Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Penulis: Riyadi, S.Sos, M.I.Kom Alumnus S1 dan S2 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar. KONSEP SEX DAN GENDER Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka memahami persoalan kaum Hawa, khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender (Susanto, 2005:48). Pemahaman dan pembedaan antara konsep sex dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan oleh adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian, pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep sex dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial (Fakih, 1996: 3-4). Ini dikarenakan oleh keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik (perbedaan fungsi reproduksi) sedangkan gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Pada prinsipnya, gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin. Bagaimanapun, gender memang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai dalam masyarakat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi “maskulin” dan “feminin”. Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian dan antara perempuan dan keperempuanan. Pada umumnya, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin. Akan tetapi, hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut (Roger dalam Susilastuti, 1993: 30). Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan sekunder. Ciri biologis primer yaitu tidak dapat dipertukarkan atau diubah (sulit) dan merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali dengan cara operasi seperti kasus artis Dorce Gamalama yang berubah dari laki-laki menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki kemampuan untuk hamil karena diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan). Begitupun untuk kasus Thomas Beatie yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki, tapi tetap mampu mengandung seorang bayi sebab bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan kodratnya sebagai seorang perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan. Adapun ciri biologis sekunder tidak mutlak menjadi milik dari lelaki atau perempuan, misalnya suara halus dan lembut tidak selalu milik seorang perempuan karena ada laki-laki yang suaranya halus dan lembut. Begitupun dengan rambut panjang, juga bukan milik manusia berjenis kelamin perempuan karena laki-laki pun ada yang berambut panjang (tidak hanya masa sekarang, dahulu pun tepatnya pada zaman raja-raja masa lalu di Inggris, misalnya, dimana laki-laki bangsawan juga berambut panjang selain perempuan). Berbeda dengan sex, gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin; 2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat (Gallery dalam Susilastuti, 1993: 30). Gender dapat beroperasi di masyarakat dalam jangka waktu yang lama karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (Gender belief system). Sistem kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan femininitas. Sistem ini mencakup stereotype perempuan dan laki-laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan “pola baku”. Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup elemen deskriptif dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang ”bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu” dan pendapat tentang ”bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan itu” (Deaux & Kite dalam Susilastuti, 1993:31). Sistem kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar sebagian, sekaligus salah sebagian. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa beberapa aspek stereotype gender dan kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan itu memang didasarkan pada realitas. Aspek-aspek ini sekaligus merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa peranan yang berbeda. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepercayaan orang bukanlah me-rupakan gambaran akurat suatu realitas karena ia mengandung bias persepsi dan kesalahan interpretasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana ”seharusnya” laki-laki dan perempuan itu. Penelitian Williams dan Best (seperti dikutip oleh Deaux & Kite dalam Susilastuti, 1993: 31) yang mencakup 30 negara menampilkan semacam konsensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak universal, akan tetapi “generalitas pankultural” itu ada. Pada umumnya laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan lebih aktif, serta ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah. Adapun citra laki-laki dan perempuan ini pertama kali terbentuk mengenai gambaran ideal tentang laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi dalam keluarga. Sosialisasi sendiri merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dan dapat terjadi di berbagai institusi selain keluarga, misalnya sekolah dan Negara. Referensi: Fakih, Mansour, 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hubeis, Aida.2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. IPB Press. Susanto. 2005. Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Spirit Publik UNS, Volume 1 No.1. Susilastuti, Dewi H. 1993. Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana. 4