Bagi saya, ini adalah siri yang menampilkan warna lain karena beliau menyatakan bahwa keterbukaan itu pernah dialami semasa bersekolah dan kuliah. Pendek kata, perubahan itu sebenarnya mempunyai rujukan internal yang mungkin perlu diwujudkan kembali untuk meraih kemajuan. Tahniah, Tan Sri, saya menemukan kedamaian dalam acara itu.
Thursday, December 18, 2008
Menyemai Hubungan Serumpun
Meskipun ruangan Dewan Persidangan Universiti tidak membludak karena liburan, namun partisipasi peserta dari Indonesia dan lokal cukup untuk menghadirkan perbincangan yang menarik tentang hubungan dua serumpun. Semua orang tentu mempunyai kesan berbeda, namun yang lebih penting dari itu adalah kesedian untuk berbagi gagasan dan mau duduk bersama.
Sejatinya kami mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia tidak mempunyai prasangka yang berlebihan karena kami melihat begitu dekat saudara yang dulu disatukan oleh langgam kebudayaan yang sama. Malang tak dapat ditolak, kadang saudara bisa bertengkar hebat, bahkan mungkin bertikam lidah dalam arti verbal.
Namun itu tidak akan terjadi jika kita mengurai masalah dengan jernih dan keingingan untuk mengungkai perselisihan dengan kesadaran sejarah, sosial dan budaya. Identitas, dalam perspektif posmodernisme, adalah mitos. Ia berbeda dengan pandangan pra-modern yang menganggapnya stabil dan pasti. Sementara modernitas melihatnya sebagai sebuah atribut budaya yang dikonstruksi, bukan given. Di sinilah, kita akan memilih ke mana identitas itu dilekatkan.
Wednesday, December 17, 2008
Lika Liku Pencarian
Sementara, saya tidak bisa menyalin bahan Laporan bekas rektor karena materi tersebut berada di ruang arsip. Namun, saya mencatat nomor panggilan agar mudah merujuknya jika diperlukan, yaitu LG 396 5 A141. Tidak itu saja, saya juga mencatat nomor kutipan ceramah Tan Sri Tuan Hj Hamdan Sheikh Tahir, LA 1236 H 221). Di tengah mencari buku ini saya secara tidak sengaja menemukan buku yang ditulis Hassam Karim bertajuk With the People: The Malaysian Student Movement 1967-1974. Sebuah kesaksian yang merekam aksi turun jalan mahasiswa pada awal-awal berdirinya universitas publik Malaysia. Gambar-gambar hitam putih yang memotret unjuk rasa mahasiswa seakan menjadi saksi bisu betapa dulu mahasiswa memainkan peranan penting sebagai agen perubahan sosial.
Demikian pula, buku Machi Sato (LA 1238), Dilemmas of Public University Reform in Malaysia, membantu saya mengenal lebih dekat sejarah perkembangan universitas negeri yang sekarang telah banyak mengalami kemajuan yang pesat. Tentu, semua ini akan menjadi penanda bahwa kelahiran perguruan tinggi mengalami dinamika yang tinggi, dengan segala persoalan yang membuatnya lintang pukang menyambut tantangan.
Tuesday, December 16, 2008
Mencari Jejak
Lalu, saya juga memeroleh jawaban melalui email dari pihak Kantor Perhubungan Alumni bahwa majalah The Leader sudah habis dan jika berminat untuk mendapatkannya bisa mengkopi di kantor tersebut. Informasi ini tentu membantu saya untuk menghemat waktu karena pencarian data ini bisa ditanyakan melalui email, tanpa harus datang ke tempat yang diinginkan. Namun demikian, untuk pertama kali, saya tentu mengunjunginya untuk mendapatkan respons dan sekaligus mengenal lebih dekat beberapa tempat yang sebelumnya tidak pernah dibaui. Ada aroma kehangatan di tempat baru.
Sekarang, saya akan menjejaki keterangan beberapa gambar yang saya peroleh dari PTPM di perpustakaan Hamzah Sendut 2. Ada banyak gambar yang tidak bisa diketahui asal-usul dan latar belakangnya, sehingga pelihat tidak bisa mengenal gambar tersebut sama sekali. Ternyata, mencari kabar masa lalu harus melalui jalan berliku. Tidak terelakkan, ada yang tertinggal, sehingga menyusun masa lalu dengan sempurna merupakan utopia. Tapi, persoalannya bukan di sini. Kita yang sedang merekonstruksi sejarah menyadari bahwa kekinian turut mewarnai tafsir terhadap peristiwa lampau. Ada hubungan timbal balik. Bukankah ini akan membuat kita merasa memiliki masa lalu?
Monday, December 15, 2008
Bersama Menulis untuk Pencerahan
Kegairahan untuk menyuburkan minat kepenulisan merupakan tujuan (matlamat) dari persatuan ini. Dari sini diharapkan lahir para penulis yang mampu menyuguhkan pencerahan. Ada banyak kegiatan yang telah dilakukan, seperti penerbitan, lokakarya, seminar, dan jumpa tokoh. Agar kiprah organisasi makin dikenal, pengurus telah melahirkan situs yang beralamat di www.karyawanpn.org [dalam konstruksi] dan sekaligus sebagai pengekalan eksistensi agar bisa mewariskan tradisi literasi. Keikutsertaan mahasiswa dari luar negara, seperti Thailand dan Indonesia, merupakan ikhtiar kerjasama serantau untuk memajukan kegiatan kepengarangan.
Sebelum aktif di organisasi ini, saya sebenarnya telah mengikuti beberapa kegiatan yang telah dihelat oleh kumpulan penulis kreatif ini, misalnya Seminar Pramoedya Ananta Toer dan Seminar Latif Mohidin, seorang seniman. Di sinilah, sebenarnya universitas yang acapkali menjadi tuan rumah untuk beberapa kegiatan telah turut mewarnai kampus yang bertema taman ini dengan gelegak sastra, sehingga keindahan itu bisa terungkap nyata.
Saturday, December 13, 2008
Mendekatkan Saudara Serumpun, Indonesia- Malaysia
Oleh Ahmad Sahidah*
Pertemuan rutin General Border Committee (GBC) Indonesia-Malaysia yang memasuki usia ke-37 mungkin bisa dijadikan titik tolak untuk membincangkan masalah perbatasan Indonesia-Malaysia secara lebih baik. Tentu isu kepemilikan Ambalat akan selalu menjadi batu ganjalan karena merupakan area konflik, mengingat kawasan itu mengandung sumber minyak bumi yang luar biasa. Meski demikian, masalah tersebut telah diserahkan kepada tim teknis kedua negara melalui kementerian luar negeri masing-masing.
Masalah aturan keterlibatan (rules of engagement) militer dalam menjaga perbatasan bahwa jika kedua militer dihadapkan dengan masalah, tidak terjadi bentrokan (clash) merupakan kesepakatan yang cemerlang. Dino Pati Djalal menyebut itu sebagai bentuk kemajuan luar biasa (Jawa Pos, 12/12/08). Ikhtiar untuk mengetatkan perbatasan dalam usaha menghindari tindak kejahatan, seperti penyelundupan dan perdagangan manusia (trafficking), adalah upaya yang perlu mendapatkan perhatian karena praktik semacam itu masih leluasa. Inilah praktik yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang mesti dicegah.
Peran Media
Pada hari yang sama (12/12/08), Utusan dan Jawa Pos memuat foto pertemuan Badawi dan SBY dan berita yang sama-sama memberikan harapan untuk mewujudkan hubungan kedua negara bertambah erat dan mampu menyelesaikan masalah yang acapkali mendera. Mungkin senyum dua orang nomor satu itu secara lahir bisa dijadikan pertanda ke arah kemajuan hubungan persahabatan. Di sini, betapa peran media sangat diperhitungkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan media, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia memang tidak seterang negara tetangganya dalam memberitakan sikapnya terhadap beberapa masalah, seperti perbatasan, hak cipta, dan tenaga kerja. Ketika media di Indonesia meributkan reog Panorogo yang dijadikan ikon pariwisata Malaysia, secara relatif warga Malaysia tidak mengetahuinya. Sementara itu, televisi di sini (Indonesia) mencuatkan isu tersebut sehingga menimbulkan respons kemarahan yang meluas di kalangan khalayak. Tentu, pemberitaan semacam itu makin menimbun rasa jengkel masyarakat di sini terhadap negara tetangga.
Demikian pula ketika kasus Ceriyati, pembantu yang bergantungan di bangunan kondominium karena melarikan dari kekejaman majikannya, mencuat ke permukaan, media Malaysia justru menampilkan sikap keprihatinan pejabat terkait di sana dengan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Di sini, media memublikasikan para pegiat LSM yang menyoroti ketidakbecusan negara tetangga melindungi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, harus ada jalan lain untuk mengurai benang kusut semacam ini agar kedua belah pihak menemukan cara ungkap yang memberikan jalan keluar, bukan malah membuat kemarahan berkobar.
Hubungan Masyarakat
Kalau kita perhatikan di beberapa media, ada banyak ketidakpercayaan antara masyarakat dua negara. Jika ditelisik, banyak komentar di media Malaysia, seperti KOSMO! dan Metro, yang memuat rasa kesal warga setempat karena Kuala Lumpur seperti Jakarta saja. Malah tidak itu saja, pedagang kecil sering menyatakan kejengkelannya karena ternyata banyak warga negara Indonesia yang menjadi pedagang kaki lima. Belum lagi, perilaku para TKI yang berkelakuan seenaknya. Misalnya, bergerombol dengan pakaian ala rocker dan berambut panjang, ternyata, dipandang tidak elok oleh orang lokal, meskipun di Jakarta itu mungkin hal biasa.
Demikian pula, kita akan banyak menemukan komentar miring pembaca media di sini terhadap Malaysia dengan menyebutnya sebagai bangsa yang suka mengakui hasil kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti batik. Padahal, sebagaimana ditulis oleh Borhan Abu Samah (Utusan, 10/12/08), motif keduanya berbeda. Mungkin,Anda bisa membandingkan batik yang dipakai Abdullah Badawi dan SBY pada pertemuan di atas sehingga dengan sendirinya bisa dibedakan corak batik antara keduanya. Tentu, saya serta-merta bisa merasakannya karena saya sering mengamatinya dari dekat. Meski demikian, harus diakui pakaian resmi Malaysia itu diilhami oleh batik Indonesia.
Untuk itu, upaya menghilangkan duri yang menghalangi hubungan dua negara tidak hanya melibatkan pemimpin elite formal, tetapi juga masyarakat luas. Peran Eminent Persons Groups (EPG), kelompok di luar hubungan antara pemerintah, yang dipimpin Try Soetrisno (bekas wakil presiden) dan Musa Hitam (bekas wakil perdana menteri) tentu merupakan jalan keluar dari hubungan formal yang kadang terkendala birokrasi. Maka, kelompok yang digawangi oleh banyak pakar dan tokoh masyarakat itu diharapkan lebih menunjukkan taring dalam merapatkan hubungan masyarakat dua negara tersebut.
Untungnya, perguruan tinggi masing-masing negara juga telah memberikan sumbangan penting bagi upaya menghilangkan prasangka yang selalu menghantui hubungan dua kakak-beradik itu. Malah, Universitas Sains Malaysia, tempat saya belajar, akan menggelar kuliah umum bertajuk Hubungan Bangsa Dua Serumpun: Realiti Masa Kini dan Cabaran (baca: Tantangan) Masa Depan yang akan disampaikan oleh alumnusnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra, pada 18 Desember 2008.
Mungkin, kabar putusan pengadilan Malaysia (27/11/08) terhadap Yim Pek Ha, majikan Nirmala Bonat, dengan hukuman 18 tahun karena melakukan tindakan kekerasan bisa menjadi penanda yang baik. Bagaimanapun, warga Indonesia telah mendapatkan keadilan dan itu akan menambah keyakinan kita bahwa warga Indonesia yang lain akan menerima perlakuan sama. Peristiwa tersebut sejatinya membuat warga dua negara makin bersemangat untuk memupuk rasa saling memercayai dalam mewujudkan hubungan yang tulus dan tidak lagi terperangkap sikap saling menafikan. Semoga. (*)
*Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Peradaban Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Friday, December 12, 2008
Mencari Kabar Masa Lalu
Namun, staf di penerbitan memberitahu bahwa orang yang bertanggung jawab untuk urusan ini sedang cuti. Namun, saya telah menggenggam nama yang bersangkutan dan hari Senin akan menemuinya untuk mendapatkan surat. Ternyata, pengalaman pencarian ini telah makin mengenalkan saya pada liku-liku kehidupan kampus, yang tidak melulu berkait dengan buku, tetapi juga hal ihwal hubungan manusia dan beragam tindak tanduknya.
Lebih penting lagi, saya tentu lebih memasuki ceruk yang menyimpan kabar masa lalu. Usaha untuk mengungkapkan perjalanan kampus menjadi sebesar sekarang, hakikatnya sebuah ikhtiar untuk lebih melahirkan manusia yang cemerlang di masa depan. Mungkin benar apa kata Paulo Freire: The Future isn't something hidden in a corner. The future is something we build in the present (diambil dari Mohammed Imran, ed. Islam, Religion and Progress: Critical Perspectives (Singapore: The Reading Group, 2006), hlm. 9.
Membaca Kitab Suci dengan Hati
Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam pada Universitas Sains Malaysia
Alquran adalah Kitab Suci yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penganutnya. Ia telah menuntun individu untuk selalu dekat dengan penciptanya melalui apa yang telah difirmankan. Memang kebanyakan tidak memahami kandungannya, tetapi membacanya saja telah mendatangkan pahala sehingga yang bersangkutan merasa tentram. Di kepala mereka tebersit keselamatan akan digenggam dan carut-marut hidup akan terurai.
Tetapi, tidak bagi sarjananya. Mereka bertengkar tentang isinya. Malah, sejak dulu satu generasi setelah Nabi Muhammad, bijak pandai Muslim telah memahami secara berbeda terhadap teks yang sama. Apatah lagi dalam usia ke-14 abad, perselisihan makin meruyak. Ditingkahi lagi dengan keterlibatan sarjana Barat yang makin memperbesar area konflik interpretasi. Tentu yang tidak dapat dilupakan perbedaan apakah Alquran makhluk atau tidak pada zaman Khalifah al-Ma'mun telah menentukan mati dan hidupnya seseorang.
Sementara pada masa yang sama sarjana Muslim juga terbelah perhatian terhadap Kitab Suci ini. Ada yang menonjolkan kedalaman Alquran dari sisi ilmu pengetahuan, sementara yang lain menumpukan pada makna spiritual. Mereka mengasyiki apa yang telah menjadi spesialisasinya dan mencoba mencari pembenaran keyakinannya atau malah ada yang mendapatkan ilham dari kalam Tuhan melahirkan teori baru. Tuhan telah membuka hal ihwal dunia.
Pembacaan dengan hati
Pembacaan dengan hati, mengapa? Padahal, hati sebagai terjemahan dari kata qalb sering berubah-ubah? Meski demikian, hati di sini adalah terjemahan lain dari fu'ad. Memang dalam tradisi ilmu Alquran, penafsiran dibagi ke dalam naqli (riwayat), aqli (akal budi), dan isyarat (spiritual). Mungkin hati lebih dekat dengan yang terakhir. Tentu, hati tidak kemudian dipisahkan dari dua yang pertama karena suasana batin itu juga berkaitan dengan keadaan lahir dan rasio kita.
Tartil atau membaca Alquran sesuai dengan aturan hakikatnya sebagian dari mendekati Alquran. Ia adalah cukup bagi awam, tetapi kaum terpelajar menempalak sebagai igauan. Tentu, perspektif masing-masing tidak bisa dijadikan ukuran menilai yang lain. Justru Georg Hans Gadamer menegaskan bahwa ketika seorang memahami berbeda sesuatu yang sama maka mereka telah benar-benar memahami, bisa dijadikan pijakan untuk kita tidak lagi mengusik orang lain. Malahan, masing-masing memberikan apresiasi dan dukungan sebab siapa tahu keduanya bisa bertukar tempat atau malah saling menguatkan.
Pembacaan Kitab Suci ini tidak semata-mata pelarian dari ketidakmengertian. Ia adalah ayat Tuhan yang seperti ditegaskan oleh Allah merupakan sebagian tanda-tanda kebesarannya yang ada pada diri manusia dan di cakrawala. Meringkus kekuasaan Tuhan pada Kitab Suci, kita telah sewenang-wenang mengerdilkan kemahaluasannya.
Mengatakan bahwa jalan menuju Tuhan bisa dengan akal budi, seperti diyakini filsuf Muslim, Ibn Tufayl, dalam karya cemerlangnya Hayy Ibn Yaqzan, tidak perlu dipaksakan bagi Muslim yang enggan berfilsafat. Jelas-jelas yang terakhir ini jika dilakukan adalah sebuah kepongahan.
Pembacaan Kitab Suci dengan hati tidak serta-merta menepikan logika, tetapi justru ia mengatasi ketidakmampuan akal budi meraup pesonanya serta-merta. Bukankah filsuf juga mengakui keterbatasan akal budi? Apatah lagi Kitab Suci memang juga berkaitan dengan cita rasa estetik sehingga perasaan manusia yang bisa menghampirinya.
Membaca begitu saja tentu berbeda dengan mengkaji yang kadang menuntut pelaku meragukannya. Ini saja telah menghentikan kekhusyukan. Membaca dengan hati hakikatnya ingin menghadirkan pesan utama Alquran, yaitu membebaskan manusia dari penindasan. Tentu, ia akan mengambil beberapa bentuk sebagaimana diterakan dalam Alquran.
Dengan pembacaan berulang-ulang pesan itu akan terus tertanam. Keteraturan membacanya justru makin menguatkan pembacanya untuk menjadikan pesan itu sebagai bagian dari falsafah hidupnya. Pembaca seakan-akan memahat pesan ini secara terus-menerus sehingga ia tertancap dalam di hati. Tentu, kesungguhan ini akan menggerakkan pembaca untuk mewujudkan pesan itu dalam kenyataan. Tindakan adalah akibat wajar dari sebuah keyakinan.
Pesan utama
Jadi, pembacaan apa pun tentang Kitab Suci mesti bermuara pada pesan utama itu meskipun untuk menggapainya dengan pelbagai pendekatan. Muaranya akhirnya juga ke hati. Saya sendiri tidak menampik tradisi luar untuk mengupas kedalamannya sebab ternyata Toshihiko Izutsu, sarjana Kajian Islam Jepang, berhasil mengungkap maknanya melalui pendekatan semantik Barat. Malah, hasil kajiannya menunjukkan kesamaan kesimpulan dengan para penafsir Muslim ortodoks mengenai hubungan Tuhan dan manusia (lihat dalam God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung).
Sekali lagi, setelah kita menimang-nimang Kitab Suci dengan perlbagai cara, akhirnya hati kita yang akan menuntunnya, ke mana perintah Tuhan itu dimaksudkan. Hati telah menjadi penentu motif, kehendak, dan kepentingan membaca Alquran. Semua ragam itu justru membenarkan kenyataan manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan perbedaan latar belakang. Penghormatan terhadap keragaman justru mengukuhkan pesan Nabi sendiri bahwa Alquran mempunyai empat makna, yaitu harfiah (zahir), metaforis (batin), moral (had), dan analogis (muttala').
Mungkin cerita ini adalah penutup dari tulisan dan sekaligus mengantarkan kita pada sebuah pilihan. Teman tetangga kamar saya, Ilyas, dari Aljazair, bercerita bahwa dulu ia menyukai musik, tetapi sekarang dia meninggalkannya karena musik yang terindah adalah Alquran. Berbeda dengan kawan karib lain saya, Pak Sugeng, yang selalu memutar bacaan Alquran bersamaan dengan mesin mobilnya dihidupkan.
Dalam sepanjang jalan, saya dengan sendirinya mendengar alunan Kitab Suci. Saya perhatikan dari kedua teman tersebut, perilakunya yang tenang dan tindak tanduknya yang menenteramkan. Mungkin mereka berdua menyodorkan hatinya ketika menikmati Kitab Suci, sementara saya sendiri masih bergulat dengan teks dan berharap cemas ke mana akhirnya pencarian makna itu berakhir. Lalu, Anda berada di kelompok mana?
Thursday, December 11, 2008
Mengenal Kampus Lebih Dekat
Jika sebelumnya saya sering mengikuti seri sejarah lisan yang diadakan oleh penerbit USM untuk mengenal lebih dekat kampus, karena menghadirkan kesaksian para pegawai, dari bekas orang nomor satu hingga satuan pengaman (di sana sering disebut guard). Untuk itu, saya meminta tolong teman yang bekerja di penerbit untuk memberitahu jika seri sejarah lisan akan digelar lagi. Malah, beberapa hari yang lalu, Encik Khairul Rahim mememberi tahu bahwa acara ini akan dihelat kembali pada tanggal 19 Desember 2008. Maka, sekarang, saya terlibat langsung dalam mengenal warna lain dengan membantu Dr Suhaimi Abdul Aziz dalam penulisan biografi Naib Canselor (setingkat rektor) Universiti Sains Malaysia.
Hari ini, seperti hari yang lain, saya bekerja untuk melacak bahan-bahan, seperti gambar, karya, dan kesaksian sejawat, berkaitan dengan orang nomor satu di kampus tempat saya belajar. Pencarian ini juga mengantarkan saya pada beberapa tempat yang harus disinggahi. Misalnya, pada hari ini, saya mengunjungi kantor rektor menemui penolong pendaftar, pegawai alumni dan PTPM (Pusat Teknologi dan Pengajaran Multimedia). Saya sengaja berjalan kaki untuk merasakan lorong, jalan, dan suasana kampus. Inilah perjalanan yang membuat saya merasakan kehadiran kampus secara lebih utuh.
Lebih dari itu, kadang saya tidak mendapatkan bahan dari tempat yang saya kunjungi, namun dari pegawainya saya memeroleh informasi yang penting dalam memburu bahan. Pengalaman semacam ini tentu di luar kebiasaan saya dalam menekuri bacaan. Ternyata, komunikasi dengan manusia dan alam mendatangkan sensasi tersendiri.
Wednesday, December 10, 2008
Belajar dari Liyan
Saya mencoba untuk menekuri apa yang disampaikan oleh orang nomor satu KJRI ini. Keyakinan beliau bahwa Indonesia bisa maju bersama bersama tetangganya tentu merupakan pernyataan optimistik di tengah kemelesetan ekonomi. Beliau berharap bahwa Sumatera Utara akan juga menerima limpahan dari kepesatan Negeri Semenanjung Utara, Pulau Pinang. Pendek kata, keduanya harus bahu membahu untuk menyiasati keadaan ekonomi yang memburuk akibat krisis ekonomi negara raksasa, Amerika Serikat.
Lalu, setelah ceramah, para tamu dan staf KJRI bertukar cenderamata. Acara dialog tidak diadakan karena harus makan malam. Di sela kami mengasup, mahasiswa dan para pegawai yang mengikuti observasi ke Malaysia ngobrol ringan, membandingkan keadaan Medan dan Georgetown. Sebuah upaya ini makin mengukuhkan kehendak untuk menjadikan negeri khatulistiwa bertambah baik. Salah seorang peserta mengabari bahwa mereka hari ini akan mengunjungi Kantor Departemen Kesehatan Alor Setar, negara bagianKedah, untuk melakukan studi bandingan pelayanan kesehatan. Semoga berhasil, Pak!
Tuesday, December 09, 2008
Bersama dalam Perbedaan
Di luar perbedaan yang menghalang kita untuk berbagi, sebenarnya ada ruang untuk bersama menikmati kehidupan. Seperti teman-teman saya di perhelatan SEAMUS, mereka memang menggagas pentingnya pencerahan dan kebebasan. Persoalannya, bagaimana kata ini ditafsirkan dan diterjemahkan di dunia nyata?
Saya mengamati sepanjang diskusi dan obrolan ringan, mereka tidak mempunyai satu cara memahaminya. Apatah lagi peserta mempunyai latar belakang yang beragam. Gambar sebelah ini mungkin justeru sudut pandang lain di mana masing-masing tidak lagi dibekap sikap primordialnya. Ada bahasa yang mungkin menyatukan setiap kita, bahasa manusia tentang keindahan, apakah alam, musik dan kehangatan sebagai teman. Toh, akhirnya, masing-masing akan menjalani hidup dengan masyarakatnya.
Saya sendiri, di tengah menanti ujian, mencoba menjadi bagian dari masyarakat yang bermastautin di flat sederhana. Saya berusaha untuk akrab dengan tetangga kiri kanan. Malah, sebuah keluarga di depan rumah kami merupakan tempat yang saya menemukan keakraban. Pak Cik Yusuf telah menggedor banyak pikiran saya tentang hubungan ide generasi tua dan muda. Demikian pula isterinya selalu menyambut saya dan isteri dengan hangat. Anaknya yang masih kecil, Iman, menambah semangat saya karena ketekunannya mengunjungi surau. kebetulan, saya sedang berusaha agar rumah Tuhan ini menjadi nadi bagi kehidupan flat kami. Perjumpaan di sana tentu mengikis keberjarakan yang selalu menghantui penghuni flat. Inilah alasan mengapa kita harus mencari jalan keluar dari keterasingan semacam ini.
Saturday, December 06, 2008
Para Peziarah Surau
Beberapa hari sebelumnya, serombongan jamaah Tabligh juga menginap di surau itu selama tiga hari. Mohammad Amin, kepala rombongan, sempat ngobrol dengan saya menjelang Maghrib. Malahan, ada beberapa anak kecil yang turut serta, mungkin karena liburan, orang tuanya mengajaknya turut serta berihlah. Merekah inilah yang acapkali membuat surat kami tak direnggut sepi. Riuh rendah setelah dan sebelum shalat mengusir muram.
Ya, kami berharap bahwa penghuni flat akhirnya terketuk hatinya untuk mendatangi surau, agar ia tidak roboh. Apatah lagi, sekarang keadaannya telah banyak berubah. Warnanya terang dan pintu pagar telah diperbaiki sehingga dengan kokoh menghalang binatang liar mengganggu ketentramannya. Namun, pesona itu akan pudar jika penghuni rumah susun ini tidak mau merawatnya.
Tuesday, December 02, 2008
Perpisahan di Long Pine
Pada tanggal 23 November kemarin, acara SEAMUS diakhiri dengan malam perpisahan di restoran Long Pine, tepi laut Batu Ferringhi. Gambar di sebelah ini tidak hadir begitu saja. Ia hadir melalui rangkaian perkenalan, diskusi, ngobrol santai dan tentu kehendak untuk menciptakan kehidupan lebih baik.
Betapapun kami mempunyai komitmen yang berbeda tentang kehidupan bersama, namun tidak setiap orang mempunyai cara yang sama mengungkapkan keinginan. Namun perbedaan ini luruh bersama ketika masing-masing menepis ego. Masih banyak kesamaan yang perlu dikedepankan dan memikirkan cara untuk mewujudkan menjadi kenyataan.
Untuk itu, acara serius kadang mencair dengan makan bareng sambil ditemani band musik restoran yang membawakan lagu lembut dan tidak jarang lagu riang. Salah satunya yang saya ingat adalah Sway. Katanya, mereka, pelantun dan pemain organ itu, berasal dari Filipina. Adalah tidak aneh, jika lagu Anak dibawakan dengan sangat merdu dan mengusik rindu. Setelah acara usai, kami pun kembali ke komunitas masing-masing dan menekuri rutinitas, yang tentu dengan semangat dan keinginan baru. Selalu begitu.
Monday, December 01, 2008
Mengubah Keadaan dengan Kata
Tanpa kehendak untuk mengumpulkan gagasan apa yang bisa dilakukan, maka keinginan untuk berubah tidak akan terwujud. Bersamaan dengan HUT Korpri, kami menggelar seminar bertajuk Peningakatan Kualitas Manusia untuk Kejayaan Bangsa. Ada lima makalah yang ditampilkan dalam perhelatan ini, yaitu Prof Adirukmi, Pak Supri, Pak Nuh, Pak Karnadi, Pak Sugeng dan saya sendiri. Tindak lanjut dari acara ini adalah menggagas Universitas Terbuka bagi para pekerja Indonesia agar mereka mendapatkan pengalaman baru dan sekaligus jalan keluar dari rutinitas mereka. Lebih dari itu, cara ini adalah membuka potensi menjadi pekerja yang lebih terampil.
Sebagai langkah awal, ini adalah usaha cemerlang karena kami bisa duduk bersama untuk belajar. Selain itu, tentu para pekerja mendapatkan peluang untuk menyampaikan impiannya mengubah kehidupan mereka lebih baik. Kesediaan Prof Madya Adirukmi, koordinator PERMAI untuk Pendidikan, untuk memberikan kursus yang diperlukan pada masa yang akan datang tentu memberikan kesempatan emas bagi TKI untuk tidak terkungkung dengan kebiasaan selama ini.
Friday, November 28, 2008
Siapa Melecehkan Agama?
PELECEHAN terhadap agama Islam terus berlangsung di muka bumi ini. Yang terbaru adalah penayangan kartun yang amat melecehkan Nabi Muhammad SAW pada blog apotuak.wordpress. com dan kebohongandariislam .wordpress. com. Pada waktu hampir bersamaan, muncul pula berita mengenai rencana peluncuran produk game Sony, meski akhirnya ditunda.
Peluncuran game komputer PS3 bertajuk Little Big Planet ini ditunda, karena ada kutipan ayat Alquran berikut ini: ”Kullu nafsin dzaiqatul maut" (setiap yang bernyawa pasti mati—Red). Tindakan cepat manajemen Sony tentu patut diapresiasi, karena bisa menghindari respons emosional dari umat Islam.
Apabila ini dianggap keberhasilan umat Islam menjaga agamanya, mungkin kita hanya perlu menganggukkan kepala pelan. Kita tidak perlu terlalu bergairah menyambutnya sebagai kemenangan, karena ternyata banyak pelecehan lain yang kurang diperhatikan justru oleh kaum muslim sendiri teradap ajarannya. Nampaknya sebagian umat Islam telah mengalami pandangan miopik dalam merawat agama.
Jika mau konsisten menjaga Alquran, setiap muslim justru merasa terhina karena nilai-nilai kitab suci ini diinjak-injak sendiri oleh penganutnya, seperti kealpaan menjaga kesejahteraan manusia dan kelestarian alam.
Kemiskinan yang menjerat dan kerusakan alam yang meruyak adalah contoh nyata betapa kita telah mengabaikan perintah Alquran untuk menegakkan etika sosial sebagai pesan utama kitab suci dan tidak merusak alam karena melanggar titah Tuhan.
Salah Kaprah
Pernyataan umum yang kerapkali didengar adalah bahwa kekafiran itu selalu hanya dikaitkan dengan kelompok di luar Islam. Padahal pengertian kafir (kufr) di dalam Alquran mempunyai sejarah semantik yang panjang, yang tidak dapat diringkas hanya melalui pernyataan pendek dan bombastis, apalagi dalam pengertian tunggal seperti di atas.
Kata kafir sebenarnya juga menempalak muslim yang mengabaikan kelestarian alam dan tidak pandai bersyukur. Yang terakhir ini tak hanya diwujudkan pernyataan verbal, misalnya ucapan alhamdulillah, tetapi juga dibarengi dengan peduli terhadap penderitaan orang lain. Jika perusak alam bisa dikategorikan sebagai perbuatan kafir, mengapa muslim gagal mengangkat masalah pembalakan liar sebagai pelecehan terhadap agama?
Mengapa pembela Islam bungkam terhadap pelaku penggundulan hutan yang jelas-jelas telah menginjak kandungan kitab suci yang terang-terang telah diterakan, sementara penyisipan Alquran dalam permainan game dianggap pelecehan dan kita telah merasa lega karena menganggap telah menunaikan misi suci?
Demikian pula, perintah kitab suci yang diulang-ulang agar kesalihan pribadi berjalan seiring dengan kesalihan sosial, ternyata gagal diwujudkan dalam dunia nyata. Para penganutnya lebih mudah melihat ketundukan pada agama dalam bentuk ibadah ritual, misalnya shalat. Sementara kepedulian terhadap nasib manusia sering dikucilkan.
Pernyataan dalam hadits bahwa seseorang muslim yang kekenyangan dan membiarkan tetangga kelaparan maka rahmat Allah akan ditarik, tentu pesan yang juga menegaskan betapa sebenarnya kita luput memerhatikan pesan agama yang penting untuk diutamakan itu.
Hampir semua orang lebih mengedepankan pembelaan simbolik yang abstrak. Celakanya, terkadang para sarjana dan para elitenya juga mendukung, sekadar untuk mendapatkan dukungan politik. Di sinilah perlunya komunitas baru yang tidak lagi terpukau dengan perayaan simbol keagamaan semata-mata. Betapa pun penting simbol itu, namun terkadang isinya gerowong, jika ia semata-mata teriakan tanpa tindakan nyata.
Kesadaran Baru
Sebenarnya kehendak untuk melahirkan sebuah komunitas baru untuk melahirkan masyarakat yang lebih mementingkan pesan agama yang substil telah diyakini banyak orang. Mereka yang peduli terhadap pengutamaan terhadap undang-undang agama sejatinya sedang berikhtiar untuk menjaga kepentingan kemanusiaan, meliputi agama, akal, kehidupan, keturunan, dan harta.
Jadi, seharusnya tugas keagamaan memberi perhatian utama pada pemerataan pendidikan, akses kesehatan dan ekonomi, serta partisipasi publik untuk mengoreksi mereka yang diberi amanah berkuasa.
Kegagalan orang Islam, termasuk yang duduk di lembaga legislatif, untuk mendorong negara melindungi masyarakat korban lumpur di Porong, Sidoarjo, adalah contoh paling nyata dari kesilapan kita dalam memahami agama. Sebab perusak alam —bahkan penyebab kesengsaraan manusia— inilah sebenarnya yang telah melecehkan agama. Hampir-hampir kita bungkam untuk mengaitkan perilaku semacam ini sebagai pelanggaran nilai-nilai religiusitas. Sebuah kealpaan yang telah begitu mendalam menghinggapi umat beragama di Indonesia.
Demikian pula pengabaian terhadap nasib jutaan orang yang terbelit kemiskinan. Para pemimpinnya tak mampu mengelola kekayaan negara, namun diberi penghormatan sebagai ”penjaga agama” dengan mendapat tempat di barisan terdepan dalam setiap perayaan keagamaan, seperti Maulid Nabi dan Nuzulul Quran, bahkan disiarkan langsung di televisi.
Sebenarnya acara ini mempertontonkan kegagalan kita dalam menempatkan sesuatu secara proporsional, yang pernah disebut Nabi Muhammad sebagai ekspresi kezaliman.
Acara kenegaraan yang berbiaya mahal dan dihadiri para pemimpin yang selalu datang dengan mobil mewah itu jelas-jelas menohok kenyataan masyarakat kebanyakan yang hidup miskin dan papa. Tetapi media televisi mengemas perayaan ini sebagai kepedulian terhadap syiar agama, yang pada masa Rasulullah justru tidak pernah dirayakan.
Muhammad dan Umar ibn Khattab sebagai pemimpin membawakan diri sebagai sosok sederhana. Ini seharusnya mempermalukan para elite sekarang yang menjajakan agama ke mana-mana, namun pada masa yang sama melawan sosok yang patut diteladaninya (Rasulullah—Red) . Sejatinya, kegagalan negara melindungi rakyat ini mestinya mendorong kelompok keagamaan untuk menjadi perantara kesejahteraan rakyat, tanpa harus bergantung kepada negara.
Sayangnya, saat ini banyak organisasi keagamaan yang terlalu asyik dengan kasak kusuk politik kekuasaan. Sudah saatnya organisasi seperti ini mengajarkan agama tidak lagi sebagai barang murah yang ”dijual” di atas panggung dan diteriakkan di pinggir jalan. Lalu, kita berada pada komunitas yang mana? (32)
—Ahmad Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam pada Universitas Sains Malaysia.
Thursday, November 27, 2008
Mengunjungi Kapitan Keling
Posisi strategis dari masjid yang dibangun pada tahun 1801 oleh Kapitan Keling Cauder Mohudeen, seorang pemimpin Tamil Muslim memungkinkan menjadi pusat perhatian banyak turis (pelancong). Apalagi di sekitarnya, beberapa toko kelontong berjejer, yang menarik banyak perhatian orang untuk berbelanja.
Sesampai di pintu masjid kami disambut oleh pengurus yang berperan sebagai pemandu. Dia menjelaskan sejarah masjid ini, yang ternyata bahan dari pembangunan masjid ini berasal dari India dan Inggeris. Namun demikian, mimbar, tempat imam berdiri memimpin shalat, yang dilekatkan elemen baru berupa hiasan bermotif kotak-kotak adalah unsur baru. Demikian pula, alat penghalang merpati yang diletakkan di bundaran kubah merupakan bantuan dari kepakaran Barat, sehingga kotoran binatang ini tidak mengganggu jemaah. Tidak itu saja, rombongan juga meneguk air mineral yang diberikan oleh pengurus masjid dan diberikan cenderamata berupa gantungan kunci yang bergambar masjid yang kubahnya berwarna hitam ini.
Wednesday, November 26, 2008
Kawan Baru
Sebagai salah satu kegiatan dalam SEAMUS (Southeast Asian Muslims for Freedom and Enligtenment), yang digelar di Ruang Sayang, Shangri-La, para peserta diajak untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang berada di Georgetown, Pulau Pinang (lihat http://www.seamusnetwork.net).
Kami berangkat dari hotel jam 8.30 pagi. Menyusuri jalan berkelok dan menurun, saya merasakan sensasi. Namun, tentu saya tidak memikirkan kengerian ini, tapi justeru menikmati kebersamaan. Dengan sendirinya, setiap orang mengelompok sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Kadang saya mencoba untuk memasuki setiap kelompok itu dan menyelami apa yang mereka pikirkan tentang banyak hal. Saya mendengar dan mencoba menyerap apa yang terlontar dari teman-teman baru ini.
Bagaimanapun, pengalaman selama tiga hari-empat malam berinteraksi telah merekatkan pertalian batin dan intelektual. Namun demikian, saya melihat betapapun peserta terikat dengan komitmen bersama tentang liberalisme, pluralisme dan relativisme, mereka tidak mempunyai satu kata tentang makna dari kata kunci ini. Sebab, di luar penanda ini, ada yang jauh lebih mampu merekatkan kita, kemanusiaan.
Tuesday, November 25, 2008
Mewaspadai Teror Lain
| | |
Koran Surya, 21 November 2008 | |
SETELAH pelaku teroris bom Bali, Imam Samudera, Ali Gufron dan Amrozi, mengembuskan napas terakhir di tangan regu penembak, apa yang tersisa di benak kita tentang pelaku teror? Mungkin kita bergumam pelan, mereka telah menyia-nyiakan hidupnya yang seyogianya bisa digunakan mengubah keterpurukan umat dengan lebih sabar. Sejatinya, tekad mereka yang bulat untuk lebih bermanfaat dalam menyebarkan kebajikan semestinya dengan cara yang menghargai kehidupan, bukan menghanguskannya. Sudah saatnya, penganut agama menyadari bahwa ajaran agama perlu dikembalikan kepada pangkalnya, menyelamatkan manusia dan lingkungan. Meskipun kelompok perusak ini kecil, namun dampaknya besar bagi keseimbangan kehidupan. Perlu secara luas ditegaskan bahwa tindakan teror semacam itu bukan jihad dan dengan sendirinya berada di luar ajaran resmi Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menunaikan tugas ini dengan cemerlang. Lalu, pernahkah kita memikirkan tindakan teror lain menghantui kehidupan kita setiap hari? Meski tidak seheboh teror bom Marriott, Bali dan Kuningan, korban obat terlarang, misalnya, menimpa siapa saja. Korbannya justru lebih banyak dan menyebar, tidak pandang bulu. Tidak itu saja, keluarga yang bersangkutan mengalami goncangan yang dahsyat. Bukankah ini adalah kejahatan kemanusiaan yang sempurna? Lalu, adakah mobilisasi yang memadai dari pihak terkait dan keprihatinan publik terhadap masalah ini? Makna Lain Terorisme Betapapun ragam definisi istilah terorisme ini ditemukan, namun satu hal yang disepakati adalah sasaran korban adalah masyarakat kebanyakan, bukan kombatan. Lalu, bagaimana dengan korban obat terlarang, dampak penggundulan hutan terhadap kehidupan khalayak dan kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya yang sama-sama membunuh, meskipun secara perlahan? Tidakkah ia juga tindakan teror dengan senyap? Belum lagi, tindakan sebuah kelompok keagamaan yang telah secara serampangan membawa bendera agama melakukan tindakan anarkisme, baik secara simbolik maupun fisik yang ada di sekitar kita. Sebenarnya, kata teror tidak hanya diungkap dalam kaitannya dengan pelaku kekerasan dengan sasaran sarana publik atau masyarakat umum. Ia juga digunakan bagi keadaan masa kini dimana serangan konsumerisme telah meneror masyarakat dengan iming-iming citra yang akan melekat pada penggunanya. Produk pelangsing tubuh, pemutih kulit, operasi tubuh dan lain-lain juga telah mengantarkan masyarakat pada kematian eksistensinya dan diam-diam ini juga menimpa kaum lelaki. Terlalu banyak di luar sana mereka yang merasa cemas dengan keadaan tubuhnya, sehingga mereka selalu mengalami kecemasan. Tidakkah ini termasuk dalam pengertian korban teror? Demikian pula, pengaruh resesi ekonomi dunia akibat kegagalan negara Amerika mengelola ekonominya juga menimpa kehidupan masyarakat Indonesia. Belum lagi dampak krisis moneter yang menggerus daya hidup mereka. Kini, ada ancaman baru yang sedang menganga. Boleh ditebak, masyarakat kebanyakan akan semakin susah memenuhi kehidupan sehari-hari, seperti memenuhi biaya pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Jelas ini adalah teror nyata yang secara perlahan menghantui hari-hari mereka. Melawan Teror Tindakan aparat membekuk pelaku premanisme di beberapa kota besar Tanah Air adalah sebuah tindakan simpatik yang perlu dihargai. Memang, tindakan terorisme mengambil pelbagai bentuk. Bagaimanapun, premanisme telah menjadi momok yang menghalangi masyarakat menikmati hidup dengan nyaman di negerinya sendiri. Suasana malam yang seharusnya menjadi waktu luang melepas lelah setelah seharian bekerja, menjadi penghalang karena kejahatan sedang mengintip untuk menyergap korban. Mereka inilah yang sering memalak masyarakat kecil dengan alasan sebagai ongkos keamanan. Kita tentu meminta aparat melakukan tindakan yang sama terhadap penjualan minuman keras yang masih diperjualbelikan secara bebas. Peristiwa tewasnya beberapa pemuda yang teler atau melakukan tindakan kriminal akibat pengaruh alkohol sering kita dengar. Pemberantasan minuman keras ini, termasuk penyalahgunaan obat terlarang, tidak sulit dilakukan jika aparat melibatkan masyarakat luas untuk memberikan informasi melalui layanan pesan singkat (SMS). Pihak berwenang harus menyebarkan iklan layanan masyarakat yang meminta masyarakat memberikan informasi tentang penyakit masyarakat ini kepada pihak berwajib secara langsung untuk diambil tindakan. Dan mungkin yang juga perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh, kemiskinan adalah bentuk teror yang paling akut. Adalah tidak keliru jika Mahatma Gandi, tokoh kemerdekaan India, menyatakan kemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling buruk. Namun media televisi kita belum bersedia menyorot masalah ini sebagai isu secara terus menerus agar kita menemukan rumusan bersama membasmi teror yang jelas-jelas ada di sekeliling kita. Kalau ini dilakukan, dampaknya luar biasa. Mungkin kemewahan yang selama ini berdiri sombong di tengah masyarakat bertukar penampilan dengan kedermawanan. Uang yang bertaburan untuk iklan politik dialihkan pada pengembangan ekonomi rakyat. Mereka yang sedikit mempunyai uang akan menyumbangkannya untuk amal kebajikan. Jika ini tidak dilakukan, kita telah turut andil menyebar teror terhadap masyarakat. Lalu, siapakah sebenarnya pelaku teror itu? Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban dan Research Assistant Staff pada Universitas Sains Malaysia |
Wednesday, November 19, 2008
Merayakan Ulang Tahun Isteri
Di sela ngobrol, saya juga menekuri buku Robert Guliani One Hundred Great Essays. Di sini, saya bisa menyelami pemikiran para penulis besar, dari zaman kuno hingga modern. Ya, dari Plato hingga Virginia Woolf, saya menelisik gagasan mereka. Ada getar kuat untuk belajar merangkai kata agar pesannya kuat. Jika pikiran berkerut karena dihadapkan dengan kalimat yang sulit, saya kemudian meneguk es yang ada di meja.
Untuk kedua kalinya, saya membaca buku di kedai ini. Ada kenyamanan karena suasana tentram. Sekali lagi, selamat ulang tahun untuk isteriku. Semoga berkah!
Tuesday, November 18, 2008
Surau Kami Terang Kembali
Saya sendiri berusaha sekuat tenaga untuk berjamaah di sini, paling tidak shalat Maghrib. Memang tidak banyak yang melakukannya, tetapi ini tidak menyurutkan niat saya untuk memakmurkan tempat ibadah ini. Selain menciptakan hubungan ketetanggan yang akrab, shalat jamaah merupakan sarana mengenal orang lain. Maklum, flat yang dihuni begitu banyak orang ini tidak memungkinkan penghuninya untuk saling berbagi, tanpa adanya sarana yang bisa mewujudkan tali silaturahmi yang intim. Nah, surau inilah yang mampu menciptakan suasana kebersamaan itu.
Zamri adalah salah seorang pengunjung surau yang rajin. Meskipun masih berusia belasan, dia telah berperan besar merawat rumah ibadah ini, dengan sering mengumandangkan azan. Tentu, ini membantu penghuni flat untuk bergegas turun ke lantai bawah. Lain pula dengan Encik Yusuf yang 'mungkin' telah membuat surau ini kelihatan bersih. Bapak yang masih muda inilah yang sering menyuarakan azan di waktu subuh, sehingga membuat tidur nyeyak saya terhenti.
Monday, November 17, 2008
Pantai Miami di Malaysia
Inilah pengalaman pertama saya ke pantai bernama asing ini, Miami Beach. Sesampai di sana, Pak Warno memimpin membakar sate daging sapi, ayam, sosis dan udang. Sementara anak-anak teman kami berenang dan sebagian orang tua mereka mengawasi sambil turut berendam di pinggir pantai. Ternyata makan sate di pinggir pantai mendatangkan sensasi tersendiri. Tidak hanya mengucah daging empuk ini, kami sering kali bercanda menyempurnakan kebersamaan. Tampak pantai yang mempunyai pasir putih ini dijaga dengan baik, demikian pula fasilitas toilet umum yang bersih, menjadikan rekreasi ini ajang pelepasan suntuk.
Acara ini ditambahi dengan perkenalan masing-masing mahasiswa. Aha, ini semacam acara anak-anak yang acapkali meletupkan tawa. Celetukan di sana-sani disahut dengan kata lucu yang lain. Akhirnya, kami pun menyelesaikan acara perkenalan. Sebuah cerita yang kuat di ingatan.
Monday, November 10, 2008
Menggugat Sejarah "Indonesia" Versi Tentara
Ketika penulis buku ini memulai penelitian pada 1996, dia tidak menyadari betapa berpengaruhnya militer Indonesia dalam memproduksi dan membentuk ortodoksi sejarah Orde Baru.
Selain itu, penulis juga menceritakan bagaimana proses yang harus dilalui untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena ketika penelitian ini digagas, Indonesia masih di bawah kekuasaan militer Orde Baru.
Perlu tujuh bulan untuk mendapatkan izin. Di halaman prakata, kita akan menemukan cerita betapa rumitnya birokrasi pada masa itu.
Peran Nugroho Notosusanto
Sebenarnya penelitian tentang kiprah militer di Indonesia bukan hal baru. Namun, karya ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik propaganda ini, yaitu Nugroho Notosusanto.
Seperti telah diketahui bersama, militer Indonesia selalu mendaku sebagai unik. Ini disebabkan, pertama, rakyat Indonesia yang menciptakan militer di dalam perjuangan kemerdekaan 1945-1949 melawan Belanda dan, kedua, selama perlawanan ini militer mengasumsikan sebagai lapisan kepemimpinan nasional setelah penangkapan pemimpin sipil pada tahun 1948.
Atas dasar dua klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya di Indonesia.
Lalu bagaimana peranan di atas diwujudkan dan untuk apa ia dipertahankan? Untuk mengetahui hal ini, penulis melakukan survei terhadap beberapa publikasi sejarah resmi (huruf miring dari peresensi) dan tempat-tempat bersejarah seperti buku teks Sejarah Nasional, Museum Sejarah Monumen Nasional, dan Museum Angkatan Bersenjata Satria Mandala, serta satu nama yang sering dia temukan, yaitu Nugroho Notosusanto. Bahkan, nama yang disebut terakhir menempati posisi yang sangat penting dalam rekonstruksi sejarah masa lalu. Tokoh yang pernah menjadi Menteri Pendidikan ini adalah pengarang versi pertama dari kudeta 1965. Peranan sangat penting dalam pembuatan sejarah Orde Baru yang bahkan diperluas ke dalam proyek pembuatan film dan materi sejarah untuk pendidikan militer dan sipil.
Atas pertimbangan posisi sentral Nugroho Notosusanto, penulis mencoba menceritakan bagaimana dan mengapa Nugroho bekerja untuk militer Indonesia di dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata.
Menurut penulis, ia adalah propagandis utama Orde Baru. Atas dasar asumsi ini, beliau berusaha keras untuk menelisik riwayat hidupnya dari sahabat, rekan, dan musuhnya sehingga dimungkinkan perolehan data yang lengkap.
Untuk menjawab posisinya sebagai seorang sejarawan yang menguji motivasi dan kisah kehidupan sejarawan lain (baca Nugroho Notosusanto), penulis menegaskan bahwa ketertarikannya terletak pada usaha untuk menemukan bagaimana sebuah rezim menggunakan sejarah sebagai legitimasi dan bagaimana ia dimanipulasi untuk menyesuaikan dengan kepentingan dari beberapa kelompok yang berbeda.
Lebih jauh, buku ini juga memasukkan analisis terhadap proyek sejarah yang ditujukan pada sipil dan militer, dengan penekanan pada museum dan monumen yang diciptakan oleh militer. Setelah disurvei, ditemukan bahwa museum diorama (model gambar) menarik perhatian imajinasi penulis. Baginya diorama ini adalah teatrikal masa lalu. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah ”karya” nyata untuk memahami bagaimana militer merepresentasikan masa lalu.
Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, kami [kepemimpinan militer] memercayai visualisasi sejarah tetap sebagai cara efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI (hal 11). Keadaan sekarang tampaknya belum banyak berubah. Masyarakat kita masih lebih bisa menikmati ”sajian” visual, terutama televisi. Untungnya, media elektronik tidak lagi dikekang dalam menyampaikan berita dan laporan.
Merujuk kepada pendapat Barry Schwartz bahwa kajian terhadap representasi masa lalu tidak bisa dikonstruksi secara harfiah, ia dieksploitasi secara selektif, karya sarjana Australia ini berusaha untuk menampilkan seluruh ”sejarah” dan turunannya untuk memosisikan militer sebagai aktor, yang dalam bahasa Asvi Warman Adam, merekayasa peristiwa masa lalu dalam perspektif militerisme.
Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa ”G 30 S PKI” telah dijadikan ”alat” untuk mengukuhkan legitimasi rezim.
Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan, dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa (hal 216).
Namun, citra ini terus dibangun, baik di kalangan militer maupun sipil. Sayangnya, meskipun mereka berhasil menumpas ”pembangkang” melalui kekuatan senjata, mereka gagal mengontrol pikiran rakyat Indonesia itu sendiri.
Bias jender
Hal lain yang mungkin memantik kritik adalah representasi sejarah yang bias jender. Penjelasan versi militer tentang perjuangan kemerdekaan cenderung menonjolkan versi maskulin. Hanya pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata yang mendapat tempat dalam sejarah mereka. Sementara sumbangan kaum perempuan dan nonkombatan terpinggirkan. Celakanya, justru citra perempuan muncul dominan pada peran mereka dalam pemberontakan komunis.
Meskipun militer mempunyai kekuasaan yang hampir tak terbatas pada masa itu, tidak berarti sepi dari kritik dan bahkan penolakan dominasi mereka yang menindas. Edward Espinal mencatat bahwa di dalam protes Malari 1974, mahasiswa menuntut pengurangan peran politik militer di dalam pemerintahan dan penghapusan Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban).
Penolakan makin menguat ketika pada tahun 1980 mahasiswa secara simbolik membakar sepatu khas militer di beberapa kampus. Malangnya, kekuatan mahasiswa yang belum meluas, sebagaimana tahun 1988, mudah ditumpas.
Akhirnya, salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme.
Meskipun, kata penulis, pada masa itu ada sebuah representasi yang mungkin bisa menjadi potensi counter terhadap sejarah resmi, yaitu karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Munculnya pluralisme penafsiran ini memberikan tantangan besar bagi Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang memandang dirinya sebagai penafsir resmi masa lalu Indonesia.
Sejatinya, karya ini menambah terang sejarah tentara yang telah berhasil ”mengubah” realitas menjadi cerita untuk mengukuhkan peran dan kekuasaannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, ia menjadi catatan yang berharga bagi semua anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahannya memasuki wilayah yang bukan otoritasnya.
Selain itu, penulisan sejarah Indonesia tidak lagi dikangkangi oleh kepentingan kekuasaan dan diserahkan kepada pakar sejarah dan disiplin lain yang berkaitan yang mempunyai komitmen untuk menjelaskan masa lalu secara lebih obyektif, seimbang, dan adil. Semoga.
Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Ilmu Humaniora dan Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia
Ke Klinik itu Lagi
Alhamdulillah, berat badan isteri saya naik 3.1/2 Kg. Ini menambah berat badan secara signifikan sebelumnya yang memang harus melebihi 45. Demikian pula HB naik. Tekanan darah masih berkisar angka 100. Selain mendapatkan obat biasa, policasid, vitamin, dia juga mendapat tambahan iron tablets, sebagai penambah darah. Untuk kontrol kandungan ketiga ini hanya memerlukan waktu 10 menitan. Oh ya, sang dokter, En Ahmad, menyarankan untuk memeriksan jenis kelamin janin dengan USG di klinik USM saja. Tambah isteri, dokternya ramah dan sangat membantu, berbeda dengan kesan pertama yang tampak acuh. Mungkin, karena itu pertama kali.
Untuk keduanya kalinya, kami tidak membayar. Ini adalah ganjaran lain, setelah sebelumnya rekening listerik juga tidak, karena di bawah angka RM 20. Negara jiran ini sangat pemurah untuk penduduknya, bahkan kepada kami yang berasal dari luar. Negara kesejahteraan, yang di sana disebut negara kebajikan, telah dipraktikkan, tidak hanya didiskusikan seperti negeri Indonesia yang makmur itu.
Friday, November 07, 2008
Sore yang Bahagia Itu
Peristiwa di atas terjadi bukan karena sengaja, tetapi pengisian waktu luang setelah kehendak pulang tidak menjadi kenyataan karena hujan tiba-tiba turun menderas. Saya membuka tirai agar bisa menikmati air yang bertaburan dan sempat melihat tanah bergeliat tertimpa butiran dan tampak riang karena basah menghilangkan gundah. Namun anehnya, awan yang tadi menutup bukit itu tersibak dan seberkas sinar keluar dari balik gumpalan warna hitam di atas sana. Akhirnya, matahari itu terlepas dari bayangan gelap, bersinar terang dan pemandangan ini menyuguhkan romansa, hujan dalam terang.
Membaca buku selalu membawa saya pada pengalaman para penulis yang biasa diterakan di dalam prakata. Betapa hubungan intelektual mereka mengandaikan hubungan kemanusiaa yang intim, yang dibangun tidak hanya di ruang seminar, tetapi juga cafe atau warung kopi. Tentu pertukarang mereka dengan para sarjana yang lain mengkayakan pemikirannya tentang sebuah persoalan, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui karyanya. Demikian pula dengan penulis di atas. Ya, kita bisa mereguk pengalaman liyan untuk membantu melakukan hal yang sama. Paling tidak membacanya, kita telah turut merayakan kedekatan mereka dengan pengetahuan.
Tuesday, November 04, 2008
Mengajak Masyarakat Memilih Pemimpin
Sebelumnya, kami melakukan pengecekan data pemilih di kantor konsulat dan pada jam 1-an akhirnya kami berempat menuju tempat acara di atas. Sebagai bagian program Panitia Pemilu di Luar Negeri, acara ini menyisipkan banyak gambaran tentang pahlawan devisa, yang menemukan oase bisa bertemu dengan saudaranya dan mempunyai panggung untuk mengaktualisasikan dirinya dengan bernyanyi. Bisa ditebak, kebanyakan peserta lomba karaoke membawakan lagu dangdut, seperti SMS, Kucing Garong, Selamat Malam, Hari Berbangkit, dan Buta. Dua terakhir adalah lagu Rhoma Irama. Tingkah polah mereka kadang memantik tawa karena gaya dandanan, ekspresi cuek dan tentu kadang diikuti penari latar dadakan yang menambah sesak panggung. Gelegak mereka terasa dan tentu saja ini baik sebagai katup dari kebosanan dengan rutinitas pekerjaan dan berada di negeri orang. Terus terang, gaya mereka tidak cocok untuk acara sejenis yang dihelat oleh penduduk lokal.
Hal lain yang mungkin dicermati adalah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menghelat acara sosialisasi ini? Tentu mahal. Untuk sewa gedung saja, panitia harus merogoh kocek sekitar RM 8000 (hampir Rp 20 jutaan). Namun atas nama demokrasi, kita telah berkorban untuk mengeluarkan biaya yang sangat besar. Negara telah menanggung beban baru untuk melahirkan pemimpin yang bisa mengurus negeri ini.
Tuesday, October 28, 2008
Isu Ajaran Sesat di Malaysia
Bentuk ajaran Islam yang dianggap sesat di antaarnya adalah Islam Liberal dengan alasan mendukung sekulerisme, pluralisme, tafsir ulang al-Qur'an melalui hermeneutik dan usulan kitab suci edisi kritis serta feminisme. Tentu, kajian seperti ini cukup berat bagi kebanyakan peserta dari latar belakang bukan kajian keislaman, namun demikian isu-isu lain seperti aqidah, syari'ah dan tasawuf masih bisa dijangkau oleh hadirin dengan dititikberatkan pada sisi praktis.
Justeru, saya tertarik dengan gugatan dua orang peserta yagn telah merasa menjadi korban dari stigma ajaran sesat yagn dilekatkan pada kampung mereka, Kampung Seronok. Padahal, ajaran yang dimaksud, yaitu Kelompok Taslim yang diduga digagas oleh Mohammad Syafi'ie sebenarnya tidak ada, namun mereka telah menerima perlakuan diskriminasi dan hujatan. Usulan mereka agar Profesor Zakaria mengkaji ulang pandangan masyarakat tentu menjadi pelajaran bagi kita bahwa pelekatan sesat pada keyakinan sebuah kelompok bisa melahirkan kejahatan kemanusiaan, yang juga diamini oleh dekan Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Kebangsaan Malaysia ini.
Merayakan Ulang Tahun
Kami pun menuju ke Pizza Hut untuk mensyukuri karunia ini. Puteri semata wayang Pak Stenly dan Ibu Troy ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-6. Setelah memarkir kendaraan, kami menunggu pesanan sambil bercengkerama. Di tengah kehangatan ini, kami acapkali tergelak mendengar celotehan Amel, karena ada teman sekelasnya yang menyukainya. Aha, sebuah cerita yang lucu. Ups, mungkin pengunjung warung makan ini agak tidak nyaman karena saya merasa kami adalah kelompok yang paling heboh ketika melepaskan tawa.
Meja itu penuh oleh makanan dan minuman, setelah sebelumnya kami menyeruput sup. Ada kesegaran memulai makan siang. Di sela-sela makan pun kami pun masih bertukar cerita dan bahkan sempat bergambar bersama. Sebuah kebersamaan yang mendatangkan tentram. Selamat ulang tahun Amel, semoga selalu sejahtera dan ceria menggengam kehidupan.
Monday, October 27, 2008
Belajar Mendengar
Dalam kuliah umum di kampus yang mengabil tema "Politik Melayu Islam: Kemelut dan Penyelesaian", saya betul-betul belajar menjadi pendengar. Tan Sri Muhyidin Yasin, Menteri Industri dan Perdagangan Antarabangsa memukau para hadirin dengan menyodorkan masalah politik Melayu. Sayangnya, beliau membatasi pada peran UMNO dan mengenyampingkan partai dan kelompok lain. Tentu, politisi dari Johor ini mempunyai hitungan tersendiri.
Memang tidak ada yang baru dari kuliah yang disampaikan, karena isu seperti Melayu tergugat setelah kekalahan Barisan Nasinal pada pemilu ke-12, kontrak sosial, dan dasar ekonomi baru telah banyak dibahas di media. Alih-alih saya mendapatkan banyak ide baru, malah calon orang nomor dua dalam UMNO ini melakukan kampanye dan propaganda. Saya heran mengapa ISDEV Fakultas Ilmu Kemasyarakatan sebagai pihak penyelenggara meloloskan program kuliah semacam ini. Namun, saya merasa lebih tenang ketika dalam sesi pertanyaan ada banyak penanya yang mencoba menggugat keadaan yang dianggap tidak adil, meskipun tampak seorang penanya memprovokasi keadaan dengan menyinggung secara tidak langsung Datuk Seri Anwar Ibrahim sebagai pemimpin tidak layak karena dianggap penerus kaum Nabi Lut. Ada rasa tidak nyaman di kalangan peserta kuliah dengan pertanyaan tendensius ini.
Namun, ini adalah ikhtiar yang patut dihargai karena selama ini perbincangan politik tidak pernah diadakan secara terbuka di kampus. Paling tidak, meskipun memberikan keuntungan pada pihak berkuasa, oposisi bisa menuntut hal yang sama untuk berbicara di universitas agar mahasiswa bisa menyerap banyak perdebatan yang sehat.
Friday, October 24, 2008
Agama, Simbol, dan Tindakan
- Oleh Ahmad Sahidah
Namun, kenyataan itu terkadang dianggap sinkretik, dan para pembaharu berupaya untuk menampilkan kembali agama Islam yang murni. Sementara pada masa yang sama, tindakan religius tidak akan ada tanpa ekspresi-ekspresi simbolik, sebagaimana dikatakan oleh Louis Dupre dalam Religious Mystery and Rational Reflection: Excursions in the Phenomenology and Philosophy of Religion (1998: 7).
Meskipun Schleimacher muda menyatakan ide agama sebagai sebuah perasaan batin murni dan terlepas dari ekspresi simboliknya, namun para fenomenolog menganggap ekspresi lahiriah —seperti doa dan pengorbanan bersama— sebagai aktivitas komunal yang sangat penting bagi tindakan religius. Menurut mereka, tindakan menuju kepada yang transenden (dan tidak bisa diekspresikan secara langsung) mensyaratkan keberadaan sebuah representasi simbolik secara konkret.
Bagi saya, pendapat Schleirmacher lebih cocok pada kalangan orang terpelajar yang mempunyai kemampuan tafakur sehingga mampu menghadirkan Ilahi dalam kesadarannya. Sementara itu, orang kebanyakan masih terpaku pada bentuk ritual simbolik untuk mengikat mereka dalam praktik keagamaan.
Pendek kata, instrumen tersebut tetap diperlukan dalam tindakan komunal. Dengan demikian, mereka yang memahami kerumitan isu esoterik dan eksoterik perlu berhati-hati dalam menggagas tentang tafsir baru terhadap dunia keberagamaan.
Sesat Pikir
Dalam kajian Toshihiko Izutsu, sarjana Jepang dalam kajian Islam, Alquran tidak membuang kepercayaan orang Arab pra-Islam, seperti Tuhan kitab dan akhirat, tetapi memberikan makna baru terhadapnya, baik dalam medan makna maupun perhatian tertinggi (the ultimate concern) dari istilah terkait. Jika sebelumnya kata-kata kunci itu berhubungan dengan hal material, di dalam kitab suci istilah-istilah tersebut melampaui hal ihwal bendawi dan diarahkan kepada kekuasaan Allah. Dengan sendirinya, ia memunculkan pandangan dunia baru.Karena itu tidak heran, jika pembaharu muslim tidak mengadopsi budaya Arab, seperti berpakaian, untuk mengekspresikan keagamaannya. Namun, malangnya, ketika menolak ekspresi lahir Timur Tengah, kaum reformis lebih nyaman dengan tata berbusana Barat, sementara itu kaum tradisional dengan tradisi ”Jawa”. Celakanya, yang terakhir itu juga merasa nyaman dengan pola ekspresi Barat.
Sekarang, tampak bahwa hal-hal berbau Arab telah diidentikkan dengan kecenderungan eksklusif dan tidak elok, sementara itu simbol budaya Jawa yang sebenarnya warna lain dari India tidak dipersoalkan. Seakan-akan ia adalah self evident sebagai identitas. Mungkin hal itu tidak bisa dilepaskan dari rezim Soeharto yang sebelumnya menyodorkan dunia sanskrit Jawa sebagai ekspresi simbolik dalam hubungan sosial dan politik, dan telah begitu dalam memengaruhi alam bawah sadar masyarakat, termasuk sarjananya.
Implikasi Simbol
Islam berkaitan dengan dimensi spiritual dan sosial adalah postulat lama yang diyakini oleh banyak orang, meskipun dalam matra politik kaum muslim terbelah. Jika Islam keindonesiaan ditafsirkan sebagai perwujudan kebudayaan lokal, seharusnya penampilan kebudayaan dan berpakaiannya mencerminkan penampilan setempat; selain menunjukkan konsistensi, juga menunjukkan kepercayaan diri. Selain itu, hal tersebut memiliki pesan moral bahwa kita harus berdiri di kaki sendiri.Keengganan kita membawa kebudayaan lokal ke ranah publik karena pencitraan bahwa di dalam acara resmi kita lebih keren menggunakan jas dan dasi. Sebuah sesat pikir yang dianut banyak orang. Celakanya, batik dipinggirkan dan hanya digunakan untuk acara perkawinan, sehingga penggunaan produk lokal itu tidak diapresiasi oleh orang ramai karena tidak dijadikan pakaian sehari-hari, baik dalam acara formal maupu nonformal.
Pada sebuah kesempatan, seorang anggota DPR tanpa malu menggunakan jas dan dasi ketika mengunjungi korban bencana alam, padahal cuaca panas. Sebagai pengusung Islam kebangsaan, apa sebenarnya yang ada di benaknya tentang dunia simbolik dan implikasinya kepada kehidupan lebih luas?
Baju koko, sarung, dan kopiah, telah menjadi ciri khas pakaian muslim yang seharusnya dilihat tidak semata-mata sebagai warisan tradisi, tetapi sekaligus ekspresi lokal yang mengandaikan kepercayaan terhadap kebudayaan sendiri.
Lebih dari itu, masyarakat luas menghargai produk lokal untuk mendorong produktivitas, dan bukannya sikap konsumeristik yang bergantung kepada barang dan merek (jenama) luar. Sayangnya, para pemimpin kita dan anak-anaknya tidak menunjukkan teladan dengan memamerkan mobil produk luar, berbeda dari elite negara tetangga yang menggunakan proton —produk otomotif lokal— dalam acara resmi mereka.
Jika simbol yang ditunjukkan sebagai muslim merupakan karya kreatif bangsa sendiri, maka tindakan-tindakan lain berkaitan dengan selera, preferensi, dan pencitraan, sejauh mungkin mencerminkan identitas sendiri, tanpa kemudian menjadi sosok chauvinistik apatah lagi antimanusia asing (homofobia).
Malahan itu lebih didorong untuk menolong diri dan masyarakatnya, bagaimana menerjemahkan simbol (iman) dan tindakan (amal) yang bisa mengangkat jatidiri sekaligus membantu ekonomi masyarakatnya. Saya yakin, itulah yang menjadikan kita sebagai orang beragama yang sejati. (32)
–– Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban pada Universitas Sains Malaysia.
Saturday, October 18, 2008
Jakarta Gagal sebagai Kota
Detik, Opini Anda, 18 Oktober 2008
Ahmad Sahidah
Bulan Juni yang lalu saya mengunjungi Jakarta untuk mengurus single entry visa di Kedutaan Besar Malaysia dan sekaligus melawat Perpustakaan Nasional Jakarta di Jalan Salemba untuk mendapatkan sebuah naskah kuno yang telah berusia 8 abad, Bahr al-Lahut. Karya abad ke-12 ini telah menjadi penanda awal bagi kesarjanaan Nusantara.
Untuk kedua kalinya saya mengurus visa di perwakilan negara tetangga ini dan saya mendapatkan pelayanan yang efisien dan profesional. Tidak ada kesulitan. Demikian pula ketika saya untuk pertama kalinya mengunjungi perpustakaan di atas.
Kerani menyambut dengan ramah dan betul-betul memberikan pelayanan yang baik. Jelas ini melegakan karena selama ini kesan sambil lalu pegawai pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan masih sering ditemukan.
Sebenarnya saya mengagendakan untuk mengunjungi beberapa tempat lain. Tetapi, mengurungkan niat karena betapa tidak nyaman transportasi umum di Ibu Kota ini. Busway yang menjadi andalan saya untuk menjangkau pelosok Jakarta sudah tak nyaman. Saya harus menunggu hampir 1 jam sambil berdesakan di bibir koridor.
Tak hanya itu. Di dalam bus saya mesti berhimpitan dengan penumpang lain. Stiker yang menempel di badan bus berbunyi jumlah maksimal penumpang 85 orang tidak lebih dari omong kosong.
Dibandingkan Kuala Lumpur
Kadang saya jengkel bercampur gemas ketika anggota DPR melakukan studi banding hingga ke Amerika Latin baru-baru ini. Saya tidak tahu apa yang mereka ingin pelajari di sana.
Bagi saya sebenarnya kita tak perlu jauh-jauh belajar mengurus banyak hal berkaitan dengan kebutuhan masyarakat di Republik ini. Mereka tidak perlu terbang nun jauh ke negeri seberang. Negara tetangga telah berhasil mengatasi masalah negerinya. Tentu Kuala Lumpur adalah contoh yang paling dekat dan akrab dengan kita.
Kuala Lumpur sebenarnya adalah kota metropolitian yang relatif baru dibandingkan Jakarta sebagai kota besar. Betapa pun banyak gedung-gedung pencakar langit kita masih disuguhkan dengan taman kota dan diperlihatkan banyak pepohonan berjejer di pinggir jalan.
Demikian pula angkutan umum lebih nyaman dan memadai dibandingkan Jakarta yang tak terurus. Belum lagi matahari dengan bebas membakar penghuninya karena jarangnya trotoar yang nyaman untuk dilalui.
Kalau kita membandingkan ruang tunggu angkutan umum di Jakarta dan Malaysia kita betul-betul menemukan suasana yang berbeda. Saya dengan tenang menunggu angkutan umum dengan harga terjangkau tanpa harus khawatir tidak mendapatkan tempat dan berdiri berdesakan.
Ruang tunggu juga tak panas. Sementara di koridor yang sempit dan tak ada AC membuat penumpang tak nyaman. Meski angin berhembus tapi terasa pengap karena satu pohon kelapa yang ada di depan transit Matraman tak cukup untuk menahan hawa panas.
Lebih dari itu busway menggunakan karcis (manual). Sementara Light Rail Transit (LRT) angkutan massal Kuala Lumpur memanfaatkan kartu gesek (mechanical) sehingga kesan yang dimunculkan tampak berbeda secara mencolok. Pada yang terakhir kita dianggap manusia yang dipercayai. Sementara yang pertama diawasi.
Ternyata teknologi kadang bisa memanusiakan kita. Pendek kata, Kuala Lumpur secara perlahan ingin membangun masyarakat tepercaya atau trust society sebagai prasyarat dari masyarakat madani (civil society).
Segera Benahi Ibu Kota
Adalah aneh Ibu Kota yang menampung uang hampir 80% ini tidak bisa menyediakan fasilitas yang nyaman bagi masyarakat dan pengunjungnya. Ironinya setiap hari kita disuguhi dialog, opini, dan rekomendasi di media cetak dan televisi, seminar dan sarasehan bagaimana menciptakan Jakarta lebih baik. Tetapi, pada saat yang sama, kita menemukan Ibu Kota yang semrawut, centang perenang, dan tak ramah bagi pejalan kaki.
Belum lagi Kanal Timur yang sedang dalam penyelesaian. Saya melihat pengerjaannya tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga mungkin tak akan selesai dalam waktu dekat.
Ini jelas akan mengakibatkan 'hantu' banjir akan menenggelamkan sebagian kawasan. Sebuah ironi yang lain. Bencana ini tentu menghapus seketika kepongahan Jakarta sebagai pusat berkumpulnya orang-orang terpilih dari seluruh negeri.
Kegagalan Jakarta untuk mengubah dirinya seakan menempalak 'wajah' cantik kota metropolitan yang diterakan dalam latar iklan berbagai produk dan film. Ibu Kota ini akhirnya dikapling untuk menjadi pusat orang yang mempunyai uang dengan dibangunnya kota baru di lokasi strategis dan pinggiran yang dilengkapi fasilitas publik lengkap.
Sementara di sebagian besar kawasan kita menyaksikan kekumuhan berserak di mana-mana. Inilah yang membuat saya enggan 'menjual' Jakarta pada teman-teman mahasiswa asing di Malaysia.
Serta merta saya bilang agar mereka datang ke Bali atau Yogyakarta saja, jangan Jakarta! Ternyata hal yang sama juga dirasakan oleh Badrun dan Stenly, mahasiswa Indonesia yang lain, di negeri jiran. Boro-boro wisatawan menikmati pesona Jakarta. Baru saja mereka menginjakkan kaki di pintu keluar bandara internasional mereka akan melihat kesemrawutan.
Dibandingkan dengan terminal udara di Pulau Pinang saja, apalagi Kuala Lumpur, Bandara Soekarno Hatta bukan tempat yang nyaman untuk memulai perjalanan dan pelesiran di Ibu Kota. Kadang saya bergumam betapa naifnya pemerintah menghamburkan uang untuk mencanangkan Visit Indonesia 2008. Sementara sarana pendukung tak mampu menyangganya.
Peter Marcuse (2002:102) menegaskan bahwa kota itu terdiri dari zona bisnis, kekuasaan, industri, dan perumahan di dalam kawasannya masing-masing untuk menghasilkan sebuah kesatuan dengan sejumlah dimensi. Satu sama lain berkaitan dan sebangun. Cabang-cabangnya saling bergantung.
Dari uraian ini Jakarta sebenarnya gagal untuk disebut sebagai kota. Hampir-hampir perumahan bukan merupakan bagian dari cetak biru besar itu. Betapa miris saya melihat banyak warga tinggal di perumahan yang buangan kamar mandi dibuang ke selokan kecil di depan rumah dan menuju sungai. Selain bau dan mengundang nyamuk kenyamanan mereka menikmati waktu senggang terganggu.
Selama seminggu di Jakarta saya merasa tidak nyaman menikmati wajah Jakarta. Jika kemudian saya meriang adalah wajar dan ini tidak dialami ketika saya pernah tinggal di Kuala Lumpur dalam rentang waktu yang sama.
Tapi, saya merasa lebih tidak nyaman mendengar para sarjana dan pemimpin elit di Jakarta bermanis-manis di layar kaca menggagas Indonesia yang permai. Sementara di rumahnya sendiri mereka tidak berdaya mengatasi masalahnya.
Jadi sudah saatnya mereka tak banyak bicara. Segera benahi Jakarta!
Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia
Klinik, Uang, dan Bahagia
Semalam kami menunggu di klinik. Di sela itu, saya meminta Zumi membaca halaman 115 di The 15 minute Philosophernya Ann Rooney, Does Money M...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...