TARI PATUDDU’ adalah Tarian khas dari Mandar. Penarinya terdiri atas putri-putri remaja, berpakaian khas Mandar, yaitu kombinasi antara baju bodo dengan pakaian Toraja, yang ketat pada bagian lengan atas. Warnanya arkais, merah tua atau cokelat kemerahan, dengan sarung mandar yang sangat halus tenunannya. Tari Patuddu’ ini pada dasarnya menunjukkan kelemahgemulaian wanita Mandar. Gerakan-gerakannya memerlukan kemulusan dan kehalusan gerak yang diiringi oleh bunyi-bunyi genderang dan gong yang mengingatkan orang berlayar dalam ketenangan, tanpa mempedulikan gemuruh gelombang yang menderu-deru. Gambaran tentang angin sepoi-sepoi basa, diekspresikan oleh para petani dengan sangat hati-hati, seolah menanti kedatangan pelaut-pelaut kembali dari rantau. Penari-penari yang terdiri atas para remaja putri pada umumnya harus terdiri atas gadis-gadis istana, dan ditarikan di penghadapan raja-raja di lantai-lantai istana. Tari Patuddu’ yang dipertujukkan di depan keramaian umum, penarinya tentu tidak boleh terdiri atas orang-orang istana, melainkan dari penari rakyat juga, dan sangat menarik umum untuk menontonnya. Pada zaman dahulu kala tari Patuddu’ ini biasanya ditarikan oleh sekurang-kurangnya 14 orang putra dan putri yang belum kawin.
TARI PATUDDU’ adalah Tarian khas dari Mandar. Penarinya terdiri atas putri-putri remaja, berpakaian khas Mandar, yaitu kombinasi antara baju bodo dengan pakaian Toraja, yang ketat pada bagian lengan atas. Warnanya arkais, merah tua atau cokelat kemerahan, dengan sarung mandar yang sangat halus tenunannya. Tari Patuddu’ ini pada dasarnya menunjukkan kelemahgemulaian wanita Mandar. Gerakan-gerakannya memerlukan kemulusan dan kehalusan gerak yang diiringi oleh bunyi-bunyi genderang dan gong yang mengingatkan orang berlayar dalam ketenangan, tanpa mempedulikan gemuruh gelombang yang menderu-deru. Gambaran tentang angin sepoi-sepoi basa, diekspresikan oleh para petani dengan sangat hati-hati, seolah menanti kedatangan pelaut-pelaut kembali dari rantau. Penari-penari yang terdiri atas para remaja putri pada umumnya harus terdiri atas gadis-gadis istana, dan ditarikan di penghadapan raja-raja di lantai-lantai istana. Tari Patuddu’ yang dipertujukkan di depan keramaian umum, penarinya tentu tidak boleh terdiri atas orang-orang istana, melainkan dari penari rakyat juga, dan sangat menarik umum untuk menontonnya. Pada zaman dahulu kala tari Patuddu’ ini biasanya ditarikan oleh sekurang-kurangnya 14 orang putra dan putri yang belum kawin. "
Tari Pattuqdu (Mandar, Sulawesi Barat)
Tari pattuqdu adalah tari penyambutan tamu kehormatan bagi Etnis Mandar. Tari ini pada awalnya dibawakan oleh gadis-gadis ayu sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan bagi tamu baik dari dalam maupun luar dari luar negeri. Sekarang tari ini biasanya dibawakan oleh anak-anak. Tarian ini diiringi dengan tabuhan gendang dengan penari memainkan tombak dan perisai layaknya dalam peperangan, sehingga tidak heran jika tarian ini juga teradang disebut sebagai tarian perang. Menurut sejarah, tarian ini adalah tarian penyambutan pasukan perang yang baru datang dari pertempuran akibat huru-hara yang sisebabkan kerajaan Balanipa dan kerajaan Passokorang.
https://aswadmansur.wordpress.com/tag/tari-penyambutan-mandar/
Seni tari dan gerak juga akan menjadi ikon tersendiri masyarakat Mandar di Kabupaten Polewali Mandar, yang menarik untuk dinikmati sebagai persembahan kesenian tradisional. Mulai dari tari tradisional yang menawarkan pergelaran seni tari dengan konsep dasar tari tradisional Mandar seperti Pattu�du hingga pada seni tari yang bersifat eksploratif seperti tari kreasi lainnya. Demikian pula seni gerak lainnya seperti pa�dego dan pa�macca (keduanya sejenis pertunjukan gerak tradisi Mandar) tetapi menyuguhkan gerak-gerak yang indah sehingga layak untuk dikonsumsi sebagai pertunjukan kesenian.
4. Tari Patududu
Sulawesi Barat atau disingkat Sul-Bar termasuk provinsi yang masih tergolong baru di Pulau Sulawesi, Indonesia. Provinsi yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober ini sebagian besar dihuni oleh suku Mandar (49,15%) dibanding dengan suku-bangsa lainnya seperti Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%). Maka tidak heran jika adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di daerah ini. Salah satu tradisi orang Mandar yang sangat terkenal adalah tradisi penjemputan tamu-tamu kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri.
Penyambutan tamu kehormatan tersebut sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan pagar ayu atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu. Zaman sekarang, tarian ini biasanya dimainkan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang. Oleh karena itu, Tari Patuddu yang memperagakan tombak dan perisai ini disebut juga tari perang. Disebut demikian karena sejarah tarian ini memang untuk menyambut balatentara Kerajaan Balanipa yang baru saja pulang dari berperang.
Menurut sebagian masyarakat setempat, Tari Patuddu ini lahir karena sering terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan makna, “Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri,” sehingga tari Patuddu cocok dipentaskan untuk menyambut para tamu istimewa hingga saat ini.
Namun, ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah. Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang entah ke mana dan tidak tahu siapa yang mengambilnya. Ia pun berniat untuk mencari tahu siapa pencurinya. Dapatkah Anak Raja itu mengetahui dan menangkap si pencuri? Siapa sebenarnya yang telah mencuri buah dan bunga-bunganya tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Asal-Mula Tari Patuddu berikut ini!
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.
Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.
Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu.
”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari. Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja tanpa sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan. Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.
Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada penipuan di dalamnya.
Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi, mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal.
http://www.anangili.web.id/2012/12/7-tarian-daerah-yang-populer-di-sulawesi.html]
Tari Pattuqduq
Saat ini, sebagian besar orang mengenal tariq pattuqduk sebagai sebuah tari penyambutan tamu kehormatan dalam masyarakat mandar. Dan biasaya dimainkan oleh anak-anak dengan menggunakan tombak dan perisai yang diiringi dengan irama gendang. Tidak banyak yang tahu bahwa pattuqduq sendiri memiliki arti yang luas. Pattuqduq sebenarnya merupakan kata yang memiliki arti sebagai “penari” dan tuqduq berarti “tari/tarian” atau secara keseluruhan juga diartikan sebagai bentuk pemujaan dan penghormatan kepada dewata dan Raja sebelum masukya agama Islam di tanah Mandar. Tari pattuqduq secara umum ini biasanya diiringi oleh gendang, gong, dank eke (sejenis suling). Serta terkadang diiringi dengan pantun yang dilantungkan penyanyi yang mengiringi gerakan gemuali para penari.
Pattuqduq Berdasarkan Ragamnya
Tuqduq Sore,
Tuqduq sarawadang ( mattipas dan tamatipas ),
Tuqduq Cakkuriri, Tuqduq Losalosa,
Tuqduq Palappa,
Tuqduq Kumba,
Tuqduq Sayakumba,
Tuqduq Denggo, dan
Tuqduq Sawawar
Tuqduq Towaine ( kelompok perempuan )
Tuqduq Tommuane ( kelompok laki-laki )
Tuqduq Sawawar (gabungan perempuan dan laki-laki yang dimainkan secara massal)
Tuqduq Puang, tari ini dibawakan oleh putra putri raja.
Tuqduq taupia, tari ini hanya boleh dibawakan oleh anak raja dan putri bangsawan lainnya seperti pa’bicara dan lainnya
Tuqduq sassawwarang, tari ini dibawakan oleh rakyat biasa.
Pattuqduq berdasarkan Jenis Kelamin Penari
Tuqduq Towaine ( kelompok perempuan )
Tuqduq Tommuane ( kelompok laki-laki )
Tuqduq Sawawar (gabungan perempuan dan laki-laki yang dimainkan secara massal)
Pattuqduq Berdasarkan Strata Sosial
Dahulu hal-hal seperti ini sangat diperhatikan, diman tari pattuqduq hanya dapat digelar pada upacara-upacara resmi kerajaan seperti pada saat pelantikan raja, perkawinan anak raja dan pemuka adat serta bangsawan lainnya. Namun seiring berkembangnya zaman, hal-hal seperti ini mulai ditinggalkan.
Asal Muasal Tari Pattuqduq
Ada dua versi cerita tentang asal mu asal tari pattuqduq, yaitu:
Tari Patuddu ini lahir karena sering terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan makna, Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri.
Cerita yang kedua adalah tentang kisah putara raja dan bidadari yang kemudian harus menikah dan meiliki seorang anak karena sang bidadari tidak dapat kembali ke kayangan karena kehilangan selendangnya. Hingga akhirnya sang bidadari menemukan selendangnya dan kembali kekayangan dengan mengipas-ngipaskan selendangnya. Darisinilah lahir gerakan mengipas-ngipaskan selendang dalam gerakan tari pattuqduq.
https://aswadmansur.wordpress.com/2014/08/28/tari-pattuqduq/
TARI PATUQDU
Salah satu jenis traian tradisional yang terkenal di kalangan masyarakat Mandar adalah tari Pattuqduq
Pattuqduq dalam istilah lain diartikan sebagai "penari" sedangkan Tuqduq berarti "tari/tarian" yang secara keseluruhan juga diartikan sebagai bentuk pemujaan dan penghormatan kepada dewata dan Raja (sebelum masukya agama Islam). Tari Pattuqduq dalam pertunjukannya di iringi oleh bunyi gandrang (gendang), Gong dan Keke serta diikuti syair-syair kalindaqdaq (Pantun) yang dilantunkan penyanyi yang mengiringi gerak gemulai penari.
Menurut ragamnya Pattuqduq diklasifikasikan dalam beberapa jenis penari serta strata penarinya, yakni sebagai berikut :
Tuqduq Sore, Tuqduq sarawadang ( mattipas dan tamatipas ), Tuqduq Cakkuriri, Tuqduq Losa-losa, Tuqduq Palappa, Tuqduq Kumba, Tuqduq Sayakumba, Tuqduq Denggo, dan Tuqduq Sawawar
Sedangkan dalam pengklasifikasian menurut jenis kelamin terbagi 3,yakni :
Tuqduq Towaine ( kelompok perempuan )
Tuqduq Tommuane ( kelompok laki-laki )
Tuqduq Sawawar (gabungan perempuan dan laki-laki yang dimainkan secara massal )
Selain pengklasifikasian dari ragam dan jenis kelamin terdapat pula pengklasifikasian dari aspek strata sosial penarinya , antara lain :
Tuqduq Puang,diperagakan oleh putra putri raja
Tuqduq taupia,diperagakan oleh anak raja dan putri bangsawan lainnya seperti pa’bicara dan lainnya
Tuqduq sassawwarang, diperagakan oleh rakyat biasa
Dahulu tari pattuqduq hanya dapat digelar pada upacara-upacara resmi kerajaan seperti pada saat pelantikan raja, perkawinan anak raja dan pemuka adat serta bangsawan lainnya.
Waktu digelarnya tari pattuqduq biasanya dilihat dari lama waktu pelaksanaan sebuah pesta dengan klasifikasi :
Jika lebih seminggu dilaksanakan di Baruga ( bangunan besar di lapangan / istana dikhususkan untuk pesta kerajaan )
Jika 3 – 7 hari tempat pelaksanaannya disebut battayang khusus untuk anggota hadat
Jika 1 – 3 hari pestanya disebut ateq laya ( dirumah memasang tenda/tambahan rumah bagi yang punya hajatan pesta.
http://disbudparpolman.weebly.com/tari.html
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya. Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri bunga-bunga dan buahnya tersebut. Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk. Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam. Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang. Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa. Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya. ”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak tahu. ”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu. ”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?” Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja. Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah. Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan. Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!” Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.
http://agoestiinniinksich.blogspot.com/2011/01/asal-mula-tari-patuddu.html