Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

JURNAL KHES KELOMPOK 7 Wadi ah dan Wakalah

2022, Wadiah dan wakalah

Islam provides opportunities for its people to make creations in the economic field or muamalah in order to make it easier for its people to fulfill their needs. Allowance for creation does not just go away, but still refers to the rules that have been outlined. Many human creations in the muamalah field are found in financial institutions, for example, the wakalah contract events that occur very often in this modern era. The era in which access to communication and information is very easy to connect and spread. So that there are certainly more opportunities for this wakalah

JURNAL TENTANG WADI’AH DAN WAKALAH Muhammad Syaifuddin, Nadila Dwi Andryani, Wahyu Vina Nurrahma UIN Sunan Ampel Surabaya, Jl. A. Yani 117 Surabaya e-mail: 05020320050@student.uinsby.ac.id, 05020320051@student.uinsby.ac.id, 05020320066@student.uinsby.ac.id Abstract : Islam provides opportunities for its people to make creations in the economic field or muamalah in order to make it easier for its people to fulfill their needs. Allowance for creation does not just go away, but still refers to the rules that have been outlined. Many human creations in the muamalah field are found in financial institutions, for example, the wakalah contract events that occur very often in this modern era. The era in which access to communication and information is very easy to connect and spread. So that there are certainly more opportunities for this wakalah contract to occur. What is here is the need for clarity in the role of this contract, which has been explained in the KHES because we remember that our country is based on positive law. And KHES itself is an attempt to positivism in Islamic law itself. Keywords: KHES, Wadiah, Wakalah, Islamic law Abstrak : Islam memberikan peluang bagi umatnya untuk melakukan kreasi di bidang ekonomi atau muamalah agar bisa memudahkan umatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembolehan kreasi tersebut tidak lepas begitu saja, tetapi tetap merujuk pada aturan yang telah digariskan. Kreasi manusia bidang muamalah banyak ditemuakan dalam lembaga keuangan seperti contohnya tidak luputnya peristiwa akad wakalah yang sangat sering terjadi di zaman yang sudah modern ini. Zaman di mana akses komunikasi dan informasi yang sangat mudah terhubung dan tersebar. Sehingga pastinya makin banyak pula peluang terjadinya akad wakalah ini. Yang disini perlunya peran kejelasan di dalam akad ini yang sudah di jelaskan di dalam KHES karena mengingat negara kita yang berlandaskan hukum positiv. Dan KHES sendiri adalah sebuah usaha positifisme hukum islam itu sendiri. Kata Kunci : KHES, Wadiah, Wakalah, Hukum islam PENDAHULUAN Agama islam merupakan salah satu agama mayoritas yang ada di dunia. Islam merupakan pondasi umat muslim yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh dan universal baik dalam hubungan dengan sang pencipta (hablumminallah) maupun hubungan sesama manusia (hablumminannas). Maka dari itu tidak dapat dipungkiri bahwa agama islam dapat menjadi pedoman hidup bagi manusia. Oleh karena itu, sebagai umat muslim harus memiliki keyakinan atas keberadaan kekuasaan Allah swt dalam melakukan aktivitas dimuka bumi. Manusia saling berinteraksi satu sama lain, seperti dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan berekonomi dalam Islam lebih dikenal dengan muamalah. Muamalah, sebagaimana bidang-bidang ilmu lainnya yang luput dari kajian Islam bertujuan menuntun agar manusiawi berada dijalan lurus (shirat al mustaqim). Eko Supriyatno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Garaha Ilmu, 2005), hlm 1. Islam mendefinisikan bukan hanya berkaitan dengan spirtualitas atau ritualitas, namun agama merupakan serangkaian keyakinan, ketentuan dan peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia. Pusat Pengkajian dan Perkembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2008), hlm 14. Ketentuan dalam bermuamalah sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad misalnya dalam hal perdagangan, pertanian dan juga industri. Pada masa Shu‟aib, Islam telah mengajarkan agar manusia berbuat adil dalam memberikan takaran, menimbang dengan benar dan tidak merugikan orang lain, dan pada masa Nabi, di makkah Islam telah mengajarkan agar manusia memenuhi takaran dan timbangan, baik pada saat menjual ataupun membeli barang. Pusat Pengkajian dan Perkembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2008), hlm 14-15 Al- Wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dalam hal- hal yang dapat diwakilkan. Jumhur ulama’ sepakat membolehkan al- wakalah, bukan mensunnahkannya karena kegiatan ini termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang oleh al-qur’an diserukan oleh Rasulullah SAW. Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang diwakilkan adalah hal- hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika menyangkut hal yang darurat menurut islam, dan menjadi makruh jika menjadi hal- hal yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting. Pengertian Wadi’ah Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau memberikan, jugadiartikan i’tha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan harta untukdijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut sebagaima wudi’a ‘inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu minhu dzalika al malliyakuna wadi’ah ‘indi yang berarti aku menerima harta tersebut darinya. Sedangkan Al-Qur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat bagi orang yang menerima titipandan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali. Dwi Suwiknyo,Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010, h.295 Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ahli fikih. Pertama, ulama MazhabHanafi mendifinisikan wadi’ah dengan,“mengikutsertakan orang lain dalammemelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melaluiisyarat.” Misalnya, seseorang berkata kepada orang lain, “Saya titipkan tas saya inikepada Anda,” lalu orang itu menjawab, “Saya terima.” Maka sempurnalah akadwadi’ah. Atau seseorang menitipkan buku kepada orang lain dengan mengatakan, “Sayatitipkan buku saya ini kepada Anda,” lalu orang yang dititipi diam saja (tanda setuju) Kedua, ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali (jumhur ulama)mendefinisikan wadi’ah dengan “Mewakilkan orang lain untuk memelihara hartatertentu dengan cara tertentu.”Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem syariah,seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat Indonesiamengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakanoleh bank. Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah wadi’ah yad addhamanah (titipan tentang resiko ganti rugi). Oleh sebab itu, wadi’ah yang oleh para ahli fiqih disifati dengan yad AlAmanah(titipan murni tanpa ganti rugi) dimodifikasi dalam bentuk yad ad dhamanah (denganresiko ganti rugi). Konsekuensinya adalah jika uang itu dikelola pihak BMI danmendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Di samping itu, atas kehendak BMI sendiri, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan pemilik uang,dapat memberikan semacam bonus kepada para nasabah wadi’ah. Dalam hal ini praktekwadi’ah di BMI sejalan dengan pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata Hukum Perbankan Inonesia, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007, h. 5556 Al-Wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan ataumeletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dariaspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki.Menurut PSAK 59, Wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dandikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan. Secara komulatif, wadi’ah memiliki dua pengertian, yang pertama pernyataandari seseorang yang telah memberikan kuasa atau mewakilkan kepada pihak lain untukmemelihara atau menjaga hartanya; kedua, sesuatu harta yang dititipkan seseorangkepada pihak lain dipelihara atau dijaganya Ahmad Hasan Ridwan,Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung:Pustaka Bani Quraisy, 2004 h. 14 DASAR HUKUM WADI’AH Wadiah adalah suatu akad yang dibolehkan oleh syariat berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Al-Qu’ran dalam surah al Baqarah (2) ayat 283 Allah berfirman: Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat,( Jakarta: Amzah, 2013) h. 457 Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wadiah merupakan amanah yang ada ditangan orang yang dititipi ( muda’) yang harus dijaga dan dipelihara, dan apabila diminta oleh pemiliknya maka ia wajib mengembalikannya. Jenis dan Rukun Wadi’ah Rukun akad wadiah menurut pasal 413 ayat (1) rukun wadiah terdiri atas: Muwaddi / penitip Mustaudda / penerima titipan Wadiah bih / harta titipam Akad Mardani ,Op. cit h. 285 Kalangan Hanafiah berpendapat bahwa rukun wadiah ada dua, yaitu ijab dan kabul. Ijab ini berupa pernyataan untuk menitipkan, seperti pernyataan” aku titipkan barang ini kepadamu” atau pernyataan lain yang menunjukkan ada maksud untuk menitipkan barang kepada orang lain. Mayoritas ulama berpendapat sebagaimana kalangan Syafi’iyah bahwa rukun wadiah ada empat yaitu dua pihak yang berakad, barang yang ditipkan, ijab dan kabul. Pihak yang menitipkan dan yang menerima titipan harus orang yang cakap hukum. Rukun wadiah ialah ada barang yang dititipkan, ada yang menitipkan, dan ada yang menerima titipan, serta terjadinya ijab qabul. Veithzal Rivai mengatakan dan Ariyan Arifin dua orang teoretisi dan sekaligus praktisi dalam lembaga keuangan syariah memaparkan syarat-syarat wadiah sebagai berikut: Syarat yang punya barang dan orang yang menyimpan: Pemilik barang dan orang yang menyimpan hendaklah : Sempurna akal pikiran, Pintar yakni mempunyai sifat rasyid, Tetapi tidak disyaratkan cukup umur atau baliqh.Orang yang belum baliqh hendaklah terlebuh dahulu mendapat izin dari penjaganya untuk mengendalikanya al-wadiah. Pemilik barang dan orang yang menyimpan tidak tunduk pada perorangan saja. Ia juga boleh dari sebuah badan korporasi seperti yayasan, perusahaan, Bank, dll Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 409-412 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Bab XV bagian pertama tentang rukun dan syarat wadi’ah, yaitu sebagai berikut : Rukun wadiah : Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan,2003), h. 59 Pihak yang berakad (Pasal 409 ayat (1) Bagian Pertama Bab XV KHES) : Orang yang menitipkan (muwaddi’) Orang yang dititipi barang (mustauda’) Obyek yang diakadkan yaitu barang/ harta yang dititipkan (wadiah). (Pasal 409 ayat (1) Bagian Pertama Bab XV KHES). Sigot (akad). (Pasal 409 ayat (1) Bagian Pertama Bab XV KHES). Akad dapat diisyaratkan dengan lisan, tulisan atau isyarat. (pasal 409 ayat (2) Bagian Pertama Bab XV KHES) Serah (ijab) Terima (qabul) Syarat Wadiah : Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, ..., h. 59 Pihak yang berakad : Para pihak yang melakukan akad wadi’ah harus memiliki kecakapan hukum. (Pasal 410 Bagian Pertama Bab XV KHES). Suka rela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa dibawah tekanan. Obyek yang dititipkan merupakan milik mutlak si penitip (muwaddi). Obyek wadiah harus dapat dikuasai dan diserah terimahkan. (Pasal 411 Bagian Pertama Bab XV KHES). Sigot lain. Jelas apa yang dititipkan Tidak mengandung persyaratan-persyaratn Muwaddi’ dan mustaudi’ dapat membatalkan akad wadi'ah sesuai kesepakatan. (Pasal 412 KHES Bagian Pertama Bab XV) Secara umum, wadiah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: wadiah amanah dan wadiah dhamanah. Hal ini telah dijelaskan pula dalam Pasal 413 ayat (1) sampai (3) Bagian Kedua mengenai Macam Akad Wadiah dalam KHES. Wadiah amanah. Wadiah amanah yaitu dimana pihak penyimpan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan, yang tidak diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian penyimpan. Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, Kashiko, 2000, hlm. 693. Wadiah dhamanah. Wadiah dhamanah yaitu pihak penyimpan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang yang dititipkan dan bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tersebut menjadi pihak penyimpan. Hukum Menerima Benda Titipan Berkaitan dengan hukum menerima benda titipan ada empat macam, yaitu sunat, haram, wajib dan makruh. Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yan dititipkan kepadanya. Wadiah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-quran, tolong-menolong secara umum hukumnya sunat. Hal ini dianggap sunat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas untuk menerima titipan. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2017), h. 206. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut. Haram, apabila seseorang tidak kuasadan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan, sebab dengan menerima benda-benda titipan, berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan, sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya. Pengertian Wakalah Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2008, hlm. 120-121. Al-Wakalah juga berarti penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh). Menurut kalangan Syafi‟iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al- wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2008, hlm. 120-121. Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun ke orang lain. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah akad yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk melaksanakannya. Landasan Hukum Wakalah Al- Qur’an Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT yang berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi. Artinya: “Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Qs. Al- Kahfi:19) Al-Qur‟an Surat Al-Kahfi ayat 19, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur‟an, Al-Quran dan Terjemahan, Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 411 Surat yusuf ayat 55 juga menerangkan : Artinya: “Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Qs. Yusuf:55). Al-Qur‟an Surat Yusuf ayat 55, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur‟an, Al-Quran dan Terjemahan, Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 358. Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah dapat dilakukan perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia mengalami kondisi tertentu yang mengakibatkan ketidak sanggupan melakukan segala sesuatu secara mandiri, baik melaui perintah maupun kesadaran pribadi dalam rangka tolong menolong, dengan demikian seseorang dapat mengakses atau melakukan transaki melaui jalan Wakalah. As-Sunnah Artinya: "Bahwasannya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits" (HR. Malik). Ijma’ Para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka mensunnahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta‟awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa. Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2008, hlm. 125. Rukun dan Syarat Wakalah Rukun Wakalah Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil) Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul). Rukun Wakalah dalam Bab XVII Bagian Pertama Pasal 452 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Mahkamah Agung Republik Indonesia,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta, 2011, hal 116-117.. Sebagai berikut : Rukun wakalah terdiri atas : wakil; muwakkil; akad. Akad pemberian kuasa terjadi apabila ada ijab dan kabul. Penerimaan diri sebagai penerima kuasa bisa dilakukan dengan lisan, tertulis, isyarat, dan atau perbuatan. Akad pemberian kuasa batal apabila pihak penerima kuasa menolak untuk menjadi penerima kuasa. Syarat Wakalah dalam Bab XVII Bagian Kedua Pasal 457 - 459 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Sebagai berikut : Pasal 457 : Orang yang menjadi penerima kuasa harus cakap bertindak hukum. Orang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum tidak berhak mengangkat penerima kuasa. Seorang anak yang telah cakap melakukan perbuatan hukum yang berada dalam pengampuan, tidak boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan perbuatan yang merugikannya. Seorang anak yang telah cakap melakukan perbuatan hukum yang berada dalam pengampuan, boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan perbuatan yang menguntungkannya. Seorang anak yang telah cakap melakukan perbuatan hukum yang berada dalam pengampuan, boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan perbuatan yang mungkin untung dan mungkin rugi dengan seizin walinya. Pasal 458 : Seorang penerima kuasa harus sehat akal pikirannya dan mempunyai pemahaman yang sempurna serta cakap melakukan perbuatan hukum, meski tidak perlu harus sudah dewasa. Seorang anak yang sudah mempunyai pemahaman yang sempurna serta cakap melakukan perbuatan hukum sah m enjadi seorang penerima kuasa. Seorang anak penerima kuasa seperti disebut pada ayat (2) di atas, tidak m em iliki hak dan kewajiban dalam transaksi yang dilakukannya. Hak dan kewajiban dalam transaksi seperti disebut pada ayat (3) di atas dim iliki oleh pemberi kuasa. Pasal 459 : Seseorang dan atau badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat dilakukannya sendiri, memenuhi suatu kewajiban, dan atau untuk mendapatkan suatu hak dalam kaitannya dengan suatu transaksi yang menjadi hak dan tanggungjawabnya. Syarat- syarat Muwakkil (yang mewakilkan) Muwakkil merupakan orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah kekuasaannya orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah kekuasaannya. Syarat-syarat muwakkil adalah : Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung Persada, Jakarta, 2006, hlm. 65 Syarat- syarat wakil (yang mewakili) Cakap hukum, cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta amanah dan mampu mengerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya. Wakil adalah orang yang diberi amanat. Perkara yang diwakilkan/obyek wakala Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan orang lain, perkara-perkara yang mubah dan dibenarkan oleh syara’, memiliki identitas yang jelas, dan milik sah dari al-Muwakkil, misalnya : jual-beli, sewa-menyewa, pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama usaha, penukaran mata uang, pemberian gaji, akad bagi hasil, talak, nikah, perdamaian dan sebagainya. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul) Kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun tulisan dengan keikhlasan memberi dan menerima baik fisik maupun manfaat dari hal yang ditransaksikan Jenis- Jenis Wakalah Al-wakalah al-khosshoh, Adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan spesifikasinyapun telah jalas, seperti halnya membeli Honda tipe X, menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu Al-wakalah al-„ammah, Adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh. Adalah akad dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat- syarat tertentu. Misalnya jualah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit. Sedangkan al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan. Berahirnya Wakala Wakalah bukanlah akad yang berlaku abadi, tetapi bisa menjadi batal atau dibatalkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menyebabkan wakalah itu batal dan berakhir, meliputi : Ketika salah satu pihak yang berwakalah itu wafat atau gila. Apabila maksud yang terkandung dalam wakalah itu sudah selesai pelaksanaannya atau dihentikan maksud dari pekerjaan tersebut. Diputuskannya wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang menerima kuasa dan berakhir karena hilangnya kekuasaannya atau hak pemberi kuasa atas sesuatu obyek yang dikuasakan. Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah pihak. Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa, yang diketahui oleh penerima kuasa. Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan pemberi kuasa. Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa Dewan Syariah Nasional, Op. Cit, hlm. 68 KESIMPULAN Wadi’ah adalah menjaga atau mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu. Menurut Hanafiyah, wakalah adalah memposisikan orang lain sebagai pengganti dirinya (wakil) untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan secara syar’i dan jelas jenis pekerjaannya. Sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabalah, wakalah adalah prosesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan kepada orang lain sebagai penggantinya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wadi’ah adalah titipan seseorang kepada yang lain dengan menitipkan sesuatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaumana halnya kebiasaan). Sedangkan wakalah adalah akad yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk melaksanakannya. DAFTAR PUSTAKA Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar. 2015. “Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab”. Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif. Dewan Syariah Nasional. 2006. “Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional”. Jakarta : Gaung Persada. Eko Supriyatno. 2005. “Ekonomi Islam”. Yogyakarta : Garaha Ilmu. Helmi Karim. 2002. “Fiqh Muamalah”. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hendi Suhendi. 2013. “Fiqh Muamalah”. Jakarta : Rajawali Pers. Hendi Suhendi. 2014. “Fiqh Muamalah”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Imam Jalaludin As-Sayuty. “Al-Muwatha’”. Beirut : Darul Ihya Al-Ulum. Institut Bankir Indonesia. 2003. “Bank Syariah : Konsep, Produk dan Implementasi Operasional” Jakarta : Djambatan. Ismail Nawawi. 2017. “Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer”. Bogor : Ghalia Indonesia. Kementerian Agama Republik Indonesia. 2013. “Mushaf Al-Qur’an Terjemah”. Jakarta : CV. Alfatih Berkah Cipta. Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2011. “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”. Jakarta : Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Muhammad Ayub. 2009. “Understanding Islamic Finance”. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Muhammad Nashiruddin Al Albani. 2014. “Sahih Sunah Tirmidzi Seleksi Hadits Sahih dari Kitab Sunah Tirmidzi jilid 2”. Jakarta : Pustaka Azzam. Muhammad Syafi’i Antonio. 2008. “Bank Syariah dari Teori ke Praktik”. Jakarta : Gema Insani. Pusat Pengkajian dan Perkembangan Ekonomi Islam. 2008. “Ekonomi Islam”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah. 2011. “Fikih Muamalah”. Bogor : Ghalia Indonesia. Tim Kashiko. 2000. “Kamus Arab-Indonesia”. Kashiko. Warkum Sumitro. 2004. “Asas Asas Perbankan Islam & Lembaga Lembaga Terkait”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an. 2012. “Al-Quran dan Terjemahan”. Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia Zainul Arifin. 2009. “Dasar Dasar Manajemen Bank Islam”. Jakarta : Azkia Publisher.