Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

MAKALAH PERNIKAHAN

PERNIKAHAN disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Disusun oleh: Kelompok 5 Lia Agustiani Raniah Nur Sahar Novi Diana Lestari Syamsul Anwar Randi Apriansah POLITEKNIK SUKABUMI Jl. Babakan Sirna No. 25 Benteng Kota Sukabumi Jawa Barat 43133 Telp/Fax. (0266) 215417 KATA PENGANTAR Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat illahi rabbi yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pernikahan”. Salawat serta salam marilah kita limpahkan kepada baginda kita yakni Nabi Besar Muhammad Saw beserta keluarga dan kerabatnya. Dengan kehadiran makalah ini mudah-mudahan dapat membantu dalam proses belajar mengajar dalam bermakna bagi kita semuanya Amin. Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah serta kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembuatan makalah yang akan datang. Sukabumi ,  Januari 2013 Penyusun DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I 1 PENDAHULUAN 1 A. Latar belakang. 1 B. Rumusan masalah 1 BAB II 2 PEMBAHASAN 2 1. Pengertian Nikah 2 2. Hukum Menikah Menurut Islam 2 3. Rukun & Syarat nikah menurut Islam 3 4. Rukun & Syarat nikah menurut Islam.........................................................................................4 5. Mahram menurut Islam.............................................................................................................5 6. Hak dan Kewajiban suami istri menurut Islam.....................................................................6 7. Nikah yang dilarang menurut Islam............................................................................................7 8. Perceraian dan macammnya menurut islam..............................................................................8 9. Iddah dan macammnya menurut Islam BAB III 7 PENUTUP 7 a. Kesimpulan 7 b. Saran 7 Daftar pustaka 8 BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Karakteristik khusus dari Islam bahwa setiap ada perintah yang harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan syari’atnya (tata cara dan petunjuk pelaksanaannya), dan hikmah yang dikandung dari perintah tersebut. Maka tidak ada satu perintah pun dalam berbagai aspek kehidupan ini, baik yang menyangkut ibadah secara khusus seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Maupun yang terkait dengan ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan infaq, berbakti pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain yang tidak memiliki syari’at, dan hikmahnya. Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan perintah Allah SWT untuk seluruh hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi sunnah Rasul-Nya, maka sudah tentu ada syaria’atnya, dan hikmahnya. Untuk itu pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengapa seorang muslim dan muslimin harus melaksanakan pernikahan di dalam hidupnya. Rumusan masalah a. Apa pengertian dari kata nikah ? b. Bagaimana hikmah dari nikah ? c. Apa saja nikah yang diharamkan oleh agama ? BAB II PEMBAHASAN Pengertian Nikah Pengertian Nikah secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. Secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll. Hukum Nikah Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya : Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina. Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah. Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya. 2. HUKUM PERNIKAHAN Menurut sebagian besar Ulama’, hukum asal menikah adalah mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapatkan pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Namun menurut saya pribadi karena Nabiullah Muhammad SAW melakukannya, itu dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu sunnah berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Beliau. Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram, tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.          Pernikahan Yang Dihukumi Sunnah Hukum menikah akan berubah menjadi sunnah apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan mampu menahan perbuatan zina walaupun dia tidak segera menikah. Sebagaimana sabda Rasullullah SAW : “Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (HR. Bukhari Muslim)          Pernikahan Yang Dihukumi Wajib Hukum menikah akan berubah menjadi wajib apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut ingin menikah, mampu menikah dalam hal kesiapan jasmani, rohani, mental maupun meteriil dan ia khawatir apabila ia tidak segera menikah ia khawatir akan berbuat zina. Maka wajib baginya untuk segera menikah          Pernikahan Yang Dihukumi Makruh Hukum menikah akan berubah menjadi makruh apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut belum mampu dalam salah satu hal jasmani, rohani, mental maupun meteriil dalam menafkahi keluarganya kelak          Pernikahan Yang Dihukumi Haram Hukum menikah akan berubah menjadi haram apabila orang yang ingin melakukan pernikahan tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut, baik menyakiti jasmani, rohani maupun menyakiti secara materiil. C.      PEMINANGAN (KHITBAH) Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja. Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang: "Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai) Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan: "Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan)) Rukun \ Tata Cara Pernikahan Dalam Islam Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya : Rukun nikah Pengantin laki-laki Pengantin perempuan Wali Dua orang saksi laki-laki Mahar Ijab dan kabul (akad nikah) Khitbah (Peminangan) Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi : a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai. b. Adanya Ijab Qabul. a) Syarat ijab • Pernikahan nikah hendaklah tepat • Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran • Diucapkan oleh wali atau wakilnya • Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah. • Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan) Contoh bacaan Ijab: Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:"Aku nikahkan/kahwinkan engkau dengan Delia binti Munif dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak Rp. 300.000 tunai". b) Syarat qabul • Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab • Tiada perkataan sindiran • Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu) • Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak) • Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan) • Menyebut nama calon isteri • Tidak diselangi dengan perkataan lain Contoh sebuatan qabul(akan dilafazkan oleh calon suami) : "Aku terima nikah/perkahwinanku dengan Delia binti Munifdengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak Rp. 300.000 tunai" ATAU "Aku terima Delia binti Munif sebagai isteriku". c. Adanya Mahar . Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman: “Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Jenis mahar • Mahar misil : mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah berkahwin sebelumnya • Mahar muthamma : mahar yang dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya. d. Adanya Wali. Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu 4 kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” 1.Syarat wali • Islam, bukan kafir dan murtad • Lelaki dan bukannya perempuan • Baligh • Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan • Bukan dalam ihram haji atau umrah • Tidak fasik • Tidak cacat akal fikiran, terlalu tua dan sebagainya • Merdeka • Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya Jenis-jenis wali • Wali mujbir: Wali dari bapa sendiri atau datuk sebelah bapa (bapa kepada bapa) mempunyai kuasa mewalikan perkahwinan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya atau tidak(sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon isteri yang hendak dikahwinkan) • Wali aqrab: Wali terdekat mengikut susunan yang layak dan berhak menjadi Wali • Wali ab’ad: Wali yang jauh sedikit mengikut susunan yang layak menjadi wali, jika ketiadaan wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad ini akan berpindah kepada wali ab’ad lain seterusnya mengikut susuna tersebut jika tiada yang terdekat lagi. • Wali raja/hakim: Wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh pemerintah atau pihak berkuasa negeri kepada orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu e. Adanya Saksi-saksi. 1. Syarat-syarat saksi • Sekurang-kurangya dua orang • Islam • Berakal • Baligh • Lelaki • Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul • Boleh mendengar, melihat dan bercakap • Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil) • Merdeka Dasar Hukum Mahram Dasar hukum mahram disebutkan baik dalam Al qur’an maupun dalam hadits dan mereka semua (wanita yang haram dinikahi) disebutkan dengan jelas dan gamblang agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran. 1. Berdasarkan Al Qur’an Adapun dasar hukum mahram atau wanita yang haram dinikahi tertulis dalam Firman Allah SWT Qur’an Surat An Nisa ayat 23-24 yang bunyinya Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nisa’:23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dandihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(An-Nisa’:24) 2. Berdasarkan Hadits Pengertian mahram dan wanita yang haram dinikahi juga disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini Mahram karena nasab Abdullah ibn Yusuf menyampaikan kepada kami, Malik mengabarkan pada kami, dari Abi al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abi Hurairah ra: bahwasanya Rasulullah saw berkata: Janganlah kamu mengumpulkan (dalam pernikahan) perempuan dengan bibinya (dari pihak ayah) dan perempuan dengan bibinya (dari pihak ibu). Mahram karena sepersusuan “Yahya ibn Yahya menyampaikan kepada kami, ia berkata: aku membacakan kepada Malik, dari ‘Abdillah ibn Abi Bakr, dari ‘Amrah, bahwasanya ‘Aisyah mengabarkan, ketika Rasulullah saw bersamanya, dan ketika ia mendengar suara laki-laki meminta izin untuk memasuki rumah Hafsah, ‘Aisyah berkata: aku berkata: Ya Rasulallah, laki-laki itu meminta izin memasuki rumahmu, maka Rasulullah saw bersabda: aku lihat dia adalah si fulan paman sesusuan Hafsah- maka ‘Aisyah berkata: ya Rasulullah, seandainya fulan paman sesusuan ‘Aisyah masih hidup, bolehkan ia masuk ke rumahku? Rasulullah saw bersabda: ya, sesungguhnya susuan mengharamkan apa yang diharamkan olehhubungan kelahiran (darah). Mahram karena sedang dalam Ihram haji atau umrah “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, dia berkata: Kudapatkan dari Malik dari Nafi‟ dari Nubaih bin Wahab dari Umar bin Abdullah ketika Thalhah bin Umar ingin menikahi anak perempuan Syaibah bin Jabir, maka telah mengirimkan kabar kepada Aban bin Usman yang hadir ketika itu dan dia adalah pemimpin Jama‟ah Haji, Aban Berkata aku mendengar usman bin Affan berkata Rasulullah SAW. Bersabda orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, dinikahkan atau melamar ”(H.R. Muslim). Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut, garis besar hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari buku “Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad. Hak Bersama Suami Istri Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21) Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10) Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19) Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih) Adab Suami Kepada Istri . Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24) Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14) Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74) Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali) Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi) Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7) Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi) Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri) Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la) Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19) Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud). Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih) Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali) Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3) Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i) Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali) Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40) Adab Isteri Kepada Suami Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34) Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228) Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39) Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: Menyerahkan dirinya, Mentaati suami, Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali) Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih) Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim) Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi) Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi) Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi) Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani) Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani) Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34) Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri) Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih) Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31) PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARIAT ISLAM Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya. 1. Nikah Syighar Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي. “Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.” [1] Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ. “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2] Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.[3] 2. Nikah Tahlil Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai. Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu.” [5][6] 3. Nikah Mut’ah Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih. Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal! Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata, أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا. “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah).” [7] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari Kiamat.” [8] 4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ “Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-Baqarah : 235] 5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.[9] Berdasarkan firman Allah Ta’ala: وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ “Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221] 6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasab Atau Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa’ : 23] 7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan Ayat Di Atas. 8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan Bibinya, Baik Dari Pihak Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا. “Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak juga antara wanitadengan bibinya (dari pihak ibu).” [10] 9. Nikah Dengan Isteri Yang Telah Ditalak Tiga. Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230] Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, لاَ، حَتَّى تَذُوْقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقِى عُسَيْلَتَكِ. “Tidak, hingga engkau merasakan madunya (bersetubuh) dan ia merasakan madumu.”[11] 10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram. Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam: اَلْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ. “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.” [12] 11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-Nisaa’ : 24] 12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3] Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26] Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi. Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal.”[13] 13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa’ : 3] Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda, أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ. “Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya.” [14] Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. Talak – Hukum, Rukun dan Jenisnya إن إبليس يضع عرشه على الماء ثم يبعث سراياه فأدناهم منه منزلة أعظمهم فتنة يجئ أحدهم فيقول فعلت كذا وكذا فيقول ما صنعت شيئا قال ثم يجئ أحدهم فيقول ما تركته حتى فرقت بينه وبين امرأته قال فيدنيه منه ويقول نعم أنت Artinya: “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim) Di atas merupakan hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang sesungguhnya merupakan suatu peringatan tentang buruknya suatu perceraian. Mengapa? Karena perceraian itu adalah salah satu cita-cita terbesar dari iblis yang merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling laknat, dimana dengan adanya perceraian akan dapat menimbulkan berbagai dampak seperti terputusnya keturunan maupun terputusnya tali silaturahmi. Selain itu, perceraian juga dapat membuka jalan menuju perzinaan yang dapat menimbulkan kerusakan dan mendatangkan dosa yang begitu besar. Oleh karena itu, sebelum menikah akan lebih baik jika memilih calon pendamping hidup sesuai dengan syari’at agama, agar nantinya hal-hal yang dilarang agama tidak terjadi, seperti perceraian. Terlebih dengan cara yang Allah ridoi, seperti ta’aruf. (baca juga: zina dalam islam) Perceraian atau dalam islam dikenal dengan talak yang dapat diartikan sebagai terlepasnya ikatan sebuah perkawinan atau juga bisa diartikan terputusnya hubungan perkawinan antar suami dan istri dalam jangka waktu tertentu atau untuk selama-lamanya. Mengapa dikatakan dalam jangka waktu tertentu? Karena dalam islam diperbolehkan adanya rujuk, dengan beberapa catatan seperti firman Allah SWT berikut ini : الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229) Allah SWT juga berfirman : فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا Artinya:  “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At- Talaq ayat 2) Kapankan perceraian atau talak itu dapat dilakukan? Islam telah mengajarkan bahwasannya talak atau cerai tidak bisa dilakukan kapan saja. Al- Qur’an dan As- Sunnah telah mengajarkan bahwa talak hendaknya dilakukan secara pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya : Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya pada saat istrinya sedang dalam masa haid, nifas, atau saat istrinya dalam keadaan suci akan tetapi ia menggaulinya. Jika suami melakukan hal tersebut maka dianggap telah melakukan talak yang bid’ah dan diharamkan. Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima).” Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar, karena apabila suami mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar seperti ketika sedang marah, sehingga karena amarah tersebut dapat menutupi kesadarannya hingga ia bicaa yang tidak diinginkan, maka talak yang ia lakukan adalah tidak sah. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda : لا طلاق ولا عتاق في إغلاق Artinya “Tidak ada talak dan tidak dianggap kalimat membebaskan budak, ketika ighlaq.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim) Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya bermaksud untuk benar-benar mencerai atau berpisah dengan istrinya tersebut, jangan sampai talak yang diucapkan hanya sekedar menakut-nakuti atau menjadikan talak itu sebagai sumpah. Hal tersebut tidak dibenarkan dalam islam. Ibnu Abbas pernah berkata: “Sesungguhnya talak itu harena diperlukan.” Hukum Talak Pada dasarnya perceraian atau talak adalah sesuatu hal yang harus dihindari dalam sebuah perkawinan. Mengapa? Karena selain merupakan perbuatan yang amat disenangi oleh iblis, talak juga nantinya dapat berakibat buruk bagi kehidupan, baik itu bagi pasanagan suami istri yang memutuskan untuk bercerai, bagi keturunan atau anak-anak mereka, juga bagi anggota keluarga lainnya. Kita banyak melihat dampak-dampak dari fenomena tersebut, dimana banyak anak-anak yang terlantar akibat kurangnya pendidikan dan kasih sayang dari orang tuanya. Dan hal itu tentu saja menjadi peluang bagi iblis untuk menjadikan anak-anak tersebut sebagai bala tentaranya. Jadi sebelum memutuskan untuk bercerai, ada baiknya jika pasangan suami istri lebih memikirkan bagaimana masa depan anak-anak mereka nantinya, jangan sampai keinginan iblis untuk menjadikan mereka sebagai pendukungnya menjadi terkabul. Adapun hukum dari talak atau cerai ada bermacam-macam, yaitu : Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila : Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak suami maupun istri untuk perdamaian rumah tangga yang hendak bercerai Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa perceraian/ talak adalah jalan yang terbaik. Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak diceraikan, maka suami akan berdosa. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya apabila : Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam masa haid atau nifas Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam keadaan suci yang telah disetubuhi Seorang suami yang dalam keadaan sakit lalu ia menceraikan istrinya dengan tujuan agar sang istri tidak menuntut harta Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, atau juga bisa dengan mengucapkan talak sat akan tetapi pengucapannya dilakukan secara berulang-ulang sehingga mencapai tiga kali atau bahkan lebih. 3. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila : Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya 4. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, memiliki akhlak yang mulia, serta memiliki pengetahuan agama yang baik. 5. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah hukumnya apabila suami memiliki keinginan/ nafsu yang lemah atau juga bisa dikarenakan sang istri belum datang haid atau telah habis masa haidnya. Rukun Perceraian/ Talak Bagi Suami ; Suami yang hendak menceraikan istrinya haruslah : Berakal sehat Baligh Bercerai atas kemauan sendiri atau tanpa adanya paksaan dari pihak lain 2. Bagi Istri ; Seorang istri yang bisa diceraikan haruslah : Memiliki akad nikah yang sah dengan suami Suami belum pernah menceraikannya dengan mengucapkan talak tiga 3. Lafadz Talak ; Talak dianggap sah apabila dalam lafadznya : Terdapat kejelasan ucapan yang menyatakan perceraian Disengaja atau tanpa adanya paksaan dari pihak manapun atas pengucapan talak tersebut. Jenis – Jenis Talak Talak dibagi dalam beberapa jenis, yaitu : A. Dilihat dari sighat (ucapan/ lafadz) talak Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : Talak Sharih (Talak langsung) Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya dengan lafadz atau ucapan yang jelas dan terang. Meskipun talak ini diucapkan tanpa adanya niat ataupun saksi, akan tetapi sang suami tetap dianggap menjatuhkan talak/ cerai. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah : واتفقوا على أن الصريح يقع به الطلاق بغير نية Artinya “Para ulama sepakat bahwa talak dengan lafadz sharih (tegas) statusnya sah, tanpa melihat niat (pelaku).” Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih : Aku menceraikanmu Engkau aku ceraikan Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya. 2. Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung) Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya dengan menggunakan kata-kata yang di dalamnya mengandung makna perceraian akan tetapi tidak secara langsung. Seorang suami yang apabila menjatuhkan talak dengan lafadz talak kinayah sementara tidak ada niat untuk menceraikan istrinya, maka talak tersebut dianggap tidak jatuh. Akan tetapi apabila sang suami mempunyai niat untuk menceraikan istrinya ketika mengucapkan kalimat-kalimat talak tersebut, maka talak dianggap jatuh. Contoh Lafadz talak kinayah : “Pulanglah engkau pada orang tuamu karena aku tidak lagi menghendakimu” “Pergi saja engkau dari sini kemanapun engkau suka” “Tidak ada hubungan apapun lagi di antara kita,” dan lain sebagainya. B. Dilihat dari pelaku perceraian Jika ditinjau dari segi tersebut, cerai atau talak terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : Cerai Talak oleh Suami Ini merupakan jenis perceraian atau talak yang paling umum terjadi, dimana seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya. Begitu seorang suami mengucapkan lafadz talak kepada sang istri, maka talak atau cerai tersebut telah dianggap jatuh atau terjadi. Jadi status perceraiannya terjadi tanpa harus menunggu keputusan dari pengadilan agama. Dengan kata lain, keputusan dari Pengadilan Agama hanyalah sebagai formalitas saja. Talak jenis ini dibedakan menjadi 5 jenis, yaitu : Talak Raj’i Yaitu suatu proses perceraian dimana suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Akan tetapi sang suami bisa melakukan rujuk dengan istrinya ketika sang istri masih dalam masa iddah, dan ketika masa iddah telah habis atau lewat, rujuk yang dilakukan oleh suami tidak dibenarkan kecuali harus dengan akad nikah yang baru. Allah SWT berfirman : الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al- Baqarah ayat 229) ‘Iddah dan Macam-macamnya BAB III PENUTUP Kesimpulan Nikah menjadi wajib atas orang yang sudah mampu dan ia khawatir terjerumus pada perbuatan zina. Sebab zina haram hukumnya, demikian pula hal yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan serta hal-hal yang menjadi pendahulu perzinaan (misalnya; pacaran, pent.). Maka, barangsiapa yang merasa mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perbuatan zina ini, maka ia wajib sekuat mungkin mengendalikan nafsunya. Manakala ia tidak mampu mengendalikan nafsunya, kecuali dengan jalan nikah, maka ia wajib melaksanakannya. Barangsiapa yang belum mampu menikah, namun ia ingin sekali melangsungkan akad nikah, maka ia harus rajin mengerjakan puasa, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Mas'ud bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada kami, "Wahai para muda barangsiapa yang telah mampu menikah di antara kalian, maka menikahlah, karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan: dan barangsiapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa; karena sesungguhnya puasa sebagai tameng." Kini jelas sudah mengapa kita sebagai seorang muslim dan muslimah dianjurkan untuk menikah oleh Allah SWT. Untuk itu bagi yang sudah merasa berkewajiban untuk menikah, janganlah merasa bingung dengan beban yang akan ditanggung setelah menikah nanti karena seperti yang telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwasannya Allah akan memudahkan segala kesulitan hambaNya dan memberi kenikmatan arau rahmat yang lebih kepada hambaNya dengan jalan pernikahan. Saran Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, namun kami berharap para pembaca sekalian bisa mengambil manfaat dari makalah ini. Dan untuk menyempurnakan makalah ini kami sangat mengharapkan koreksi yang bersifat membangun. Daftar pustaka http://baetysk.blogspot.com/2011/05/bab-i-pendahuluan.html http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam http://gudangilmudanpeluangsukses.blogspot.com/2012/03/makalah-tentang-pernikahan.html 2