Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

TUGAS KULIAH

TUGAS KULIAH EKOLOGI LAHAN PASCA TAMBANG SEMESTER 7/TAHUN AJARAN 2020 Dosen Penggampu : Dr. Eddy Nurtjahya, M.Sc. PERTEMUAN 2 KELOMPOK 2 Miranty Esterida (2031711015) Seta Ardiawati (2031711009) Sindy Ayu Kirana (2031711018) Windiarti Pujinisa (2031711024) JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS PERTANIAN PERIKANAN DAN BIOLOGI UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG Komunitas, Populasi, dan Individu Senin, 7 September 2020 Tujuan Pertemuan : Untuk memahami konsep biotik, analisis komunitas, keanekaragaman jenis, dan pola komunitas dalam pembelajaran ekologi lahan pasca tambang. Materi Pertemuan dan Pengayaan Materi Konsep Biotik Lingkungan bekas tambang telah banyak menimbulkan perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan tofografi lahan. Lebih lanjut lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Bentuk permukanwilayah bekas tambang pada umumnya I teratur dan sebagian besar dapat bupa morfologi terjal. Lingkungan marjinal atau Sub-optimal Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2003). Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya. Tanah marginal atau “suboptimal” merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburan tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Namun, Krantz (1958) mengemukakan bahwa penilaian produktivitas suatu lahan bukan hanya berdasarkan kesuburan alami (natural fertility), tetapi juga respons tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan yang diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan kondisi kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam beberapa decade terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan pada kesuburan alami (natural fertility). Dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada awal tahun 1960-an yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak tahun 1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah, yaitu berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability) dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan karakteristik lahannya (potential suitability). Tanah marginal lahan kering di Kalimantan terbentuk dari batuan sedimen masam, yang dicirikan oleh cadangan hara yang tergolong sangat rendah. Batuan sedimen masam adalah batuan permukaan (eksogen) yang menempati volume 5% kerak bumi (daratan dan lautan). Batuan ini menjadi penting karena menutup hingga 75% permukaan bumi (Faucult dan Raqult 1984). Sifat batuan sedimen masam bervariasi karena pembentukannya bergantung pada sifat alami bahan pembentuknya, proses atau model pengendapan, dan kondisi lingkungan daerah pengendapan. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, penyebaran tanah dari batuan sedimen masam di Indonesia mencapai 40,10% atau 75,48 juta ha (Puslittanak 2000). Di Kalimantan, diperkirakan penyebaran tanah ini mencapai luas 30,15 juta ha atau 57,22% dari luas pulau, dengan jenis tanah utama terdiri atas Ultisols, sedikit Inceptisols, dan Oxisols (Subagyo et al. 2000). Tanah ini sebagian besar digunakan untuk tanaman perkebunan, antara lain karet, kelapa sawit, lada, kopi, dan hutan tanaman industri. Berdasarkan data BPS (2004), luas lahan perkebunan di Kalimantan mencapai 4,83 juta ha, sehingga perluasan areal pertanian pada tanah ini masih mungkin dilakukan.Tulisan ini membahas tanah marginal lahan kering dari batuan sedimen masam di Kalimantan, yang meliputi penyebaran, karakteristik tanah, dan potensinya untuk pertanian. Wilayah Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia dan Brunei Darussalam, sebagian besar merupakan lahan marginal yang perlu segera dimanfaatkan dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan. Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif. Meskipun dikelola, produktivitas lahan kritis sangat rendah. Bahkan, dapat terjadi jumlah produksi yang diterima jauh lebih sedikit daripada biaya pengelolaannya. Lahanini bersifat tandus, gundul, tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, karena tingkat kesuburannya sangat rendah. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis di suatu wilayah, antara lain sebagai berikut: Kekeringan, biasanya terjadi di daerah-daerah bayangan hujan. Genangan air yang terus-menerus, seperti di daerah pantai yang selalu tertutup rawa-rawa. Erosi tanah dan masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah yang miring. Masswasting adalah gerakan masa tanah menuruni lereng dan lainnya. Jika lahan kritis dibiarkan dan tidak ada perlakuan perbaikan, maka keadaan itu akan membahayakan kehidupan manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Maka dari itu, lahan kritis harus segera diperbaiki. Untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan oleh adanya lahan kritis tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan, yaitu melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan-lahan kritis di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengelola lahan kritis sehingga dapat menjadi lahan yang produktif, antara lain:Lahan tanah dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pertanian, perkebunan, peternakan, dan usaha lainnya. Perubahan lingkungan abiotik di mana manusia tumbuh dan berkembang berdampingan dengan alam, secara kompleks manusia membutuhkan bantuan alam dalam banyak hal. Manusia sudah sepatutnya menjaga keseimbangan dan pelestarian alam karena manusia sangat membutuhkan peran dari alam itu sendiri. Terdapat gejala alam secara biotik dan abiotik yang berkaitan satu sama lain. Biotik adalah suatu komponen lingkungan yang terdiri atas makhluk-makhluk hidup. Sedangkan abiotik adalah komponen lingkungan yang terdiri atas benda-benda mati, namun memberikan pengaruh dan manfaat dalam kehidupan manusi maupun makhluk hidup lainnya. Contoh komponen abiotik adalah air, udara, tanah, dan sinar matahari. Lingkungan edafik Tidak semua wilayah di muka bumi dapat dihuni oleh makhluk hidup. Berdasarkan penelitian diperkirakan hanya sekitar 1/550 bagian saja dari muka bumi yang berpotensi sebagai lingkungan hidup. Hal ini berarti, kehidupan flora dan fauna di suatu wilayah sangat terkait dengan kondisi lingkungannya. Itulah yang menyebabkan persebaran flora dan fauna secara tidak merata di permukaan bumi. Keberadaan fenomena biosfer merupakan fungsi dari kondisi lingkungan di sekitarnya. Karena kondisi iklim dan tanah di permukaan bumi sangat beragam, maka beragam pula persebaran flora dan fauna. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan flora dan fauna di muka bumi lain adalah faktor klimatik (iklim), edafik (tanah), dan biotic (makhluk hidup). Faktor-faktor edafik adalah faktor-faktor yang bergantung pada keadaan tanah, kandungan air dan udara di dalamnya. Perbedaan-perbedaan pada tanah sering merupakan penyebab utama terjadinya perubahan vegetasi dalam daerah iklim yang sama. Oleh sebab itu, faktor edafik mempunyai arti yang sangat besar bagi geografi tumbuhan. Tanah dapat dianggap sebagai bahan lapisan permukaan kerak bumi yang tidak terkonsolidasi, yang terdapat di bawah setiap vegetasi di dalam udara dan serasah yang belum membusuk, dan meluas ke bawah sampai batas yang masih berpengaruh terhadap tumbuhan yang hidup di atas permukaannya. Perkembangan tanah dalam perkembangan vegetasi sangat erat hubungannya satu sama lain, yang keduanya terutama dikendalikan oleh iklim. Kondisi tanah atau edafik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persebaran makhluk hidup terutama tumbuhan. Tanah merupakan media tumbuh dan berkembangnya tanaman. Tingkat kesuburan tanah merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap persebaran tumbuhan. Adapun yang menjadi parameter kesuburan tanah antara lain kandungan humus atau bahan organik, unsur dan teksur tanah, serta ketersediaan air dalam pori-pori tanah. Ini berarti semakin subur tanah maka kehidupan tumbuhan akan semakin banyak jumlah dan keanekaragamannya. Tanah-tanah yang subur, seperti tanah vulkanis dan andosol merupakan media optimal bagi pertumbuhan tanaman. Tanah banyak mengandung unsur-unsur kimia yang diperlukan bagi pertumbuhan flora di dunia. Kadar kimiawi berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Keadaan struktur tanah berpengaruh terhadap sirkulasi udara di dalam tanah sehingga memungkinkan akar tanaman dapat bernafas dengan baik. Keadaan tekstur tanah berpengaruh pada daya serap tanah terhadap air. Suhu tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan akar serta kondisi air di dalam tanah. Komposisi tanah umumnya terdiri dari bahan mineral anorganik (70%-90%), bahan organik (1%-15%), udara dan air (0-9%). Hal-hal di atas menunjukkan betapa pentingnya faktor tanah bagi pertumbuhan tanaman. Perbedaan jenis tanah menyebabkan perbedaan jenis dan keanekaragaman tumbuhan yang dapat hidup di suatu wilayah. Faktor edafik atau faktor tanah sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan kebutuhan utama yang menjamin kehidupan tumbuhan berasal dari tanah, seperti unsur hara, air, dan udara. Oleh sebab itu, tingkat kesuburan tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Parameter kesuburan tanah adalah sebagai berikut: Tekstur Tanah (ukuran butiran tanah) Tekstur tanah adalah perbandingan relatif berbagai partikel tanah dalam suatu massa tanah terutama perbandingan antara pasir, debu dan lempung. Tekstur tanah sangat penting dalam kaitannya dengan kapasitas menampung air dan udara tanah. Tanah dengan proporsi partikel –partikel yang lebih besar dapat mempunyai tata air yang baik. Tanah yang halus biasanya memiliki potidak tersebar merata. Selain itu alirannya juga sangat lambat sehingga tidak menguntungkan bagi tumbuh-tumbuhan. Tanah-tanah yang butirannya terlalu kasar, seperti kerikil dan pasir kasar, atau yang butirannya terlalu halus, seperti lempung kurang sesuai bagi pertumbuhan vegetasi. Tanah yang baik bagi media pertumbuhan vegetasi adalah tanah dengan komposisi perbandingan butiran pasir, debu, dan lempungnya seimbang. Pasir adalah jenis butiran tanah yang kasar, debu butirannya agak halus, sedangkan lempung merupakan butiran tanah yang sangat halus. Tingkat Kegemburan Tanah Tanah-tanah yang gembur jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tanah-tanah yang padat. Tanah yang gembur memudahkan akar tumbuhan untuk menembus tanah dan menyerap mineral-mineral yang terkandung dalam tanah. Oleh karena itu, para petani sering membajak tanahnya dengan tujuan agar tanah tetap gembur dan tingkat kesuburan nya dapat tetap terjaga. Mineral Organik Humus merupakan salah satu mineral organik yang berasal dari jasad renik makhluk hidup yang dapat terurai menjadi tanah yang subur dan sangat diperlukan bagi pertumbuhan suatu vegetasi. Mineral Anorganik (unsur hara) Mineral anorganik adalah mineral yang berasal dari hasil pelapukan batuan yang terurai dan terkandung di dalam tanah yang dibutuhkan tumbuhan, seperti Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O2), Nitrogen (N), Belerang (S), Posfor (P), dan Kalsium (K). Kandungan Air Tanah Air yang terdapat di dalam tanah terutama air tanah permukaan dan air tanah dangkal merupakan salah satu unsur pokok bagi per tumbuhan dan perkembangan vegetasi. Air sangat membantu dalam melarutkan dan mengangkut mineral-mineral yang terkandung dalam tanah sehingga mudah diserap oleh sistem perakaran pada tumbuhan. Kandungan Udara Tanah Kandungan udara di dalam tanah antara tanah di lahan tertentu Dengan lahan lainnya berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena adanya tingkat kegemburan tanah yang berbeda-beda. Semakin tinggi tingkat kegemburan suatu tanah, semakin besar kandungan udara di dalam tanah. Kandungan udara di dalam tanah diperlukan tum buhan dalam respirasi melalui sistem perakaran pada tumbuhan. Mikroklimat Kondisi yang berpengaruh atau berhubungan langsung dengan kehidupan ternak disebut mikroklimat. Komponen mikroklimat tersebut antara lain temperatur udara, kelembaban udara, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Temperatur udara Di Indonesia yang beriklim tropis, temperatur di dataran rendah, di musim kemarau dapat mencapai 33 – 34°C. Temperatur ideal bagi unggas adalah 20 -25°C, temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan stres dan kelembaban yang tinggi dapat memperburuk efek dari stres. Dalam kisaran suhu optimal (comfort) penggunaan ransum oleh ternak sangat efisien karena ternak tidak perlu mengeluarkan energi yang diperoleh dari ransum untuk mengatasi keadaan lingkungan, di lain pihak, pada suhu yang tinggi ternak akan mengkonsumsi ransum yang lebih sedikit dibandingkan dengan/pada suhu rendah. Suhu lingkungan meningkat akan mengakibatkan kebutuhan energi berubah dan menyebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan ayam. Kelembaban Udara Kelembaban di Indonesia berkisar antara 60%-90%. yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh ayam. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dan aktjfitas metabolisme basal pada kondisi kelembaban yang tinggi. Meningkatnya laju metabolisme basal disebabkan karena bertambahnya penggunaan energy akibat bertambahnya frekuensi pemafasan, keija jantung serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Sehingga akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi. Pada suhu lingkungan di atas thermoneutral, produksi panas meningkat karena ayam dapat mengontrol hilangnya panas dengan menguapkan air dan poni-pori keringat, akhirnya cara yang dilakukan ialah melalui respirasi yang cepat, dengan melakukan panting. Panting dapat digunakan sebagai alat mengontrol hilangnya panas untuk waktu terbatas, seandainya suhu lingkungan tidak turun atau panas tubuh yang berlebihan tidak dibuang, maka ayam akan mati karena hyperthermy (kelebihan suhu). lingkungan yang nyaman bagi ayam adalah dengan kelembapan udara 50-70%. Intensitas Cahaya Pencahayaan terdiri dari tiga aspek yaitu : intensitas, durasi dan panjang gelombang. Intensitas cahaya, warna dan aturan photoperiod (waktu penyinaran) mempengaruhi aktivitas fisik unggas. Peningkatan aktivitas fisik dapat menstimulir perkembangan tulang, sehingga memperbaiki kesehatan kaki. cahaya melalui retina mata akan diteruskan melalui saraf mata menuju hipotalamus anterior, kemudian merespon dengan melepaskan substansi yang menstimulir kelenjar hipofise untuk memproduksi hormon gonadotropin. Hormon ini akan bersama aliran darah merangsang ovarium serta organ reproduksi lain, di samping itu juga akan membantu proses pematangan folikel telur di gonad, perkembangan bulu dan jengger pada ayam petelur. Cahaya juga akan menggertak kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon pertumbuhan untuk mengatur proses metabolisme. Cahaya gelap akan menggertak dilepaskannya hormon androgen. Hormon androgen ikut serta dalam proses pembentukan tulang selama periode gelap ternyata level hormon kortikosteroid menjadi rendah. Level hormon kortikosteroid berbanding lurus dengan level stres. Unggas adalah hewan yang mudah stres, pemberian cahaya gelap akan menghambat pelepasan hormon kortikosteroid dan memberikan kesempatan labih banyak pada unggas untuk beristirahat, sehingga stres dapat berkurang. Efek cahaya setelah diterima hipotalamus juga akan mensekresikan STH-RH (somatotropik releasing hormon) dan dan TRH (tirotropik releasing hormon). Releasing itu akan merangsang glandula pituitary anterior untuk mensekresikan STH dan TSH, TSH akan menstimulir kelenjar tiroid untuk melepaskan tiroksin. Somatotropik hormon dan tiroksin akan menstimulir tubuh meningkatkan aktivitas hormon pertumbuhan dari kelenjar pituitary anterior dan 13 tiroksin dari kelenjar tiroid bekerja secara simultan dalam kontrol terhadap pertumbuhan ternak menjelang pubertas. Somatotropik hormon dalam tubuh berfungsi memacu aktifitas metabolisme, meningkatkan cadangan nitrogen, meningkatkan penyediaan energi dan merangsang pembentukan somatotropik hormon. Peningkatan kedua hormon tersebut akan menaikkan konsumsi ransum, sehingga pertumbuhan akan lebih cepat, peningkatan kedua hormon tersebut pada ternak menjelang pubertas dapat mempertinggi nafsu makan, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkatkan laju metabolisme basal sehingga meningkatkan laju pertumbuhan. Cahaya secara tidak langsung akan meningkatkan konsumsi ransum dan dapat disamakan sebagai metode pemberian ransum. Kecepatan angin Kepadatan ternak berpengaruh langsung pada kecepatan angin dalam kandang tersebut. Semakin padat kondisi dalam kandang maka akan semakin rendah kecepatan angin yang dapat menyebabkan meningkatnya suhu lingkungan hingga terjadi cekaman panas. Alas kandang secara umum akan memberikan kondisi mikroklimat yang sejalan dengan lebih lancarnya sirkulasi udara yang berbanding lurus dengan ukuran lebar bilah alas. Semakin lebar ukuran alas maka akan semakin tinggi hambatan permukaan, sehingga laju kecepatan angin di dalam kandang akan lebih terhambat Kecepatan angin dalam kandang dapat disiasati dengan pemasangan blower dalam kandang sehingga dalam suhu yang tinggi pun ternak tidak akan terkena cekaman panas. Pengayaan STUDI PEMILIHAN TANAMAN REVEGETASI UNTUK KEBERHASILAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG Kontribusi sektor pertambangan terhadap kerusakan hutan di Indonesia mencapai 10% dan kini melaju mencapai 2 juta ha tiap tahun. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dilakukan reklamasi lahan bekas tambang. Salah satu penentu keberhasilan reklamasi adalah dengan pemilihan tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan. Dalam hal ini untuk kegiatan revegetasi perlu memperhatikan antara jenis tanaman yang dipilih dan syarat tumbuh tanaman dengan kondisi lahan, agar kriteria keberhasilan reklamasi dapat tercapai. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis dan memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Teknik pengambilan data menggunakan metode analisis komparatif dengan membandingkan berbagai jurnal maupun literature lain. Kriteria pemilihan jenis pohon untuk lahan bekas tambang dapat dilihat dari: (1) Jenis lokal pioner, (2) Cepat tumbuh tetapi tidak memerlukan biaya yang tinggi, (3) Menghasilkan serasah yang banyak dan mudah terdekomposisi, (4) Sistim perakaran yang baik dan mampu bersimbiosis atau berhubungan timbal balik dengan mikroba tertentu, (5) Merangsang datangnya vector pembawa biji, (6) Mudah dan murah dalam perbanyakan, penanaman dan pemeliharaan. Keberhasilan revegetasi bergantung pada beberapa hal seperti : persiapan penanaman, pemeliharaan tanaman serta pemantauan tanaman. Analisis Komunitas Indeks Nilai Penting Menurut Mukrimin (2011), Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan, sehingga untuk menghitung komposisi jenis pada studi area dapat menggunakan indeks nilai penting (Wiryono, 2009) dimana, yaitu : INP = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + Dominansi relatif. Nilai INP akan di analisis secara deskriptif kuantitatif. Indeks Nilai Penting (INP) (Soerianegara dan Indrawan, 1988): Untuk tingkat pohon digunakan rumus: INP = KR + FR + DR (1) Untuk tingkat pancang dan semai (rumput) digunakan rumus: INP = KR + FR (2) Ukuran indeks nilai penting (INP) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: INP = Indeks nilai penting K = Kerapatan suatu jenis KR = Kerapatan relatif F = Frekuensi suatu jenis FR = Frekuensi relatif D = Dominasi suatu jenis DR = Dominasi relative 2. Indeks Keragaman Jenis Keragaman jenis dihitung menurut rumus Indeks Shannon-Wiener: Keterangan (Remarks): H’ = Indeks keragaman jenis (indeks Shannon - Wiener) (Shannon -Wiener diveristy Index) ρί = kelimpahan relatif dari jenis ke-i (relative abundance of the ith species (ni/N) ni = jumlah individu jenis ke-i (number of individual of the i-th species) N = jumlah total individu jenis (total number of individual of a species) ln = logaritma natural (natural logarithms) Besarnya nilai keanekaragaman jenis Shannon didefinisikan sebagai berikut: 1) H′ > 3 = keanekaragaman jenis tinggi pada suatu kawasan; 2) 1 ≤ H′ ≤ 3 = keanekaragaman jenis sedang; 3) H′ < 1 = keanekaragaman jenis rendah (Abdiyani, 2008). Indeks dominasi dan ideks kesamaan dihitung dengan persamaan mengacu pada Odum (1971). Kesamaan Komunitas Salah satu unsur untuk menentukan tipe flora adalah melakukan perbandingan setiap dua tegakan atau komunitas pada petak yang berbeda. Cara mendapatkan nilai perbandingan yang terbaik dengan menggunakan koefisien kesamaan komunitas (Soerianegara dan Indrawan 1988). Tabel 5 menunjukkan bilai indeks kesamaan komunitas pada berbagai plot umur dan tingkat pertumbuhan flora. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai indeks kesamaan komunitas (IS) pada penelitian ini berkisar antara 0 – 50%. Nilai indeks kesamaan komunitas yang kecil (< 50%) menunjukkan bahwa jenis-jenis yang menghuni satu plot dengan plot yang lain memiliki jenis yang berbeda. Pada tingkat pohon misalnya nilai IS sebesar 40% terjadi bila membandingkan tegakan tingkat pohon pada plot umur 20 tahun dan umur 10 tahun. Hal ini terjadi karena pada kedua petak mempunyai tegakan pohon yang sama yaitu A. auriculiformis. Pada tingkat pohon nilai IS sebesar 0, bila membandingkan antara plot umur 1 tahun dengan plot umur lainnya. Hal ini disebabkan tidak ada tegakan pohon yang ditemukan pada plot umur 1 tahun. Bahkan pada tegakan tingkat tiang menunjukkan indeks kesamaan komunitas sebesar 0 pada semua plot umur yang dibandingkan. Hal ini menunjukkan tidak ada jenis flora yang sama di antara plot yang dibandingkan. Tegakan tingkat pancang semua nilai indeks kesamaan komunitas pada setiap plot yang dibandingkan berkisar antara 0-50,0 %. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tingkat pancang keberadaan jenis flora pada semua plot umur yang dibandingkan berlainan. Pada tingkat pancang bias dilihat bahwa indeks kesamaan komunitas (IS) antara plot umur 1 tahun dengan plot umur lainnya bernilai 0. Hal ini disebabkan pada plot umur 1 tahun hanya terdapat 1 jenis flora yaitu P. falcataria dan jenis ini tidak ditemukan pada plot umur lainnya. Pada tingkat semai dan semak/liana indeks kesamaan komunitas masing-masing berkisar antara 20,0-50,0 dan 0,8-54,0. Pada tingkat semai dan semak/liana keberadaan jenis semai dan semak/liana antara plot umur yang dibandingkan menunjukkan kurang dari separuh jenis pada kedua plot sama, kecuali pada plot umur 20 tahun dan umur 15 tahun masing-masing sebesar 0,5 dan 0,54 yang berarti sebesar 50 % dan 54 % jenis flora pada kedua petak adalah sama. Keanekaragaman Jenis Keanekaragam Jenis Tumbuhan di Lahan Pasca Tambang Lahan pasca penambangan umumnya mempunyai sifat fisik dan kimia yang kurang baik sebagai media tumbuh untuk tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Sitorus et al.,(2008)menunjukkan penambangan timah secara umum menurunkan kualitas tanah dan jumlah jenis vegetasi alami.Selain itu,kegiatan penambangan timah telah merusak lahan subur menjadi lahan yang sangat kritis sehingga merusak ekosistem di dalamnya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan lahan tersebut menjadi lahan produktif adalah melalui reklamasi atau revegetasi. Untuk meningkatkan keberhasilan program tersebut salah satunya dilakukan dengan penggunaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Penelitian Suryati (2017) menunjukkan bahwa analisis jumlah spora FMA dari 23 sampel tanah di area rizosfir tumbuhan lahan pasca tambang timah ditemukan 3 genus FMA, yakni Glomus sp., Gigaspora sp., dan Acaulospora sp. Penelitian lainnya mengenai lahan pasca tambang, berkaitan dengan vegetasi di lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah yang memiliki luas lahan mencapai ribuan hektar. Sebagian besar lahan tidak produktif, karena didominasi tanah berpasir, miskin hara, kemasaman tanah rata-rata pH 5, dan sebagian lahan mengandung merkuri rata-rata 2,4∼ 4,17 ppm. Jumlah vegetasi sangat sedikit, hanya ada 8 jenis yang dapat tumbuh pasca penambangan emas, yang terdiri dari jenis Melastoma sp., Cyperus sp (3 jenis), Allium sp., Gleichinia sp., Nephentes sp., dan Lycopodium sp. Metode reklamasi terpadu telah memperbaiki kondisi tanah lahan pasca tambang emas, dari aspek fisik berupa: perubahan komposisi tekstur tanah menjadi 93% pasir, 5% debu, dan 2,5% liat, peningkatan unsur hara tanah sebesar rata-rata 188% atau hampir 2 kali lipat kontrol, terjadi penurunan Hg, sebesar hampir dua kali lipat, hingga ratarata 1,79 ppm, dan terjadi peningkatan kesuburan tanaman sebesar 5 kali lipat dibandingkan kontrol. Formula reklamasi terpadu yang memberikan hasil terbaik pada aspek fisik, kimiawi, dan biologis tanah pada lahan pasca penambangan emas di Kalimantan Tengah, adalah: perpaduan perlakuan 1) bioremediasi, 2) bokashi, 3) seresah, dan 4) Colopogonium sp. (Neneng et al., 2012). Berdasarkan penelitian Setiawan et al.,(2018), tumbuhan bawah yang tumbuh secara alami di lahan pasca tambang batubara akan membantu dalam proses memulihkan lahan hutan yang terganggu. Hasil inventarisasi diluar lahan revegetasi dijumpai 71 jenis tumbuhan bawah, sedangkan di lahan revegetasi dijumpai 43 jenis tumbuhan bawah. Di lahan revegetasi terdapat 4 jenis tumbuhan pionir yaitu Homalanthus populneus (Geiseler) Pax.,Macaranga gigantea (Rchb.f. & Zoll.) Muell.Arg.,Macaranga tanarius (L.) Muell.Arg., dan Trema orientalis L. (Blume). Lahan pasca tambang batubara merupakan lahan yang mengalami gangguan berat, serta merupakan komunitas yang terkendali oleh manusia, sehingga memiliki keragaman jenis yang rendah. Pola Komunitas Struktur yang diakibatkan oleh penyebaran organisme didalam dan interaksinya dengan lingkungannya disebut dengan pola. Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Beberapa macam pola diversitas dalam komunitas a. pola stratifikasi (Lapisan tegak/vertikal) Komunitas tumbuhan di hutan herba, semak dan pohon bawah tajuk Komunitas ikan di danau, laut yang terikat dengan temperatur, kandungan oksigen atau pencahayaan b. Pola Zonasi (pemisahan horizontal) Komunitas spesies yang hidup dilaut intertidal (pasang surut), litoral (permukaan terbuka) dan abysal (laut dalam) c. Pola aktivitas (Periodisitas) Pada komunitas zooplankton di danau dan laut. Zooplankton migrasi pada malam hari ke permukaan air untuk mencari mangsa Organisme yang bersifat nocturnal (lebih aktif di malam hari) dan organisme crepuscula (aktif pada senja hari) d. Pola Jala makan (food web) e. Pola Reproduksi Komunitas burung yang migrasi mencari tempat untuk bertelur komunitas ikan migrasi ke daerah estuari untuk memijah d. Pola Sosial (Kelompok dan kawanan) Komunitas monyet yang berkelompok untuk mempertahankan daerah teritorialnya f. Pola Ko-aktif (Hasil kompetisi, antibiosis dan lain-lain) Komunitas yang hidup bersama secara mutualisme, persaingan atau dengan interaksi lain. h. Pola stochastic Komunitas yang dibentuk sebagai hasil dari tekanan lingkungan yang sifatnya random atau acak. Konsep pengamatan pola komunitas terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan dalam mengamati pola komunitas. Pertma, konsep gradasi komunitas (community gradient) yaitu konsep yang dinyatakan dalam bentuk populasi. Kedua, konsep gradasi lingkungan (enviromental gradient) yang menyangkut sejumlah faktor lingkungan yang berubah secara bersama-sama dan Konsep gradasi elevasi (elevation gradient) termasuk faktor-faktor penurunan suhu rata-rata, pertambahan curah hujan, pertambahan kecepatan angin dan sebagainya. Faktor-faktor ini secara menyeluruh mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan dan sangat sulit menentukan faktor mana sebenarnya yang paling penting dalam sebuah populasi tanpa eksperimen kelompok faktor lingkungan berubah secara bersama-sama. Sepanjang perubahan tersebut terjadi pula perubahan komunitas dan tentunya populasi dalam komunitas ini dipengaruhi pula. Kedua hal tersebut dinamakan kompleks gradasi (complex gradation). Ketiga, konsep gradasi ekosistem (ecocline) yang dalam hal ini kompleks gradasi dan gradasi komunitas membentuk suatu kesatuan dan membentuk gradasi komunitas dan lingkungan. Berdasarkan penelitian Soegiharto dkk (2017) total spesies burung yang ditemukan pada 11 tipe habitat yang diamati adalah sebanyak 38 spesies (Tabel 1) dengan persentase kehadiran di masing-masing habitat bervariasi. Spesies burung terbanyak ditemukan di habitat kebun sawit, yaitu 13 spesies dan paling sedikit di habitat akasia-plantan yaitu 1 spesies. Total spesies tumb han bawah (shrub) yang ditemukan adalah 21 spesies dari 11 tipe habitat yang diamati (Tabel 2). Persentase kehadiran spesies tumbuhan bawah di masing-masing habitat bervariasi. Jumlah spesies tumbuhan banyak ditemukan di habitat sengon-karamunting dan sengon-rambutan yaitu 13 spesies dan paling sedikit di habitat tambak yaitu 2 spesies. Hasil perhitungan pengelompokan untuk masing-masing tingkat rantai makanan tersaji pada Tabel 3, sedangkan hasil perhitungan pengelompokan untuk masing-masing tipe produsen tersaji pada Tabel 4. Pembagian tipe produsen tersebut menjadi P1 (tanaman pokok-daun) yaitu daun tanaman pokok revegetasi, P2 (tanaman pokok-bunga) yaitu bunga beserta nektarnya dari tanaman pokok revegetasi, P3 (tanaman pokok-biji/buah) yaitu biji dan buah dari tanaman pokok revegetasi, P4 (tanaman pokok-serasah) yaitu seresah dari tanaman pokok revegetasi, P5 (semak-daun) yaitu daun dari jenis semak yang ditemukan, P6 (semak-bunga) yaitu bunga dan nectar dari jenis semak yang ditemukan, P7 (semak-biji/buah) yaitu biji dan buah dari jenis semak yang ditemukan, P8 (semak-serasah) yaitu seresah dari jenis semak yang ditemukan. DAFTAR PUSTAKA Mukrimin. 2011. Analisa Potensi Tegakan Hutan Produksi di Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa. Jurnal Hutan dan Masyarakat.6 (1), 67-72. Neneng, L., Tanduh, Y., & Saraswati, D. (2012). Aplikasi Metode Reklamasi Terpadu untuk Memperbaiki Kondisi Fisik, Kimiawi, dan Biologis pada Lahan Pasca Penambangan Emas di Kalimantan Tengah. Prosiding InSINas. Riswan, Umar Harun dan Chandra Irsan. 2015. KERAGAMAN FLORA DI LAHAN Ramadanti F. 2016. Pola-Pola Komunitas. https://www.academia.edu/39442446/Agroekologipolapolakomunitas (09 September 2020). REKLAMASI PASCA TAMBANG BATUBARA PT BA SUMATERA SELATAN. JURNAL MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 22, No.2, : 160-168. Setiawan, K. A., Sutedjo, S., & Matius, P. (2018). Komposisi Jenis Tumbuhan Bawah Di Lahan Revegetasi Pasca Tambang Batubara. ULIN: Jurnal Hutan Tropis. Sitorus, S. R. P., Kusumastuti, E., & Badri, L. N. (2008). Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep. Jurnal Tanah Dan Iklim. Soegiharto S, Zuhud E, Setiadi Y, Masyud B. 2017. Indikator Kunci Pemulihan Fungsi Habitat Burung di Lahan Reklamasi dan Revegetasi Pasca Tambang Batubara. Jurnal Biologi Indonesia. 13(2):299-300. Soerianegara, I., dan Indrawan, A., 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Managemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sulandraji., Suwidjijo, P., Sukardi, W., dan Didiek, I. 2005. Hubungan makroklimat dengan pertumbuhan dan hasil pule pandak (Rauvolfia Serpentine Benth). Jurnal Agrosains 7(2):71-76. Suryati, T. (2017). Studi Fungi Mikoriza Arbuskula Di Lahan Pasca Tambang Timah Kabupaten Bangka Tengah. Jurnal Teknologi Lingkungan. Wiryono. (2009). Ekologi Hutan. Unib Press. Bengkulu.