Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM AQIQAH
Mualimin
Mahasiswa PAI Pasca Sarjana S.3 UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Email: saudinsaudin@yahoo.co.id
ABSTRAK
Islam is the mots perfect religion that covers all aspectc of life in life, a muslim
is required to hold the two matters which mentioned to the prophet in a hadith, alQur‟an and al-Hadith. In both the islamic sources have listed all of the laws that
manage of life. Hadiths are the words, deeds, and what will be implemented by the
prophet Muhammad saw is used as a scond source of islamic law. Bat the hadith is
not just talking about law and worship, but also a broader discussion of it. For
axample, talking about faith, cultural, social, ways of life, morals, etc.
One example of the sunnah or hadith that talking about social problems is
hadith about faith through this worship, prophet Muhammad saw convey massages
and values that must be implemented his followers. In this paper, the authors about
having faith in the religion of islam, furthermore, implemented and analyzed the
hadith, and at the conclusion to explain about faith and valves of any education
contained in worshiping faith in islam.
keywords : nilai-nilai pendidikan islam dan aqiqah
80
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul, yang ajaran-ajarannya bukan hanya satu segi,
akan tetapi mencakup berbagai segi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya berbagai
aturan tentang aqiqah. Aqiqah merupakan hal yang penting, bahkan sunnah untuk dilakukan
bagi umat islam yang mampu untuk melaksanakannya.
Rasulullah selalu mengajarkan kepada umatnya akhlak yang baik dan bijaksana, semua
yang di ajarkan oleh beliau pasti ada dasarnya dan memiliki atsar (pengaruh) yang sangat
besar, baik itu berupa perintah ataupun larangan. Begitu juga halnya Rasulullah
mensunnahkan untuk melaksanakan aqiqah tentunya memiliki nilai-nilai pendidikan bagi
orang yang melaksanakan aqiqah.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam aqiqah
dapat menjadi petunjuk bagi para orangtua dalam mencapai tujuan pendidikan dalam Islam
yaitu anak yang saleh. Untuk itu dalam tulisan ini akan mengkaji lebih lanjut tentang nilainilai pendidikan anak yang terkandung dalam aqiqah.
B. Pembahasan
1. Teks Hadits
Berdasarkan informasi Mu‟jam al-Mufahras li al-fazh al Hadits an-Nabawi, dengan
menggunakan kata kunci ر يmaka diperoleh informasi bahwa hadits tersebut diriwayatkan
oleh tiga orang mukharrij, (Wensink, 1943) yaitu Abu daud, Addarimi dan Ahmad bin
Hanbal. Dalam kajian ini penulis memilih satu diantara tiga kitab yang disebutkan tersebut
yaitu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan Abi Daud. Adapun Teks haditsnya sebagai
berikut:
ٍ ِ عن سع،ي
ِ حدثَ ا ابن أَِِ ع،َ حدثَ ا ابن الْمث
َع ِن، َع ْن قَتَ َاد َة،يد
د
ٍ
َ
َ ُ ْ َ َ َُ ُ ْ َ َ
َ ْ
ُكل:او
ْ
َ َ أَ َر ُس َو الل ِ َ ل ااُ َعلَْي ِ َ َسل َ ق، ٍ َع ْن َََُة بْ ِن ُ ْ ُد،ااَ َ ِن
ُغ ٍََم َرِ يَةٌ بِ َع ِقي َقتِ ِ تُ ْذبَ ُح َعْ ُ يَ ْ َم َسابِعِ ِ َ ُُْلَ ُق َ يُ َ م
2. Makna Ijmali Hadits
Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya syari‟at Aqiqah, ia merupakan suatu
sembelihan yang dilaksanakan berkaitan dengan lahirnya seseorang, baik laki-laki ataupun
perempuan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara‟. Jika telah lahir seorang bayi laki-laki
81
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
maupun perempuan maka orang tua bayi tersebut, disunnahkan mengaqiqahi anaknya dengan
cara menyembelihkan dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk
anak perempuan. Maka makna aqiqah secara umum adalah menyembelih kambing untuk anak
pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.
Aqiqah merupakan salah satu bentuk kasih sayang orang tua terhadap anaknya dan
syari‟at aqiqah ini juga merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri( kepada Allah sekaligus
sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah SWT. Disamping itu juga,
Aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari'at Islam
sekaligus menampakkan syi‟ar kebersamaan sesama kaum muslimin.
Jadi secara sederhana syari‟at aqiqah dapat ditinjau dari dua aspek. Pertama adalah
aspek vertikal sebagai bentuk syukur kepada Allah atas karunia yang diperoleh, dan yang
Kedua adalah aspek horizontal dengan mengaktualisasikan rasa syukur tersebut melalui
penyembelihan hewan yang dibagikan pada masyarakat sekitar.
3. Matan Hadits
ُكل ُغ ٍََم َرِ يَةٌ بِ َع ِقي َقتِ ِ تُ ْذبَ ُح َعْ ُ يَ ْ َم َسابِعِ ِ َ ُُْلَ ُق َ يُ َ م
Artinya: “Setiap anak yang lahir tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh
disembelih hewan, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. (Daud)
Adapun skema sanad Hadits ini sebagai berikut :
Rasulullah SAW
Samurah Bin Jundub Bin Hilal (W. 58
H) ْ َ
Hasan Bin Abil Hasan Yasar (W. 110
H) ْ َ
Qatadah Bin Da‟amah bin Qatadah (W.
117 H) ْ َ
Sa‟id Bin Abi Arubah Mihran (W.156
H) ْ َ
Muhammad Bin Ibrahim Bin Abi „Adi
82
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
(W. 194 H)
P. ISSN: 20869118
ْ َ
Muhammad Bin Al-Mutsanna Bin
Ubaid(W. 252 H) حدث
Abu Daud (W.275 H) حدث
4. Biografi Sanad Dalam Sunan Abu Daud
a. Imam Abu Daud
Abu Daud adalah Sulaiman bin al-Asy`as bin Ishaq bin Bisyri bin Syaddad bin `Amr
bin Imran al-Azdi al-Sijistani. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H/ 284M. Dan hidup pada
masa dinasti Abbasiyyah. Yang mana pada saat itu sedang diperlukannya seorang pengumpul
hadits-hadits Nabi yang masih banyak belum terkumpul. Juga banyak pemalsuan tentang
hadits Nabi.
Abu Daud merupakan seorang ulama hadits yang berjasa membuat kitab As-Sunan
Abu Daud, sebagai karya klasik yang dijadikan pegangan para ulama hadits sesudahnya.
Adapun dari segi metodologisnya, Abu Daud telah melakukan penyaringan sekitar 500.000
hadits atau sanad, yang kemudian dari hasil penyaringan ini dihasilkan 4.800 hadits hukum
atau bisa dikatakan hanya mengambil kurang dari 1% dari hadits yang dikumpulkan.
Dari sini terlihat bahwa Abu Daud ulama yang teliti. Hadist dari `Abdullah ibn
Maslama al-Qanaby, Abul Walid ath Thayalisy, `Abu `Amar al Haudly, Ibrahim ibn Musa alFarra`, Abu Bakar ibn Abi Syaibah `Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad ibn Shalih, Ahmad ibn
Hambal, Yahya ibn Ma`ien, Ishaq ibn Rahawaih, Abu Tsaur Qutaibah ibn Sa`id, dll, adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Selain dilihat dari hasil karyanya, beliau juga
dipandang sebagai seorang ulama hadits yang memiliki tingkat hafalan dan pemahaman hadits
cukup tinggi. Sekaligus memiliki berkepribadian wara` dan taat beribadah dengan
pemahaman agamanya yang kuat. Ia wafat di kota Basrah pada hari jum'at tanggal 16 bulan
syawwal tahun 275 Hijriah, ketika beliau berumur 73 tahun atau pada tahun 900 M.
Pengakuan Ulama terhadap Abu Daud;
1) Semua ulama mengakui bahwa Abu Daud, adalah salah seorang imam dunia, baik
dalam bidang fiqh, hafalan dan ibadah. Beliau terhitung salah seorang ulama yang
membela sunnah.
2) Pengakuan ulama tentang keahliannya di bidang hadits sangat beralasan untuk
menempatkan Abu Daud sebagai Imam muhaddis (ahli hadits) yang besar dan terperca83
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
ya. Kesungguhannya dalam melacak hadits dapat dilihat dari perjalanannya menempuh
jarak jauh dari Basrah ke al-Jazair, Khurasan, Syam, Hijaz, Mesir dan lain-lainnya, juga
usahanya menggali hadits dari para Syaikh.
3) Menurut penilaian Ibnu Mandah, Abu Daud termasuk tokoh hadits yang berhasil
menyaring hadits-hadits sehingga ia dapat memisahkan antara hadits yang tsabit (tetap
keabsahannya) dengan yang ma`lul (yang ada cacatnya) dan antara yang benar yang
keliru, disamping Bukhari, Muslim dan An-Nasa`i. (Muh.Usman, 1979)
b. Muhammad bin Al-Mutsannaa bin 'Ubaid
Beliau adalah Muhammad bin Mutsanna bin „Ubaid. Beliau dikenal sebagai Abu Musa
al-Bashri pada zamannya. Guru beliau adalah Abdullah bin Idris, Abu Muawiyah, Khalid din
Warits, Yazid bin Zurai‟, Husainn bin Hasan Bisry, Mu‟tamar, Hafs bin Giyas, Ishaq bin
Yusuf, abu Nu‟man al-Ajaly, Hamad bin Sahl, Muhammad bin Fadil, Husain bin Jurair, Ibnu
Uyainah, Abdullah al-Tsaqafy, Abdullah bin Hamran, Abdul A‟la, Muhammad bin Abdullah
al-Anshary, Ja‟far, Muhammad bin Harun, makiy bin Ibrahim, dan ulama yang lainnya.
Sedangkan muridnya ialah Jama‟ah, Abu ya‟la ahmad bin ali bin al mutsanna, abu
arubah al husain bin muhammad alharrani, serta yang lainnya. Abdullah bin Ahmad bin
hanbal mengatakan bahwa beliau adalah Tsiqah. Abu Saad al-Harawi di Tanya oleh AzZahaly tentang beliau, dan ia mengatakanbahwa (Muhammad bin al-Mutsanna) beliau itu
Hujjah. Ibnu Hibban menuliskan namanya dalam kitabAts-Tsiqaat. Disebut juga bahwaia
TsiqahdanTsabat. Beliau lahir pada tahun 167 Hijriyah, dan wafat pada 252 Hijriyah.
c. Muhammad bin Ibrahim bin Abi Adi
Nama beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Abi Adi, dikenal juga dengan nama
Abu Amru al-Bashri. Guru-guru beliau adalah Humaid at tawil, sulaiman at taimi, Daud bin
abi hindi, Ibnu aun, auf al a‟rabi, husain al mu‟allim, said bin abi arubah, yunus bin ubaid, dll.
Sedangkan murid murid beliau adalah ahmad bin hanbal ahmad bin sinan al qattan, abu bisyr
bakr bin khalaf, abu musa muhammad bin al mutsanna.dll. Abu Hatim dan An Nasai
mengatakan bahwa ia tsiqah, Ia wafat di bashrah pada tahun 194 H.
d. Sa’id bin Abi Arubah
Ia juga dikenal dengan Abu Nadhr al-Basri. Guru-gurunya adalah : Qatadah, Nadhr bin
Anas, Hasan al-Basri, Abdullah bin Fairuz Addanaj, Ziyadah A‟lam, Ali bin Hakam, Abi
Nadhrah al-Abdi dll.
Murid-muridnya: A‟masy, Syu‟bah Abdul a‟la, Khalid bin Harits, Yazid bin Zurai‟,
Abu Bahr al-Bakrawi, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, dll.
84
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
Penilaian ulama seperti Ibnu ma‟in tentang beliau adalah bahwa ia adalah seorang
yang tsiqah, demikian pula penilaian An-Nasai bahwa ia adalah seorang yang tsiqah. Berbeda
dengan Abu Zur‟ah ia menilai bahwa Sa‟id bin Arubah adalah seorang yang tsiqah ma‟mun.
Sementara itu Abu Hatim menilai bahwa ia seorang yang tsiqah sebelum ikhtilath. Beliau
wafat pada tahun 156 H.
e. Qatadah bin Da’amah
Beliau adalah Qatadah bin Da‟amah bin Qatadah bin „Azin bin „Amr bin Rabi‟ah bin
„Amr bin Harits bin Sadus. Beliau meriwayatkan hadits dari guru beliau yaitu Anas bin Malik,
Badil bin Maisarah, Basyar bin „Aidz, Basyar bin Muhtafar, Bakr bin „Abdullah, Salim bin
„Abdi Ja‟ad, Said bin Abi Jardah, Abi Musa Al-„Asy‟ary, serta yang lainnya. Sedangkan yang
meriwayatkan hadits darinya atau murid-murid beliau adalah Aban bin Yazid al-„Athary,
Ayub Al-Sakhyatany, Jarir bin Hazim, Hajaz bin Artoah, Sa‟id bin abi Urwah, Syu‟bah bin
Hajaz, Syaiban bin „Abdurrahman al-Nahwy, dan lainnya.
Para ulama seperti Yahya bin Ma‟in, menyatakan bahwa ia Tsiqah. Dalam kitab
Mizan, bahwa beliau adalah ulama yang Tsiqah, Hafidz, Tsabat, akan tetapi ia Mudallis.
Menurut Yahya beliau lahir pada tahun ke 60 Hijriyah, Namun menurut Amr bin „Aly, beliau
lahir pada tahun 71 Hijriyah. Sedangkan tahun wafatnya adalah pada tahun 117 H.
f. Samurah bin Jundub
Beliau adalah Samurah bin Jundub bin Hilal bin Harij bin Murrah bin Hazn bin Amr
bin Jabir bin Khasyin bin Luay bin Asham bin bin Syamakh bin Fazarah bin Dzabyan bin
Baghidh bin Raits bin Ghathafan Al-Fizary, kunyahnya Abu Sa‟id/Abu Abdurrahman/Abu
Abdillah atau Abu Sulaiman, tinggal di kota Basrah. Ketika kecil ia dibawa ibunya ke kota
Madinah dan dibesarkan di sana setelah ayahnya meninggal. Kemudian ibunya menikah lagi
dengan seorang dari Anshar yang bernama Muri bin Sinan bin Tsa‟labah. Ia tinggal bersama
ayah tirinya sampai masa remaja. Beliau tidak sempat menemui masa jahiliyah, dan bertemu
dengan Nabi ketika remaja. Beliau ini sangat jujur, tidak pernah bohong dan mencintai Islam,
salah seorang pejabat kekhalifahan yang berasal dari Ansar. Beliau berdomisili dan meninggal
di Basrah di masa pemerintahan Muawiyah, beliau ini sangat tegas dalam menghadapi kaum
sparatis Khawarij.
85
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
Pada saat perang Uhud, saat itu Samurah Bin Jundub belum menginjak usia dewasa. Ia
bersama beberapa anak lainnya yang mempunyai semangat juang tinggi untuk membela panji
keislaman, dikeluarkan dari barisan pasukan perang Uhud oleh Nabi SAW karena belum
cukup umur. Tetapi salah seorang di antaranya, Rafi bin Khadij, karena permintaan ayahnya
dibolehkan oleh Nabi SAW ikut karena ia mempunyai keahlian memanah, dan menunjukkan
kemampuannya di hadapan beliau. Melihat dibolehkannya Rafi ikut bertempur, Samurah
berkata kepada ayah tirinya, Murrah bin Sinan RA, "Wahai ayah, Rafi dibolehkan ikut
berperang sementara saya tidak. Padahal saya lebih kuat daripada Rafi. Kalau diadu tanding,
pasti saya dapat mengalahkan Rafi.."
Melihat semangat yang begitu menggebu dari anaknya ini, Murrah menyampaikan hal
ini pada Nabi SAW, beliaupun mengadakan adu kekuatan antara Rafi dan Samurah, dan
ternyata Samurah memenangkannya, sehingga iapun dbolehkan ikut serta dalam pertempuran
di Uhud itu. Ketika itu Samurah berusia 15 tahun, sama seperti Rafi. Samurah bin jundub
(wafat 56 H)
1). Takhrij Hadis
Hadis ini disebutkan dalam kitb Sunan Abi Daud, Sunan Ad-Darimi dan Musnad
Ahmad Bin Hanbal, hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi.
Maka kesimpulannya adalah bahwa hadis ini adalah Hadits Shahih.
2). Penilaian Sanad:
a) Sanadnya tersambung sampai ke Nabi.
b) Semua rawinya tsiqah kecuali Sa‟id (empat orang menilainya tsiqah, dua orang
menilainya tsiqah namun mukhtalith di akhir umurnya), al-Hasan (dua orang
mengatakan tsiqah, satu orang mengatakan tadlis).
3) Penilaian Matan:
Tidak ada masalah dalam matannya. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa hadits tersebut maqbul, karena meskipun ada sebagian rawi yang tidak tsiqah namun
ketidak tsiqahannya tidak terlalu parah. Selain itu, hadits ini didukung oleh banyak jalur sanad
yang lain.
5. Penjelasan Tentang Fiqih Hadits
a. Definisi Aqiqah
‟Aqiqah berasal dari kata ‟aqqa ( ُ َ ) yang mempunyai arti memotong. Ibnul-Qayyim
menukil perkataan Abu ‟Ubaid bahwasannya Al-Ashmaa‟i dan lain-lain berkata :
86
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
أن أصلها الشعر الذي يكون على رأس الصبي حين يولد وإنما سميت الشاة التي تذبح عنه عقيقة أنه
يحلق عنه ذلك الشعر عند الذبح قال ولهذا قال أميطوا عنه اأذى يعني بذلك الشعر
Artinya: ”Pada asalnya makna ‟aqiqah itu adalah rambut bawaan yang ada di kepala
bayi ketika lahir. Hanya saja, istilah ini disebutkan untuk kambing yang disembelih ketika
‟aqiqah karena rambut bayi dicukur ketika kambing tersebut disembelih. Oleh karena itu,
disebutkan dalam hadits : ”Bersihkanlah dia dari kotoran”. Kotoran yang dimaksud adalah
rambut bayi (yang dicukur ketika itu). (Al-Jauziyah, 1403)
Kata „aqiqah adalah isim musytaq (pecahan( dari kata “al-„aqqu” yang berarti alqath‟u, yakni memotong/terpotong. Menurut al-Azhariy dalam “al-Tahdzib” yang mengutip
pernyataan Abu „Ubaid, bahwa „aqiqah pada mulanya berarti “rambut yang ada pada kepala
seorang bayi ketika ia dilahirkan.” Aqiqah juga berarti “kambing yang disembelih untuk anak
yang baru dilahirkan.” (al-Nawawi)
b. Asbabul Wurud
Dalam kitab-kitab asbabul wurud, memang secara spesifik tidak disebutkan kenapa
Nabi bersabda mengenai „Aqiqah. Akan tetapi jika ditinjau dari kronologis dan aspek sejarah,
berkaitan dengan aqiqah ini, sebenarnya syari‟at menyembelih dua ekor kambing jika anaknya
laki-laki, dan seekor kambing jika anaknya perempuan, telah dikenal dan biasa dilakukan
orang sejak zaman jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda dengan yang dituntunkan oleh
Nabi SAW. bagi ummat Islam.
Dalam Kitab Sunan Abi Daud, disebutkan bahwa Buraidah berkata: Dahulu kami di
masa jahiliyah apabila salah seorang diantara kami mempunyai anak, maka kami
menyembelih kambing dan melumuri kepala bayi dengan darah kambing itu. Maka setelah
Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si
bayi dan melumurinya dengan minyak wangi. (Daud)
Dari 'Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka
ber‟aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah „aqiqah, lalu ketika
mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi SAW. bersabda,
“Gantilah darah itu dengan minyak wangi”. (Hibban)
Demikianlah sejarah syariat „aqiqah dalam Islam, dan dari riwayat-riwayat diatas serta
riwayat-riwayat lain, tampak jelas bagaimana sikap agama tercinta ini dalam menghadapi adat
yang sudah biasa berjalan dan berlaku pada masyarakat dan masih mungkin diluruskan.
87
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
Tegasnya, Islam sesuai dengan fungsi diturunkannya yaitu sebagai lambang kasih
sayang serta memimpin ke arah jalan yang serba positif, maka dalam menghadapi adat istiadat
yang sudah biasa dilaksanakan sekelompok manusia, menempuh tiga macam cara yaitu :
1) Menghapusnya sama sekali, bila didalam adat-istiadat itu mengandung unsur-unsur
kemusyrikan yang tidak mungkin diluruskan lagi, maupun hal-hal yang membahayakan
keselamatan manusia itu sendiri; baik dari segi aqidah (rohani) maupun bagi tata
masyarakatnya. Dalam hal ini Islam tidak dapat mentolerir atau membiarkannya hidup dan
bersemi dalam kehidupan ummatnya, karena sesuai dengan kenyataan, bahwa petani yang
pandai serta bertanggungjawab terhadap berhasil dan suburnya sang padi, tidak akan
membiarkan hidup alang-alang dan rumput-rumput liar yang ada di sekeliling padinya.
2) Sedang bila dalam adat-istiadat tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan
agama akan tetapi masih dapat diluruskan, maka Islam datang untuk meluruskannya dan
kemudian berjalan bersama-sama dengan Islam, sebagaimana masalah „aqiqah ini.
3) Adapun adat-istiadat yang tidak mengandung unsur-unsur kemusyrikan dan kezhaliman
serta tidak bertentangan dengan agama, maka Islam memelihara dan memberi hak hidup
baginya untuk berkembang lebih lanjut dalam masyarakat tersebut tanpa sesuatu
perubahan pun.
c. Pemahaman Hadis Menurut Ulama Fiqh
1). Hukum Aqiqah
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum dari aqiqah:
-
Mazhab Hanafi, mereka menyebutkan bahwa hukum melaksanakan aqiqah adalah
mubah bukan sunnat. (Az-Zuhaili)
-
Mazhab Syafi’i, Abu Tsaur dan Jumhur, mereka menyebutkan bahwa hukum
melaksanakan aqiqah adalah Sunnah Mu’akkadah.
-
Imam Malik berkata: “Aqiqah adalah suatu sunnah yang sangat dituntut untuk
mengerjakannya.
-
Al-Laits dari Mesir dan Imam Daud Az-Zahiri, mereka mengatakan bahwa aqiqah
wajib dilakukan pada hari yang ketujuh dari hari lahir si bayi. Jika tidak dikerjakan
pada hari itu, tidaklah dikerjakan lagi pada tujuh yang kedua, tujuh yang ketiga, dan
seterusnya.
b. Jumlah Kambing Yang Disembelih.
- Mazhab Maliki:
88
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
Satu ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan,
berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas:
عن اا ن شاة،عق عن اا ن شاة
Rasulullah Saw meng-aqiqah-kan Hasan satu ekor kambing dan Husain satu ekor
kambing.
- Mazhab Syafi’i dan Hanbali:
Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak
perempuan, berdasarkan hadits riwayat Aisyah:
عن اجارية شاة، عن الغَم شاتا مكافئتا
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan untuk satu orang anak
perempuan satu ekor kambing”.
Berdasarkan dua hadits tersebut, jika disembelihkan satu ekor kambing untuk anak
laki-laki, maka hukumnya sah. Jika disembelihkan dua ekor untuk anak laki-laki, maka
afdhal. Karena hadits riwayat Ibnu Abbas mengandung makna boleh.
c. Waktu Penyembelihan.
Penyembelihan Aqiqah itu pada hari ke-tujuh setelah melahirkan, jika memungkinkan.
Jika tidak, maka pada hari ke-14. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari ke-21 sejak
kelahirannya. Jika tidak memungkinkan, maka kapan saja pada hari-hari berikutnya. Dalam
hadits riwayat al-Baihaqi disebutkan: “Disembelihkan pada hari ke-7, ke-14 dan ke-21”.
أ زأ، أن ل ذبح قبل ال ابع أ بعد:ح الشافعية اا ابلة
Mazhab Syafi‟i dan Hanbali menyatakan: jika disembelihkan Aqiqah sebelum hari
ketujuh atau setelah hari ketujuh, maka tetap sah. (Az-Zuhaili)
Pemahaman Hadis Menurut
Ulama Hadits
Ulama Hadits berbeda pendapat mengenai hadits ini, Ahmad bin Hanbal menyebutkan
bahwa hadits ini berkaitan dengan syafa‟at. Jika seorang anak lahir dan meninggal saat ia
masih kecil, maka ia tidak dapat memberikan syafaat (pertolongan) untuk orang tuanya. (al'azhim, 1968) Berbeda dengan pendapat Ibnul Qayyim, ia menegaskan, bahwa aqiqah itu
berfungsi untuk melepaskan bayi yang bersangkutan dari godaan syaitan. (Qayyim, 1994)
89
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
Mengenai waktu penyembelihan, dalam kitab syarah „aunul ma‟bud dijelaskan bahwa
tuzbahu „anhu yauma sabi‟ihi, maksudnya adalah waktu aqiqah itu adalah pada hari ke tujuh,
tidak disyari‟atkan sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. Akan tetapi dibolehkan pada tujuh
kedua (hari ke 14) dan tujuh ketiga (hari ke-21), sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi
dalam kitab Sunan al-Kubra:
ِ عن عب ِد
َ َ َع ِن ال ِ َ ل ااُ َعلَْي ِ َ َسل َ ق،ِ َع ْن أَبِي،اا بْ ِن بَُيْ َد َة
ُ "الْ َع ِقي َقة:او
َْ ْ َ
ِ ِِ ح َد، ِ َربع ع ْش َة،تُ ْذبح لِ ب ٍع
ِ
ش
ع
."ين
ْ
َ َ ْ َ َ َ َ َْ َ ْ َ ُ َ
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, dari Nabi Muhammad SAW. Ia bersabda
:Aqiqah itu dapat disembelih pada hari ke tujuh, atau hari ke empat belas, atau hari ke
dua puluh satu (Al-'Azhim A. a.-T.-H., 1968).
6. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Matan Hadits
Dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: (Az-Zuhaili) disebutkan tentang hikmah
Aqiqah adalah:
ت مية فضيلة اج د ال خاء تطييب قل،شك نعمة اا تعاى ب زق ال لد
. فتشيع احبة ام دة ا لفة،دقاء جمعه عل الطعام
ا
ا ل ا قار
Artinya: Ungkapan syukur kepada Allah Swt atas diberi rezeki seorang anak.
Menumbuhkan keutamaan berbagi dan sifat kedermawanan. Melembutkan hati keluarga,
kerabat dan para sahabat dengan mengumpulkan mereka dengan makan bersama.
Menebarkan kasih sayang, cinta kasih dan kebersamaan.
Dengan demikian, Aqiqah sama sekali bukan sekadar pesta makan. Praktiknya
mungkin mengesankan begitu, tetapi esensinya jauh lebih luas daripada pengertian pesta
makan. Sebagaimana dituturkan oleh DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku tarbiyatul
Aulad fi Al-Islam, hikmah aqiqah itu antara lain:
a. Aqiqah merupakan suatu pengorbanan yang akan mendekatkan anak pada Allah di masa
awal ia menghirup udara.
b. Aqiqah merupakan tebusan bagi anak dari berbagai musibah, sebagaimana Allah telah
menebus Ismail as dengan hewan sembelihan yang besar
c. Sebagai pembayaran hutang anak agar kelak di hari kiamat ia bisa memberi syafaat kepada
kedua orang tuanya.
90
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
d. Merupakan media menunujukan rasa syukur atas keberhasilan melaksanakan syariat Islam
dan bertambahnya generasi muslim.
e. Mempererat tali persaudaraan di antara sesama anggota masyarakat. Dalam hal aqiqah
dapat menjadi semacam wahana bagi berlangsungnya komunikasi dan interaksi sosial yang
sehat. (Asrori, 1998)
C. Kesimpulan
Adapun nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah aqiqah adalah:
a. Penanaman Nilai-nilai Sosial (Pendidikan Sosial)
- Dengan disembelihkan hewan aqiqah sekaligus mengundang masyarakat sekitar untuk
makan bersama, menunjukkan bahwa hal ini dilakukan untuk membangun kebersamaan
dan persaudaraan dalam Islam.
- Pengajaran tentang kepedulian dan kepekaan sosial, berbagi dengan fakir miskin
ْ
ً َ ِ ِ ْي
ِ َ ِ َ ِ ِ َ َ َد ِي،َ ُ َ حْ ِ ِي َي، ُ َ ( َ اَ ِا
-
- Mengajarkan pentingnya Sillaturrahmi
b) Nilai Kesehatan
Dengan dicukurnya rambut pada hari ke tujuh, diharapkan ia tumbuh dengan
rambutnya yang baru, karena selama dalam kandungan ibu bercampur dengan darah
dan lain sebagainya, maka dihari diaqiqahkan itu juga dicukur rambutnya.
c) Penanaman Nilai Akhlak (Pendidikan Akhlak);
- Pengajaran tentang bersyukur atas nikmat yang Allah karuniakan
( ر ك احدث
م،،(
- Berdo‟a bagian dari akhlak yang terpuji
ي
رز، غ د،
،لو، كي، ل و و، رك ه لك اى
d) Penanaman nilai Keimanan (Pendidikan Keimanan);
- Lewat bacaan ayat suci al-Qur‟an
- Menanamkan kecintaan kepada Nabi lewat shalawat
- Pemberian nama yang baik, karena
nama adalah do‟a
- Substansi Doa menyembelih aqiqah
اللهم لك وإليك عقيقة،بسم اه
91
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 6, Mei 2015
P. ISSN: 20869118
DAFTAR PUSTAKA
Al-'Azhim, A. A.-T.-H. (1968). 'Aunul Ma'bud. Madinah Al-Munawwarah.
Al-Jauziyah, I. A.-Q. (1403). Tuhfatul Maudud Bi-Ahkamil Maulud. Beirut.
Al-Nawawi, A. Z. Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab Li Al-Syairazi. Dar Ihya Al-Turats AlArabiy.
Asrori, A. M. (1998). Khitan Dan Aqiqah. Surabaya: Al-Miftah.
Az-Zuhaili, W. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Dar Al-Fikr.
Daud, A. Sunan Abu Daud (Vol. 3). Beirut: Dar Al-Fikr. Hibban, I.
Muh.Usman, A. (1979). 'Awn Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud. Mesir: Al-Maktabah AlSalafiyah.
Qayyim, I. (1994). Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud (4 Ed.). Darul Bayan Dan Maktabah
Al-Muayyad.
Wensink, A. (1943). Mu'jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Hadits Al-Nabawy (Vol. 2). Ej.Brill:
Leiden.
92