Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
Pemanfaatan Museum Dan Situs Cagar Budaya di Pontianak Sebagai Sumber Belajar
Sejarah Indonesia
Mohammad Rikaz Prabowo1*, Supardi1
*Coresponding author Email: mohammadrikaz.2020@student.uny.ac.id
1Magister Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak: Pembelajaran sejarah akan lebih bermakna jika melakukan edukasi di museum.
Permasalahan penelitian ini yaitu bagaimana pemanfaatan museum dan cagar budaya di Pontianak.
Adapun tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pemanfaatan museum dan cagar budaya serta
kesesuaiannya dalam materi pada mata pelajaran sejarah. Metode yang digunakan yaitu deskriptif
kualitatif melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan topik yang dipilih. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Museum Provinsi Kalimantan Barat dan Keraton Kadriyah Kesultanan
Pontianak dapat digunakan sebagai sumber belajar alternatif untuk mengimbangi keterbatasan
belajar di kelas. Museum Provinsi Kalimantan Barat memiliki koleksi yaitu geologikan, arkeologika,
historika, dan benda-benda bersejarah hasil kebudayaan pra-aksara hingga masa Islam. Hal ini
mendukung sebagai sumber belajar sejarah dan berkorelasi dengan materi. Adapun keberadaan
Keraton Kadriyah dapat memperdalam khazanah keilmuan peserta didik mengenai materi pada masa
kesultanan-kesultanan Islam di Kalimantan.
Kata Kunci: Museum, Cagar Budaya, Sumber Belajar, Pontianak.
Utilization of Museums and Cultural Heritage Sites in Pontianak As a Source for
Learning Indonesian History
Abstract: Historical learning will be more meaningful if learners by doing education in the museum. The
problem of this research is how to use museums and cultural reserves in Pontianak. The purpose of this
study is to describe the use of museums and cultural reserves and their suitability in materials in
historical subjects. The method used is qualitative descriptive through literature studies related to the
chosen topic. The results of the research are first, the museum can add insight into the knowledge and
journey of the nation, the love of the homeland, and the patriotism of learners. Musuem and cultural
heritage as alternative learning resources, offsetting the limitations of learning in the classroom. Both
can open the horizons of learners to see and live life and historical relics in the past for real. Second,
budata museums and reserves in Pontianak that can be used as sources of historical learning include the
West Kalimantan Provincial Museum and the Kadriyah Palace of the Pontianak Sultanate. Third, in the
Provincial Museum there is a collection of geology, archaeology, history, and historical objects produced
by pre-script culture until the islamic period. It is supportive as a source of historical learning and
correlates with matter. While the Kadriyah Palace its existence can deepen the scientific treasures of
learners about the material during the Islamic sultanates in Kalimantan.
Keywords: Museums, Cultural Heritage, Learning Resources, Pontianak.
1
Lisensi Internasional Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
PENDAHULUAN
Sarana sumber belajar sejarah dewasa ini mengalami perkembangan dan perluasan
makna tidak hanya dapat diperoleh melalui buku teks. Sumber belajar bisa berupa segala
sesuatu berwujud benda dan person atau pihak yang dapat menunjang dan mendukung
dalam kegiatan belajar. Dengan demikian, dapat mencakup semua sumber yang dapat
dimanfaatkan oleh tenaga pengajar agar terjadi perilaku belajar dalam proses pembelajaran
Dalam kaitannya dengan pembelajaran sejarah, keberadaan museum dan cagar budaya
mendapatkan kedudukan yang penting sebagai sarana penunjang belajar.
Museum sebagaimana pengertiannya dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
nomor 66 tahun 2015 tentang Museum, adalah lembaga yang berfungsi melindungi,
mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengkomunikasikan pada masyarakat.
International Council of Museum (ICOM) sendiri mendefinisikan; “a museum is a non-profit,
permanent institution in the service of society and its development, open to the public, which
acquires, conserves, researches, communicates and exhibits the tangible and intangible heritage
of humanity and its environment for the purposes of education, study, and enjoyment”
(Charoenpot, Boelen, & Manders, 2012). Adapun cagar budaya yang didefinisikan dalam Pasal
1 angka 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai susunan
binaan yang terbuat dari benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
Museum dan cagar budaya dapat diposisikan sebagai sarana penunjang pendidikan
(utamanya bidang sejarah). Menjadi kawah candradimuka bagi peserta didik yang dapat
mengimbangi kekurangan atau kesulitan mengakses sumber-sumber belajar sejarah jenis
lain. Perkembangan pesat sejarah lokal di Indonesia, sangat tergantung dengan keberadaan
tempat-tempat yang memiliki signifikasi sejarah seperti ini agar dapat mengungkap
bagaimana kehidupan masyarakat dahulu kala. Museum adalah sarana belajar yang interaktif
yang terdapat berbagai macam media. Menurut Ahmad (2005), di dalam museum
karakteristik media yang lazim ditemukan adalah media visual dan media audiovisual
(multimedia) yang memanfaatkan teknologi elektronik (Sustianingsih, 2020).
Mempelajari sejarah tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sejarah itu sendiri
memiliki fungsi rekreatif. Dimana fungsi rekreatif itu terwujud dalam kegiatan darmawisata
ke tempat-tempat bersejarah. Bagi subjek yang menekuni ilmu sejarah, tempat-tempat ini
2
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
seperti laboratorium lapangan. Kunjungan ke museum ataupun cagar budaya dapat
dilakukan oleh peserta didik secara individual ataupun berkelompok (rombongan).
Guru sebagai sosok yang paling bertanggung jawab memberikan tugas kunjungan
tersebut semestinya juga menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk mendukung
kesuksesan pembelajaran di luar kelas tersebut. Membekali siswa dengan panduan-panduan
dan lembar kerja patut disiapkan agar selama proses kunjungan mulai dari awal hingga akhir
dapat terarah dengan baik dan menghasilkan tujuan pembelajaran yang diinginkan. Hal ini
tentunya akan berdampak pada hasil positif yang akan diterima siswa dalam penilaian.
Akan tetapi, tidak sedikit penulis menjumpai pula guru-guru sejarah yang masih
belum memanfaatkan sumber belajar seperti museum dan cagar budaya yang lebih
dikarenakan alasan faktor teknis dan non teknis. Pada faktor teknis, guru masih kesulitan
untuk menentukan signifikasi koleksi-koleksi pada suatu museum dan cagar budaya dengan
kaitan materi pada kompetensi dasar. Hal ini dikarenakan sangat jarang ditemukan museum
yang memiliki koleksi untuk setiap periodesasi dalam Sejarah Indonesia. Dengan begitu,
apabila kunjungan tetap dipaksakan maka justru guru akan kesulitan untuk menentukan
metode penilaiannya kepada peserta didik. Sedangkan pada faktor non teknis lebih kepada
masalah administrasi, seperti izin dari pihak sekolah dan persetejuan orang tua.
Problem di atas juga masih ditambah dengan pengetahuan atau kesadaan guru akan
peranan dua tempat tersebut dalam pembelajaran sejarah, khususnya cagar budaya yang
tidak sedikit memandang hanya sebuah bangunan tua semata. Selain itu, informasi akan
museum-museum dan bangunan cagar budaya didaerahnya juga menjadi alasan lain
mengapa guru sejarah belum memanfaatkan bangunan-bangunan ini sebagai sumber belajar
alternatif. Berangkat dari hal di atas, dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memaparkan
bagaimana museum dan cagar budaya berperan bagi dunia pendidikan, khususnya dalam
pelajaran sejarah sebagai sumber belajar alternatif. Selanjutnya penulis juga memaparkan
beberapa museum dan cagar budaya di Pontianak yang dapat dikunjungi sebagai alternatif
sumber belajar, serta pemanfaatannya dan kesesuai dengan materi pelajaran sejarah.
3
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
METODE PENELITIAN
Penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami
makna, yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah
sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian jenis ini melibatkan upaya-upaya penting seperti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang
spesifik, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke umum dan
menafsirkan maknanya (Creswell, 2009).
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang penting, sebab tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data-data yang berkaitan dengan topik masalah yang akan
diteliti (Sugiyono, 2010). Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan
mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan permuseuman dan cagar budaya, serta data
tentang kedua tempat itu di kota Pontianak. Wawancara informan penulis lakukan pada salah
satu petugas edukator Keraton Kadriyah Pontianak. Untuk mengetahui kondisi riil di
lapangan, penulis melakukan observasi koleksi outdoor di Museum Provinsi Kalimantan
Barat. Observasi koleksi yang berada di dalam ruang tidak dapat penulis lakukan secara
keseluruhan (detail) dikarenakan pandemi COVID-19 (pembatasan layanan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peranan Museum dan Cagar Budaya Dalam Dunia Pendidikan
Riwayat keberadaan lembaga museum di Indonesia telah ada sejak masa kolonial yang
diperkenalkan oleh para sarjana Belanda. Pada 24 April 1778 di Batavia berdiri Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenchappen atau Lembaga Kesenian dan Pengetahuan Batavia
dipelopori Jacobus Cornelis Mattheus Rademacher. Lembaga ini diizinkan berdiri oleh
Gubernur Jenderal VOC yang menjabat kala itu, Reinier de Klerk. Setelah 86 tahun beroperasi,
lembaga itu akhirnya membuka museum pertamanya pada tahun 1862 dengan didirikannya
Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenchappen. Dengan koleksi
awal pada benda-benda arkeologi dan etnografi, museum ini menjadi pelopor bagi berdirinya
museum lain di wilayah Hindia Belanda. Museum ini masih bertahan saat ini yang dikenal
dengan nama Museum Nasional (Munandar & dkk, 2011).
4
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya dan mencapai stabilitas keamanan dan
politik yang baik, lembaga museum menjadi salah satu yang dikembangkan pemerintah
dalam rangka pemajuan di bidang pendidikan. Adapun tujuan pendirian museum itu sendiri
untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan warisan budaya dalam rangka persatuan
dan peradaban bangsa, juga sebagai sarana pendidikan non-formal (Munandar & dkk, 2011).
Museum telah berkembang sedemikian pesatnya menjadi tempat yang penting di dalam
masyarakat. Museum memiliki kekuatan (daya tarik) untuk membuat orang melihat
kebenaran, membuat orang mengenali pentingnya individu dalam anggota masyarakat, dan
menjaga fikiran agar sehat dan bahagia (Low, 2004).
Museum sejatinya juga memiliki peran sebagai tempat wisata. Dalam aturan Pasal 3
UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, mengamanatkan bahwa kepariwisataan
selain memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, namun juga pemenuhan
intelektual yang selaras dengan tujuan mempelajari sejarah. Terkadang ada penyamaan
makna antara museum dan cagar budaya sebagai sumber belajar sejarah. Dalam artian yang
lebih luas, cagar budaya tidak hanya berupa bangunan kuno namun juga benda-benda
bersejarah yang pernah digunakan oleh manusia pada masa lampau. Dengan begitu
muncullah istilah benda cagar budaya.
Pada hakikatnya museum sendiri memang tempat menyimpan dan konservasi bendabenda cagar budaya, bahkan tidak sedikit pula bangunannya sendiri juga berstatus cagar
budaya. Melakukan kunjungan ke situs-situs cagar budaya atau yang terdapat koleksi cagar
budaya, secara tidak langsung mengajak seseorang untuk ikut peduli terhadap peninggalan
benda-benda bersejarah. Dengan begitu, akan muncul dalam diri jiwa pelestarian di dalam
diri peserta didik. Hal ini penting sebab cagar budaya, baik koleksi maupun situsnya sangat
terbatas dan tidak dapat diproduksi kembali (Widiyati & Wasino, 2011: 57). Dalam
konteksnya bagi dunia pendidikan, Bambang Sumadio juga berpendapat museum merupakan
sumber pengetahuan alternatif, yang berfungsi untuk mengimbangi keterbatasan belajar
yang terjadi di kelas (Asiarto & Tjahjopurnomo, 1994).
Museum dan Cagar Budaya juga dapat diposisikan sebagai media pembelajaran
sejarah. Widja (1989), dalam Santosa, Anjani, & Rakhman (2021), menyebutkan bahwa kedua
tempat ini sebagai ruang sejarah. Ruang sejarah merupakan sebuah ruangan khusus tempat
peragaan benda-benda kesejarahan dan dapat menjadi media pemantapan pelajaran sejarah
5
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
bagi peserta didik. Amir Sutaarga sebagaimana dikutip oleh Munandar, dkk (2011),
mengungkapkan bahwa keberadaan museum sebagai lembaga yang melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkan koleksi sejatinya memiliki suatu pilar yang dapat
didefinisi seperti tujuan universal museum itu didirikan. Tiga Pilar Permuseuman Indonesia
tersebut yakni: (1) mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) membentuk kepribadian
bangsa, dan (3) mengukuhkan ketahanan nasional dan wawasan nusantara.
Dari penjelasan di atas, keberadaan museum telah melampaui fungsi utamanya
sebagai tempat penyimpanan barang-barang, bangunan, atau benda kuno. Terlebih dalam
edukasi (pendidikan) khususnya ilmu sejarah, museum bagaikan kelas kedua bagi si pelajar.
Pasal 91 Undang-undang Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan pemanfaatan
Cagar Budaya sebesar-besarnya untuk pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata. Dengan demikian peranan kedua tempat ini dalam
dunia pendidikan, khususnya pendidikan sejarah secara garis besarnya antara lain: (1)
menambah wawasan pengetahuan perjalanan sejarah bangsa, (2) menimbulkan kebanggan
dan rasa percaya diri terhadap bangsanya, (3) menimbulkan rasa cinta tanah air dan
patriotisme (Munandar, dkk. 2011).
Museum dan Cagar Budaya di Pontianak
Museum pertama dan satu-satunya, di Pontianak adalah Museum Provinsi Kalimantan
Barat. Museum ini digolongkan sebagai museum negeri yang dimiliki oleh pemerintah. Dirintis
kehadirannya sejak tahun 1974 oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(Depdikbud) Kalimantan Barat. Setelah melalui sejumlah tahap, museum ini baru selesai dibangun
dan dioperasikan pada 4 Oktober 1983. Pengelolaan awal museum ini dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Kebudayaan Depdikbud. Seiring bergulirnya reformasi yang membawa perubahan
birokrasi ke arah desentralisasi, museum ini kini dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Barat.
6
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
Gambar 1. Museum Kalimantan Barat.
Sumber: umma.id
Museum yang terletak tepat di tengah Kota Pontianak ini memiliki koleksi yang cukup
banyak. Museum terdiri dari ruang pameran dalam dan pameran luar. Ruang dalam atau
gedung, terdiri dari dua lantai yang dikelompokkan dari beberapa koleksi, antara lain:
geografika, geologika, biologika, arkeologika, historika, dan heraldika. Sedangkan di lantai
dua difungsikan sebagai ruang sejarah budaya yang menampilkan hasil kebudayaan
masyarakat Suku Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Menariknya, museum ini ternyata memiliki
ruang pameran keramologika (keramik) yang cukup besar, terletak di lantai satu sebelah
kanan bangunan. Ruang ini memamerkan keramik-keramik dari luar negeri yang pernah
digunakan di Kalimantan Barat berupa piring, mangkuk, sendok, kendi, hingga tempayan.
Sebagian besar memang berasal dari Tiongkok, namun adapula yang berasal dari Vietnam,
Jepang, dan Eropa. Terlihat pula keramik lokal yang dibuat oleh pengrajin di Singkawang.
(Gunarsih, 2020)
Sedangkan di bagian luar baik di belakang ataupun di halaman gedung dipamerkan
berbagai artefak-artefak dan replika berukuran besar. Berdasarkan hasil observasi langsung
penulis (dilakukan pada 18 Mei 2021), dipamerkan beberapa koleksi seperti meriam kuno,
jangkar kapal, alat pengolahan karet, replika tungku pembuatan keramik, replika miniatur
keraton-keraton di Kalimantan Barat, replika perahu lancang kuning, dan replika rumah
bangunan seperti rumah rakit, rumah lumbung padi, rumah betang, hingga replika Prasasti
Batu Bertulis yang aslinya berada di Kabupaten Sekadau. Menurut Kusmindari Triwati selaku
Kepala Museum Provinsi Kalimantan Barat, museum yang dipimpinnya itu memiliki sekitar
7
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
4000 koleksi barang-barang antik dan bersejarah. Termasuk 30 naskah kuno yang sedang
direstorasi melalui bantuan tim dari Arsip Nasional (Wedya, 2019).
Pontianak juga memiliki beberapa cagar budaya bangunan yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber belajar sejarah, diantaranya adalah Keraton Kadriyah. Bangunan ini
merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak yang usianya telah mencapai 240
tahun dan berfungsi sebagai perkantoran kesultanan dengan gaya bangunan tradisional
Melayu (Yulianingrum, Wulandari, & Chairunnisa, 2018: 5-10). Selain karena usianya,
Keraton Kadriyah juga telah memenuhi persyaratan karakteristik memiliki usia dan masa
gaya sekurang-kurangnya 50 tahun. Keraton juga memiliki nilai estetika yang dianggap
mewakili gaya arsitektur tertentu (Hartati, Sumiyatun, & Prasetyo, 2020). Bangunan ini
mewakili gaya rumah adat Melayu berbentuk panggung dan penggunaan bahan kayu yang
sangat signifikan dilapisi cat dominasi warna kuning. Wilayah Keraton Kadriyah merupakan
titik awal perkembangan Kota Pontianak yang mulai dibangun sekitar tahun 1771 yang
bermula dari sebuah pondok kecil tempat tinggal Syarif Abdurrahman sang pendiri kota.
Keraton Kadriyah adalah salah satu keraton di pantai barat pulau Kalimantan yang
berkembang pada masa itu. Setidaknya masih ada kesultanan Islam lain di pantai barat
Kalimantan yang juga memiliki keraton dan menjadi awal pusat perkembangan kota yakni
Sambas dan Mempawah (Ricklefs, 2001). Keraton Kadriyah Dalam perjalanannya, dilakukan
pengembangan pembangunan terutama pada tahun 1779-1780 dan tahun 1792 hingga 1808
M. Menurut Veth (1854), dalam Listiana (2009), menyebutkan, ketika itu dibangun dinding
batu yang mengelilingi keraton dan hanya Istana Sultan Pontianak yang melakukan
pembangunan seperti itu di Pulau Kalimantan.
Dewasa ini, bangunan Keraton Kadriyah memiliki luas 60x25 meter yang
keseluruhannya berbahan kayu ulin. Bangunannya berbentuk rumah panggung dengan
ketinggian 1,5 meter dari permukaan tanah. Sedangkan atapnya tidak berbahan seng,
melainkan menggunakan kayu sirap. Pada puncak atap terdapat bagian bangunan berbentuk
kubah atau seperti genta besar yang mirip seperi arsitektur di Eropa. Keraton Kadriyah
terdiri dari 5 ruangan pokok yakni: anjungan, balairung, kantor dan kamar kerja Sultan, ruang
singgasana, dan kamar tidur sultan maupun keluarga. Di luar keraton masih dapat dijumpai
meriam besar yang dahulunya digunakan untuk penjagaan keamanan keraton. (Umar, 2017:
30-31)
8
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
Gambar 2. Keraton Kadriyah Pontianak.
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Staff edukator Keraton Kadriyah, Khamsyahurrahman menyebutkan, bangunan cagar
budaya yang ada di wilayah ini sebenarnya tidak hanya keraton atau istana tempat tinggal
Sultan. Melainkan juga terdapat Masjid Jami Kesultanan Pontianak, Tugu Peringatan
bertahtanya Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (Sultan Ketujuh), dan Gapura Keraton yang
terbuat dari beton. Terkait dengan Masjid Jami, usianya relatif sama dengan usia keraton
sebab memang dibangun bersamaan. Di dalam keraton juga terdapat artefak-artefak dan
benda cagar budaya yang dapat diobservasi oleh pengunjung. Mulai dari kursi singgasana,
cermin,
alat-alat
upacara
yang
terbuat
dari
logam,
hingga
pusaka
keraton
(Khamsyahurrahman, 2021).
Pemanfaatan dan Kesusaian Materi Dalam Mata Pelajaran Sejarah
Sebagaimana yang dingkapkan sebelumnya, melakukan kunjungan ke museum
dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan, mengimbangi keterbatasan belajar yang
terjadi di kelas (Asiarto & Tjahjopurnomo, 1994). Dalam taraf tertentu misalnya, siswa perlu
mengamati secara langsung benda-benda peninggalan sejarah yang selama ini hanya dilihat
dibuku. Hal ini dapat menyelaraskan fakta-fakta yang dipelajari di dalam kelas dengan
kenyataannya yang terdapat di tempat-tempat peninggalan bersejarah seperti museum dan
cagar budaya. Tujuan universal bahwa museum harus mampu mencerdaskan kehidupan dan
9
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
membentuk kepribadian bangsa, telah menjadikan lembaga ini sebagai sumber pengetahuan
alternatif bagi dunia pendidikan sekaligus sebagai kelas kedua.
Dengan melakukan kunjungan ke museum dan cagar budaya, peserta didik berusaha
memanfaatkan peninggalan-peninggalan sejarah dari masa lalu sebagai proses dalam
melakukan pembelajaran sejarah, baik di dalam maupun di luar kelas. Menurut Hanapi, dkk,
dalam (Apriyanthy, 2019), pembelajaran ini mengajak peserta didik untuk melihat dunia
nyata yang ada di luar sekolah. Baik di lingkungan sekitar masyarakat atau tempat yang
terdapat nilai-nilai sejarah atau peninggalan sejarah tempo dulu.
Oleh sebab itu dalam melakukan kunjungan ke tempat-tempat seperti ini perlu
direncanakan secara matang. Pemanfaatnnya dilakukan sesekali saja dan ditempatkan
sebagai penunjang serta media dalam proses pembelajaran. Kemudian guru juga perlu
memberikan materi awal kepada peserta didik sebelum melakukan observasi sebagai bekal
saat kunjungan (Ahmad, 2010). Beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam memanfaatkan
Museum atau bangunan Cagar Budaya yakni; 1) analisis kemampuan guru, 2) analisis
kemampuan siswa, 3) ketersediaan media dalam kelas, 4) perencnaan secara teknis, 5)
Pelaksanaan observasi di museum, 6) pembuatan laporan hasil observasi, 7) penarikan
simpulan dari hasil laporan, 8) publikasi (Ahmad, 2010).
Berdasarkan hasil kunjungan penulis pada 18 Mei 2021 di Museum Provinsi
Kalimantan Barat, maka terdapat beberapa objek koleksi yang sesuai untuk dijadikan sumber
belajar sejarah terutama pada materi periodesasi masa pra-aksara dan masa Hindu-Budha.
Di bagian dalam pada gedung museum, terdapat ruangan koleksi geologika, arkeologika, dan
historika, yang menyimpan benda-benda hasil kebudayaan pada masa praaksara. Bendabenda tersebut ada yang terbuat dari bebatuan, tanah liat, dan logam seperti koleksi nekara
dan mata tombak. Adapun selengkapnya, penulis paparkan kompetensi dasar yang sesuai
dengan koleksi-koleksi yang ada di Museum Negeri Kalimantan Barat ditampilkan dalam
Tabel 1 berikut (Gunawan, Lestariningsih, & Sardiman, 2017).
Tabel 1: Kesesuaian Kompetensi Dasar Sejarah Indonesia Dengan Informasi/Materi yang
Didapatkan di Museum Negeri Kalimantan Barat
No. KD Kelas
Deskripsi
Keterangan
3.3
X
Menganalisis
moyang
asal-usul
bangsa
nenek Terdapat koleksi peta penyebaran
Indonesia nenek moyang bangsa Indonesia di
10
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
No. KD
Kelas
Deskripsi
Keterangan
Melanosoid, Proto Melayu, dan nusantara
Deutro Melayu
yang
secara
menunjukkan
masyarakat
spesifik
wilayah-wilayah
Dayak
dan
Melayu
sebagai keturunan Proto Melayu dan
Deutro Melayu bermukim. Selain itu
juga
terdapat
kebudayaan
koleksi
kedua
hasil
masyarakat
tersebut.
3.4
X
Memahami hasil-hasil dan nilai- Terdapat koleksi benda-benda hasil
nilai budaya masyarakat praaksara kebudayan batu, logam, dan megalitik
Indonesia dan pengaruhnya dalam praaksara
kehidupan lingkungan terdekat
3.5
X
Menganalisis
perkembangan Terdapat koleksi arca Syiwa dan
kehidupan
masyarakat, duplikasi prasasti Batu Bertulis yang
pemerintahan, dan budaya pada berisi
inkripsi
huruf
pallawa
masa kerajaan-kerajaan Hindu dan mengenai keberadaan pemeluk Hindu
Buddha
di
menunjukan
Indonesia
contoh
serta di Kalimantan Barat
bukti-bukti
yang masih berlaku pada kehidupan
masyarakat Indonesia masa kini
Sedangkan untuk bangunan cagar budaya di Komplek Keraton Kadriyah, menyimpan
informasi penting tentang perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Kalimantan
bagian barat. Mengunjungi keraton kesultanan Pontianak sangat relevan sebagai sumber
belajar alternatif dalam menganalisis materi sejarah Indonesia pada masa kesultanankesultanan Islam. Terlebih lagi, komplek bangunan ini menjadi titik awal perkembangan kota
Pontianak. Menariknya peserta didik juga dapat mempelajari corak-corak hasil kebudaayaan
dalam bidang bangunan (arsitektur) dengan adanya Masjid Jami’ yang tidak jauh dari keraton.
Staff edukator Keraton Kadriyah, Khamsyahurrahman dalam wawancara pada 19 Mei 2021
mengungkapkan, pengunjung juga dapat melakukan wawancara langsung kepada keluarga
11
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
keraton untuk dapat lebih memperdalam keterangan sejarah yang diinginkan. Bahkan,
mewawancarai secara langsung kepada Sultan Pontianak apabila memang sedang berada di
tempat.
Tabel 2: Kesesuaian Kompetensi Dasar Sejarah Indonesia Dengan Informasi/Materi yang
Didapatkan di Keraton Kadriyah Pontianak
No.
Kelas
Deskripsi
Keterangan
KD
3.8
X
Menganalisis
perkembangan Bangunan keraton yang menjadi saksi
kehidupan
masyarakat, sejarah hadirnya Islam di Kalimantan
pemerintahan, dan budaya pada masa bagian
barat
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia Kesultanan
dan
Pontianak.
berdirinya
Terdapat
serta menunjukkan contoh bukti- Masjid Jami’ yang memadukan corak
bukti yang masih berlaku pada bangunan adat melayu dan timur
kehidupan
masyarakat
Indonesia tengah.
masa kini
KESIMPULAN
Pemanfaatan museum dan cagar budaya dalam pembelajaran sejarah yakni diyakini
dapat menambah wawasan pengetahuan perjalanan sejarah bangsa, menimbulkan
kebanggan dan rasa percaya diri terhadap bangsanya, serta menimbulkan rasa cinta tanah air
dan patriotisme terhadap peserta didik. Tempat-tempat ini dapat menjadi sumber belajar
sejarah alternatif untuk mengimbangi keterbatasan belajar di kelas. Museum dan Cagar
Budaya juga dapat membuka cakrawala peserta didik melihat peninggalan sejarah secara
nyata dan dapat pula menghayati bagaimana kehidupan manusia di masa lalu.
Museum dan cagar budaya yang dapat dijadikan sumber belajar sejarah di Pontianak
yakni Museum Provinsi Kalimantan Barat dan Keraton Kadriyah Kesultanan Pontianak.
Terdapat koleksi-koleksi dan peninggalan di dalam maupun ruangan museum yang dapat
digunakan sebagai sumber belajar sejarah. Sedangkan Keraton Kadriyah merupakan situs
bangunan bersejarah yang menjadi pusat pemerintahan kesultanan dan masih terus
difungsikan hingga sekarang. Keraton Kadriyah menjadi titik awal mulainya pembangunan
12
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
Kota Pontianak dan sangat berkorelasi dengan materi pelajaran sejarah perkembangan
Kerajaan-kerajaan Islam.
Koleksi Museum Provinsi Kalimantan Barat sangat mendukung sebagai sumber sejarah
alternatif dalam materi matapelajaran Sejarah Indonesia. Koleksi geologika, arkeologika, dan
historika pada museum tersebut, menyimpan benda-benda bersejarah hasil kebudayaan
pada masa pra-aksara hingga hindu-budha. Sehingga hal itu berkorelasi dengan materi
Sejarah Indonesia di kelas X. Sedangkan Keraton Kadriyah Pontianak sangat relevan sebagai
sumber belajar untuk memperdalam khazanah keilmuan peserta didik mengenai materi
sejarah Indonesia pada masa kesultanan-kesultanan Islam khususnya di Kalimantan bagian
barat. Selain itu terdapat pula hasil kebudayaan bangunan seperti Masjid yang memadukan
gaya arsitektur rumah adat melayu dan timur tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T. A. (2010). Strategi Pemanfaatan Museum Sebagai Media Pembelajaran Pada Materi
Zaman Prasejarah. Paramita, 20 (1), 105-115.
Apriyanthy, E. C. (2019). Pemanfaatan Museum Kapuas Raya Sebagai Media dan Sumber
Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 01 Sintang. Yogyakarta: Thesis Universitas Negeri
Yogyakarta.
Asiarto, L., & Tjahjopurnomo. (1994). Museum dan Sejarah. Jakarta: Direktorat Permuseuman.
Charoenpot, S., Boelen, B., & Manders, M. R. (2012). Museology: An Introduction. Bangkok:
UNESCO Bangkok.
Creswell, J. W. (2009). Research Design: Pendekatan Kualitatatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunarsih, N. M. (2020, Februari 11). Museum Kalimantan Barat, Mengenal Sejarah
Perkembangan Kalbar Melalui Bandar. Retrieved from Tribun Pontianak:
https://pontianak.tribunnews.com/2020/02/11/museum-kalimantan-baratmengenal-sejarah-perkembangan-kalbar-melalui-benda
Gunawan, R., Lestariningsih, A. D., & Sardiman. (2017). Buku Guru Sejarah Indonesia Kelas X.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Hartati, U., Sumiyatun, & Prasetyo, A. B. (2020). Cagar Budaya Sebagai Sumber Belajar Sejarah
Lokal. Diakronika, 20 (2), 143-151.
Hein, G. E. (1998). Learning in the Museum. New York: Routledge.
Khamsyahurrahman. (2021, Mei 19). Bangunan-bangunan di Komplek Keraton Kadriyah
Pontianak. (M. R. Prabowo, Interviewer)
Listiana, D. (2009). Ibukota Pontianak 1779-1942: Lahir dan Berkembangnya Sebuah Kota
Kolonial. Pontianak: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kalimantan Barat.
Low, T. (2004). What is a Museum? In G. Anderson, Reinventing The Museum: Historical and
Contemporary Perspective on the Paradigm Shift (pp. 30-43). Oxford: Altamira Press.
13
Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 11 (1): 1-14, Februari 2022
Munandar, A. A., & dkk,. (2011). Sejarah Permuseuman di Indonesia. Jakarta: Direktorat Cagar
Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Presiden RI. (2009). Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta:
Sekretariat Presiden RI.
Presiden RI. (2010). Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jakarta:
Sekretariat Presiden RI.
Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (third edition). Hampshire:
Palgrave.
Santosa, Y. P., Anjani, K. T., & Rakhman, A. S. (2021). Museum Kehutanan "Ir. Djamaludin
Suryohadikusumo" Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Pada Materi Sumber Sejarah.
Istoria: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 17 (1), 1-8.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sustianingsih, I. M. (2020). Pemanfaatan Museum SUBKOSS sebagai Sumber Belajar Sejarah
di Lubuklinggau. Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 9 (1), retrieved from
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/view/10260 , 1-14.
Tim Penyusun. (2012). Direktori Museum Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Umar, R. M. (2017). Melacak Jejak Sejarah Kalimantan Barat. Pontianak: CV Derwati.
Wedya, K. B. (2019, Juli 21). Kumparan News. Retrieved from Melihar Sejarah dan Warisan
Budaya
di
Museum
Provinsi
Kalimantan
Barat:
https://kumparan.com/hipontianak/melihat-sejarah-dan-warisan-budaya-dimuseum-provinsi-kalimantan-barat-1rZhkqDLQ5L
Widiyati, & Wasino. (2011). Pemberdayaan Masyarakat Untuk Berpartisipasi Dalam
Pelestarian Situs Patiayam Kabupaten Kudus. Paramita, 21 (1), 51-60.
Yulianingrum, E. V., Wulandari, A., & Chairunnisa. (2018). Persepsi Masyarakat Terhadap
Objek Pelestarian Cagar Budaya di Kota Pontanak. JELAST: Jurnal Elektronik, Laut,
Sipil, dan Tambang, 5 (3), 1-11.
14