Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Hak Nafkah Batin Isteri dalam Hukum Perkawinan

2015, Sultan Amai Press

Persoalan nafkah ini merupakan persoalan yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kelangsungan dan mempererat hubungan suami isteri, terkhusus lagi persoalan yang menyangkut nafkah batiniyah isteri. Siapa pun dia pastilah menginginkan dalam kehidupan rumah tangganya dipenuhi rasa cinta, kasih, sayang, kedamaian, ketenteraman dan keamanan dalam rumah tangganya. Namun terkadang salah satu pihak dalam rumah tangganya mengabaikan pemenuhan nafkah batiniyah tersebut, sehingga menyebabkan kemudaratan bagi pihak lain. Buku ini hadir dengan pemaparan tentang idealnya perkawinan menurut hukum Islam dan persoalan pemenuhan nafkah batiniyah isteri dalam kehidupan rumah tangganya. Selain itu, kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang hukum perkawinan Islam, khususnya hukum perkawinan di Indonesia.

Rizal Darwis, M.H.I. Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Penulis: Rizal Darwis, M.H.I. Editor: Nova Effenty Muhammad, M.H.I. All right reserved @ Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis Cetakan 1,  ISBN:    Penerbit: Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo Jl. Sultan Amai No. 1 Kel. Pone Kec. Limboto Barat Kab. Gorontalo Telp. (0435) 822725/880251, Fax. (0435) 882398/821942 Email: sultanamaipress@gmail.com  H••I KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana yang senantiasa memberi hikmah bagi siapa yang dikehendaki-Nya, maka barangsiapa yang telah diberikan hikmah, maka sungguh ia telah mendapatkan kebaikan dan hidayah. Selawat dan salam teriring kepada Nabi Muhammad saw., Rasul yang termulia, beserta semua keluarganya dan para sahabat serta para pengikut sunnahnya sampai akhir zaman, dengan harapan semoga senantiasa mendapat curahan rahmat, hidayah dan lindungan dari Allah swt., Tuhan Mahapengasih dan Mahapenyayang. Penyusunan buku ini tak terlepas dari kajian penulis dalam bidang hukum perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu wadah dalam menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai seorang suami dan seorang isteri. Tentunya dengan sahnya menjadi suami isteri, maka secara otomatis timbullah hak dan kewajiban dalam menjalani kehidupan rumah tangga tersebut, dan salah satu bentuk kewajiban suami adalah memberikan nafkah bagi isteri dan keluarganya, baik itu berupa nafkah lahiriyah maupun nafkah batiniyah. Persoalan nafkah ini merupakan persoalan yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kelangsungan dan mempererat hubungan suami isteri, terkhusus lagi persoalan yang menyangkut nafkah batininyah isteri. Siapa pun dia pastilah menginginkan dalam kehidupan rumah tangganya dipenuhi rasa cinta, kasih, sayang, kedamaian, ketenteraman dan keamanan dalam rumah tangganya. Namun terkadang salah satu pihak dalam rumah tangganya mengabaikan pemenuhan nafkah batiniyah tersebut, sehingga menyebabkan kemudaratan bagi pihak lain. Buku ini hadir dengan pemaparan tentang idealnya sebuah perkawinan menurut  hukum Islam dan persoalan pemenuhan nafkah batiniyah isteri dalam kehidupan rumah tangganya. Selain itu, kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang hukum perkawinan Islam, khususnya hukum perkawinan di Indonesia. Penulis menyadari sungguh telah banyak menerima sumbangsih dari berbagai pihak dalam proses penyusunan buku ini, maka sebuah keharusan bagi penulis untuk menghaturkan terima kasih kepada semua pihak atas segala kontribusinya. Selain itu, walaupun penulis berusaha maksimal memberikan karya yang terbaik dari apa yang penulis miliki demi terwujudnya buku ini, namun pada akhirnya tetap terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya sebagai akibat keterbatasan penulis, terutama di dalam menghimpun dan menganalisis data yang mendukung tulisan dalam buku ini. Olehnya itu saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan selanjutnya. Hanya Allah swt. jualah yang Mahasempurna, kepada-Nyalah yang patut diserahkan segalanya, seraya berharap akan petunjuk dan perlindungan-Nya dari kealpaan yang setiap saat bisa hadir pada diri manusia. Gorontalo, 10 Mei 2015 Penulis, Rizal Darwis, M.H.I.  H••I PERSEMBAHAN Sebagai tanda terima kasih, karyaku ini kupersembahkan kepada kedua orangtuaku H. Darwis dan Hj. St. Rohana Dengan iringan doa:                     “Ya Allah ampunilah segala dosa kedua orangtuaku, kasihanilah mereka berdua seperti halnya mereka mengasihaniku semenjak kecilku ” Begitu pula untuk isteri tercinta dan terkasih Zulaeha dan kelima buah hati kami: Mizfar Rizal, Achmad Faruq Rizal, Zhafira Balqis Rizal, Fakhirah Shakila Rizal, Farid Athallah Rizal Kupersembahkan agar ingatlah selalu firman Allah swt. dalam QS. al-Syûra/42: 23 ! "  # $% &' ( ) * +  , -. ) & “ Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan ”  H••I PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB INDONESIA ARAB INDONESIA  a  dh  b    t  zh   ‘ j g h f  kh  k  d  l    m  r  n  z  w  s  h  sy  y    ’ PENDEK a i u PANJANG   û VOKAL Fathah Kasrah Dammah  DIFTONG ay, aw = bayn (!) qawl ("#) H••I DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PERSEMBAHAN PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB INDONESIA DAFTAR ISI BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN 1 BAGIAN KEDUA DASAR-DASAR UMUM HUKUM PERKAWINAN ISLAM A. Pengertian, Landasan Hukum dan Hikmah B. Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan 1. igat 2. Suami dan Isteri 3. Saksi 4. Mahar C. Hak dan Kewajiban Suami Isteri 1. Ketaatan Isteri 2. Mengurus Rumah Tangga dan Mendidik Anak-Anak 3. Berbuat Baik kepada Keluarga Suami 15 16 26 27 30 35 37 45 46 48 50 BAGIAN KETIGA NAFKAH DALAM KELUARGA DAN PUTUSNYA PERKAWINAN 55 A. Pengertian dan Pembagian Nafkah 1. Memperlakukan Isteri dengan Baik 2. Memelihara dan Menjaga Isteri dengan Baik 56 59 66  3. Suami Mendatangi Isterinya/Senggama dengan Baik B. Kedudukan Hukum Nafkah Lahiriyah dan Nafkah Batiniyah 1. Kedudukan Hukum Nafkah Lahiriyah 2. Kedudukan Hukum Nafkah Batiniyah C. Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya 1. Talak 2. Khuluk 3. Il’ 4. Zhihar 5. Li’an 6. Fasakh 7. Iddah 70 77 77 81 87 87 94 97 100 103 106 108 BAGIAN KEEMPAT HAK NAFKAH BATIN ISTERI DALAM PERKAWINAN A. Tinjauan Hukum Islam tentang Konpensasi Nafkah Batin dengan Materi B. Nafkah Batin Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Aspek Fisiologi C. Akibat-Akibat Tidak Terpenuhinya Nafkah dalam Rumah Tangga 114 114 125 131 BAGIAN KELIMA KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA TENTANG PENULIS  137 H• 1 •I PENDAHULUAN I slam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tiada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan, dan tiada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Khususnya dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, mulai bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati, bagaimana mewujudkan sebuah pernikahan yang bahagia dan harmonis. Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja, tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral, yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlak yang luhur dan sentral. Perkawinan dalam Islam secara filosofis adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ideologi Islam, karena perkawinan merupakan salah satu bentuk perintah kepada umat muslim yang memiliki kemampuan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat menjalin ikatan suami isteri dalam bentuk perkawinan yang sah untuk membentuk sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang merupakan komponen masyarakat terkecil yang terdiri suami, isteri dan anak. Perkawinan dalam Islam melalui hukum perkawinan sebagaimana yang ditentukan dalam Alquran bertujuan untuk mewujudkan keluarga sakinah, tenang, rukun dan damai agar nantinya terwujud pulalah masyarakat yang baik. Dalam masyarakat yang baiklah manusia akan memperoleh kebahagiaan, ketenteraman serta Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 1 Rizal Darwis, M.H.I. kedamaian di dunia, dan kebahagiaan, ketenteraman dan kedamaian duniawi akan secara otomatis mempunyai kelanjutan pula di akhirat kelak.1 Irama hidup dan kehidupan dalam masyarakat tidak akan terwujud jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan pedoman dan tuntunan agama yang selanjutnya akan direalisasikan dalam masyarakat. Dalam perspektif sosial, keluarga merupakan satuan unit terkecil dari masyarakat. Oleh karena itu, keluarga dalam pengertian ini adalah suatu lembaga sosial yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dan norma-norma, sehingga keluarga dituntut untuk dapat memberikan fungsi dalam membentuk pondasi dasar. Individu dalam keluarga akan dipersiapkan sebagai duta-duta dari keluarga yang akan terjun dan membaur dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga sebagai peletak pondasi dasar haruslah mampu menciptakan terlebih dahulu keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan keluarga memegang peranan penting dalam pembinaan dan membentuk watak, moral dan perilaku setiap anggotanya. Artinya bahwa keluarga harmonis adalah keluarga yang mampu menciptakan sakinah, mawaddah wa rahmah dalam perkawinannya. Pemahaman ini dapat dilihat dari arti perkawinan itu sendiri. Perkawinan menurut istilah ilmu fikih menggunakan perkataan nikah dan perkataan ziwaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (hakikat) dan arti kiasan (majaz). Arti sebenarnya dari nikah ialah al-dham, yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Sedang arti kiasannya ialah watha, yang berarti bersetubuh atau akad, yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya.2 Perkawinan yang dimaksud adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki Nasution, Islam Rasional (Cet. 5; Bandung: Mizan, 1998), h 427. al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmy wa Adillatuh, Juz 7 (Cet. 3; Bairut: Dr al-Fikr, 1409 H./1989 M.), h. 30. 1Harun 2Wahbah 2 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Pendahuluan dan seorang wanita sebagai suami isteri yang menimbulkan hak dan kewajiban, dan dari hubungan itu bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia. Perkawinan merupakan ketetapan Allah swt. atas segala makhluk. Hal ini berulang-ulang ditegaskan melalui firman-Nya antara lain:   & 1   ;  <) = > ?  :AB 1  23 4 56 7 8 9:.   4 @ .8 C D Terjemahnya: Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS. Ysin/36: 36). Terjemahnya:   (3 A" 6 HG IJ LK  = > .8  7B  , C F  Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah) (QS. al-Zariyt/51: 49). Walaupun perkawinan merupakan ketetapan atas segala makhluk, akan tetapi perkawinan manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Secara simbolik Alquran menyebutnya ‘mqan galdz.’ Sebagaimana Allah swt. berfirman di dalam Alquran: Terjemahnya: . M N O>  , A> 87 6) Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan perkawinan) dari kamu (QS. al-Nis’/4: 21). Ayat tersebut memberi penekanan yang tegas tentang makna ikatan perkawinan, bahwa ia adalah suatu ikatan yang kokoh, yang tidak boleh dirobek-robek dan dihancurkan. Pemahaman ayat ini Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 3 Rizal Darwis, M.H.I. sangat terkait dengan makna mqan yakni piagam perjanjian, persetujuan dan ikatan yang meresap ke dalam jiwa dan sanubari.3 Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu ikatan atau akad yang sangat kuat (mqan galdz). Selain itu, perkawinan tidak lepas dari unsur-unsur mentaati perintah Allah dan melaksanakannya, termasuk aspek ‘ubudiyyah (pengabdian atau ibadah). Ikatan perkawinan sebagai mqan galdz dan mentaati perintah Allah bertujuan untuk membina dan membentuk hubungan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat Islam.4 Tidak ada satu pun sebuah ikatan perjanjian di dalam Alquran yang diberi penekanan dan predikat mqan galdz, selain daripada ikatan perkawinan. Allah memberi sebutan dan kualitas khusus pada ikatan perkawinan sebagai suatu piagam perjanjian yang kokoh, guna membedakannya dari bentuk perikatan perjanjian yang lain.5 Jika perjanjian yang lain seperti jual-beli atau perjanjian antar bangsa oleh Alquran dikelompokkan dengan perjanjian biasa dengan sifat yang menonjolkan hubungan perdata dan materil, lain halnya dengan ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan tidak hanya terbatas pada hubungan fisik dan materil, tetapi sekaligus lebih menitikberatkan pada ikatan batin atau ikatan jiwa yang mendalam yang terhunjam ke dalam sanubari. Hal tersebut jelas ditekankan dalam Alquran:      , A LC( ' A, ; P (  3 )  , ; <) = >  ,  56 8 ) *B DH = > G DS TU # 8 ' V  $ %> .8 , PD QG " R Terjemahnya: Syalthuth, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, terj. Bustami dan Hamdani, Akidah dan Syari’ah Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 109. 4H. S. A. Alhamdani, Risalatun Nikah, terj. Agus Salim, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 1980), h. 68. 5Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Cet. 2; Jakarta: UI Press. 1982), h. 41. 3Mahmud 4 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Pendahuluan Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (QS. alRûm/30: 21). Ayat tersebut semakin menjelaskan bahwa perkawinan bukanlah tindakan permainan, melainkan guna mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Allah menciptakan bagi manusia pasangan jodoh (suami isteri) dalam sebuah ikatan perkawinan dalam sebuah mahligai rumah tangga guna mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (rasa kasih dan sayang) yang merupakan kebutuhan batin antara kedua suami isteri tersebut. Selain itu perkawinan hendaklah membawa dan mengantarkan sebuah kesenangan dalam kebersamaan dalam menjalani hubungan suami isteri tersebut, bahkan lebih jauh mengibaratkan lekatnya hubungan ikatan jiwa antara suami isteri itu harus sampai pada pencapaian keharmonisan dalam kehidupan rumah tangganya. Manusia dalam pergaulan sehari-harinya tidak terlepas dari aturan atau norma hukum yang kesemuanya itu pada hakekatnya bertujuan untuk mengatur kehidupan yang tertib, aman dan damai, termasuk dalam hal perkawinan. Akad nikah secara sah menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban bagi suami isteri yang tak dapat dielakkan. Suami dan isteri dituntut untuk menunaikan kewajibannya masing-masing, sehingga dalam perkawinan mereka tidak terjadi kelalaian dalam menunaikan hak dan kewajibannya dalam keluarga.6 Untuk pemenuhan hak dan kewajiban suami isteri haruslah sama-sama berupaya melakukan pendekatan ke arah keserasian dan pemahaman, bahwa isteri tak ubahnya sebagai busana bagi suami dan suami adalah busana bagi isteri. Kalau masing-masing pihak sampai 6H. Satria Effendi M. Zein, ‘Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi’ [art] dalam Mimbar Hukum dan Aktualisasi Hukum Islam, No. 3 Tahun II, 1991 (Jakarta: Ditbinbapera dan Al-Hikmah, 1991), h. 32. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 5 Rizal Darwis, M.H.I. pada tingkat kesadaran timbal-balik, bahwa pasangan mereka adalah busana pelindung antara mereka, maka kewajiban dan tanggungjawab moral akan terpikul kepada masing-masing untuk menjaga dan memelihara keutuhan pakaian (busana) tadi agar tidak luntur, lapuk atau tanggal dari badan mereka. Islam telah menjadikan pernikahan sebagai suatu keharusan untuk memelihara keturunan manusia dan untuk menciptakan ketenangan jiwa serta sebagai jalan memadu cinta antara seorang pria dan seorang wanita di dalam membangun sebuah rumah tangga (keluarga), sehingga terciptalah kesatuan dan persatuan yang kuat di antara pasangan suami isteri tersebut. Sadr al-Syaria menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah melegalisasi hubungan seks antara dua jenis kelamin manusia dengan maksud untuk memperoleh keturunan, mengatasi kaum laki-laki dari perbuatan penyelewengan, mempertahankan kesucian, mewujudkan cinta kasih antara suami isteri, saling melindungi, serta saling membantu dalam memperoleh nafkah keluarga.7 Selain tujuan di atas, A. A. Fyzee melihatnya dari aspek sosial dan aspek hukum. Disyariatkan perkawinan bukan hanya sekedar mengabsahkan hubungan suami isteri, tetapi hubungan itu dapat dilihat dari aspek sosial sebagai berikut: (1) memberikan perlindungan kepada kaum wanita secara umum, baik fisik maupun psikis, (2) menciptakan stabilitas dalam keluarga dan dalam masyarakat, dan (3) mendatangkan sakinah (ketenteraman batin) secara timbal balik, suami kepada isterinya dan isteri kepada suaminya, bahkan kepada semua individu yang terlibat dalam keluarga tersebut. Adapun dari aspek hukum, perkawinan merupakan perjanjian suci antara suami isteri untuk membina rumah tangga bahagia. Dalam ikatan ini terdapat aturan-aturan tentang hak dan kewajiban dari semua individu yang ada pada keluarga.8 al-Syaria, Taudhih, dalam Muhammad Muslehuddin, Mut’a (Temporary Marriage) (New York: Islamic Publication, 1969), h. 59. 8A. A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law (London: Oxford University Press, 1955), h. 71-72. 7Sadr 6 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Pendahuluan Uraian-uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa perkawinan yang disyariatkan kepada umat manusia merupakan penghormatan yang sesuai dengan martabatnya dan sekaligus pembeda dari makhluk lainnya yang bebas bergaul tanpa diatur syariat. Dalam hal ini, perkawinan disyariatkan kepada umat manusia demi kemaslahatannya sendiri yang bertujuan untuk mempertahankan jenis manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan agar tercipta tatanan keluarga yang bahagia dan abadi. Mahligai rumah tangga adalah refleksi dari kerjasama suami isteri. Saling pengertian dan bantumembantu adalah menjadi kebutuhan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan yang didambakan bersama. Rumah tangga adalah tempat melabuhkan cinta kasih, mencurahkan isi hati, memadu kehangatan, juga tempat bersantai, jauh dari cekcok, serta kehidupan yang nyaman. Kesemuanya itu merupakan kebutuhan batiniyah bagi kehidupan suami isteri. Sekalipun demikian tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Islam, namun tidak jarang dalam kehidupan suami isteri terjadi pertengkaran. Hal ini bisa terjadi apabila dalam kehidupan suami isteri terjadi pengabaian hak dan kewajiban masing-masing, utamanya apabila suami tidak memberikan nafkah batin terhadap isteri, kemudian menjadikan penderitaan yang berkepanjangan bagi sang isteri. Sebab, apabila sang isteri tidak terpenuhi nafkah batinnya dapat mengakibatkan kegoncangan jiwa, di antaranya frustasi yang dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan dan konflik batin, sehingga jika hal ini terus-menerus terjadi, maka akan menimbulkan kekalutan.9 Allah swt. telah mengaruniakan keberkahan yang sangat berharga kepada manusia, tetapi seringkali mereka tidak menghargainya. Kadang-kadang dikarenakan ketidakpedulian dan sifat egoisnya, mereka mengubah ikatan yang hangat dan penuh berkah ini menjadi penjara yang gelap, atau bahkan neraka yang menyala. Ketidakpedulian suami isteri inilah sehingga kemudian anggota 9Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan (Cet. 1; Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 143. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 7 Rizal Darwis, M.H.I. keluarga terpaksa hidup di dalam penjara rumah tangga yang teramat gelap, atau bahkan mereka membiarkan ikatan perkawinan yang suci ini berantakan. Bila pasangan suami isteri sadar akan tugas (hak dan kewajiban) masing-masing, serta melaksanakannya sesuai dengan kemampuan yang ada, maka rumah tangga akan menjadi tempat menjalin persahabatan, bahkan menjadi surga yang penuh kedamaian dan keindahan. Tetapi apabila terdapat konflik-konflik dalam keluarga, maka rumah tangga akan dapat berubah menjadi neraka. Konflik dalam keluarga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya faktor ekonomi, latar belakang dari pihak laki-laki maupun wanita, lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Namun yang paling mendasar adalah faktor ketidakpedulian suami isteri atas hak dan kewajiban mereka masing-masing. Olehnya itu, Islam melarang keras suami bersikap sewenang-wenang terhadap isterinya. Namun kenyataannya ada saja suami yang tidak mau tahu dengan penderitaan mereka. Sang suami sengaja melalaikan kewajiban memberi nafkah batin dengan mencari kepuasan seksual dengan wanita lain, isteri tersebut ditinggalkan beberapa hari atau berbulan-bulan, bahkan kemungkinan bertahun-tahun tanpa adanya keperdulian dari suaminya tersebut, melakukan tindakan kekerasan seksual pada isteri, dan lain sebagainya, sehingga memberikan perasaan tidak aman dan damai dalam lingkup keluarnya dan berakibat psikis pada batin isteri. Terkait dengan kewajiban nafkah batin, ulama berbeda pendapat mengenai jarak waktu dan masa yang ditolerir oleh hukum fikih bagi suami untuk tidak menyetubuhi isterinya. Mengenai persoalan ini dalam hukum Islam didapati jalan keluarnya yang apabila ketentuan jarak waktu atau masa yang ditolerir oleh hukum fikih dalam hal nafkah batin, di mana suami tidak menunaikan kewajibannya yang menyebabkan kemudaratan bagi sang isteri, maka sang suami harus tahu diri dan cepat bertindak memilih salah satu di antara dua jalan, yaitu kembali memenuhi hak isterinya, atau melepaskannya secara baik. Namun apabila suami tidak melakukan hal yang demikian, yaitu kembali kepada isterinya atau menceraikannya, 8 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Pendahuluan maka sang isteri dapat mengajukan tuntutan cerai kepada Pengadilan Agama. Jika terjadi pengabaian dari pihak isteri kemungkinan timbulnya mudarat relatif sangat kecil, karena suami mempunyai hak talak yang telah diberikan agama kepadanya yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan. Akan tetapi lain halnya jika pengabaikan tersebut dari pihak suami, sebab isteri tidak mempunyai hak talak, maka UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama10 terdapat aturan mengenai tuntutan cerai. Adanya tuntutan cerai ini diajukan akibat adanya kelalaian dari sang suami yang tidak memenuhi nafkah batinnya selama dalam perkawinan. Oleh karena itu mengenai kebolehan seorang isteri menuntut suaminya yang tidak memenuhi nafkah lahiriyah dan batiniyah telah jelas dalam hukum Islam. Namun persoalannya adalah ketika isteri mengajukan tuntutan konpensasi terhadap suaminya, khususnya konpensasi nafkah batin berupa materi sebagai konsekuensinya, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai kebolehan konpensasi nafkah batin dengan materi dalam perkawinan. Konpensasi adalah imbalan, pengganti kerugian, peralihan/ pengalihan perhatian, penyaluran kekurangan (kekecewaan).11 Sedangkan nafkah batin adalah segala kebutuhan batin isteri setelah terjadi akad nikah yang sah, seperti memberikan kepuasan seksual, menjaga perasaan isteri, perlakuan dan perlindungan yang baik.12 Dalam tulisan ini yang dimaksud konpensasi adalah penggantian (ganti rugi) berupa materi oleh suami kepada isterinya akibat tidak memenuhi nafkah batiniyah. Islam dengan ajaran hukumnya pada prinsipnya bersifat konstan; tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Pemikiran dan 10Undang-undang ini telah mengalami dua kali perubahan, yaitu UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. 11M. Dahlan Albarry, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Yogyakarta: Arloka, 1994), h. 303. 12H. Satria Effendi M. Zein, ‘Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi,’ h. 32. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 9 Rizal Darwis, M.H.I. interpretasi umat Islam yang selalu berubah, sesuai dengan perubahan kondisi sosiohistoris, mobilitas sosial, dan dinamika kemajuan zaman. Hukum Islam dapat saja menerima interpretasi, sejauh tidak bertentangan dengan maksud, tujuan, dan hakikat syara’. Interpretasi ini kemudian menjadi fikih imam mazhab dalam Islam. Atas dasar ini, hukum Islam tersebut mencakup syara’ dan juga hukum fikih, karena arti syara’ dan fikih terkandung di dalamnya. Hukum Islam tetap terbuka jalan pembaharuan untuk memberikan respon terhadap tuntutan perubahan pada segala aspek yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat dalam I’lam al-Muwaqqi’in:      !  " #  $ %  #&  (perubahan ide-ide atau pemikiran hukum dan perbedaannya sesuai dengan perubahan zaman, ruang, keadaan, niat dan kebutuhan). Bahkan lebih jauh beliau mengatakan bahwa tidak memahami atau mempertimbangkan perubahan merupakan kesalahan besar dalam syariat.13 Kendatipun pembaharuan hukum itu dipandang sebagai suatu keharusan, namun perlu ditegaskan pembaharuan tersebut tidak kontradiktif dengan jiwa dan roh hukum itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam hukum Islam tersebut memiliki karakteristik tersendiri di dalam penerapannya pada berbagai aspek sosial kemasyarakatan, seperti bidang pendidikan, bidang perekonomian, bidang politik, bidang agama. Dengan kata lain, bidang-bidang yang berinteraksi antar manusia dengan manusia lainnya. Hukum Islam adalah kata majemuk yang terdiri dari kata hukum dan Islam. Kata hukum yang telah diindonesiakan berasal dari bahasa Arab, hukm. Kata hukm dari sudut etimologi bermakna mencegah.14 Juga berarti secara legal, sesuai dengan aturan, pasti.15 Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in an Rab al-‘Alamin, Juz 3 (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 14. 14Abi al-Husain Ahmad ibn Fariz Zakariyah, Mu’jam Maqyis al-Lugah, Juz 2 (Bairut: Dr al-Fikr, 1994), h. 91. 15Atabiq Ali, et. al., Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Cet. 2; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1997), h. 786. 13Ibn 10 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Pendahuluan Istilah hukum Islam merupakan istilah bahasa Indonesia sebagai terjemahan al-Fiqh al-Islmy atau dalam konteks tertentu dari alSyar’ah al-Islmy.16 Dari tinjauan leksikalogisnya berarti menyelesaikan atau memutuskan suatu hal, memberi kekang dan menghalangi keinginan seseorang.17 Sedangkan kata Islam dalam Ensiklopedi Islam adalah agama samawi yang diturunkan oleh Allah swt. melalui utusanNya Muhammad saw. yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci Alquran dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah, laranganlarangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat.18 Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam Alquran dan literatur-literatur Islam, demikian kata Joseph Schacht dalam bukunya An Intruduction to Islamic Law, sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman, bahwa yang ada dalam Alquran adalah hanya kata syariah, fikih, hukum Allah dan yang sealur dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term Islamic Law dari literatur yang digunakan oleh orang Barat.19 Ahmad Rafiq mengemukakan bahwa hukum Islam adalah peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam empat produk pemikiran hukum, yaitu fikih, fatwa, keputusan Pengadilan dan undang-undang. Keempat produk ini dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia.20 Hasbi ash-Shiddiqiey mendefenisikan hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.21 Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. 3; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3. 17Ibrhim Mustafa, Mu’jam al-Wasi, Juz 2 (Teheran: al-Maktabah alIslmiyah, t.th.), h. 189. 18Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2 (Cet. 3; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 247. 19Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 11. 20Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 9. 21Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Cet. 2; Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 16. 16Ahmad Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 11 Rizal Darwis, M.H.I. Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasulullah tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam.22 Kesimpulannya bahwa hukum Islam adalah aturan-aturan atau hukum-hukum yang bersumber dari Alquran dan hadis Nabi saw. serta ketentuan-ketentuan yang di-istimbat-kan daripadanya berupa hasil ijtihad dari para ulama Islam atau yang dikenal dengan istilah fikih, fatwa ulama, putusan Pengadilan atau yurisprudensi dan undang-undang yang dijadikan patokan dasar untuk menyelesaikan berbagai problema hidup agar tercapai keselamatan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai sebuah konsekuensi dari sikap patuh dan tulus dari setiap masyarakat, khususnya umat muslim. Hukum Islam secara konseptual dipersepsikan sebagai suatu hukum yang universal, dinamis, elastis, fleksibel dan dapat beradaptasi, berinteraksi serta mampu menampung berbagai perkembangan di mana dan kapan pun. Penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam tataran empirik historis telah melahirkan berbagai karya dalam bidang pemikiran hukum Islam sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakatnya dan tuntutan sosio-kultural yang melingkupinya, tak terkecuali dalam bidang hukum keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan. Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian. Kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan pandangan hidup dan lain sebagainya terkadang muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan 22Amir 12 Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran, h. 18. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Pendahuluan dapat menimbulkan krisis serta dapat mengancam sendi-sendi rumah tangga. Keberadaan institusi perkawinan menurut hukum Islam dapat terancam oleh berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria (suami) maupun oleh wanita (isteri). Perbuatanperbuatan tersebut dapat merusak perkawinan, terhentinya hubungan untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan terputus untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang, baik suami ataupun isteri meninggal dunia. Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami isteri yang terpaksa harus putus ikatan perkawinannya di tengah jalan. Tulisan ini berupaya menganalisis dan mengetahui secara mendalam dasar hukum kewajiban nafkah batin dalam hukum Islam, akibat hukum suami yang tidak memenuhi nafkah batin isterinya, serta tinjauan hukum Islam terhadap ganti rugi (konpensasi) nafkah batin. Temuan dalam buku diharapkan dapat memberikan konstribusi ilmiah, khususnya bagi para akademisi, ahli hukum, pengacara, pemuda pemudi, pasangan yang hendak menikah, pasangan suami isteri, dan pihak-pihak yang ingin mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap konpensasi nafkah batin isteri dalam perkawinan. Istilah konpensasi atau ganti rugi materi kaitannya dengan nafkah batin isteri merupakan istilah yang belum banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya, sehingga buku ini diharapkan menjadi bahan referensi untuk lebih jauh mengetahui pemikiran hukum Islam tentang hukum perkawinan dan problematika konpensasi tersebut. Pembahasan dalam buku ini dibagi dalam beberapa bagian, yaitu: (1) Bagian pertama merupakan pendahuluan yang memberikan sebuah deskripsi terhadap latar belakang kajian ini; (2) Bagian kedua membahas tentang dasar-dasar umum dari hukum perkawinan dalam Islam yang meliputi pengertian perkawinan, landasan hukum dan hikmah perkawinan, rukun dan syarat-syarat perkawinan, serta hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan; (3) Bagian ketiga Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 13 Rizal Darwis, M.H.I. membahas tentang nafkah dalam perkawinan dan putusnya perkawinan. Pembahasannya meliputi pengertian dan pembagian nafkah, kedudukan hukum dan putusnya perkawinan serta akibat hukum yang ditimbulkan; (4) Bagian keempat membahas tentang hak nafkah batin isteri dalam perkawinan yang meliputi: nafkah batin ditinjau dari segi psikologi dan fisiologi, akibat-akibat yang ditimbulkan karena tidak terpenuhinya nafkah batin, dan telaah hukum Islam terhadap konpensasi nafkah batin dengan materi, dan (5) Bab kelima merupakan kesimpulan dari pembahasan buku ini. Ù”Ú 14 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan H• 2 •I DASAR-DASAR UMUM HUKUM PERKAWINAN ISLAM I slam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, mulai bagaimana mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya dalam kehidupan rumah tangga. Perkawinan dalam sudut pandang Islam merupakan suatu sistem atau aturan yang berasal dari Allah swt. yang mengandung berbagai hikmah yang besar, dan di dalam perkawinan diatur hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan aturan yang khusus sebagai sebuah hubungan suami isteri. Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridai oleh Allah swt. Melalui perkawinan itu terbentuk sebuah keluarga yang berkomitmen untuk mendirikan beberapa peraturan hidup khusus yang dijadikan sebagai pedoman berkeluarga demi menciptakan sebuah keluarga yang sakinah, cinta dan kasih (mawaddah wa rahmah). Keluarga merupakan sebuah elemen sosial yang akan membentuk sebuah sistem sosial dalam masyarakat. Sistem sosial ini terjadi dalam pertemuan dan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Artinya peraturan bagi masyarakat yang mengatur hubungan yang terjadi antara sesama manusia, khususnya pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah tangganya. Pengetahuan dasar akan hal ikhwal perkawinan, khususnya perkawinan Islam merupakan salah satu aspek yang penting untuk diketahui dan dipahami sebelum dan selama menjalani kehidupan berumah tangga tersebut, sehingga tujuan daripada pelaksanaan perkawinan dapat terwujud. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 15 Rizal Darwis, M.H.I. A. Pengertian, Landasan Hukum dan Hikmah Perkawinan dalam bahasa Indonesia sinonim dengan pernikahan. Pernikahan kata dasarnya ialah ‘nikah.’ Nikah merupakan salah satu kata Arab yang telah baku menjadi kata Indonesia.1 Dari segi bahasa, perkataan nikah berasal dari akar kata 8A , W , dan H X (Y,<) yang berarti bagian atau sepotong dari daging (Z[:)2, berhubungan badan (H\), akad ("C)3, menindih atau menghimpit ([), dan berkumpul (Z]).4 Ulama berselisih pendapat terhadap makna nikah dari segi 5 uûli. Pertama, menurut Abu Hanifah, makna nikah yang sebenarnya ialah berhubungan badan (H\), sedangkan menurut kiasan ialah akad ("C). Karena itu menurut beliau, untuk memastikan maksud kata nikah yang terdapat dalam Alquran dan hadis, perlu ada qarinah (indikasi kuat) yang menunjuk ke pengertian tersebut. Kedua, menurut Syfi’i, makna nikah yang sebenarnya ialah akad ("C), sedangkan menurut kiasan ialah berhubungan badan (H\). Hal ini didasari karena banyaknya penggunaan kata nikah bermakna akad yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Ketiga, nikah merupakan lafaz musytarak yang bermakna antara akad dan berhubungan badan. Karena baik dalam Alquran maupun hadis terkadang memakai salah satunya. Hal ini tergantung dari konteks dan dimensi yang melingkupi makna dan kandungan dari ayat Alquran dan hadis Rasulullah saw. tersebut. Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1972), h. 741. 2Abi al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqyis al-Lugah (Cet. 1; Bairut: Dr al-Fikr, 1994), h. 1048. 3Ibn Mansur Jaml al-Dn Mukarram al-Anjari, Lisn al-‘Arab, Juz 2 (Cet. 1; Bairut: Dr al-adir, 1997), h. 262. 4Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7 (Cet. 3; Bairut: Dr al-Fikri, 1409 H./1989 M.), h. 29. 5Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4 (Bairut; Dr al-Fikr, 1969), h. 1-2. 1Harun 16 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Adapun makna nikah menurut syara’ ialah:  Va ' = [PD ` " + : + J 2^ $J : H \  c $)   b P P. &      '.TU d    [   L :" P Artinya: Pernikahan menurut syara’: suatu akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan bersetubuh, berinteraksi, hubungan timbal balik, dan tindakan-tindakan yang lainnya. Menurut UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), pasal 1, perkawinan ialah: Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7 Sedangkan menurut Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa: 8 Pasal 2 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 29. Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet. 3; Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), h. 123. 6Wahbah 7Zainal 8Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan, h. 307. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 17 Rizal Darwis, M.H.I. Menurut Anwar Harjono, perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.9 Sayuti Talib juga mengemukakan perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara satu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia.10 Mencermati rumusan-rumusan pengertian tersebut nampak bahwa definisi yang diajukan oleh al-Jazri dan Wahbah terkesan lebih menonjolkan hubungan fisik dan materi, walaupun pada sisi lain apabila dilihat secara komprehensif hukum perkawinan dan makna uuli yang diajukan oleh Syfi’i bahwa pada hakekatnya makna nikah itu ialah akad - tidak menyatakan demikian. Hal tersebut berbeda dengan definisi yang diajukan oleh UUP dan KHI, yang lebih mencerminkan dua sisi yang berimbang, baik itu memenuhi unsur lahir dan batin, maupun keadilan dalam berinteraksi bagi kedua mempelai. Hal ini dipahami dari potongan kalimat ‘ikatan lahir dan batin’ yang kemudian diperkuat dengan kata mqan galdz, kemudian hubungan perkawinan yang diikat dengan mawaddah wa rahmah dan kehidupan keluarga yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasan hukum disyariatkan perkawinan didasarkan pada Alquran, hadis dan ijma’ kaum muslimin bahwa pernikahan tersebut disyariatkan.11 Beberapa ayat dalam Alquran misalnya menjelaskan hal ini:  C B &)  P 6 8 ef b  ghi jO> H ;KA =>  ,  k l > 9 , < f Harjono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Cet. 2; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 221. 10Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Cet. 2; Jakarta: UI Press, 1982), h. 73. 11Ibn Qudmah, al-Mugn, Juz 7 (Bairut-Libanon: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 334. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 31. 9Anwar 18 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Terjemahnya:  .CB &) % ) TU  , < m) @  ,> >  ) $af Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim (QS. al-Nis’/4: 3). H"f <, D 8 '  , n >'   % :+ = > FX o    , A> p> D4 9 , <)      f => *  A D .     ` + Z̀. * *[ Terjemahnya: Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan member kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. al-Nûr/24: 32) Selanjutnya dalam al-Had dijelaskan misalnya:     t K A Z> A s "f *A+ * Iq *:+ Z> Ir> ) <) A s N V" + = +   o: v u ) *<ef 2 ^P f $H : b wP.  = > s "f . *+ * p |} (y z: {) .H̀ ( * *<ef Q o    * Cf Z w P; D x = > 2  = oa ) Artinya: Dari ‘Alqamah berkata bahwa ia berjalan bersama ‘Abdullah, ia berkata bahwa ia pernah bersama Rasulullah dan bersabda: barangsiapa yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami isteri, hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, wajib 12Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 1 (Bairut: Dr al-Kutub al‘Ilmiyah, 1412 H./1992 M.), h. 587. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 19 Rizal Darwis, M.H.I. berpuasa. Maka sesungguhnya puasa adalah perisai baginya (HR. alBukhry). G  > = <) Z€ *<) LD w G  ~) =   H ( s  " D *A+ * Iq  T       $% :+ =+ 8-;D . * + * p tA 2 3 ) R   ' G ‚ Vihi  K        )  f . * + * p t => = ƒ =D)  "f ‚u "B   K A  <- „6 s N 6 -B > * :<U = > Q"B > *    N . * + * p t K A  w f) & ‚   Q   ) <)  6† s N  ) L IK ) K ef <) > )  ‚  a) * + * p *  s  .  H ‡f  ) 2 ^B) hf H ;KA s^ P+ ) <)  6† s N *    r6 4 K ' *  >) 7 7  P N =D7   P<) s "f   ' .  = + ˆ  = f H ;KA 2 ^B)  N ) IK )  w f) Q   ) ‰K , *   "B) |‹(y z: {) .‰> K  f Š A. Artinya: Humad ibn Humad al- awl pernah mendengar Anas bin Mlik berkata: Tiga orang pernah datang ke salah satu rumah isteri Nabi saw., bertanya tentang ibadah beliau. Ketika mereka telah mendapatkan keterangan, mereka merasa dirinya kecil. Lalu mereka berkata: seberapakah kita ini kalau dibandingkan dengan Nabi saw., padahal beliau telah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang. Lalu salah seorang berkata: adapun aku shalat malam terus selamanya. Kemudian yang kedua berkata: aku puasa terus dan tidak berbuka. Dan yang ketiga berkata: aku menjauhi perempuan dan selamanya tidak akan kawin. Kemudian Rasulullah saw. datang, lalu bersabda: Kalian berkata begini dan begitu? Demi Allah, bukankah aku ini orang yang paling taqwa kepada Allah, tetapi aku tetap puasa dan berbuka, shalat dan tidur dan kawin. Barangsiapa membenci tuntunanku, berarti ia bukan dari umatku (HR. al-Bukhry). 13Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 5, h. 437. 20 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Disyariatkan pernikahan mengandung beberapa hikmah, di antaranya: Pertama, dengan dilakukannya pernikahan, yang kemudian melahirkan anak, maka:14 1. Kelestarian manusia akan terjamin. Perkawinan dilaksanakan dengan tujuan memelihara atau melanjutkan keturunan. Garis keturunan ini menentukan bentuk pendidikan yang dapat mengekalkan kemuliaan bagi setiap keturunan. Seandainya tidak ada perkawinan sebagaimana yang ditentukan oleh Allah swt. untuk meramaikan masyarakat dengan anak-anak, kemuliaan dan keturunan jenis manusia akan punah. Dengan garis keturunan/keluarga ini, pertanggungjawaban pendidikan akhlak dan pemeliharaan dari segala bentuk kebejatan bisa terjamin. 2. Sebagai jalan untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Allah swt. menciptakan sepasang suami isteri, Dia menciptakan laki-laki dan perempuan, Dia menciptakan mani di dalam tulang belakang dan Dia siapkan mani itu di dalam dua buah pelir dengan urat-urat dan jalan-jalannya. Dan dia menciptakan rahim sebagai tempat menetap dan tempat pemeliharaan mani. Dia kuasakan kehendak syahwat pada masing laki-laki dan perempuan. Kesemuanya itu mengandung maksud yang jelas, untuk dipergunakan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Karena itu setiap orang yang mencegah dari perkawinan, maka ia berpaling dari penanaman, menyia-nyiakan bibit, dan menganggurkan alat-alat telah diciptakan oleh Allah swt. 3. Mencari berkah dengan doa anak yang saleh. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: 14Al-Gazali, Ihya ‘Ulûm al-Dn, terj. M. Zuhri, Ihya ‘Ulumuddin, Jil. 3 (AsSyifa: Semarang, 1992), h. 78-89. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 21 Rizal Darwis, M.H.I.  R > U' s N . * + * p *  s.  8 ) $D‚ ~) = + 8 ;<Œ  ) * Z PAD G  +  ) VG D ( VG N = > &' VG ihi = > &' *+ *A+ Zw"<  G ()(;> {). * +D Y    G   Artinya: Dari Ab Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Manusia apabila meninggal terputus amalnya kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya (HR. Muslim). 4. Jika sang anak meninggal sebelum dirinya, maka anak itu menjadi syafa’at baginya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: G  > =   * + * p *  s  .  s N s N *A+ * Iq  T   <) = +   &' ŽAX   :D x   => V̀ihi * R  m ` ; >  A => > .  ('(y z: {) .‚ D' *  * *6% )   VA]    P  L [ Artinya: Dari Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: siapa saja orang muslim yang meninggal tiga orang anaknya yang belum dewasa (balig), maka Allah memasukkannya ke surga dengan anugerah rahmat-Nya kepada mereka (HR. al-Bukhry). 5. Sebagai tempat ujian ketaatan dan mengikuti sunnah Rasul dengan mewujudkan akan kecintaan dan keridhaan Rasulullah saw. dengan memperbanyak sesuatu yang menjadikan beliau berbangga. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: Muslim ibn al-Hajj al-Qusyairy al-Naisabury, ahh Muslim, Juz 2 (Bairut: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 14. 16Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 1, h. 420. 15Imm 22 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam G  > =    > -D . * + * p *  s  .  8  s N T   <) = + K ' % %% ( ^B s  " D D   J  < Lu P:P = + pAD $H :   > "  QD H :<4 i ,> |(L:Aa = ) {) .V  `  Artinya: Dari Anas bin Mlik ra. berkata: Adalah Rasulullah saw. menyuruh kawin dan melarang hidup sendirian (tidak kawin) dengan larangan yang sangat, dan beliau bersabda: Kawinilah olehmu wanita-wanita yang pencipta lagi peranak, maka sesungguhnya aku akan bermegah-megah dengan banyaknya kamu itu terhadap nabinabi yang lain di hari kiamat (HR. Ahmad ibn Hanbal). Kedua, melalui perkawinan, masyarakat dapat diselamatkan dari kerusakan akhlak dan mengamankan setiap individu dari kerusakan pergaulan. Tampak dengan jelas bahwa tabiat manusia senantiasa condong kepada jenis lainnya, hal ini tak bisa terpenuhi kecuali dengan jalan perkawinan yang diatur dengan syariat Allah. Dengan perkawinan, manusia dapat diselamatkan baik secara individual maupun sosial, dengan budi pekerti yang baik dan akhlak yang mulia.18 Ketiga, perkawinan akan menjadikan jiwa longgar dan terhibur. Dengan kondisi seperti ini akan membuat jiwa menjadi kuat beribadah. Karena jiwa mempunyai sifat bosan dan akan cenderung lari dari kebenaran yang berbeda dengan nalurinya, dan seandainya jiwa terus menerus dibebani pada sesuatu yang berlawanan dengannya maka jiwa itu akan tidak menurut dan kembali kepada nalurinya.19 Keempat, perkawinan akan mempermudah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt., karena melalui perkawinan maka akan tercipta pembagian kerja yang seimbang, yang mencegahnya dari menanggung seluruh pekerjaan rumah tangga, sehingga mempunyai 17Abû Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibany alMarwazy, Musnd Ahmd bin Hanbal, Juz 3 (Bairut: Dr al-Fikr, t.th.), h. 158. 18Abd. Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah (Cet. 1; Surabaya: Bina Ilmu, 1955), h. 44. Lihat pula Al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Dn, Jil. 3, h. 89-97. 19Al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Dn, Jil. 3, h. 98-99. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 23 Rizal Darwis, M.H.I. waktu cukup untuk beribadah mahdah kepada-Nya dan untuk tindakan-tindakan lainnya yang bernilai ukhrawi.20 Menyadari tanggungjawab beristeri dan menanggung anakanak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.21 Kelima, perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat keturunan menjadi mulia.22 Dengan perkawinan sebagaimana yang diatur syariat Allah swt. Kepada hamba-hambanya, anak-anak itu senantiasa berbangga dengan garis keturunan orangtua mereka. Tampak jelas bahwa garis keturunan ini menentukan bentuk pendidikan yang dapat mengekalkan kemuliaan bagi setiap perkawinan.23 Dengan perkawinan garis nasab akan jelas, sehingga mudah diketahui keluarga sang anak yang pada akhirnya akan jelas pula orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya, sehingga ia kelak dapat berguna bagi kehidupan manusia.24 Keenam, memerangi hawa nafsu dan melatihnya dengan memelihara, menanggung, mengatur dan melaksanakan hak-hak mereka (isteri), sabar terhadap akhlaknya, menanggung hal-hal yang menyakitkan dari mereka, berusaha dalam memperbaiki dan menunjukkan mereka ke jalan agama (Islam), berusaha keras dalam mencari yang halal demi mereka dan melakukan pendidikan anakanaknya.25 Ihya ‘Ulum al-Dn, Jil. 3, h. 101-103. Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Moh. Thalib, Fiqh Sunnah, Jil. 6 (Cet. 9; Bandung: Al-Ma’arif, 1994), h. 18-22. 22Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 22. 23Abd. Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah, h. 44. 24M. Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Cet. 1; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 14. 25Al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Dn, Jil. 3, h. 103. 20Al-Gazali, 21Sayyid 24 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Ketujuh, perkawinan akan menimbulkan rasa cinta antara suami isteri, menimbulkan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga selanjutnya akan dirasakan pula dalam masyarakat, sehingga membentuk masyarakat yang tenteram dan diliputi kasih sayang.26 Keluarga adalah elemen terkecil dari sebuah masyarakat, dan rumah tangga yang diliputi oleh cinta, kasih dan sayang, maka membawa sebuah kedamaian bagi lingkungan masyarakat sekitarnya. Kedelapan, perkawinan akan membuat manusia menjadi berkembang biak, sehingga pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan sendiri akan mudah terlaksana. Artinya kehadiran suami atau isteri dalam kehidupan rumah tangga bisa menjadi ringan karena sudah dikerjakan oleh masing-masing pasangannya.27 Kesembilan, menjauhkan diri dari memperdaya wanita karena pernikahan dilakukan secara terang-terangan di depan para undangan bukan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.28 Kesepuluh, mengembangkan tali silaturahmi dan memperbanyak keluarga.29 Perkawinan di antara dua orang anak cucu Adam, tidak hanya terbatas pada hubungan suami isteri, tetapi menjalin pula kekeluargaan antara kerabat yang satu dengan yang lain. Dengan demikian keluarga kecil akan bertambah besar dan kesatuan masyarakat akan bertambah luas pula. Berbagai hikmah dilangsungkannya perkawinan di atas pada dasarnya meninggikan harkat dan martabat manusia yang menjalaninya, sehingga terhormat dan mulia dibandingkan dengan makhluk lain. Selain itu melalui pernikahan adalah wujud kecintaan Allah swt. kepada manusia untuk dapat menyalurkan kebutuhan 26M. Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 14. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 22. 27Al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, terj. Mahyuddin, Hikmah Dibalik Hukum Islam, Jil. 3 (Cet. 3; Jakarta: Mustaqim, t.th.), h. 20. 28Al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, h. 22. 29Haya binti Muborok al-Barik, Mausu’ah al-Mar’ah al-Muslimah, terj. Amir, Ensiklopedi Wanita Muslimah (Cet. 1; Jakarta: Darul Falah, 1418 H.), h. 118. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 25 Rizal Darwis, M.H.I. biologis secara terhormat dan baik, serta menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang di antara pasangan suami isteri tersebut. B. Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan Suatu akad perkawinan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang batal. Akad perkawinan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan rukun dan syarat-syarat yang lengkap sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Ulama berselisih pendapat dalam hal yang termasuk rukun nikah. Menurut Hanfiyah, rukun nikah hanya ijab dan qabûl.30 Adapun Syfi’iyah31 dan Hanbilah,32 yang termasuk rukun nikah ialah wali, saksi, calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, dan igat. Sedangkan menurut Mlikiyah, rukun nikah ialah wali, mahar, calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, dan igat.33 Di Indonesia, dalam UUP tidak menjelaskan mengenai rukun perkawinan. Undang-undang ini hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan yang dituangkan dalam bab II pasal 6, 7, 8, 9 dan 10. Walaupun demikian peraturan perundangan lainnya, yaitu KHI membahas rukun perkawinan dengan mengikuti sistematika fikih Syfi’iyah yang mengaitkan rukun dan syarat. Rukun perkawinan dimuat dalam pasal 14 KHI bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab - qabûl. Dengan demikian rukun nikah yang disepakati dalam perspektif fikih ialah ijab dan qabûl (igat). Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yakni: igat, adanya wali, calon mempelai laki-laki al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 36. al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4 (Bairut-Libanon; Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 12. 32Abdillah Ibn Qudmah, al-Kfi fi Fiqh Imm Ahmad, Juz 3 (Cet. 1; BairutLibanon: t.p., 1994), h. 9-20. 33Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 12. 30Wahbah 31Abd 26 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam dan calon mempelai perempuan. Apabila rukun tersebut digabung dengan prinsip saling melengkapi, maka terdiri atas igat, wali, saksi, mahar, calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Adanya perbedaan ulama dalam menetapkan rukun perkawinan pada dasarnya memberikan jaminan hukum terhadap keabsahan perkawinan. Selain rukun-rukun tersebut yang harus terpenuhi dalam perkawinan, maka dalam perkawinan juga terdapat syarat-syarat perkawinan Adapun syarat-syarat yang melekat pada rukun-rukun tersebut ialah: 1. igat Menurut Hanfiyah, syarat ijab dan qabûl ialah: a. Dengan memakai lafaz tertentu. Lafaz untuk akad nikah, ada yang bersifat arih, yaitu lafaz: ‘menikahkan’ dan ‘mengawinkan’ serta perubahan dari kedua kata itu. Macam lafaz yang kedua ialah yang bersifat kinyah. Apabila lafaz bentuk ini yang dipakai, maka haruslah disertai dengan niat untuk ijab dan qabûl. Mengenai pemakaian lafaz kinyah untuk akad nikah ada empat pendapat dalam mazhab Hanfiyah, yaitu: 1) Lafaz-lafaz yang telah disepakati para ulama mazhab Hanfiyah boleh dipakai, seperti: hibah, milik dan sedekah. 2) Lafaz-lafaz di mana ulama mazhab Hanfiyah berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya dipergunakan dalam akad, namun pendapat yang paling benar adalah sah, seperti: menjual, membeli dan menyerahkan diri. 3) Lafaz-lafaz di mana ulama Hanfiyah berbeda pendapat tentang boleh tidaknya dipergunakan dalam akad, namun pendapat yang paling benar adalah tidak sah, seperti: mewasiatkan dan menyewakan. d. Lafaz-lafaz yang disepakati oleh ulama Hanfiyah untuk tidak dipergunakan dalam akad, seperti: menggadaikan, meminjamkan, membolehkan dan menyenang-nyenangkan. b. Ijab dan qabûl harus dalam satu majelis. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 27 Rizal Darwis, M.H.I. c. Dalam ucapan lafaz ijab dan qabûl tidak boleh mengandung pengertian bahwa perkawinan itu hanya untuk jangka waktu tertentu. d. Tidak boleh kontradiksi antara ijab dan qabûl. e. Ucapan ijab dan qabûl harus kedengaran oleh kedua belah pihak (pihak lak-laki dan pihak perempuan).34 a. b. c. d. Menurut Mlikiyah, syarat ijab dan qabûl ialah: Harus dipergunakan lafaz arih. Tidak boleh terputus antara ijab dan qabûl, sebaiknya antar ijab dan qabûl itu bersambung langsung. Tidak boleh dalam ucapan ijab dan qabûl itu ada perkataan yang memberi pengertian bahwa perkawinan itu ‘untuk jarak waktu tertentu’ sebab kawin yang berjangka waktu itu adalah kawin mut’ah yang diharamkan. Tidak boleh dalam akad nikah itu mengandung pengertian khiyar, atau sesuatu syarat yang dapat menggugurkan akad nikah. Seperti kata suami dalam qabûl-nya: ‘saya telah terima nikahnya dengan syarat apabila kita berpisah dari majelis ini jatuhlah talakku padamu. Akad ini tidak sah. 35 Menurut Syfi’iyah, syarat ijab dan qabûl ialah: a. Adanya percakapan. Artinya masing-masing dari dua orang yang melakukan akad itu saling bercakap-cakap atau berbicara. b. Percakapan sesuai dengan jumlah orang yang melakukan hal tersebut. c. Yang melakukan akad, memulai dengan menyebutkan mahar dan sesuatu yang diakadkan, seperti harga dan barang-barang yang dijual. al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 17-19. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 89-90. 35Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 21-23. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 91-92. 34Abd 28 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam d. Hendaknya ijab dan qabûl yang diucapkan, dimaksudkan untuk arti apa yang ia ucapkan. e. Ijab dan qabûl tidak diselingi pembicaraan lain. f. Ijab dan qabûl tidak diselangi oleh sikap diam yang lama, yaitu diam yang mengisyaratkan kepada berpaling dari qabûl. g. Ijab tidak berubah sebelum qabûl diucapkan. h. Hendaknya ucapan masing-masing pihak dapat didengar oleh yang lain dan hadirin yang ada didekatnya. i. Ijab dan qabûl harus sesuai maknanya. j. igat tidak digantungkan kepada sesuatu yang tidak dikehendaki akad. k. Ijab tidak dibatasi dengan waktu. l. Hendaknya qabûl lahir dari orang yang diajak bicara. m. Kecakapan tindakan hukum bagi yang melakukan akad, masih tetap hingga qabûl telah sempurna diucapkan mempelai laki-laki.36 a. b. c. d. e. Menurut Hanbilah, syarat ijab dan qabûl ialah: igat menggunakan lafaz arih. Qabûl memadai apabila pihak mempelai laki-laki mengatakan: ‘telah kuterima’ atau ‘telah kusetujui’, sesudah lafaz ijab diucapkan oleh pihak wali. Tidak sah nikah apabila didahului oleh qabûl. Sebelum ijab dari pihak wali. Harus segera bersambung antara ucapan ijab dan qabûl. Ucapan ijab dan qabûl tidak harus dengan bahasa Arab tapi boleh juga dengan bahasa lain yang semakna dengan ‘al-nikh’ atau ‘altazwij’, terutama bagi yang lemah berbahasa Arab. Ijab dan qabûl tidak boleh dengan isyarat kecuali bagi orang yang bisu.37 al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 18-20. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 92-93. 37Abdillah ibn Qudmah, al-Kfi fi Fiqh Imm Ahmad, Juz 3, h. 20-21. Lihat pula Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 20-21 dan Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 94. 36Abd Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 29 Rizal Darwis, M.H.I. Bila dalam rukun perkawinan KHI mengikuti sistematika fikih Syfi’iyah, maka dalam penjelasan ijab dan qabûl tidak persis sama dengan sistematika fikih, terutama dalam uraian persyaratan ijab dan qabûl. KHI hanya menyebutkan persyaratannya sebagai berikut: a. Ijab dan qabûl harus jelas, beruntun, tidak berselang waktu (pasal 27 KHI). b. Ijab mesti diucapkan oleh wali dari mempelai wanita (pasal 27 KHI). c. Yang berhak mengucapkan qabûl ialah calon mempelai pria secara pribadi dan dalam hal-hal tertentu ucapan qabûl nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria, namun bila calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tersebut tidak boleh dilangsungkan (pasal 28 KHI). 1. Suami dan Isteri Menurut Hanfiyah, syarat suami dan isteri ialah: baliq, berakal, merdeka, jelas/tentu orangnya, calon suami harus tahu bahwa calon isterinya sah untuk dikawini, dan calon isteri adalah orang yang patut diakadnikahkan karena pada dirinya tidak melekat larangan perkawinan.38 Menurut Mlikiyah, adapun syarat-syarat calon suami dan calon isteri ialah: a. Tidak terdapat pada calon suami dan isteri suatu sebab sebagai penghalang untuk melaksanakan perkawinan. b. Calon suami beragama Islam, berakal, tamyiz dan terang kelakilakiannya. c. Calon isteri merdeka, balig, cerdas, sehat, dan sekufu. 38Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 13-20. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 89-90. 30 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam d. Baik calon suami maupun isteri tidak dipaksa.39 a. b. c. d. Menurut Syfi’iyah, syarat calon suami dan calon isteri, ialah: Tidak terdapat pada calon suami dan isteri suatu sebab sebagai penghalang (larangan) untuk melaksanakan perkawinan. Calon suami dan isteri, jelas dan pasti orangnya. Calon suami tidak dipaksa. Calon suami harus tahu bahwa calon isterinya halal baginya, yaitu tidak ada larangan kawin dengannya.40 Menurut Hanbilah, syarat calon suami dan calon isteri, ialah: a. Baik calon suami maupun isteri haruslah jelas dan tentu orangnya. b. Perkawinan itu harus atas persetujuan kedua calon suami dan isteri. Tidak sah nikah dengan paksaan, apabila pihak yang bersangkutan sudah balig dan berakal. Kalau belum balig dan belum sempurna akalnya maka bapaknya boleh memaksa anakanaknya kawin sesudah dipertimbangkan berbagai kemaslahatan bagi anak itu.41 Dalam UUP persyaratan calon suami dan isteri, tertuang dalam pasal 6, 7, 8, 9 dan 10.42 Pasal 6 (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka 39Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 21. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 91-92. 40Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 92. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 93. 41Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 20-21. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 94. 42Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan, h. 125. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 31 Rizal Darwis, M.H.I. izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan … Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3) Ketentuan … Pasal 8 (1) Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. 32 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam e. f. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi. Kecuali diizinkan oleh Pengadilan berpoligami. Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Sedangkan KHI mengatur persyaratan kedua calon mempelai pada pasal 15, 16, 17 dan 18.43 Pasal 15 isinya tidak jauh berbeda dengan pasal 6 UUP, adapun pasal 16 dan 17 merupakan penegasan dan perincian lebih lanjut dari persetujuan calon mempelai yang merupakan syarat perkawinan dalam UUP. Pada kedua pasal 16 dan 17 ini dijelaskan bahwa: 1. Persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. 2. Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan itu tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. 43Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan, h. 209-310. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 33 Rizal Darwis, M.H.I. 3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, maka persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Sedangkan pasal 18 KHI juga tidak jauh berbeda dengan pasal 8, 9, 10 UUP. Hanya dalam KHI terdapat penambahan larangan perkawinan, misalnya larangan tentang perkawinan beda agama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan. Mencermati pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa UUP dan KHI membatasi persyaratan calon mempelai pada 3 (tiga) hal, yaitu persetujuan kedua calon mempelai, batasan umur, serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri dikarenakan adanya saling keterkaitan. Tahir Mahmood menjelaskan batasan umur yang termuat dalam undang-undang perkawinan tidak terlalu tinggi bila dibanding dengan beberapa negara lainnya di dunia. Aljazair misalnya membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan yang perempuan 18 tahun. Demikian juga dengan Bangladesh 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Terdapat juga beberapa negara yang membatasi umur tersebut sangat rendah. Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia membatasi usia perkawinannya, laki-laki berumur 18 tahun dan yang perempuan 16 tahun, dan rata-rata negara di dunia membatasi usia perkawinan itu laki-laki 18 tahun dan wanitanya berkisar 15 dan 16 tahun.44 Peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan batasan umur ada kesan, UUP bermaksud untuk merekayasa untuk tidak mengatakan 44Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h. 270. 34 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam menahan laju perkawinan yang membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.45 Laju kelahiran yang tinggi, kematian pada ibu hamil yang cukup tinggi pula, dan kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu, tertuju pada isteri yang kawin muda.46 Dengan adanya pembatasan ini, sehingga dapat meminimalisir terjadinya hal tersebut. Di samping itu, hal ini sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan isteri harus telah matang jiwa dan raganya. 2. Saksi Menurut Hanfiyah, saksi adalah syarat sahnya perkawinan, karena itu saksi harus ada dalam suatu perkawinan. Paling sedikit dua orang, yang terdiri atas dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan. Adapun syarat-syarat yang mesti ada pada saksi ialah: a. Balig, berakal, dan merdeka. b. Islam. Jika calon suami dan isteri itu muslim maka kedua saksi itu harus orang Islam pula. Tetapi kalau calon isteri itu seorang wanita ahli kitab, sedangkan calon suami seorang muslim, maka sah saksinya dengan kafir zimmi. c. Kedua saksi harus mendengar lafaz akad nikah pada waktu upacara dilangsungkan.47 Menurut Mlikiyah, saksi itu tidak harus hadir pada waktu akad nikah dilangsungkan. Kalaupun hadir hanya sunat saja. Menurut Syfi’iyah, syarat saksi ialah merdeka, laki-laki, adil, mendengar, melihat dan ia tidak dalam kedudukan sebagai wali nikah. Menurut Hanbilah, syarat saksi ialah laki-laki, baligh, berakal, adil, Islam, tidak Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI (Cet. 1; Jakarta: Kencana, 2004), h. 71. 46Wila Chandrawila Supriadi, Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan (Bandung: Mandar Maju, 2001), h. 75-80. 47Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 90. Lihat pula Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 20-21. 45Amir Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 35 Rizal Darwis, M.H.I. bisu, tidak tuli dan tidak boleh bapak atau anak dari kedua belah pihak, karena kesaksian keduanya tidak dapat diterima.48 Dalam UUP tidak dijelaskan persyaratan saksi, tetapi hanya menjelaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di depan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri (pasal 26 ayat 1 UUP). Pada KHI diatur bahwa saksi merupakan rukun pelaksanaan akad nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (pasal 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, jika saksi tidak hadir pada saat akad nikah dilangsungkan, akibat hukumnya nikah tersebut tidak sah. Penggarisan bahwa saksi merupakan rukun pelaksanaan akad nikah sejalan dengan pendapat Syfi’iyah dan Hanbilah. Adapun persyaratan saksi dalam KHI ialah dua orang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli (pasal 25 KHI). Tujuan persyaratan ini, agar saksi tersebut dapat memahami maksud akad nikah itu. Saksi, selain merupakan rukun nikah, ia dimaksudkan guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari, apabila salah satu suami atau isteri terlibat perselisihan dan diajukan perkaranya ke Pengadilan. Saksi-saksi tersebut yang menyaksikan akad nikah dapat dimintai keterangan sehubungan dengan pemeriksaan perkaranya, maka dalam pelaksanaannya, selain saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah, saksi diminta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan (pasal 26 KHI). Karena itu nama, umur, 48Wahbah 36 al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 91-95. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman, dicantumkan dalam akta nikah.49 Penggarisan saksi harus menandatangani akta nikah merupakan terobosan baru dalam sejarah hukum Islam. Pembicaraan mengenai akta nikah sangat terkait dengan pencatatan perkawinan. Dalam syariat Islam (Alquran dan hadis), tidak diatur tentang pencatatan perkawinan. Pencatatan yang diatur oleh syariat hanya pada hutang piutang, namun dengan pertimbangan kemaslahatan hal ini diterapkan pula dalam hukum perkawinan. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggungjawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. 3. Mahar Mahar adalah nama bagi harta yang wajib diperuntukkan bagi perempuan dalam akad nikah dan ketika akan bersenang-senang dengannya50 atau hak isteri yang diperoleh dari suami karena terjadi akad nikah atau hubungan badan.51 Mahar tidak hanya meliputi sesuatu berupa harta, tetapi juga mencakup jasa yang bermanfaat, seperti mengajarkan Alquran. Karena Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. 6; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 96. 50Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 94. 51Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 250. 49Ahmad Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 37 Rizal Darwis, M.H.I. itu rumusan definisi yang dikemukakan Wahbah lebih mencakup makna mahar secara utuh. Walaupun dapat dipahami kata harta yang dimaksud pengertian pertama tidak bermakna hakiki tetapi majazi, sehingga mencakup jasa yang bermanfaat. Mahar menurut KHI ialah pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (pasal I sub d. KHI).52 Penggarisan mahar ini sebagai hak isteri dan akibat dari terjadinya pernikahan menunjukkan bahwa Islam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya, dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu ini. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya, dan kepada orang yang dekat kepadanya sekalipun tidak dibenarkan mengambil sedikit pun harta bendanya tersebut, kecuali dengan kerelaannya dan kemauannya sendiri.53 Allah swt. berfirman:   G  ‘A‚ {, f ;  < *A> HI J = +  ,  ’ l 8 ef Vƒ =  N H ;KA BH . ‘D > Terjemahnya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah pemberian dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati (QS. al-Nis’/4: 4). 52Zainal 53Sayyid 38 Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan, h. 306. Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 44. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Mahar sebagai sebuah pemberian sukarela suami tentu saja memiliki syarat-syarat antara lain:54 a. Yang menjadi mahar itu haruslah harta yang mempunyai nilai (harga) Menurut Hanfiyah, mahar sedikitnya sepuluh dirham. Batasan mahar ini mereka qiyas-kan kepada nisab pencurian. Yakni dipotongnya tangan pencuri karena ia mengambil satu atau sepuluh dirham. Menanggapi hadis yang berbunyi “carilah walaupun hanya berupa sebuah cincin dari besi.” Menurut Abu Hanifah, mahar yang dimaksud hadis tersebut ialah mahar muajjal (mahar yang perlu disegerakan), sesuai kebiasaan mempersegerakan sebagian mahar sebelum berhubungan badan. Hal ini didasari atas larangan Nabi Muhammad saw. kepada Ali bin Abi Thalib untuk berhubungan badan dengan Fatimah al-Zahra hingga ia memberikan sesuatu. Namun Ali menjawab ia tidak mempunyai sesuatu. s N A+ * Iq  Vl f *A+ * Iq  I“ + 2^B   s N G :+ =  = + =D-f s N  A+ > s N ‘J w + ) . * + * p *  s  .  * ))(%% ) {) .V  T+ %    wX Artinya: Dari Ibn Abbs berkata: takkala Ali ra. menikahi Fimah ra., Rasulullah saw. bersabda: berikanlah sesuatu kepadanya. Ali berkata: saya tidak memiliki apa-apa. Rasullah bersabda: carilah walaupun hanya berupa sebuah cincin dari besi (HR. Abû Dwud). Adapun menurut Mlikiyah, batas minimal mahar tiga dirham. Imm Mlik mengambil dasar ukuran minimal atas peng-qiyas-an terhadap nisab pencurian dalam mazhab mereka. Sedangkan Syfi’iyah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 259. Lihat pula Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 96-103. 55Al-Imm al-Hfizh Ab Dwud Sulamn bin al-Asy‘a al-Sajastny, Sunan Ab Dwud, Juz 1 (Suria: Dr al-Had, t.th.), h. 36. 54Wahbah Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 39 Rizal Darwis, M.H.I. dan Hanbilah tidak memberikan batas minimal. Dasar hukum mereka, yaitu sabda Rasulullah saw.: G   . ' $̀)> R . * + * p *  s  H ( s N C . =  L  . = +    :‚ K ' @ "f = , B x 8 ' A( K3 L̀(  s "f hD  l @  > "f I; < = > @   G     3' &'  A+ > s N N o  B HI J = > •A+ L ‚ s N V̀( a ” T      ‘J  () > s "f ‘J   P f T 3' & @; ( { D' Pw+ ) 8 ' s "f G  a => — 6   P s "f  "  => TC>) s "f  – f D H̀I J 8†      => TC> ˜  A( 3  N s "f ‚ € G;  7 $.  7 $.  C< s N  "  ™š(y z: {) .8†  Artinya: Dari Sahl bin Sa‘ad berkata: seorang wanita menghadap kepada Rasulullah saw. dan berkata Ya Rasulullah, sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada Tuan. Lalu ia berdiri lama sekali. Kemudian tampil seorang laki-laki dan berkata: Ya Rasulullah saw., kawinkanlah saya kepada perempuan ini seandainya Tuan tiada berhasrat kepadanya. Rasulullah menjawab: ‘apakah kamu mempunyai sesuatu untuk membayar mahar kepadanya?’ Jawabnya: “Saya tidak punya apa-apa kecuali sarung yang sedang saya pakai ini. Nabi berkata lagi: ‘jika sarung tersebut Engkau berikan kepadanya, tentu engkau duduk tanpa berkain lagi. Karena itu carilah sesuatu. Lalu ia mencari tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: Adakah padamu sesuatu ayat Alquran?’ Jawabnya: ‘ada’ yaitu surat ini dan surat ini. Lalu Nabi bersabda: sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat Alquran yang ada padamu (HR. al-Bukhry). 56Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 5, h. 459-460. 40 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam     p+ @  (^B $^f ‰  = > $)> 8 ) *) = + VC =   > + = * :+ = +  q ) . * + * p *  s  ;  < => @   > T   C < T  .  s "f F    ™(y7>› {) .{3 (-f s N C< @ N F   C A    Artinya: Dari Abdullah bin mir bin Rab‘ah dari Bapaknya, bahwa seorang perempuan dan Bani Fazrah nikah dengan mahar sendal, Rasulullah bertanya kepadanya “apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal? Jawabnya: Ya, lalu Nabi membolehkannya (HR. al-Tirmiy). Alasan lain Syfi’iyah dan Hanbilah bahwa sesungguhnya mahar merupakan hak perempuan. Allah mensyariatkannya untuk kehormatan perempuan dan mahar merupakan pengganti bersenangsenang dengannya, maka bila mahar itu ditentukan hal tersebut serupa dengan memberikan upah atas pemanfaatan dirinya.58 Menurut Sayyid Sabiq, Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri. Karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang, atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala na yang memberikan keterangan tentang mahar tidaklah dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut tanpa melihat besar kecilnya jumlah. Selanjutnya menurut beliau, batasan minimal yang diajukan oleh Hanfiyah dan Mlikiyah tidaklah didasarkan pada keterangan agama yang kuat atau alasan yang sah. Hal ini disebabkan hadis-hadis yang dijadikan patokan, semuanya tidak ada yang ahh.59 Misalnya salah satu hadis yang dalam sanad-nya ada Mubasyir bin Is Muhammad bin Isa bin Saurah, al-Jmi‘ al-ahh Sunan al-Tirmiy, Juz 3 (Bairut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 420-421. 58Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 257. 59Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 45 dan 47. 57Ab Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 41 Rizal Darwis, M.H.I. ‘Ubad dari al-Hajjaj bin Ura, tokoh pertama dikenal dhaif, sedangkan yang kedua keadilannya dipertentangkan.60 Serupa dengan batasan minimal, batasan maksimal tidak pula dijelaskan dalam syariat, hal ini didasari dari Umar, bahwa ia telah melarang dalam pidatonya, yaitu membayar mahar lebih dari empat ratus dirham, dan setelah ia turun dari mimbar maka seorang perempuan Quraisy mencegatnya, lalu berkata: Tidakkah Tuan mengatahui firman Allah QS. al-Nis’/4: 20.    œ %) 8 ' *A> 7 6 -B hf  wAN = ‚ a '  PBH 2G 3 8 ,> 2G 3 s:P.   . A:> ' < P  *<7 6 -B) ‘J Terjemahnya: Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. al-Nis’/4: 20). Lalu Umar menjawab: Ya Allah, saya mohon maaf. Orang lain kiranya lebih pintar daripada Umar. Kemudian beliau cabut keputusannya, lalu naik ke atas mimbar kembali dan berpidato: Sesungguhnya saya tadi telah melarang kepadamu memberi mahar lebih dari empat ratus dirham. Sekarang siapa yang mau memberi lebih dari harta yang dicintainya, terserahlah.61 Artinya bahwa kuantitas sebuah mahar tergantung kesanggupan dan kerelaan suami untuk memberikan kepada calon isterinya. b. Mahar harus suci dan sah pemanfaatannya (halal) dan merupakan barang yang dapat dimiliki dan dijual secara syar’i. Syalthuth, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, terj. Bustami dan Hamdani, Akidah dan Syari’ah Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 83. 61Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 49. 60Mahmud 42 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Menurut Mlikiyah apabila perkawinan dengan mahar berupa khamar, babi dan semacamnya dan yang tidak dapat dimiliki atau dijual,62 maka akad nikahnya menjadi fasid (rusak) dan dibatalkan sebelum terjadinya hubungan badan. Apabila telah terjadi dukhul, maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar miil. Adapun menurut Hanfiyah, Syfi’iyah dan Hanbilah, mahar dengan sesuatu yang haram akad pernikahannya tetap sah, namun maharnya menjadi batal sehingga ia dikenakan mahar miil.63 c. Mahar tidak boleh barang curian Kalau barang hasil curian itu disebut dalam akad nikah sebagai mahar maka tidaklah sah mahar itu, namun akad nikahnya sah dan bagi wanita itu mahar miil.64 Dalam masalah mahar yang berasal dari harta rampasan, golongan Mliki berpendapat, apabila barang itu dijadikan mahar musamma65 dan kedua suami isteri itu sudah dewasa serta tahu barang itu hasil rampasan maka fasad-lah nikahnya, hakim harus mem-fasakh-kan sebelum mereka campur (dukhul). Kalau sudah campur dengan suaminya, maka wanita (isteri) tersebut berhak menerima mahar miil.66 62Yang dimaksud tidak dapat dijual ialah kulit binatang ternak yang dikurbankan, kulit bangkai yang telah disamak. Lihat Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 263. 63Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 260. Lihat pula Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 97. 64Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 260. Lihat pula Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 98. 65Mahar musamma ialah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam igat akad nikah. Mahar ini terbagi atas dua, yakni: mu’ajjal (mahar yang segera diberikan kepada isterinya) dan mahar mu’ajjal (mahar yang ditangguhkan pemberiannya kepada isteri). Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 265-266. Lihat Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 102. Lihat pula Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh.’ala al-Mazahib alKhamzah, terj. Masykur, et. al., Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali (Cet. 2; Jakarta: Lentera, 1996), h. 364. 66Mahar miil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah mahar itu belum ditetapkan. Lihat Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 43 Rizal Darwis, M.H.I. Golongan Hanfi berpendapat, bahwa jika mahar musamma berasal dari rampasan maka akad nikahnya sah dan menyebut mahar itupun sah, baik suami isteri itu sudah tahu ataupun belum. Kemudian harus diperhatikan, apabila pemiliknya mengizinkan maka sahlah barang itu sebagai mahar musamma. Kalau tidak maka wanita itu menerima mahar sebanyak barang rampasan itu, bukan mahar miil, pendapat ini disetujui golongan Syfi’i dan Hanfi.67 d. Mahar itu jelas diketahui Mahar itu tidak boleh merupakan sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas, seperti maharnya sepotong kain, tetapi haruslah kain itu dijelaskan ukurannya, jenisnya, kualitasnya dan seterusnya sehingga tidak ada sesuatu yang tidak jelas mengenai kain tersebut. UUP tidak mengatur mengenai mahar ini. Hal ini karena mahar bukan merupakan rukun perkawinan. Penjelasan tentang mahar dapat dilihat dalam pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan 38 KHI. Mahar menurut perspektif KHI merupakan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (pasal 30 KHI). Penentuan jenis mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang diatur dalam syariat Islam (pasal 31 KHI). Dan bila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama (pasal 37 KHI). Mahar bukan milik wali, tapi milik calon mempelai wanita yang mesti diserahkan langsung kepadanya (pasal 32 KHI). Penyerahan mahar kepadanya dapat dilakukan dengan tunai dan dapat pula ditangguhkan baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, dengan syarat calon mempelai wanita menyetujui (pasal 33 KHI). Juz 7, h. 266. Lihat pula Muhammad Jawad, al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Khamzah, h. 364. 67Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 102. Lihat pula Muhammad Jawad, al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Khamzah, h. 365-366. 44 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Jika mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan: 1. Barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau 2. Barang lain yang sama nilainya, atau 3. Uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang (pasal 36 KHI). Jika mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas dan jika isteri menolak menerima mahar karena cacat, suami harus menggantikannya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap belum dibayar (pasal 38 KHI). Walaupun mahar itu merupakan kewajiban, tidak berarti termasuk dalam rukun perkawinan karena itu kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan (pasal 34). Namun mahar menjadi utang bagi calon mempelai laki-laki (suami) jika belum ditunaikan (pasal 33 KHI). Suami yang mentalak isterinya qabl al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila suami meninggal dunia qabl al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya dan jika perceraian qabl al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar miil (pasal 34 KHI). C. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami isteri. Hak dan kewajiban suami isteri seimbang dan sama tanpa adanya pembedaan dan diskriminasi terhadap anggota keluarga. Hak dan kewajiban itu saling melengkapi Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 45 Rizal Darwis, M.H.I. antara satu dengan yang lainnya. Hak dan kewajiban itu dibagi atas 3 (tiga), yaitu: 1. Hak isteri atas suami. 2. Hak suami atas isteri. 3. Hak bersama.68 Masing-masing suami isteri jika menjalankan kewajibannya dan memperhatikan tanggungjawabnya, maka akan terwujudlah ketenteraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami isteri itu. Hak isteri yang merupakan kewajiban suami terbagi atas dua, yakni: Pertama, hak yang terkait dengan harta, seperti mahar dan nafkah (kewajiban suami yang bersifat materi), dan Kedua, hak yang tidak terkait dengan harta, seperti bergaul dengan baik, berlaku adil, menyenangkan isteri, memberikan rasa aman dan lain sebagainya (kewajiban suami yang bersifat non materi/rohaniyah). Adapun hak-hak suami yang merupakan kewajiban isteri, sebagai berikut:69 1. Ketaatan Isteri Isteri hendaklah taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan-urusan rumah tangga mereka, selama suaminya masih menjalankan ketentuan-ketentuan Allah swt. yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri. Dengan ketaatan isteri kepada suaminya tidak dapat diragukan lagi akan menjaga bangunan rumah tangga dari kehancuran, bisa menambah kecintaan suami kepadanya, menambah kemesraan hubungan kasih sayang di antara anggotanya, menghilangkan pertentangan dan perselisihan yang biasanya menjurus kepada percekcokan dan keretakan, selanjutnya dapat berakhir dengan perceraian. Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 51. Ibrahim Ilham Muhammad Ibrahim, Kaifa Takunina Zauzatan Shalihatan wa Umman Najihatan?, terj. Kathur Suhardi, Bagaimana Menjadi Istri Shalihah dan Ibu yang Sukses? (Cet. 2; Jakarta: Darul Falah, 1420 H), h. 56-67. 68Sayyid 69Ummu 46 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam Ketaatan ini akan mendatangkan kerelaan dan kesenangan, sedangkan pembangkangan akan melahirkan kebencian, kemarahan dan keretakan, merusak hubungan persaudaraan dan menimbulkan kekerasan di hati. Tidaklah ada seorang isteri yang mengesampingkan ketaatan kepada suami melainkan akan mengakibatkan penderitaan dan bencana. Tetapi selagi ketaatan isteri semakin bertambah kepada suaminya, maka kecintaan antara keduanya juga akan semakin bertambah dan dipenuhi kasih dan sayang. Seorang suami merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menganyomi, dan melindungi terhadap seluruh anggota keluarganya. Perintah ini dapat dilihat dari salah satu firman Allah dalam Alquran: G C  p+   [C  * L[f ˜ H ;KA p+ 8>  N s (K = > " <) ˜ v    f Ÿ>)    R̀ Mf a R̀ P< N R .* ž a ˜ ˆ  Xo   Terjemahnya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) (QS. al-Nis’/4: 34). Rasulullah saw. juga bersabda: G + =  =    :+ =+ U' . * + * p *  s  .  s N s N W      LN (3 @  + l) ( f @  Ma ‚ J @  >  ; $)  @    ‘J V A]  )  ¡(L:Aa = ) {). @  I6 % Ÿ  k K ) = > VA] Artinya: 70Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibaniy alMarwazy, Musnd Ahmd bin Hanbal, Juz 1, h. 191. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 47 Rizal Darwis, M.H.I. Dari Abd al-Rahman bin ‘Auf berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jika wanita itu mendirikan shalat lima waktunya, puasa bulan (Ramadhan)nya, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah dari pintu surga mana pun yang engkau kehendaki (HR. Ahmad ibn Hanbal). Seorang suami yang baik dan bertanggung jawab pastinya akan menjauhkan isteri dan anak-anaknya dari pintu kebinasaan dan menjatuhkan ke jurang api neraka. Namun terkadang juga ada suami yang semena-mena dengan melakukan tindak kekerasan kepada isteri dan anak-anaknya dalam kehidupan rumah tangganya apabila tidak mengikuti kehendak sang suami. Apalagi menyuruh isteri dan anakanaknya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan melanggar hukum serta norma-norma dalam masyarakat. Artinya bahwa ketaatan di sini adalah dalam perkara yang makruf. Jika suami menyuruhnya kepada kedurhakaan, maka isteri tidak boleh menuruti dan menaatinya. 2. Mengurus Rumah Tangga dan Mendidik Anak-Anak Di antara kewajiban seorang isteri adalah menata rumah dengan rapi, agar suami betah di dalamnya. Ini merupakan tugas alami yang telah dipersiapkan bagi wanita, bahkan ini merupakan tugas fundamental yang harus diperankan wanita dalam membentuk rumah tangga yang bahagia dan dalam mempersiapkan generasi yang hebat. Para wanita semenjak dahulu juga melaksanakan tugas-tugas yang terasa berat untuk dilaksanakan para wanita pada masa sekarang. Mereka harus memutar alat penggiling tepung, membuat adonan roti, memasak, mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik, namun tetap juga taat kepada suami. Mengurus segala urusan rumah tangga adalah bagian dari kewajiban seorang isteri, baik membersihkan rumah, menata ruang tamu, merapikan kamar tidur, merawat perabot dan lain sebagainya. Seorang isteri harus pandai pula membuat variasi dalam menata lingkungan, hingga suasana menjadi nyaman dan asri, tidak muncul kejenuhan. Isteri dituntut untuk mampu menjadi inovator dalam 48 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam rumah tangganya, sehingga bisa membangkitkan semangat baru serta pemandangan baru di dalam rumah tangga. Kewajiban yang merupakan tugas isteri untuk menjadikan tempat tinggalnya sebagai satu tempat untuk beristirahat serta menghasilkan di sekitarnya rasa menyenangkan, sehingga isteri hendaknya menghias rumahnya supaya nampak damai dan rasa senang hati untuk tinggal di dalamnya. Islam menganjurkan kepada seorang isteri agar menata dan mengatur rumahnya dengan baik karena dia merupakan pemimpin dalam rumah tangga suaminya. Hal ini dijelaskan dalam salah satu sabda Rasulullah saw.:   " D + = *  :+ 8 ) s  " D . * + * p *  s.  @    C € s   * P+  = + s̀‘; >  , u bG   , u L (  * P+  = + s̀‘; > bG  Q >Œ   $) * P+  =+ s̀‘;> ‚ * ‚) # bG    # V̀+ V̀‘; > (3 @        P+  =+ s̀‘;> { K. s > # bG  Q% ¢  |(y z: {).*    P+ = +   Artinya: Sesungguhnya ’Abdullah bin ’Umar berkata bahwa saya mendengar Rasulullah bersabda: Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya, imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin di rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, pembantu adalah pemimpin atas harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR. al-Bukhry). 71Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 3, h. 123. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 49 Rizal Darwis, M.H.I. Pengurusan rumah tangga adalah tanggung jawab seorang isteri, walaupun di dalam keluarga memiliki pembantu rumah. Dalam hal ini isteri masih bertanggungjawab dalam mengatur segala pengurusan rumah tersebut. Selain itu suami juga diharapkan dapat membantu isterinya dalam melakukan pekerjaan rumah, saling membantu dan bekerjasama. Adanya kerjasama, maka akan terwujudlah sebuah keluarga bahagia dan dapat mempererat lagi hubungan di antara mereka. Selanjutnya seorang isteri harus pandai pula mengurus dan mendidik anak. Karena itu penting sekali seorang isteri memiliki pengetahuan yang luas, sehingga dapat mendidik dan membimbing anak dengan baik dan benar, bertakwa kepada Allah, sopan dan santun kepada yang lebih tua dan sebagainya. Begitu pula dalam hal mendidik dan membimbing anak, antara suami isteri harus ada saling komunikasi yang baik, sehingga masa depan anak-anaknya dapat terkontrol oleh kedua belah pihak. 3. Berbuat Baik Kepada Keluarga Suami Seorang isteri harus mengetahui bahwa suaminya adalah belahan hati kedua orang tuanya, yang dididik sejak kecil dan diajari setelah remaja, maka sudah menjadi kewajibannya untuk melaksanakan hak-hak kedua orang tuanya dengan cara berbuat kebajikan dan senantiasa menjalin hubungan dengan mereka. Seorang isteri harus membantu suami dalam masalah ini dan tidak boleh menjadi penghalang. Dia harus mengingatkan jika suaminya lupa, harus berusaha membuat kedua orangtuanya rela dan juga harus mendekat keduanya, karena mereka berdua juga mempunyai andil menghadirkan seorang suami baginya dan menciptakan kebahagiaan. Jadi ini merupakan hadiah yang besar baginya, yang layak disyukuri dan hak-haknya harus dipenuhi. Gambaran rasa syukur dan kesetiaan ini bukan dengan cara memberi hadiah atau menjamu keduanya saja jika berkunjung, tetapi rasa syukur dan kesetiaan ini dengan cara mencintai keduanya, memperlakukan keduanya dengan perlakuan yang baik, membuat 50 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam keduanya seakan-akan merasa bahwa mereka adalah salah satu anggota keluarganya, suka dan duka seakan-akan dirasakan bersama. Suatu saat ketika terkena musibah, maka tentunya bantuan dan dorongan berasal dari keluargalah. Tindakan isteri seperti ini akan menambah kecintaan suami kepadanya, membuatnya merasa senang, menambah kemesraan hubungan suami isteri, kasih dan sayang, sehingga di atas rumahnya terpatri cinta dan kesejahteraan. Dengan tindakan seperti itu pula dia bisa mendapatkan simpati keluarga suaminya, penghormatan, perlakuan yang baik dan membuat mereka tidak merasa menyesal telah memilihnya sebagai isteri anak mereka. Seorang suami akan merasa berbahagia jika melihat isterinya menjalin hubungan yang baik dengan keluarganya, menebarkan kasih sayang dan kemesraan. Dengan sikap demikian, pada hakekatnya isteri telah memberikan dukungan kepada suami untuk berbakti kepada orangtua. Perihal berbakti kepada kedua orangtua, baik orangtua kandung maupun mertua telah diterangkan Allah swt. lewat firmanNya di dalam Alquran:   > + # * of =G ‚ p+ A‚ *>u) *P * D 8 ;<Œ  A   8 ) F    £ .do  ' TD £  , J  Terjemahnya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (QS. Lukmn/31: 14). Ayat ini memberikan gambaran bahwa betapa berjuangnya bapak ibu dalam memelihara anak-anaknya, apalagi seorang ibu yang mengandung, menyusui, memelihara dan mendidiknya sampai anakanaknya telah mencapai umur dewasa. Sebuah keluarga yang sebelumnya tidak memiliki hubungan apapun, begitu terjadi akad pernikahan, maka ia menjadi bagian tak Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 51 Rizal Darwis, M.H.I. terpisahkan dengan kehidupannya, sehingga menumbuhkan konsekuensi adanya kewajiban yang sebelumnya tidak mengikatnya, karena telah menjadi bagian darinya. Sebagai anggota baru dalam suatu keluarga besar, pasangan suami isteri memiliki keterikatan berinteraksi dan akan saling membutuhkan. Karena salah satu tujuan dari pernikahan ialah untuk menjali kekerabatan dengan keluarga lain. Dari hubungan ini maka tuntutan untuk saling membantu mutlak diperlukan dalam batas-batas yang diperbolehkan syariat, tak terkecuali dengan keluarga masing-masing. Oleh karena itu, semestinya setiap muslim, khususnya isteri memahami anjuran Islam ini secara menyeluruh. Ada hak yang harus ditunaikan bagi sesama muslim, termasuk kepada keluarga suami, yang tentu menjadi kerabatnya. Kerabat memiliki hak yang semestinya ditunaikan, sehingga jika seorang menantu merasa enggan membantu mertua, hendaklah ia menyadari ketimpangannya dalam memahami syari’at Islam yang mengajarkan kebaikan kepada sesama dan kaum kerabat. Bahkan jika menelusuri peran mertua, sebagai orangtua pasti memiliki jasa yang tidak sedikit. Kalaupun menantu seakan mendapat beban karena diminta untuk membantunya, maka pertolongan yang diberikan menantu tersebut masuk dalam perbuatan yang baik. Kebahagiaan isteri merupakan kebahagiaan suami juga, demikian juga sebaliknya seorang isteri menghormati mertuanya sebagaimana menghormati orangtuanya sendiri walaupun kedudukannya tentu di bawah orangtua sendiri. Namun, tidak boleh meremehkan mertua dengan menyatakan tidak ada kewajiban taat kepada mereka. Suami dapat akan berbahagia apabila orangtuanya dihormati dan dihargai serta ditempatkan pada posisinya yang benar. Kebahagiaan suami isteri akan memiliki dampak sangat positif dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Demikianlah tuntunan agama bagi seorang isteri dalam memuliakan kerabat suaminya. Mencintai sanak kerabat suami seperti mencintai keluarga dan sanak kerabat sendiri dalam mencari kesempurnaan iman. Di samping berupaya membahagiakan suami dan menciptakan ketenteraman, kedamaian, kesejukan, kesejahteraan dan 52 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Dasar-Dasar Umum Hukum Perkawinan Islam kebahagiaan dalam rumah tangganya. Dengan kata lain, perkawinan atau pernikahan bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati, menghargai dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang. Ù”Ú Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 53 Rizal Darwis, M.H.I. 54 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan H• 3 •I NAFKAH DALAM KELUARGA DAN PUTUSNYA PERKAWINAN erkawinan adalah sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga sakinah, penuh cinta dan kasih sayang. Setelah akad nikah sah diucapkan dalam perkawinan, maka secara otomatis timbullah hak dan kewajiban antara pasangan suami isteri tersebut. Hak suami adalah kewajiban isteri, dan begitu pula sebaliknya kewajiban suami adalah hak isteri. Salah satu bentuk hak isteri adalah pemenuhan nafkah isteri dari suaminya dalam kehidupan rumah tangganya. Islam telah memberikan beberapa ketentuan mengenai kewajiban suami isteri di dalam keluarga, bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga, dan pemenuhan nafkah adalah kewajiban suami semenjak akad perkawinan dilakukan. Hubungan yang harmonis, tenteram, dan sejahtera merupakan salah satu hal yang didambakan dari suatu perkawinan. Dalam perkawinan, terpenuhinya nafkah dapat mempererat hubungan suami isteri, namun tidak semua pasangan dapat memenuhi nafkah secara penuh setelah menikah. Untuk itu, kewajiban nafkah atas suami untuk istri dan anak-anaknya sangat diperlukan agar tujuan perkawinan dapat tercapai. Adanya pengabaian terhadap pemberian nafkah ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam kehidupan rumah tangganya seperti pertengkaran, percekcokan, pengabaian hak dan kewajiban, kemudian apabila berlarut-larut bisa mengakibatkan putusnya perkawinan. Oleh karena itu pembahasan tentang nafkah dalam kehidupan rumah tangga dan bentuk-bentuk putusnya perkawinan P Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 55 Rizal Darwis, M.H.I. adalah persoalan yang sangat penting untuk diketahui dalam menjalani kehidupan berumah tangga. A. Pengertian dan Pembagian Nafkah Perkataan nafkah secara bahasa bermakna belanja untuk memelihara kehidupan, rezki atau makanan sehari-hari.1 Ia juga bermakna keluar atau pergi.2 Secara terminologi istilah nafkah berarti pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah (suami) kepada seseorang.3 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya.4 Nafkah ini dibagi atas 2 (dua) macam, yaitu nafkah lahiriyah dan nafkah batiniyah. Nafkah lahiriyah adalah segala kebutuhan suami isteri dalam bentuk benda (materi), sedangkan nafkah batiniyah adalah pengeluaran atau pemberian seorang suami kepada isterinya yang bersifat non materi yang dapat dirasakan oleh hati atau rohaniyah.5 Nafkah lahiriyah ini mencakup, antara lain: memenuhi kebutuhan makanan, minuman, lauk pauk dan yang bertalian dengannya, pakaian, tempat tinggal, pembantu jika suami mampu Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 667. 2Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 1245. 3H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat (Cet. 1; Semarang: Toha Putra, 1993), h. 100. 4Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. 5 (Cet. 1; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1281. 5H. Satria Effendi M. Zein, ‘Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi’ [art] dalam Mimbar Hukum dan Aktualisasi Hukum Islam, No. 3 Tahun II, 1991 (Jakarta: Ditbinbapera dan Al-Hikmah, 1991), h. 32. 1Departemen 56 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan menyediakan alat kebersihan dan perabotan,6 dan pengobatan isteri jika suami mampu.7 Para ulama mazhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang meliputi tiga hal: pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar-kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Kalau suami isteri orang berada, maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada. Kalau mereka tidak mampu, maka nafkahnya disesuaikan pula dengan itu. Yang dimaksud dengan kadar “berada” dan “tidak berada”-nya isteri adalah kadar berada dan tidak beradanya keluarganya, yaitu kadar kehidupan keluarganya. Ulama mazhab berbeda pendapat tentang apabila salah seorang di antara suami isteri itu kaya, sedangkan yang satu lagi miskin. Menurut Hanbilah dan Mlikiyah, ukuran nafkah apabila keadaan suami isteri berbeda, yang satu kaya dan lainnya miskin, maka besar nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal itu.8 Menurut Syfi‘iyah, nafkah diukur berdasar kaya dan miskinnya suami, tanpa melihat keadaan isteri. Hal demikian itu apabila dikaitkan dengan persoalan sandang dan pangan. Sedangkan dalam hal papan disesuaikan dengan apa yang patut baginya menurut kebiasaan yang berlaku, dan tidak pada kondisi suami. Di kalangan Hanfiyah terdapat dua pendapat. Pertama, diperhitungkan berdasar kondisi suami isteri, dan kedua, dengan berdasar kondisi suami saja. Sementara itu, mayoritas ulama mazhab Imamiyah mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar kebutuhan isteri yang mencakup pangan, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, alat rumah tangga, sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang seperti al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7 (Cet. 3; Beirut: Dr al-Fikri, 1409 H./1989 M.), h. 798. 7Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. M. Thalib, Fiqh Sunnah, Jil. 6 (Cet. 5; t.tp.: al-Ma’rif, 1987), h. 73. 8Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Mahib al-Khamzah, terj. Masykur, et. al., Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali (Cet. 2; Jakarta: Lentera, 1996), h. 422. 6Wahbah Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 57 Rizal Darwis, M.H.I. dia di daerahnya. Sedangkan ulama mazhab lain, mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran adalah kondisi suami, dan bukan kondisi isteri.9 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pemenuhan nafkah lahiriyah, seperti: sandang, pangan, papan, penyediaan pembantu, perhiasan, dan pemenuhan nafkah lainnya harus memperhatikan dua hal ini, yaitu kondisi atau kesanggupan dari suami dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat bagi wanita setingkat isterinya. Nafkah batiniyah yang bukan berwujud kebendaan tetapi berwujud kepuasan dalam hati dapat berupa memberikan kepuasan seksual, menjaga perasaan isteri, perlakuan yang baik, dan menjaga dirinya (rasa aman).10 Suami sebagai kepala rumah tangga berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya disebabkan adanya hubungan perkawinan. Nafkah yang dimaksudkan bukan hanya nafkah lahiriyah, tetapi juga nafkah batiniyah. Kewajiban nafkah lahiriyah itu telah ditetapkan oleh Allah swt. melalui firman-Nya:  C  = B; = N3 * %  .W       p+  Terjemahnya: Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut (QS. al-Baqarah/2: 233). Pada ayat di atas, kata ibu dimaksudkan adalah isteri-isteri, sedangkan yang dimaksud dengan kata ayah adalah suami.11 Ayat ini secara tekstual menjelaskan tentang kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isterinya yang bersifat kongkrit (materi), dalam hal ini sandang, pangan, dan papan. Dalam ayat ini secara 423. 9Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Maahib al-Khamzah, h. 10H. Satria Effendi M. Zein, ‘Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi’, h. 33. 11Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Mahib al-Khamzah, h. 117. 58 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan tekstual tidak menjelaskan tentang nafkah yang bersifat non materi atau yang bersifat batiniyah, akan tetapi dalam beberapa ayat atau hadis Nabi saw. banyak menjelaskan hal tersebut dan akan dikemukakan pada pembahasan di bawah ini seiring dengan pembagian nafkah batin yang menjadi kewajiban seorang suami kepada isterinya. Adapun nafkah batiniyah yang menjadi kewajiban seorang suami terhadap isterinya sebagai berikut: 1. Memperlakukan Isteri dengan Baik Salah satu kewajiban suami yang bersifat batiniyah adalah memperlakukan isteri dengan baik. Hal ini sangat penting mengingat posisi seorang suami dalam rumah tangganya adalah pemimpin yang berkewajiban mengayomi orang yang dipimpinnya. Suami harus senantiasa menjaga perasaan isterinya, bergaul kepadanya dengan cara yang baik, memperlakukan dengan cara yang wajar, bersikap lemah lembut, bersikap sabar dalam hidup bersamanya dan menahan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkannya. Sebagaimana hal ini menjadi perintah Allah swt.:   * f * LC–  ‘J ‚,B 8 ) p;Cf = ‚   P‚  8 ef W C   = ‚   J + .d O 6 Terjemahnya: Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya (QS. al-Nis’/4: 19). Ayat ini memerintahkan kepada suami agar selalu menjaga sifat mawaddah-nya, karena sifat mawaddah itu kadang berkurang dan kadang pula bertambah, ia mengalami pasang surut, bahkan bisa hilang disebabkan berkurangnya daya tarik yang dimiliki oleh isteri. Ayat ini melarang suami bersikap sewenang-wenang terhadap isterinya yang Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 59 Rizal Darwis, M.H.I. bisa menyebabkan isteri menderita tekanan batin, mengalami kegoncangan jiwa yang disebabkan oleh perlakuan dan tingkah laku suami. Di antara bukti kesempurnaan akhlak seseorang, khususnya seorang suami adalah bersikap santun dan halus kepada isterinya. Selain ayat di atas, salah satu hadis yang diriwayatkan Ab Hurairah, Rasulullah saw. juga bersabda: FA>¤   L  ) . * + * p *  s  .  s N s N $D‚ ~) = + |} (L:Aa = ) {) .  n ;A  ‚ 6  ‚ 6  "6   A;a ) < m' Artinya: Dari Ab Hurairah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik kepada isterinya (HR. Ahmad ibn Hanbal). Melalui hadis tersebut diperoleh penjelasan bahwa kemuliaan seorang isteri tergantung kepada pihak suami, artinya suamilah yang menjadi penyebab utama terhormatnya seorang isteri. Begitu juga sebaliknya, terhinanya seorang isteri disebabkan oleh suaminya. Hadis ini juga menjelaskan bahwa ukuran kemanusiaan dan kesempurnaan akhlak seorang suami adalah pergaulannya dengan isterinya. Apabila pergaulannya (suami) dengan isterinya baik, maka baik pulalah akhlaknya, demikian pula sebaliknya. Di antara cara menghormati perempuan, yaitu bersikap lemah lembut terhadapnya, tidak menyakitinya, dan bersikap baik, karena sikap itu merupakan manifestasi dari ketinggian akhlak dan kesempurnaan iman seseorang. Untuk menumbuhkan sikap baik kepada isteri, rasa saling mencintai, sayang-menyayangi di antara suami isteri dapat dilakukan dengan cara bersenda gurau, tetapi dalam batas yang wajar. Perlu diperhatikan bahwa perempuan itu mempunyai perasaan 12Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibany alMarwazy, Musnd Ahmad bin Hanbal, Juz 2 (Bairut: Dr al-Fikr, t.th.), h. 250. 60 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan yang menonjol daripada pria. Oleh karena itu, suami harus mengimbangi perasaan isteri ini, dia harus bijaksana mengikuti tabiat dan tingkah laku isteri, sebab di samping tingkah laku wanita yang tidak baik, tentu ada pula tingkah laku dan tabiatnya yang sangat menyenangkan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: V A>¤ > =` >¤ > • D & . * + * p *  s  .  s N s N $D‚ ~) = + |‹ (;> {) .6† A> Iq  "6 A> {  8 ' Artinya: Dari Ab Hurairah berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci seorang perempuan mukminah jika ia ada membenci salah satu sifatnya, tentu ia ada senang dengan sifatnya yang lain (HR. Muslim). Hadis di atas menjelaskan bahwa Islam menganjurkan suami menimbang dengan adil antara sifat-sifat yang baik dan yang buruk, karena apabila ia melihat sifat yang tidak disenanginya tentu ia akan juga melihat sifat yang disenanginya. Jadi memang perempuan itu tidaklah sempurna, dan olehnya itu hendaklah laki-laki menerima dia dengan segala kenyataannya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: Q  *   = >¤ D 8  = > s N . * + * p t K A = + $D‚ ~) = +    8 ' ZG q = > =" 6 =    { ( U¤ D hf  6S  <ef 6 H ;KA    P.   s^D x *PB 8 ' *B ; * K  # HG I J 2+ )  "B @:‚U 8 ef {h+ ) Z [ |¥ (y z: {) .6 H ;KA    P. f 2+ ) Artinya: Muslim ibn al-Hajj al-Qusyairy al-Naisabury, ahh Muslim, Juz 1 (Bairut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 625. 14Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 5 (Bairut: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1412 H/1992 M), h. 473-474. 13Imm Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 61 Rizal Darwis, M.H.I. Dari Ab Hurairah berkata bahwa Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka dia tidak menyakiti tetangganya dan berwasiatlah kepada perempuan dengan baik. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok. Dan tulang tulang rusuk yang paling bengkok adalah atasnya. Jika engkau dengan keras meluruskannya, niscaya engkau akan mematahkannya, tetapi kalau engkau biarkan niscaya akan tetap bengkok (HR. al-Bukhry). Hadis ini mengisyaratkan bahwa karakter perempuan secara alamiah adalah bengkok, dan untuk mengusahakan kebaikannya hampir tidak mungkin karena bengkoknya itu ibarat tulang rusuk yang berbentuk busur yang memang tidak dapat diluruskan. Oleh karena itu, untuk menggauli isteri harus sesuai dengan tabiatnya yang nyata dan diperlakukan dengan cara yang sebaik-baiknya. Seorang suami dalam pergaulan sehari-harinya selalu berusaha membuat isterinya gembira dan senang hati. Keceriaan dalam sebuah rumah tangga memberikan berkah yang melimpah. Hal ini dikarenakan dalam menjalani kehidupan rumah tangga dipenuhi oleh semangat dan motivasi untuk giat bekerja demi menghidupi keluarga, isteri dan anak-anaknya. Selain daripada itu ketika kembali dari tempat bekerja, dari perjalanan jauh atau dari bepergian, sang suami hendaknya menunjukkan sikap yang menyenangkan tehadap isterinya. Sebab hal tersebut dapat memberikan kebahagiaan dalam hati sang isteri. Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk tentang beberapa hal yang harus dilakukan seorang suami di hadapan isterinya ketika dia kembali dari bepergian.15 Pertama, menyampaikan ucapan salam. Dalam hal ini Allah swt. telah memberikan tuntunan di dalam Alquran, sebagai berikut: .V:Kl V :> *   A+ = > V¦  , ;  <) p+  K;f B  P 6% Uef 15Abu Muhammad Iqbal, Menyayangi Istri, Membahagiakan Suami (Cet. 3; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), h. 24-26. 62 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Terjemahnya: Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah (QS. alNûr/24: 61). Selanjutnya Rasulullah saw. memberikan petunjuk pula apabila memasuki rumah hendaklah mengucapkan salam. Sebab dapat menambah berkah dan mendapatkan hidayah, menabur kedamaian serta ketenteraman antara suami isteri.    . £ s N s N T G  > =   U' ‰   D . *+ * p * s   <) = +  {) .TP L ‚ ) p+ T+ V = , D  K;f T‚ ) p+ @ 6% |š (y7>› Artinya: Dari Anas bin Mlik berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda kepadaku: Wahai anakku, apabila kalian masuk rumah menemui isterimu, maka ucapkanlah salam. Ucapan salammu dapat menambah keberkatan bagi dirimu dan bagi penghuni rumahmu (HR. al-Tirmiy). Menyebarkan salam, baik kepada orang lain maupun kepada keluarga sangat dianjurkan agama karena dapat menambah semaraknya kekeluargaan dan dapat pula menyuburkan rasa kasih sayang, cinta dan saling membutuhkan antara satu sama lainnya. Kedua, berwajah manis. Seorang muslim hendaklah senantiasa menunjukkan wajah manis lagi berseri apabila bertemu dengan sesamanya. Senyuman yang tulus dan raut muka yang jernih akan membuat senang hati orang yang bertemu, dan dapat menghilangkan 16Ab Is Muhammad bin Isa bin Saurah, al-Jmi‘ al-ahh Sunan al-Tirmiy, Juz 5 (Bairut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 56. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 63 Rizal Darwis, M.H.I. kekeruhan perasaan bagi orang yang berada di depannya. Di antara sekian banyak manusia, maka isterilah yang paling berhak mendapatkan wajah manis dari suami. Dengan berwajah manis tentunya suasana damai dan tenteram akan tercipta dengan baik, keharmonisan dan saling membutuhkan akan terpatri dalam jiwa sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan senantiasa menyelimuti kehidupan rumah tangganya. Apabila seorang suami memanggil isterinya, hendaklah dengan menggunakan panggilan yang manis, yang paling disukai. Hal ini merupakan ungkapan kasih sayang, kemesraan, serta penguat jalinan kasih. Allah swt. melarang seorang mukmin memanggil seseorang dengan panggilan yang buruk dan julukan yang menyinggung perasaan. Cara tersebut sangat dicela oleh Allah swt. sebagaimana firman-Nya:    C §  "4  ^ AB & T‘-f ˆ   ;    . & ‘ k   PD x = > 8 mŒ .8  M  ‚ Terjemahnya: Dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS. al-Hujurt/49: 11). Rasulullah saw. memberikan tuntunan apabila memanggil orang lain, khususnya si isteri hendaklah dengan panggilan yang manis dan dia sukai. Sebab hal tersebut dapat menimbulkan kebanggaan dan ukhuwah yang lebih dalam lagi. Memanggil seseorang dengan panggilan yang tidak senonoh tidaklah mencerminkan akhlak seorang muslim. Apabila memanggil isterinya, seorang suami pasti akan memilih panggilan yang manis, atau dengan julukan yang menyenangkan pendengaran. Tidak selayaknya seorang suami memanggil isterinya dengan panggilan yang tidak senonoh lagi menyakitkan hati, atau menambahnambahi panggilan dengan sifat yang buruk, misalnya wahai si bodoh 64 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan dengan maksud menyindir dan mengejek. Hal itu jelas menyakitkan hati serta melukai perasaannya, memperkeruh pikiran, menimbulkan rasa sedih lagi duka, serta merubah perasaan senang menjadi kebencian. Padahal sudah menjadi kewajiban suami memperlakukan isterinya dengan baik, supaya batinnya merasa aman di sisi suaminya. Sang suami juga apabila memanggil isterinya hendaklah dengan panggilan yang manja. Sebab dapat menumbuhkan rasa cinta dan hormat, melukiskan rasa senang dan bahagia, melapangkan dada serta mendendangkan kemerduan pada pendengarannya. Sikap manja adalah bagian dari hiburan yang menyenangkan lagi dibenarkan agama. Sebab sudah menjadi bagian hidup serta kebiasaan Rasulullah saw. untuk memanjakan isteri-isteri beliau. Hal ini tergambar dalam salah satu hadis Rasulullah saw.:  G J =  =+ s  .  s N @   N A+ * Iq  Vrn + 8 ' V. ) s N k           @   " f Qh;  Tn " D LD  „ ( 7‚ ¨n + D > D . *+ * p *   B y) & > yB *B  *  V  Q h;  * + * p * s.  D | (y z: {) .. * + Artinya: Dari Ibn Syihb bahwa Abu Salamah berkata: sesungguhnya ’Aisyah ra. menerangkan bahwa pada suatu ketika Rasulullah memanggilnya: Wahai ’Aisy (yang hidup), malaikat Jibril menyampaikan salam untukmu. Jawabku: salam kembali untuk Jibril, semoga Allah mencurahkan kesejahteraan dan kebahagiaan padanya. Ya Rasulullah, engkau melihat apa-apa yang aku tidak dapat melihatnya (HR. al-Bukhry). Demikianlah petunjuk dari Rasulullah saw. dalam menggauli 17Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 3, h. 591-592. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 65 Rizal Darwis, M.H.I. isterinya, berbicara, berbincang serta memanggil namanya. Kemesraan, kemanjaan, kasih sayang, penuh perhatian, kemanisan wajah adalah bagian dari cara menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Untuk itu, para suami isteri hendaklah senantiasa mampu mawas diri, merenung serta berlatih hingga sifat-sifat tersebut menjadi sebuah perangai dalam kehidupan. Bila itu menjadi kenyataan, maka hancurlah tembok pembatas antara suami isteri, hingga terjalin hubungan keterbukaan serta saling pengertian. Kehangatan, kelembutan, kasih sayang dan saling mencintai akan menjadi hiasan indah dalam membangun hubungan suami isteri menuju sebuah mahligai rumah tangga dan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. 2. Memelihara dan Menjaga Isteri dengan Baik Seorang suami adalah pemimpin bagi rumah tangganya, sehingga ia berkewajiban untuk menjaga dan melindungi yang dipimpinnya. Suami berkewajiban menjaga dan memelihara isteri dari segala sesuatu yang dapat menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung tinggi kehormatan dan kemuliannya, sehingga citra kehidupan rumah tangganya tetap baik dan terpelihara. Memelihara dan menjaga isteri dengan baik adalah sesuatu yang penting diberikan suami kepada isteri supaya timbullah ketenangan batin, rasa aman dan kedamaian dalam dirinya. Hal ini diamanatkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ab Hurairah ra.: 8 '  D * 8 ' . *  + * p *  s  .  s N s N $D‚ ~) = + |ª (;> {) .* + Qa > = >¤   ©-D 8 ) *  $  D =>¤   Artinya: h. 497. 66 18Imm Muslim ibn al-Hajj al-Qusyairy al-Naisabury, ahh Muslim, Juz 2 , Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Dari Ab Hurairah ra. berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: sesungguhnya Allah mempunyai rasa cemburu dan sesungguhnya seorang mukmin mempunyai rasa cemburu, cemburu Allah ialah agar supaya seseorang hamba-Nya tidak melakukan perbuatan yang haram (HR. Muslim). Melalui hadis ini dapat dipahami bahwa salah satu cara melindungi isteri adalah suami menghindari hal-hal yang terlarang yang bisa merusak nama baik keluarga (isteri), mempermalukan isteri di depan orang, melakukan perbuatan serong di belakang isteri dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa membuat isteri tidak merasa aman dan terlindungi. Alquran telah menjelaskan hubungan suami isteri itu digambarkan sebagai pakaian. Sebagaimana firman Allah swt.: Terjemahnya:   .= Ÿ  ` :  P<)  ,   ` : = ‚ Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka (QS. al-Baqarah/2: 187). Suami isteri haruslah sama-sama berupaya melakukan pendekatan ke arah keserasian dan pemahaman, bahwa isteri tak ubahnya sebagai busana bagi suami dan suami adalah busana bagi isteri. Kalau masing-masing pihak sampai pada tingkat kesadaran timbal balik, bahwa pasangan mereka adalah busana pelindung antara mereka, maka kewajiban dan tanggung jawab moral akan terpikul kepada masing-masing untuk menjaga dan memelihara keutuhan pakaian (busana) tadi agar tidak luntur, lapuk atau tanggal dari badan mereka. Hubungan suami isteri yang diibaratkan sebagai pakaian mengandung isyarat bahwa mereka itu saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami isteri yang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan dan harus berfungsi menutup kekurangan pasangannya, Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 67 Rizal Darwis, M.H.I. sebagaimana pakaian menutup kekurangan pemakainya.19 Di sini Alquran menggarisbawahi dalam rangka jalinan perkawinan, karena betapa pun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang pasti ada juga unsur kelebihannya. Suami isteri tidak luput dari dua hal yang demikian, sehingga suami dan isteri harus berusaha saling melengkapi dan saling menutup kekurangan yang dimiliki masing-masing pasangannya. Menjaga rahasia adalah bagian dari cara menjalin keharmonisan dan keutuhan hubungan suami isteri. Seringkali suami menceritakan rahasianya kepada isteri, demikian pula isteri mengungkapkan rahasianya kepada suami sebagai ungkapan rasa cinta dan kedekatan antara keduanya. Tentu saja pasangan suami isteri ini tidak akan merasa senang bila rahasianya diketahui orang lain. Hal-hal yang terjadi di dalam rumah tangga, baik masalah hubungan badan, percekcokan maupun yang lain tidak selayaknya diceritakan. Cukup hanya diketahui berdua saja. Menjaga rahasia di samping mengandung manfaat, juga merupakan bagian dari kebahagiaan. Saling menjaga perasaan dan saling menghormati harus selalu diupayakan hingga benar-benar tercipta ketenteraman dan kesejahteraan dalam rumah tangga. Olehnya itu, Islam sangat mencela dan melarang pemeluknya membuka rahasia yang terjadi dalam rumah tangga. Rasulullah saw. bersabda: G C. ) @C€  G C. ~) s† > G C. = =    :+ Ai a       ¢       *  A+ V < >4  M+ ) = > 8 ' . * + * p *  s  .  s N s  " D   B *B)> ' I[   D L( V > "  QD  {) . ‚.  r AD « * ' I[     }¡ (L:Aa = Artinya: Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. 9; Bandung: Mizan, 2000), h. 209. 20Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin ¦anbal al-Syaibany alMarwazy, Musnd Ahmad bin Hanbal, Juz 3, h. 69. 19M. 68 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Kami diceritakan dari Abd al-Rahman bin Sa’ad penghulu keluarga Sa‘id, saya mendengar dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sungguh seburuk-buruk kedudukan manusia di hadapan Allah pada hari kiamat nanti adalah seorang suami yang membuka rahasia kepada isterinya dan isteri membuka rahasia kepada suaminya lalu diceritakan kepada orang lain (HR. Ahmad bin Hanbal). Dalam perjalanan mengarungi hidup berumah tangga, tentu terjadi hal-hal yang negatif antara suami isteri. Muncul ketidakpuasan, celaan dan umpatan, dan perilaku buruk lain yang tidak terkendali. Semua itu adalah rahasia yang tidak selayaknya didengar dan diketahui oleh siapa pun, kecuali si suami isteri. Segala persoalan yang timbul di dalam rumah tangga seharusnya diselesaikan dengan pikiran jernih dan sikap bijak, serta rahasia tersebut benar-benar dijaga. Apabila pasangan suami isteri gagal menyelesaikan masalahnya, maka tidak dilarang meminta orang lain ikut menyelesaikannya dengan sedikit mengungkapkan rahasia sebatas hal-hal yang mungkin, atau menyampai-kannya kepada seseorang yang dapat dipercaya serta memahami permasalahan yang terjadi dan dapat menjaga rahasia untuk ikut serta menyelesaikannya. Rahasia dalam rumah tangga harus benar-benar dijaga, jangan sampai orang lain mengetahui. Hanya pasangan suami isteri itu saja yang layak mengetahuinya. Hal yang demikian dimaksudkan agar sifat malu tetap tumbuh berkembang pada setiap individu, di samping untuk menjaga ketenteraman dan kebahagiaan hidup dalam rumah tangga. Pada saat marah seringkali lepas kontrol, hingga terkadang merangsang seseorang melakukan hal-hal yang berbahaya. Bahkan tidak jarang dapat membinasakan bangunan keluarga yang sudah kokoh, mengoyak tirai kehormatan, dan menyingkap rahasia yang sudah terkunci. Seringkali terjadi pasangan suami isteri yang kelihatan harmonis hubungannya tiba-tiba berantakan disebabkan kemarahan yang tidak terkendalikan. Karena itu, tidak selayaknya seorang suami membuat marah isterinya, atau seorang isteri memancing kemarahan Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 69 Rizal Darwis, M.H.I. suaminya. Kemarahan hanya akan mendatangkan kenangan pahit dan mengisi lembaran hidup dengan noda-noda hitam. Padahal yang senantiasa diharapkan dan didambakan dalam kehidupan rumah tangga adalah kejernihan, keindahan, dan keharmonisan hubungan suami isteri. Olehnya itu Islam telah memberikan wasiat kepada para pemeluk ajarannya agar selalu berpegang teguh kepada perintah Allah swt. dan sunnah Rasulullah saw. Menyebarkan rahasia memberikan dampak yang sangat negatif bagi pasangan suami isteri. Dapat menghancurkan bangunan rumah tangga yang sudah kokoh disebabkan antara suami isteri sudah tidak ada rasa saling percaya lagi, menambah penderitaan dan kekeruhan hati, membuka pintu pengkhianatan, sehingga kebahagiaan yang didambakan tidak akan pernah menjadi kenyataan. Memelihara dan menjaga rahasia rumah tangga merupakan bagian dari akhlak karimah yang harus selalu diupayakan dan dilaksanakan karena merupakan kunci bagi kokoh kuatnya jalinan kasih serta kebahagiaan rumah tangga. Dengan demikian, menjaga isteri berarti termasuk menutupi kekurangannya dan tidak membuka apa yang menjadi rahasia keluarga. Menjaga yang dimaksudkan di sini di samping yang bersifat lahiriyah, yaitu melindungi isteri dari gangguan orang lain, juga yang bersifat batiniyah, yaitu menjaga perasaan isteri. 3. Suami mendatangi isterinya/senggama dengan baik Di antara hak isteri pada suami adalah disetubuhi. Dalam persetubuhan terdapat sebuah perlindungan dan kasih sayang, di samping mendapatkan kepuasan dan kenikmatan biologis, sehingga keharmonisan hubungan antara suami isteri akan terjalin dengan baik. Bahkan akan melahirkan kebahagiaan, kesejahteraan, ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga. Bersenggama merupakan nafkah batin yang harus diberikan oleh seorang suami, karena memenuhi kebutuhan biologis, melindungi, dan membagi kebahagiaan adalah bagian dari kewajiban 70 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan yang harus dilaksanakan. Sudah menjadi fitrah makhluk yang berjenis jantan dan betina, mereka saling membutuhkan, karena didorong oleh kekuatan naluri seksual atau libido.21 Libido ini harus disalurkan melalui jalan yang wajar, dan pada suami isteri penyalurannya tidaklah menjadi masalah, namun cara penyalurannya seorang suami harus mendatangi isterinya dengan baik. Alquran menggambarkan bahwa isteri ibarat sebuah kebun yang memiliki kebaikan bagi pemiliknya sehingga pemilik kebun harus menggarap kebunnya dengan baik. Gambaran tersebut dijelaskan melalui firman Allah swt. di dalam Alquran, yaitu: Terjemahnya: . P‘J  )  , i a B-f  ,  g̀ a  ¬ ;< Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai (QS. al-Baqarah/2: 223). Perlu dipahami bahwa walaupun pada dasarnya seks manusia ditujukan pada prokreasi, yaitu untuk menghasilkan keturunan, tetapi dalam prakteknya, kesenangan seksual yang menonjol, yaitu suatu kesenangan yang diciptakan Tuhan dalam perbuatan yang terkait dengan senggama. Meski telah terikat tali suci pernikahan, bukan berarti aktivitas seks pasangan suami isteri terbebas dari norma. Hubungan seksual adalah ekspresi cinta dan Islam sangat mengatur etika ekspresi ini sesuai sunnah dan tuntunan Nabi saw. Adanya penyaluran hasrat seks oleh pasangan suami isteri bukan hanya semakna hubungan fisik saja, akan tetapi hubungan non fisik atau batininyah akan terjalin pula. Luapan cinta, kasih dan sayang terpatri dalam kontak fisik mereka. Olehnya itu, ada beberapa hal yang menjadi anjuran agama dalam melakukan hubungan suami isteri atau 21H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih (Cet. 14; Jakarta: Pustaka Antara, 1999), h. 78. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 71 Rizal Darwis, M.H.I. etika seksual suami isteri sebagai berikut:22 a. Hendaknya hubungan seksual dilakukan di tempat tertutup, sehingga tidak bisa dilihat orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya:  *  s.  D @   N s N K( = + ~) ‰ ia G ,a =  ^   Ai a  >  ) TP(3 = > &' TB + ž a  s N  7< > A> ©-< > AB + }‹ (^>› {) .TAm @  ,> Artinya: Dari Bahz bin Hakm, Saya diceritakan dari Bapakku, dari Nenekku berkata: Saya bertanya: Wahai Rasulullah, aurat-aurat kami mana yang boleh kami datangi dan mana yang tidak boleh? Sabdanya: Jagalah auratmu kecuali kepada isterimu atau yang dimiliki tangan kananmu (budak perempuan) (HR. Al-Tirmiy). b. Sebaiknya jangan sepenuhnya telanjang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya: U' . * + * p *  s  .  s N s N IK  ;u  G :+ =  V:P+ = + }¥ (*( > =' {) .= DC %u­ %‡PD & › P;  f *‚ )    a) pB) Artinya: Dari Utbah bin Abdi al-Sulamiyyi, Rasulullah saw. bersabda: Jika Ali Chasan, Cinta, Seks, dan Ibadah [art] dalam Alia: Pesona Muslimah, Edisi Khusus Merajut Cinta Keluarga Sakinah, No. 1 Tahun III, Jumadil Awal 1426/Juli 2005, h. 37-38. 23Ab Is Muhammad bin Isa bin Saurah, al-Jmi‘ al-ahh Sunan al-Tirmiy, Juz 4, h. 352-353. 24Al-Hfizh Abi Abdillah Muhammad bin Yazd al-Qazwny, Sunan Ibnu Mjah, Juz 1 (t.tp.; Dr Ahyu al-Kutub al-Araby, t.th.), h. 618-619. 22Moch. 72 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan seorang di antara kamu mendatangi isteri kamu hendaklah memakai tutup. Dan janganlah sama-sama telanjang, seperti dua ekor keledai (HR. Ibnu Mjah). Dalam hadis lain, Rasulullah saw. menjelaskan: KCP   D' s N . * + * p *  s.  8 ) + =  = +   D Fa   n  A+ &' , N D & => , C> 8 ef * ‚ ) ' L (  I[      }™ (y7>› {) . ‚  >  )  ‚  9 P. f Artinya: Dari Ibnu ‘Umar berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Hendaklah kamu jangan telanjang karena bersamamu ada malaikat yang tidak terpisah dari kamu, kecuali di waktu buang air dan ketika seorang laki-laki mendatangi isterinya, karena itu merasa malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR. al-Tirmiy). Itulah disebabkan pada saat melakukan hubungan seks, saat itu pula ada malaikat yang tidak terpisahkan. Untuk menghormati dan memuliakan malaikat itu, maka aurat suami isteri sebaiknya ditutup selimut. c. Tidak ada batasan mengenai posisi dalam berhubungan seksual. Posisi yang dipilih haruslah nyaman bagi kedua belah pihak (suami isteri). Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 223 yang artinya “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai.” d. Membaca ta’awuz (‘aûu billhi min al-syaini al-rajmi), basmalah (bismillhi al-rahmn al-rahm) dan berdoa. Pada waktu akan melakukan hubungan seksual oleh pasangan suami isteri, maka disunahkan membaca basmalah dan ta’awuz agar selamat dari 25Ab Is Muhammad bin Isa bin Saurah, al-Jmi‘ al-ahh Sunan al-Tirmiy, Juz 5, h. 104. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 73 Rizal Darwis, M.H.I. gangguan syaitan dan mendapat keberkahan dari Allah swt. Di samping itu sebelum memulai hubungan seks sebaiknya membaca doa. Rasulullah saw. bersabda: U'   a) 8 )   s N . * + * p t  A ® :D G :+ =  = +   APN3 > 8 wr ˆK  A( 8 wr A:KA(    *  .  s N *‚ ) pB) }š  " f (y z: {) .{u[  D x `   A I[ Artinya: Dari Ibnu Abbas, Nabi saw. bersabda: Jika seseorang di antara kamu hendak mendatangi isterinya maka bacalah: (Dengan nama Allah, ya Allah! Jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami). Jika di waktu itu antara keduanya ditakdirkan terjadi anak, maka syaitan tidak akan membahayakan anak itu selama-lamanya (HR. alBukhry). e. Membaca zikir saat merasakan kepuasan seksual. Dengan kenikmatan dan kepuasan seksual yang disertai ejakulasi maupun orgasme, hendaklah suami isteri menyatakan syukur kepada Allah swt. dengan membaca zikir berikut ini: Artinya:   => 56 ¯ X  ) ( r H°  Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan dari air (sperma) menjadi manusia. Karena Dialah yang menciptakan manusia dari air sperma, sebagaimana firman-Nya: .D  N Tu 8     :;< *C‡f r H  => 56 7  ‚ 26Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 1, h. 55. 74 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Terjemahnya: Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan musharah dan Tuhanmu adalah Mahakuasa (QS. al-Furqn/25: 54) f. Mandi janabat setelah berhubungan. Islam mengajarkan kepada suami isteri yang telah selesai melakukan hubungan intim wajib melakukan mandi janabat. Kewajiban mandi ini lebih baik jika dilakukan segera sehabis hubungan seksual, agar tubuh menjadi segar. Kewajiban mandi sesudah hubungan seksual berdasarkan firman Allah swt.: Terjemahnya: .   l f :A(  PA 8 ' Jika kamu junub maka mandilah (QS. al-Maidah/5: 6) g. Membasuh kemaluan dan berwudhu apabila akan tidur, makan, minum dan mengulangi hubungan intim. Disunahkan bagi orang yang dalam keadaan junub, yaitu usai berhubungan intim, untuk berwudhu apabila akan tidur. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.  . * + * p t  A s-. *A+ * Iq + 8 ) + =  = + ) {) .$ho  PD  C< s N ˆ   {Hq   -q ` A( ‚ < a) Q AD L ‚ } (L:Aa = Artinya: Dari Ibnu ‘Umar bahwa sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi saw., bolehkah salah seorang dari kami tidur sedang ia junub? Nabi bersabda: Boleh, apabila ia berwudhu seperti wudhunya untuk shalat (HR. Ahmad bin Hanbal). 27Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibany alMarwazy, Musnd Ahmad bin Hanbal, Juz 6, h. 191. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 75 Rizal Darwis, M.H.I. Selanjutnya dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda:  ‚ Q AD 8 ) %) U' . * + * p t   N Vrn + = + u A 8  @ }ª (y z:) {) .$ho  B *( f L; ˆ   -q ` A( Artinya: Dari ’ isyah berkata: adalah Rasulullah saw. jika hendak tidur sedang beliau dalam keadaan janabat, maka dibasuhnya kemaluannya lalu berwudhu seperti ketika hendak shalat (HR. alBukhry). Demikian pula disunahkan berwudhu bagi orang junub, jika ia akan makan, minum atau hendak mengulangi senggama. Berdasarkan hadis Rasulullah saw.:   A‡  ±6  . * + * p t U' ˆ  A 8 ) G . D =    + = + }² (%% ~) {) .-q  PD 8 ) Q <  ) k J  ) L) Artinya: Dari Ammr bin Ysir, bahwa sesungguhnya Nabi saw. memberi keringanan bagi orang yang junub yang bermaksud hendak makan, minum atau tidur untuk berwudhu (HR. Ab Dwud). Itulah di antara beberapa anjuran agama dalam hubungan suami isteri, utamanya dalam pemenuhan nafkah batin terhadap isteri, agar isteri di samping merasa puas karena terpenuhi kebutuhan lahiriyahnya, juga merasa bahagia dapat terpenuhi kebutuhan batiniyahnya. 28Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 1, h. 94. 29Ab Dwud Sulamn bin al-Asy’a al-Sajastny, Sunan Ab Dwud, Juz 1 (Suria: Dr al-Had, t.th.), h. 151-152. 76 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan B. Kedudukan Hukum Nafkah Lahiriyah dan Batiniyah 1. Kedudukan Hukum Nafkah Lahiriyah Pembebanan kewajiban memberi nafkah oleh suami kedudukannya adalah wajib. Hal ini dijelaskan oleh Allah swt. melalui beberapa firman-Nya, antara lain: G C  p+   [C  * L[f ˜ H ;KA p+ 8>  N s (K = > " <) ˜ v    f Ÿ>)    R̀ Mf a R̀ P< N R .* ž a ˜ ˆ  Xo   Terjemahnya: Laki-laki itu (suami) itu pelindung bagi kaum perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) (QS. al-Nis’/4: 34). Ayat ini menjelaskan dua alasan sehingga suami diberi predikat sebagai pemimpin, yaitu: (1) karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan (2) karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk isteri/keluarganya).30 Allah swt. berfirman dalam ayat yang lain:    . C.  &'   ,B & W C   =  B;  =  N3 * %  p+ `  < ³ Terjemahnya: Dan kewajiban Ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya (QS. al-Baqarah/2: 233). 30M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 210. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 77 Rizal Darwis, M.H.I. Selanjutnya Allah swt. berfirman:    .=  + " K[P = ‚  a = > = ‚  u [B &   (  = >  PA,. Ž  A,. ) Terjemahnya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (QS. al-alaq/65: 6). Pada ayat lain Allah swt. berfirman:      G   ³  K,D & * { BH 1 5 A f *N3 *+ N = > *PC. = > VC. U 5 A .; D G ; + C  * L C‡ . ‚ BH > &' ;  < * Terjemahnya: Hendaklah orang yang mempunyai keluasab memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan (QS. al-alaq/65: 7). Kewajiban memberikan nafkah lahiriyah dapat dilihat pula dari hadis Rasulullah saw. berikut ini: Ỳ9 J L̀(  8  . s "f  C D & ‚ Artinya:   ) 8 ' *  s.  D @   N V:P+ @A A‚ 8 ) Vrn + = +  ,D > ‰ w CD   7 6) > &'   ‰     *A> R  ,D > 7 6  C  •  T ‹|   (y z: {) .W   31Ab Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 5, h. 534. 78 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Dari ’ isyah berkata bahwasanya Hindun binti ’Utbah telah berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyn adalah seorang yang bakhil, ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya, adakah dosa atas perbuatan saya ini. Nabi menjawab: ambillah dari harta (sekedar) apa yang dapat mencukupimu dan anakanakmu dengan cara yang baik (HR. al-Bukhry). Tekstual hadis ini memberikan penjelasan bahwa bolehnya isteri mengambil nafkahnya berdasarkan pendekatan historis hadis ini, yaitu pengaduan dari isteri Abu Sufyn yang mengambil sendiri nafkahnya tanpa seizin suaminya. Hal ini dikarenakan Abu Sufyn adalah seorang yang kikir kepada keluarganya, padahal dia adalah kepala rumah tangga yang berkewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan keluarga yang dipimpinnya. Pada hadis lain, Rasulullah saw. juga bersabda: # *P" <) ` AD% . * + * p *  s  .  s N s N $D‚ ~) = + G , ;> p+ * @N oB ` AD% VG :N # *P" <) ` AD% *  L :. ` AD% F  ‹} (;> {) .T‚ ) p+ *P" <) 7  ( )  M+ ) T‚ ) p+ *P" <) Artinya: Dari Ab Hurarah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Satu dinar yang kamu dermakan pada jalan Allah, satu dinar yang kamu pergunakan untuk memerdekakan seorang hamba sahaya, satu dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu, yang terbesar pahalanya adalah yang kamu belanjakan untuk keluargamu (HR. Muslim). Hadis ini menjelaskan bahwa pemberian nafkah terhadap keluarga itu harus lebih diutamakan, jangan sampai mendahulukan yang lainnya. Nafkah terhadap keluarga mendapatkan nilai ibadah bila disertai dengan niat ikhlas. Jadi hal terpenting yang harus dilakukan h. 400. 32Imm Muslim ibn al-Hajj al-Qusyairy al-Naisabury, ahh Muslim, Juz 1, Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 79 Rizal Darwis, M.H.I. seorang suami bagi isterinya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya adalah memberikan nafkah terhadap keluarga. Suami yang baik akan selalu memperhatikan masalah nafkah ini dan tidak akan menyia-nyiakan amanah yang telah menjadi kewajibannya. Kewajiban nafkah ini mencakup nafkah lahiriyah dan nafkah batiniyah. Seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya, dan mengenai ukuran kemampuan suami dalam memberikan nafkah ada beberapa pendapat menurut para imam mazhab. Menurut Hanfiyah, ukuran nafkah bila suami dan isteri kaya, ialah nafkah menurut kadar orang kaya. Dan sebaliknya bila suami dan isteri miskin maka ukuran nafkah menurut kadar orang miskin. Apabila salah satu di antaranya kaya atau miskin, maka ukurannya menurut mazhab ini terbagi atas: Pertama; ukuran nafkah menengah dan bila si suami yang miskin maka kekurangan dari nafkah menjadi utang suami. Kedua, kadar/ukuran kondisi suami bila suami kaya isteri miskin maka yang jadi ukuran ialah kondisi suami, dan begitu pula bila sebaliknya maka tetap suami yang menjadi patokan.33 Menurut Mlikiyah dan Hanfiyah, ukuran nafkah menurut kondisi suami isteri, bila keduanya kaya maka ukuran nafkah orang kaya dan sebaliknya bila keduanya miskin, maka ukurannya nafkah kalangan menengah. Adapun menurut Syfi’iyah, dalam hal pakaian dan makanan (begitu pula yang bertalian dengannya seperti minuman dan lauk pauk) yang menjadi ukuran ialah kondisi suami. Bila suami kaya maka ukuran nafkah orang kaya yang diterapkan dan bila si suami yang miskin maka ukuran nafkah disesuaikan dengan kondisinya. Namun dalam hal nafkah tempat tinggal disesuaikan dengan kondisi isteri. Hal ini disebabkan karena makanan dan pakaian harus dimiliki baru dapat diserahkan. Sedangkan tempat tinggal ialah pemanfaatannya bukan pemilikannya. Syfi’iyah menambahkan bahwa suami yang kaya ditetapkan kewajiban nafkah satu hari dua mud (1 mud = 6 ons gandum/beras), sedang bagi yang miskin ditetapkan satu 33Sayyid 80 Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 7, h. 77. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan hari satu mud. Dan bagi yang sedang satu setengah mud. Hal ini dianalogikan kepada kaffarah.34 Menurut Hanfiyah dan Mlikiyah, penganalogian kepada kaffarah tidak dapat diterima, karena kaffarah tidak sama dengan nafkah. Kaffarah sama banyaknya terhadap orang kaya atau miskin, dan dalam kaffarah itu tidak disyaratkan mencukupi orang miskin, sedangkan dalam nafkah disyaratkan mencukupi isteri di samping itu dalam kaffarah tidak wajib memberikan lauk.35 Adangan perbedaan pandangan para imam mazhab tentang jumlah dan jenis nafkah lahiriyah yang wajib ditanggung suami didasarkan pada segi kemaslahatan dari kedua pasangan suami isteri. Artinya bahwa kemampuan seorang suami menjadi patokan dalam pemberian nafkah lahiriyah tersebut. Namun perlu dicermati pula bahwa adanya perintah melakukan perkawinan telah disyaratkan adanya kemampuan yang dimiliki oleh seorang laki-laki, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah. 2. Kedudukan Hukum Nafkah Batiniyah Kewajiban yang paling pokok bagi suami adalah memberikan nafkah, baik nafkah lahiriyah maupun nafkah batiniyah. Sedang bagi isteri, pemberian nafkah itu adalah hak yang harus diterima. Sebagaimana kewajiban memenuhi nafkah lahiriyah isteri, maka seorang suami wajib pula memenuhi nafkah batiniyah isterinya. Kewajiban suami dalam memenuhi nafkah batiniyah dapat dilihat dalam firman Allah swt.:  C  = ‚J + .W   Terjemahnya: Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut (QS. al-Nis’/4: 19). 34Sayyid 35Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 7, h. 78. Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 7, h. 79. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 81 Rizal Darwis, M.H.I. Pada ayat ini secara tekstual maupun kontekstual tidak menyebutkan tentang nafkah lahiriyah dan batiniyah, namun ayat ini mengandung keduanya. Oleh karena itu, penulis memahami dari segi  C  bermakna bahwa di dalam kehidupan kontekstual pada kata W  berumah tangga, seorang suami hendaknya mempergauli isterinya dengan baik, memberikan rasa aman dan damai, suasana rumah tangga diliputi cinta dan kasih sayang. Kesemuanya itu mengarah kepada kebutuhan batiniyah daripada isteri tersebut. Selain ayat di atas, maka kewajiban pemenuhan nafkah batiniyah juga dapat dilihat dari hadis Rasulullah saw.:     t K A Z> A s "f *A+ * Iq *:+ Z> Ir> ) <) A s N V" + = +   o: v u ) *<ef 2 ^P f $H : b wP.  = > s "f . *+ * p {) .H̀ ( * *´<ef Q o    * Cf Z w P; D   = > 2  = oa ) ‹š (y z: Artinya: Dari ‘Alqamah berkata bahwa ia berjalan bersama ‘Abdullah, ia berkata bahwa ia pernah bersama Rasulullah dan bersabda: barangsiapa yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami isteri, hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, wajib berpuasa. Maka sesungguhnya puasa adalah perisai baginya (HR. alBukhry). Penafsiran terhadap kata al-b’ah ($H :) terdapat dua pendapat yang pada dasarnya mengacu pada makna yang sama. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Nawawy dan al-Khattaby. Pertama, bahwa secara bahasa kata al-b’ah ($H :) bermakna al-jim’ 36Ab Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 1, h. 587. 82 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan (b ] ) dengan memberikan penafsiran terhadap hadis di atas dengan redaksi: VG <¤ > = + {^ ‡ C b ]  Z w P; D x = > 2 ^P f b ]   , A> b wP.  = > ‹ .H (  Z w" D  *A> J Zw" D *B J Zf  Q o    * Cf Artinya: Barang siapa di antara kamu yang mampu melakukan persetubuhan karena telah mampu memenuhi biaya nikah, maka beristerilah. Dan barang siapa yang tidak mampu melakukan persetubuhan karena ia tidak sanggup memenuhi biaya nikah, maka berpuasalah untuk menahan nafsu syahwatnya dan akibat buruk maninya sebagaimana fungsi perisai. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh kata al-b’ah ($H :) adalah biaya nikah (V<¤ >)  dengan memberikan penafsiran dengan redaksi sebagai berikut: µ ,KA V<¤ > Z w P; D x = > 2 ^P f µ ,KA V<¤ >  , A> b wP.  = > ‹ª  .Q o  f Artinya: Barang siapa di antara kamu yang mampu memenuhi biaya nikah, maka beristerilah. Dan barang siapa yang tidak mampu sanggup memenuhi biaya nikah, maka berpuasalah. Pendapat kedua ini menegaskan bahwa seseorang yang tidak mampu berhubungan badan (al-jima’) tidak dianjurkan berpuasa untuk Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkny, Nayl al’Awr min ’Ahd Sayyid al-’Akhyr, Juz 3 (Bairut-Lebanon: Dr al-Kutub alIlmiyah, 1415 H./1995 M.), h. 108. 38Al-Imm Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkny, Nayl al’Awr, Juz 3, h. 108. 37Al-Imm Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 83 Rizal Darwis, M.H.I. menahan nafsu syahwatnya, karena mereka memahami anjuran berpuasa hanya bagi laki-laki yang tidak sanggup menikah karena biaya. Imam Ibn al-Qayyum berpendapat bahwa kata al-b’ah berhubungan dengan seksual dan juga bermakna biaya pernikahan. Menurutnya, hadis ini menunjukkan akan obat yang manjur bagi syahwat ketika seseorang belum mampu untuk melaksanakan pernikahan, karena sesungguhnya puasa itu dapat menekan nafsu syahwat dan memperkecil tumbuhnya rangsangan. Syahwat akan menguat di kala terlalu banyak makan atau dengan cara-cara lain.39 Menurut al-Hafi Ibnu Hajar, bahwa kata al-ba’h mencakup makna kemampuan berhubungan (al-jima’) dan kesanggupan biaya pernikahan dengan berdasar pada satu riwayat Ibnu Mjah dengan redaksi hadis sebagai berikut:40 (*( > =' {) .Y , A f sG l U 8  = > ¥| Artinya: Dan barangsiapa yang memiliki kekayaan, maka hendaklah dia menikah (HR. Ibnu Mjah). Berdasarkan dari hadis tersebut di atas memberikan gambaran tentang kesanggupan terhadap dua kewajiban, yakni nafkah lahiriyah dan nafkah batiniyah, atau kemampuan berhubungan badan dan kemampuan biaya. Setelah memiliki kesanggupan terhadap kedua hal tersebut maka dianjurkan untuk beristeri. Nafkah batin sebagaimana yang telah dijelaskan antara lain mempergauli isteri dengan baik, menjaga isteri dengan baik dan mendatangi isteri dengan baik pula. Ketiga bentuk nafkah batin ini Mahdi al-Istambuli, Tuhfat al-A‘rus, terj. Ibnu Ibrahim, Kado Perkawinan (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), h. 17. 40Al-Imm Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkny, Nayl al’Awr, Juz 3, h. 109. 41Al-Hfi Abi Abdillah Muhammad bin Yazd al-Qazwny, Sunan Ibnu Mjah, Juz 1, h. 510. 39Mahmud 84 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan mutlak harus dipenuhi oleh seorang suami kepada isterinya, karena kapan ketiga hal ini tidak terpenuhi akan mengakibatkan konflik di antara suami isteri yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya keretakan rumah tangga yang berkepanjangan, bahkan dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Islam memandang bahwa pemenuhan nafkah batin kepada isteri merupakan faktor penentu langgengnya sebuah rumah tangga. Pemenuhan nafkah batin berupa mendatangi isteri dengan baik, Ibnu Hizam berpendapat bahwa suami wajib memberikan nafkah batin kepada isterinya sekurang-kurangnya 1 kali sebulan jika ia mampu. Kalau ia tidak melakukan hal ini berarti ia telah durhaka kepada Allah swt. Pendapat ini didukung oleh kebanyakan ulama. Sedangkan menurut Imm Ahmad bahwa suami wajib memberi nafkah batin kepada isterinya 4 bulan sekali.42 Kedudukan nafkah batin di samping sebagai kewajiban bagi suami, juga menjalankannya merupakan suatu ibadah atau sedekah yang mendapatkan pahala dari Allah swt. Sebagaimana tergambar dalam sabda Rasulullah saw.:    9  ) => . < 8 ) ¶ U ~) =+ t K A k K A  N . *+ * p t        8uoD (  4  iu  L ‚ ) ˆ‚U * s.  D . *+ * p [  N  ) s N  Ÿ> ) s   8N oPD Q o  <  8>  D IKo< o LK  VN G$d:, B LK  VN VG 9:; B LK ,  8 ' 8N o  B >  ,  * LC(  C  >) VN VG B LK  VN G$ ¦ G ,A> = + Ì < V̀N W    `     # V̀N *B J < a) ©- D) * s.  D  N V̀N   a) Z [ 42H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 112. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 85 Rizal Darwis, M.H.I. `3 f * + 8 ) QGa # Cq    PD)) s N `( ) f * 8 , D  hX ¥‹(;> {) .() * 8  s  # Cq U' T7,f   Artinya: Dari Ab Zar berkata bahwa sesungguhnya salah seorang sahabat dari sahabat-sahabat Nabi saw. berkata: Wahai Rasulullah, ahli al-Duûr telah menjalankannya: mereka shalat seperti kita shalat, mereka shalat seperti shalat kita, mereka bersedekah dengan harta yang utama. Rasulullah bersabda: bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apaapa yang kalian sedekahkan bahwa sesungguhnya setiap tasbih kalian adalah pahala, setiap takbir kalian adalah pahala, setiap tahmid kalian adalah pahala, setiap tahlil kalian adalah pahala, memerintahkan kebaikan adalah pahala, dan mencegah kemungkaran adalah pahala, dan bagi kamu mendatangi isterimu adalah suatu pahala. Lalu para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kita yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala. Jawab Rasulullah: bagaimana pendapatmu kalau dia seorang yang menyalurkan syahwatnya pada tempat yang haram, apakah itu merupakan suatu dosa? Betul jawab sahabat. Begitu pulalah jika ia melakukan syahwat itu pada tempat yang halal, maka ia akan mendapat pahala (HR. Muslim). Oleh karena memberikan nafkah batin ini merupakan ibadah sehingga suami tidak saja dituntut untuk melaksanakan kewajibannya, tetapi ia juga melakukan suatu ibadah yang memiliki pahala di sisi Allah swt., maka secara tidak langsung terwujudlah tujuan utama perkawinan, yaitu dalam rangka beribadah kepada Allah, termasuk dalam hal ini melakukan junub bersama isterinya sebagai pemenuhan hak isteri untuk mendapatkan nafkah batin. Islam memandang bahwa pemenuhan nafkah batin akan menghindarkan terjadinya penyelewengan isteri dari suaminya. Banyak kasus yang terjadi, isteri berbuat serong dari suaminya disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan nafkah batin oleh suaminya. Ini h. 403. 86 43Imm Muslim ibn al-Hajj al-Qusyairy al-Naisabury, ahh Muslim, Juz 1, Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan menandakan bahwa kedudukan nafkah batin merupakan salah satu hal yang dapat menghindarkan terjadinya penyelewengan dari pasangan suami isteri tersebut. C. Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia agar suami isteri bersama-sama dalam rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Namun pada kenyataannya ada saja hubungan perkawinan itu putus atau bercerai diakibatkan tidak lagi berpegang pada komitmen daripada tujuan pernikahan. Perceraian pada dasarnya tidak diinginkan oleh semua orang yang telah melakukan penikahan, namun sebagian orang telah melakukan perceraian karena adanya faktor-faktor penyebab yang dianggap oleh salah satu pasangan suami isteri tidak lagi dapat terpenuhi dari kedua belah pihak yakni berupa nafkah lahiriyah dan batiniyah yang lebih diberatkan kepada kaum laki-laki (suami). Maka ketika persoalan itu sudah tidak dapat lagi dicarikan solusi, maka dapat dipastikan akan bermuara pada perceraian. Perceraian dapat diajukan oleh salah satu dari kedua belah pihak yang merasa bahwa persyaratan dalam pemberian nafkah lahiriyah dan batiniyah tidak lagi dapat terpenuhi dari kedua belah pihak. Perceraian ini memiliki perbedaan sesuai dengan kondisi terjadinya perceraian yang diistilahkan dengan talak. Berikut ini istilahistilah yang berhubungan dengan talak tersebut. 1. Talak Talak dari segi bahasa melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah ialah melepaskan ikatan perkawinan Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 87 Rizal Darwis, M.H.I. dengan mengucapkan lafaz talak atau lafaz yang serupa dengannya.44 Adapun menurut KHI, talak ialah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya pernikahan, dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan ini (pasal 117 KHI). Ada dua pendapat mengenai hukum asal talak menurut mazhab Hanfi: Pertama, mubah.45 Adapun dasar hukum yang berpendapat mubah ialah: V[D f = Ÿ q    B  ) = ‚  ;u — x > H ;KA  C  + P> {N › "  p+ p+ "· a W     Terjemahnya:  P" l 8 '  , + µ A( &   CKP> { N Z .  p+ = ‚ .FA; 9   Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istrimu kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya, dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. al-Baqarah/2: 236). Kedua, haram.46 Dasar hukum yang mengharamkan ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Humaid al-awil. Jumhur ulama termasuk Mlikiyah, Syfi’iyah dan Hanbilah mengatakan bahwa talak termasuk hal yang diizinkan, tetapi lebih baik bila tidak melakukannya kecuali jika terpaksa, karena akan merusak hubungan kasih sayang. Karena Syarbini al-Khtib, Mughni al-Muhtj, Jil. 3 (Mesir: Syirkah Maktabah, 1975), h. 79. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 356. 45Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4 (Bairut-Libanon; Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 296. 46Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 296. 44Muhammad 88 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan itu, menurut mereka, hukum talak dapat berubah menjadi haram, makruh, wajib dan sunnah.47 Haram bila akibat talak itu akan mengakibatkan ia melakukan perbuatan zina atau kalau talaknya talak bid‘i. Makruh jika ia sebenarnya suka dengan pernikahan itu, atau bila ia sedang mengharapkan keturunan, atau ia tidak khawatir berbuat zina jika bercerai. Wajib jika ia sudah tidak mampu lagi untuk memberi nafkah, atau karena sumpah l’ tidak menggauli isterinya lebih dari empat bulan. Sunnah bila isterinya adalah seorang yang ucapannya kotor, dan khawatir akan melakukan perbuatan terlarang jika masih bersamanya.48 Secara keseluruhan ada tiga bilangan talak, yaitu talak pertama, kedua dan ketiga. Namun yang memberikan hak kepada suami untuk merujuk isteri yang telah ditalaknya hanya dua saja, yaitu talak pertama dan talak kedua. Adapun talak yang ketiga akan mengakibatkan suami isteri putus untuk selama-lamanya karena tidak dapat dilakukan rujuk, kecuali dengan akad nikah baru setelah mantan isterinya itu menikah dengan laki-laki lain kemudian telah diceraikan ba‘d al-dukhul serta habis iddah-nya.49 Talak dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu talak raj‘i, bain, sunni dan bid‘i. Talak raj‘i ialah pemutusan ikatan pernikahan yang masih memberikan hak kepada suami untuk merujuk atau mengembalikan hubungan pernikahan mereka selama iddah. Rujuknya suami tanpa akad nikah baru, karena talak raj‘i belum memutuskan sama sekali ikatan suami isteri sebelum iddah-nya berakhir. Bila iddah- al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 296-297. Lihat Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 362. Lihat pula Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Ed. 1 (Cet. 1; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 127. 48Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 362-363. 49Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 386. 47Abd Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 89 Rizal Darwis, M.H.I. nya telah habis, maka mereka boleh kembali dengan akad nikah baru.50 Talak raj‘i mengakibatkan berkurangnya bilangan talak, putusnya ikatan pernikahan setelah berakhirnya iddah, dan rujuk dilakukan hanya dalam masa iddah dengan ucapan. Kecuali menurut Hanfiyah, Mlikiyah dan Hanbilah dapat pula dengan perbuatan. Bila habis masa iddah, maka rujuk hanya boleh dengan akad baru dan dengan izin bekas isteri.51 Dalam KHI talak macam ini diatur dalam pasal 118. Talak bain adalah talak yang menyebabkan suami tidak berhak untuk merujuk, karena talak bain memutuskan sama sekali ikatan pernikahan. Talak bain terbagi atas talak bain ugra dan talak bain kubra. Talak bain ugra dapat terjadi pada talak yang dilakukan qabl al-dukhul, talak dengan tebusan atau khuluk, dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan. Para ulama fikih sepakat, sungguh pun dengan talak bain ugra ini bekas suami tidak boleh rujuk, namun ia dapat kembali lagi kepada isterinya dengan akad nikah baru dan disertai mahar baru pula, baik dalam masa iddah maupun sesudahnya. Talak ba’in ugra juga mengurangi bilangan talak dan satu sama lain tidak saling mewarisi.52 Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga kalinya. Jenis talak ini mengakibatkan bekas suami tidak dapat kembali rujuk atau menikahi bekas suaminya, sekalipun dengan akad baru ia baru dapat menikahinya kembali jika bekas isterinya itu telah menikah dengan laki-laki lain dan telah diceraikan oleh suami yang kedua dengan ba’d al-dukhul (setelah dicampuri) serta masa iddah-nya telah habis. Syarat sebelum rujuk dengan suami yang pertama pun adalah cerai ba’d al-dukhul dengan suami yang kedua.53 Uraian talak bain ini sesuai dengan pasal 119 dan 120 KHI. 50Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 432. Lihat Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 130-131. 51Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 436. 52Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 432. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 66-67. 53Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 435-436. 90 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan suami ketika isteri dalam keadaan suci dan selama suci tersebut isteri belum dicampurinya. Hukum Islam memperbolehkan talak sunni tersebut. Adapun talak bid‘i adalah talak yang dilarang atau haram oleh agama Islam. Talak tersebut dikatakan bid‘i jika dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci yang telah dicampurinya.54 Adapun macam talak ini diatur dalam pasal 121 dan 122 KHI. Pasal 38 UUP dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Selanjutnya ketentuan dari pasal 41 UUP, yaitu: Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya.55 Ketentuan pasal 41 UUP tersebut memang lebih bersifat global, dan KHI merincinya dalam empat kategori, akibat cerai talak, cerai gugat, akibat khuluk, akibat li‘an dan kematian suami. Sedangkan menurut ketentuan pasal 149 KHI dinyatakan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 436. Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet. 3; Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), h. 230. 54Wahbah 55Zainal Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 91 Rizal Darwis, M.H.I. a. Memberikan mut‘ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabl al-dukhul (QS. al-Baqarah/2: 236). b. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuhnya apabila qabl al-dukhul (QS. al-Baqarah/2: 237). c. Memberi nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil (QS. al-Baqarah/2: 233). d. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan, termasuk di dalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun (QS. al-Baqarah/2: 233). Bagi isteri yang telah ditalak raj’i, suaminya berhak merujuknya selama dalam masa iddah, dan selama masa iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain, bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz (pasal 150, 151 dan 152 KHI). Akibat perceraian karena perceraian - cerai gugat diatur dalam KHI, yaitu: Pasal 156 a. b. c. 92 Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, keculi bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan d. e. f. bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak. Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d). Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.56 Setelah terjadinya perceraian maka harta bersama harus pula dibagi, pasal 157 KHI menyatakan harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut pada: Pasal 96 1. 2. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.57 Demikianlah aturan-aturan yang berkenaan dengan talak. Bahwasanya talak adalah salah satu bentuk putusnya ikatan suami isteri. Talak ini adalah satu rahmat dari Allah swt. kepada hamba-Nya yang membuka pintu penyelesaian terakhir kepada perselisihan dan pertengkaran suami isteri apabila tidak ada lagi jalan yang bisa menyatukan dan menyelamatkan rumah tangga mereka. Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. 2; Jakarta: Logo Wacana Ilmu, 1999), h. 188-189. 57Cik Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 170. Lihat pula Abd alRahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 386. 56Cik Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 93 Rizal Darwis, M.H.I. 2. Khuluk Menurut bahasa, khuluk berarti menanggalkan pakaian, karena perempuan adalah pakaian bagi laki-laki dan laki-laki adalah juga pakaian bagi wanita. Khuluk diartikan sebagai ganti rugi atas talak yang dijatuhkan oleh suaminya, dengan mengembalikan barang-barang yang pernah diberikan suaminya sebagai mahar.58 Adapun menurut KHI, khuluk ialah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya (pasal 1 sub I).59 Ulama mazhab Mlikiyah, Syfi’iyah dan Hanbilah mengatakan bahwa khuluk adalah perceraian dengan iwad atau tebusan. Pihak isteri menebus diri dari suaminya dengan membayar sejumlah harta benda atau uang. Imam Mlik dan Syfi’i membolehkan khuluk dengan tebusan lebih banyak, atau yang sebanding, atau lebih kecil dari mahar yang yang diberikan oleh suaminya.60 Sayyid Sabiq mengatakan khuluk hanya boleh dilakukan bila ada alasan yang benar antara lain karena suami cacat badan, atau berakhlak buruk, atau tidak memenuhi kewajibannya. Sedangkan isteri khawatir akan melanggar hukum Allah swt. Jika tidak ada alasan yang cukup kuat, maka haram hukumnya bagi isteri melakukan khuluk tersebut.61 Adapun menurut KHI pasal 124, khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai dengan ketentuan Pasal 116.62 Alasan pada pasal 116 KHI itu sebagai berikut: Pasal 116 Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 95. 59Cik Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 139. Lihat juga Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Maahib al-Khamzah, h. 456-457. 60Ibn Rusyd, Bidyah al-Mujtahid, terj. Abdurrahman, Bidayatul Mujtahid, Jil. 2 (Cet. 1; Semarang: as-Syifa, 1990), h. 420. 61Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 101. 62Cik Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 139. 58Sayyid 94 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan a. b. c. d. e. f. g. h. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Suami melanggar taklik talak. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.63 Selain itu ketentuan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia tersebut, maka mengenai ketentuan khuluk tersebut telah dijelaskan pula dalam firman Allah swt. berikut ini: G C˜ •` ;>ef 8 B> § hw 7 6 -B 8 )  ,  Lu ¸ & 8G ;a e ỲD ; B  ) W    "D &)  P 6 8 ef *  % a "D &) f ¹ 8 ) &' ‘J = ‚   PBH 1    Pf f  + µ A( hf *  % a ‚ PC B hf *  %   a T B * R     .8  M  ‚ T‘-f *  % a  CPD = > Terjemahnya: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskkan dengan baik. Tidak halal bagi 63Cik Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 175. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 95 Rizal Darwis, M.H.I. kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim (QS. al-Baqarah/2: 229). Menurut ayat tersebut, pihak suami diperbolehkan mengambil tebusan sebagai konpensasi terhadap talak yang dijatuhkan atas permintaan isterinya. Mengenai sebab turunnya ayat ini terdapat riwayat yang menerangkan bahwa pada permulaan Islam, talak itu tidak dibatasi jumlahnya. Seorang lelaki boleh saja merujuk isteri yang ditalaknya pada masa iddah-nya, kemudian mentalaknya lagi dan merujuknya kembali sesuka hatinya. Hal ini memberikan indikasi bahwa kehormatan seorang isteri dapat dipermainkan dengan sesuka hatinya suaminya. Talak sebelum datangnya Islam merupakan salah satu cara untuk menyiksa wanita. Orang-orang jahiliyah biasanya menceraikan isterinya dan memisahkan darinya, tetapi ia tidak memperkenankan orang lain menikahinya. Olehnya itu setelah Islam datang, ketentuan mentalak dan merujuk isteri hanya dua kali saja, sehingga status isteri sudah jelas. Ayat ini pula memberikan justifikasi kepada wanita yang mengalami perlakuan yang tidak baik dalam kehidupan rumah tangganya untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinannya dengan jalan menebus dirinya (khuluk). Selain ayat di atas, ketentuan mengenai khuluk itu diperjelas pula dalam hadis Nabi saw.:  G N =  @  . * + * p t  A @B)     i $)> 8 ) G :+ =  = +   G N =  @ ‰K ,  =G D% & 5G 6 # * + ˆ   "f   i * s.  D @  P+ ) >   #  ,  { ) * + =D%K B) . * + * p *  s  .  s "f Qh. Œ 96 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan  V"D X  L :N . * + * p *  s  .  s N  C< @   N *P"Da š¥(y z: {) .V"wB "Kl    Artinya: Dari Ibn Abbas bahwa isteri Tsabit bin Qais telah datang kepada Nabi saw. dan berkata Ya Rasulullah, tidaklah aku mencela budi pekerti dan agama abit bin Qais, tetapi aku membenci kekufuran dalam Islam, kemudian Rasulullah saw berkata: apakah engkau mau mengembalikan kebun yang diberikan olehnya? Isteri abit menjawab: ya. Kemudian Rasulullah saw. berkata terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia satu kali (HR. al-Bukhry). Khuluk diperbolehkan bagi isteri untuk mengimbangi hak talak yang dimiliki suami, takkala timbul keretakan rumah tangga yang tidak dapat didamaikan kembali. Jumhur ulama mengatakan bila khuluk itu terjadi, maka akibatnya suami tidak boleh rujuk kepada isterinya pada masa iddah (bain ugra), tetapi mereka dapat kembali dengan akad nikah yang baru.65 Akibat khuluk pada pasal 161 KHI, menjelaskan bahwa perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat rujuk. 3. l’ l’ berarti menolak dengan sumpah, yaitu bila suami bersumpah di hadapan isterinya, bahwa ia tidak akan mencampurinya lagi, misalnya ia mengatakan, “Demi Allah, saya tidak akan mencampuri kamu lagi,” atau “Demi Allah, saya tidak akan menghampiri kamu lagi selama waktu tertentu.” Perbuatan itu dilakukan jika suami sudah tidak menyukai lagi isterinya, tetapi ia juga 64Ab Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibrhim bin al-Mugrah bin Bardzbah al-Bukhry al-Ja’afy, ahh al-Bukhry, Juz 1, h. 505. 65Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 105. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 97 Rizal Darwis, M.H.I. tidak menghendaki isterinya menikah dengan laki-laki lain. Tujuannya adalah untuk menyakiti dan menyusahkan isterinya, serta membiarkannya hidup terkatung-katung dan tidak menentu.66 Hal ini sangat memberikan bentuk ketidakadilan bagi pihak isteri karena dapat dipermainkan semaunya oleh suaminya. Berkenaan dengan perbuatan itu, Allah swt. menjelaskannya melalui firman-Nya:    * 8 ef H f 8 ef G J ) V C) ±uB  n ;< => 8¤ D =D7  .     `   ` a       . ` + Z̀€ * 8 ef §hw >^+ 8 ' Terjemahnya: Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya harus menunggu empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah/2: 226-227). Ibn Rusyd mengemukakan bahwa Imm Syfi’i mempersamakan sumpah l’ dengan sumpah lain, karena itu bila dilanggar mengakibatkan wajib kaffarah.67 Hukuman kaffarah sumpah itu ditegaskan oleh firman Allah swt. dalam Alquran sebagai berikut:      *B  ,f 8 m4 œ  " + ˜   7 6¤D = ,  , < m) #     *   7 6¤D & D  ¦  )   B;   )  , ‚ ) 8 CwB >  . ) = > F ;> $r+ Q Cl' al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 463. Lihat Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 535. Lihat pula Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Mahib al-Khamzah, h. 498. 67Ibn Rusyd, Bidyah al-Mujtahid, Jil. 2, h. 425. 66Abd 98 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan   G   Ma    P a U'  , < m) $   TU QG D) Vihi Q of  – x = f V:N  .8 , r B  , C *B DH  ,  * F  K :D T7  , < m) Terjemahnya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarah (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpahsumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepada-Nya) (QS. al-Maidah/5: 89). Seandainya suami sudah benar-benar tidak berkehendak untuk kembali lagi karena ia sudah tidak menyukai isterinya, maka jalan yang harus ditempuh adalah pemutusan hubungan pernikahan melalui perceraian. Jika pihak suami tidak mau menceraikannya, maka hakim Pengadilan dapat mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan pernikahan tersebut. Kewenangan hakim dalam suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara telah diatur dalam perundangan-undangan di Indonesia, yaitu UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut: Pasal 5 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 99 Rizal Darwis, M.H.I. 1) Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.68 Untuk memenuhi norma di atas, maka seorang hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum dengan penentuan atas tuntutan rasa keadilan bagi si pencari keadilan, sehingga para pihak yang berperkara tersebut merasa memperoleh rasa keadilan terhadap perkaranya dan memperoleh kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang berperkara. 4. Zhihar Zhihar berasal dari kata zhahru yang berarti punggung, Zhihar adalah perkataan suami yang intinya mempersamakan isteri terhadap ibunya dengan maksud tidak baik. Misalnya ia mengatakan engkau bagiku seperti punggung ibuku. Perkataan itu dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa pihak suami tidak mau menggaulinya lagi tetapi juga enggan untuk melepaskannya. Menurut Imam Mlik, bila suami menyebutkan suatu anggota selain punggung atau menyebut perempuan selain ibu yang selamanya haram dinikahi adalah termasuk juga zhihar. Imam Hanfi mengatakan, zhihar hanya terjadi dengan menyebutkan anggota tubuh yang haram dilihat baginya. Adapun Imam Syfi’i berpendapat mempersamakan isteri dengan perempuan lain yang selamanya haram dinikahi adalah juga zhihar.69 Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa zhihar merupakan salah satu adat kebiasaan buruk bangsa Arab jahiliyah yang kemudian dicela oleh Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 5 ayat (1). 69Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 490. Lihat Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 585-588. Lihat Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Mahib al-Khamzah, h. 495-496. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 115-116. 68Republik 100 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan agama Islam.70 Hal ini dikarenakan perbuatan itu adalah dusta karena menyamakan isteri dengan ibunya. Allah swt. berfirman:  &'   B >) 8 '   >) = ‚ >   n ;< = >  , A> 8‚ MD =D7  Inh    .  <'   <  `   “  C * 8 '  3 s " => ,A> 8"    Terjemahnya: Orang-orang di antara kamu yang menzhihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibuibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun (QS. al-Mujdalah/58: 2). Pada ayat lain, Allah swt. mencela perbuatan zhihar itu melalui firman-Nya:   : N = > LG (  * LC( >  , (3 ) LC( > * f ( # F 8 ‚ MB Inh       *  , ‚f-  ,  N  , U   H A)   H +% ) LC( >  , B >) =  A> .L:;    D ‚ 5 X  s  " D Terjemahnya: Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-isteimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (QS. al-Ahzb/33: 4). 70Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 122. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 101 Rizal Darwis, M.H.I. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa agama Islam mencela adat kebiasaan bangsa Arab tersebut sebagai suatu perbuatan buruk dan penuh kedustaan yang tidak dapat diterima oleh pikiran sehat. Dengan perkataan zhihar tersebut, si isteri menjadi haram digauli oleh suaminya seperti haramnya menggauli ibunya sendiri. Namun bila suami benar-benar ingin kembali dalam kehidupan rumah tangga dengan isterinya itu, maka bolehlah ia mencabut kembali katakata zhihar-nya itu dengan kewajiban membayar kaffarah. Jumhûr fuqha mengatakan, bahwa kaffarah tersebut tidak diwajibkan tanpa pencabutan kembali kata-kata zhihar.71 Kafarat untuk mencabut kembali kata-kata zhihar dapat berupa memerdekakan hamba sahaya, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hal ini telah dijelakan oleh Allah swt. melalui firman-Nya dalam Alquran:      8 ) L :N = > VG :N D  9 Pf  N  8%  CD «   n ;< = > 8 ‚ MD =D7  f  – x =f . d̀:6 8CB ˜ * * 8M+B , U . PD Q o        C PP> = D J A, ; > FKP. Q Clef Z w P; D x = f . PD 8 ) L :N = > F     a TB *. *   A>¤P TU .      ` ) k̀7+ =D f ,  * % Terjemahnya: Orang-orang di antara kamu yang menzihar isterinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak mampu maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, 71Sayyid 102 Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 124. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapatkan azab yang sangat pedih (QS. al-Mujdalah/58: 3-4). Ayat ini memberikan gambaran bahwa setiap hukum dan aturan syariat yang dibuat Allah swt. adalah untuk menguji hambaNya apakah membenarkan hukum tersebut dengan melaksanakannya atau mendustakannya dengan tidak melaksanakannya atau mengabaikannya. Orang yang melanggar syariat Allah swt., maka ia sama seperti orang kafir atau sama seperti sifat orang kafir yang mengabaikan hukum Allah swt. dan sunnah Rasul-Nya. Ayat ini merupakan bentuk hukuman denda terhadap perilaku seorang suami yang melakukan zhihar kepada isterinya. Zhihar merupakan perbuatan mungkar karena menyalahi aturan Allah swt. dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Persoalan tentang l’ dan zhihar dalam KHI tidak ditemukan penjelasan dan aturannya. Hal ini tentunya perlu adanya pengkajian ulang terhadap materi di dalam KHI tersebut. Padahal KHI walaupun bukan berbentuk perundang-undangan, namun pada tarap penerapannya telah menjadi materi dan pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama dalam penetapan hukum berkenaan dengan persoalan perkawinan dan perceraian. Apalagi persoalan l’ dan zhihar bisa terjadi dalam kehidupan rumah tangga seseorang dan memerlukan penyelesaian hukum negaranya. 5. Li‘an Li‘an menurut bahasa berasal dari kata la‘na yang berarti mengutuk, laknat atau kutukan. Dalam syari’at Islam. Li‘an adalah suatu bentuk perceraian antara suami isteri yang disebabkan suami menuduh isterinya berbuat zina tetapi ia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, sedangkan isterinya menyanggah tuduhan itu. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 103 Rizal Darwis, M.H.I. Berkenaan dengan li‘an tersebut Allah swt. berfirman dalam QS. alNûr (24): 6-7.72 Orang yang menuduh zina harus menghadirkan empat orang saksi guna membenarkan tuduhannya. Jika tidak dipenuhi, maka tuduhan itu dapat dianggap palsu dan kepadanya dikenakan hukuman dera sebanyak 80 kali (QS. al-Nûr (24): 4). Meskipun demikian, jika tuduhan tanpa empat orang saksi itu dilakukan terhadap isterinya sendiri, maka ia dapat menghindarkan diri dari hukuman tersebut dengan melakukan li‘an.73 Cara melakukan li‘an ialah bersumpah dengan nama Allah swt. sebanyak empat kali, bahwa isterinya telah berbuat zina dengan laki-laki lain. sumpah yang diucapkan oleh suami tadi sesuai dengan maksud firman Allah swt. tersebut, umpamanya, “Demi Allah, bahwa isteriku telah berbuat zina, yang kelima ia (sang suami) harus mengatakan, laknat (murka) Allah akan menimpa diri saya, jika saya berdusta dalam tuduhan ini.74 Orang yang berbuat zina dapat dikenakan sanksi berupa hukuman cambuk sebanyak 100 kali (QS. al-Nûr (24): 2). Oleh karena itu, untuk menghindarkan diri dari hukuman tersebut, maka terhadap tuduhan itu pihak isteri pun boleh membela diri dengan mengucapkan sumpah sebanyak empat kali pula seperti yang dilakukan oleh suami terhadap dirinya dan yang kelima pun ia harus mengucapkan “kemurkaan Allah atas diriku, jika suamiku benar dalam tuduhannya itu. Dalam hal ini firman Allah dalam QS. al-Nûr (24): 8-9. 75 Sebagai konsekuensi dari li‘an tersebut, maka hubungan pernikahan mereka putus untuk selama-lamanya.76 Dasar hukumnya Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 126. Bandingkan Cik Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 178. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 556. 73Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 134-135. 74Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h.135. Lihat Amir Syarifuddin, GarisGaris Besar Fiqh, h. 138-140. Lihat pula Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 571-572. 75Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 126. Lihat juga Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 139. 76Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 136. 72Sayyid 104 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan adalah sabda Rasulullah saw.: yang mengatakan: Menurut sunnah, kedua pihak yang ber-li‘an (saling mengutuk) apabila telah berpisah tidak dapat kembali bersama untuk selama-lamanya.77 Perbuatan mengutuk antara sesama manusia merupakan sebuah perbuatan yang sangat tidak baik, apalagi kaitannya dengan hubungan suami isteri yang pada hakekatnya ingin hidup rukun, damai, penuh cinta, kasih dan sayang, namun karena adanya saling mengutuk tersebut, maka tidak berarti lagi karena sudah tidak saling mempercayai dan saling menghujat satu sama lain, sehingga perceraian adalah jalan yang terbaik dibanding mempertahankan perkawinan mereka. Ulama Hanfiyah berpendapat, li‘an tidak secara otomatis memutuskan ikatan pernikahan, karena itu harus diputuskan oleh hakim pengadilan. Ulama Mlikiyah dan Hanbilah mengatakan bahwa li‘an memutuskan ikatan pernikahan, karena itu harus diputuskan oleh hakim pengadilan. Ulama Mlikiyah dan Hanbilah mengatakan bahwa li‘an memutuskan ikatan pernikahan. Bahkan menurut Imam Syfi’i, ikatan pernikahan itu putus cukup dengan li‘an dari pihak suami walaupun tanpa li‘an dari pihak isterinya tersebut.78 Jika suami yang menuduh isterinya itu mengingkari anak yang lahir setelah perbuatan zina itu, maka anak tersebut tidak mempunyai hubungan nasab dan tidak menjadi ahli waris dari bekas suami itu. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab serta menjadi ahli waris dari ibu yang melahirkannya. Dengan li‘an, bekas suami juga bebas dari kewajibannya memberi nafkah kepada anak itu, jika anak tersebut perempuan, maka yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah wali hakim, karena ia dipandang tidak berbapak. Jika sang suami kemudian mencabut tuduhannya, maka anaknya sah dan bernasab kepadanya dan sekalian akibat li‘an terhapus dari anaknya.79 77Ab Dwud Sulamn bin al-Asy’a al-Sajastny, Sunan Ab Dwud, Juz 1, h. 40. Hadis yang dimaksud:   A+ hP #  C  VA;u  @ . ) 8 C P– & «  A §D 8 ) F  [f  78Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 131-133. 79Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Mahib al-Khamzah, h. 576-578. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 105 Rizal Darwis, M.H.I. Akibat li‘an pada pasal 162 KHI menjelaskan bilamana li‘an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selama-lamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.80 Namun persoalan li‘an ini tidak serta merta langsung dijatuhkan tanpa adanya pembuktian yang cukup dari berbagai segi, khususnya dari pembuktian melalui medis atau kedokteran. 6. Fasakh Fasakh secara bahasa ialah batal, suatu pernikahan dikatakan fasakh jika terdapat sebab yang membatalkan. Fasakh dapat terjadi karena sesuatu hal yang telah ada sejak terjadinya pernikahan, setelah diketahui terdapat hubungan yang menghalangi suatu pasangan untuk melakukan pernikahan.81 Misalnya, terdapat hubungan darah seperti saudara sekandung. Hubungan perbesanan seperti ibu tiri, atau karena hubungan sesusuan. Fasakh juga dapat terjadi karena sesuatu yang datang kemudian, misalnya salah satu di antara suami atau isteri murtad.82 Ibnu Rusyd menjelaskan terdapat perbedaan antara fasakh dan talak. Yang menjadi pertimbangan perbedaan antara fasakh dan talak itu adalah penyebab putusnya pernikahan, jika karena sesuatu sebab suami isteri tidak dapat melanjutkan pernikahannya. Maka putusnya pernikahan itu adalah fasakh, seperti seorang pria menikahi wanita dalam masa iddah. Tetapi jika keduanya dapat melanjutkan pernikahan meskipun sebab itu masih ada, maka putusnya pernikahan ia adalah talak, seperti putusnya pernikahan karena salah satu dari pasangan itu cacat.83 Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 190. Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 124-125. Bandingkan Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 124. 82Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 124-125. 83Ibn Rusyd, Bidyah al-Mujtahid, Jil. 2, h. 430. 80Cik 81Amir 106 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Wahbah al-Zuhaly mengemukakan, ada tiga hal yang membedakan fasakh dengan talak. Pertama, hakikatnya bahwa fasakh itu membatalkan dasar ikatan pernikahan dan menghilangkan hal-hal yang halal karenanya, kecuali setelah talak tiga atau bain kubra. Kedua, penyebabnya bahwa fasakh itu terjadi baik karena hal-hal yang datang kemudian menghapus pernikahan seperti salah satu pihak murtad, atau karena hal-hal yang telah ada sejak akad dilakukan seperti hak khiyar atau hak pilih bagi isteri untuk terus atau putus bila dinikahkan ketika ia belum dewasa.84 Adapun talak merupakan hak suami didasarkan atas ikatan pernikahan yang sah dan bukan karena suatu sebab yang tidak lazim adanya, misalnya, bila seorang pria dan seorang wanita hidup bersama tanpa menikah, maka untuk berpisah di antara mereka tidak dengan talak karena di antara mereka tidak ada hubungan yang sah. Ketiga pengaruhnya, bahwa fasakh itu tidak mengurangi bilangan talak yang menjadi hak suami tersebut.85 Mazhab Hanfi berpendapat, bahwa fasakh akan terjadi karena adanya sebab yang berasal dari pihak isteri, sedangkan talak karena hal lainnya. Sebagai contoh, bila sang isteri menolak masuk Islam sedangkan suaminya telah lebih dahulu masuk Islam.86 Adapun mazhab Mliki berpendapat bahwa fasakh terjadi antara lain bila akad nikah tidak sah, seperti karena wanita masih bersuami. Fasakh terjadi antara lain karena l’ setelah sampai empat bulan.87 Wahbah al-Zuhaly berpendapat bahwa fasakh ada yang memerlukan putusan hakim dan ada yang tidak memerlukannya, fasakh yang harus dengan putusan hakim adalah fasakh yang disebabkan tidak kufu, mahar kurang dari mahar miil, salah satu menolak masuk Islam setelah yang lainnya masuk Islam, khiyar balig al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 348-349. al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 348-349. 86Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 349. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 125. 87Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 352. Lihat pula Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqh ’ala al-Mahib al-Khamzah, h. 499. 84Wahbah 85Wahbah Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 107 Rizal Darwis, M.H.I. (dewasa) jika dinikahkan ketika masih kecil oleh wali selain ayah atau kakek, dan khiyar karena gila (apabila dinikahkan dalam keadaan gila dan kemudian ia sembuh, maka ia dapat memilih untuk meneruskan atau membatalkan pernikahan tersebut.88 Adapun fasakh yang tidak memerlukan putusan hakim adalah fasakh karena akad tidak sah sejak awal seperti menikah tanpa saksi atau menikah dengan saudara kandung. Terdapat hubungan darah antara salah satu pihak dan leluhur pihak lainnya atau keturunannya yang mengharamkan pernikahan itu, murtad (menurut Hanfiyah harus dengan putusan hakim). Khiyar karena kemerdekaan isteri dan salah satu pihak menjadi pemilik lainnya (hubungan antara tuan dan hambanya).89 Mengenai fasakh dalam UUP dan KHI telah diatur pula. Hal ini dapat dipahami dengan adanya pasal-pasal yang membahas tentang pembatalan perkawinan dan putusnya perkawinan. Dalam UUP, pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27 dan 28, adapun putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 - 41. hal ini diperkuat dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan, pasal 19. Sedangkan dalam KHI, pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 70 hingga pasal 76. Dan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 113 hingga pasal 128. Undang-undang perkawinan, serta peraturan pelaksanaannya dan KHI mengenai fasakh memiliki kemiripan. Perbedaannya, pada KHI terdapat aturan tambahan yang mengatur mengenai terjadinya fasakh karena peralihan (perpindahan) agama atau murtad. 7. Iddah Iddah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata adda - yauddu - iddatan, dan jamaknya idad yang secara arti bermakna menghitung. Menurut jumhûr ulama, iddah ialah waktu tunggu seorang janda sebelum ia dibolehkan untuk menikah lagi, untuk mengetahui 88Wahbah 89Wahbah 108 al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 354-356. al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 356. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan keadaannya mengandung atau tidak, juga sebagai ta’abbud kepada Allah untuk pernyataan rasa sedih karena berpisah dari suami.90 Hukum menunggu bagi bekas isteri yang telah dicerai oleh suaminya atau suaminya meninggal dunia adalah wajib.91 Lama waktunya ditetapkan oleh agama sesuai dengan keadaan bekas suami yang menceraikan atau bekas isteri yang dicerai. Adapun hikmah diaturnya masalah iddah (waktu tunggu) dalam perkawinan ialah: 1. Agar tidak ada keragu-raguan tentang kesucian rahim bekas isteri, sehingga tidak ada keragu-raguan tentang kesucian rahim bekas isteri, sehingga tidak ada keragu-raguan tentang anak yang dikandung oleh bekas isteri apabila ia telah kawin dengan laki-laki lain. 2. Apabila perceraian itu adalah perceraian, yang bekas suami masih berhak rujuk kepada bekas isterinya, maka masa iddah itu adalah masa berpikir bagi bekas suami isteri. Apabila bekas suami berpendapat bahwa ia sanggup mendayungkan kehidupan rumah tangganya kembali, ia boleh rujuk kepada bekas isterinya dalam masa iddah. Sebaliknya apabila suami berpendapat bahwa tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah tangganya kembali, ia harus melepas bekas isterinya secara baik dan jangan menghalangihalangi bekas isterinya itu kawin dengan laki-laki lain. 3. Apabila perceraian itu karena salah seorang suami isteri meninggal dunia, maka masa iddah adalah untuk menjaga agar jangan timbul rasa tidak senang dari keluarga suami yang meninggal karena baru saja suaminya itu meninggal dunia ia telah kawin kembali dengan lelaki lainnya. 4. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif mengkaji masalahnya dan al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 624-625. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 139. Lihat pula Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 303. 91Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 625. Lihat pula Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 141. 90Wahbah Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 109 Rizal Darwis, M.H.I. memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak kecil bermain sebentar disusun sebentar lagi dibongkarnya. 92 Iddah ada beberapa macam:93 Pertama, iddah isteri yang telah bercerai dengan suaminya dan belum pernah bercampur dengan suami-nya tersebut, tidak mempunyai masa iddah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt. pada QS. al-Ahzb/33: 49; Kedua, bagi isteri yang bercerai dengan suaminya karena suami meninggal dunia baik ia telah atau belum pernah bercampur dengan suaminya yang meninggal itu, maka masa iddah-nya ialah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt. pada QS. al-Baqarah/2: 224. Ketiga, bagi isteri-isteri yang bercerai dengan suaminya dan telah pernah terjadi percampuran antara keduanya ada beberapa kemungkinan tentang masa iddah-nya. Hal ini telah dijelaskan Allah swt. pada beberapa ayat di dalam Alquran sebagai berikut: a. Isteri masih haid, masa iddah-nya ialah tiga quru, sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqarah/2: 228. b. Isteri yang tidak haid, masa iddah-nya tiga bulan, sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-alq/65: 4. c. Wanita hamil, masa iddah-nya ialah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-alq/65: 4. Penggarisan waktu tunggu (iddah) ini serupa dengan pasal 153 dalam KHI.94 Dalam UUP juga disebutkan: al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 627. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 140-141. 93Wahbah al-Zuhaly, al-Fiqh al-Islmi wa Adillatuh, Juz 7, h. 630-634. Lihat pula Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 518 dan Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 8, h. 141-149. 94Cik Hasan Bisri, et. al. Kompilasi Hukum Islam, h. 187-189. Lihat juga Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 144. 92Wahbah 110 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Nafkah dalam Keluarga dan Putusnya Perkawinan Pasal 11 1) Bagi seorang wanita yang putus pernikahannya berlaku jangka waktu tunggu. 2) Tenggang waktu atau jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu: 1. Putus pernikahan karena ditinggal mati suaminya; 2. Putus pernikahan karena perceraian; 3. Putus pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an; dan 4. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.95 Selain itu dijelaskan juga dalam KHI mengenai masa berkabung dalam masa iddah, yaitu: Pasal 170 1) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. 2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melaksanakan masa berkabung menurut kepatutan.96 Perceraian adalah salah jalan dalam memutuskan ikatan perkawinan antara pasangan suami isteri, baik itu cerai mati maupun cerai hidup. Dalam cerai hidup, salah satu alasan perceraian karena akibat tidak ada lagi keharmonisan yang menyebabkan terjadinya pertikaian dan pertengkaran dalam rumah tangganya. Dengan kata lain, perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 11. 96Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam, pasal 170. 95Republik Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 111 Rizal Darwis, M.H.I. Adapun hal-hal yang telah disebutkan di atas, yaitu beberapa bentuk hukum perceraian yang merupakan implikasi dari tidak terpenuhinya nafkah dalam kehidupan rumah tangga, baik itu berupa nafkah lahiriyah maupun nafkah batiniyah, apakah itu berupa bentuk perceraian yang berasal dari tuntutan isteri, ataupun dari pihak suami. Setelah diadakan upaya-upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak (suami isteri) tersebut, namun tidak berhasil. Olehnya itu dapat disimpulkan bahwa terjadinya perceraian disebabkan oleh tidak adanya kecocokan antara kedua belah pihak, hak dan kewajiban antara suami isteri tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi, sehingga jalan satu-satunya yang dapat menyelesaikan persoalan adalah perceraian. Walaupun perceraian adalah perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah swt., namun karena hanya itu jalan yang terbaik bagi kemaslahatan suami isteri tersebut setelah dilakukan upaya-upaya perdamaian bagi keduanya. Ù”Ú 112 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan H• 4 •I HAK NAFKAH BATIN ISTERI DALAM PERKAWINAN ehidupan rumah tangga antara suami isteri tidak terlepas dari sebuah hubungan timbal balik antara keduanya. Hubungan timbal balik itu berupa pemenuhan hak dan kewajiban. Hak suami adalah kewajiban isteri, dan kewajiban suami adalah hak isteri. Pada prinsipnya posisi hak dan kewajiban suami isteri ini seimbang dan sama tanpa adanya deskriminasi, eksploitasi dan ketidakadilan jender dari pasangan suami isteri tersebut. Hakekatnya sebuah perkawinan dalam Islam adalah menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sesuai tuntunan agama. Manusia tidak hanya memiliki kebutuhan materi yang harus dipenuhi, lebih dari itu dia juga memiliki kebutuhan non materi atau kebutuhan jiwa yang juga menuntut untuk dipenuhi, bila kedua kebutuhan ini tidak dipenuhi maka manusia akan merasa lapar, sebuah rasa yang memberikan sinyal kepada pemiliknya agar segera mengangkatnya dengan memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan non materi tersebut dikenal juga dengan nama kebutuhan batiniyah. Khususnya dalam rumah tangga, kehidupan suami isteri harus terpenuhi kedua jenis kebutuhan, yaitu kebutuhan lahiriyah dan kebutuhan batiniyah. Seorang suami memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada isterinya, baik itu nafkah lahiriyah maupun nafkah batiniyah. Namun takkala seorang suami melalaikan pemberian nafkah batiniyah, maka konsekuensi dari pengabaian ini menurut pandangan hukum Islam perlu dikaji lebih mendalam. Selain itu kedudukan nafkah batiniyah dilihat dari aspek psikologis dan fisiologis, serta akibat yang ditimbulkan dengan adanya pengabaian hak nafkah batiniyah juga K Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 113 Rizal Darwis, M.H.I. menjadi titik pembahasan yang cukup penting dikaji guna memberikan gambaran hak nafkah batiniyah isteri dalam perkawinan. A. Tinjauan Hukum Islam tentang Konpensasi Nafkah Batin dengan Materi Islam memandang bahwa perkawinan merupakan kebutuhan biologis yang fitrah bagi kenormalan perilaku. Lebih dari itu, Islam menganggap perkawinan sebagai penyempurna agama, dan lembaga perkawinan merupakan kriteria hidup yang normal. Islam memotivasi bahkan memerintahkan umatnya untuk segera menikah jika telah mampu untuk melakukannya. Membujang atau menjauhkan diri dari perempuan merupakan suatu bentuk kemunafikan dan dapat menjerumuskan seseorang kepada kufur terhadap karunia Allah.1 Dengan melaksanakan perkawinan berarti ia telah mempersiapkan diri untuk menjaga kehormatannya, untuk istiqamah dan untuk beribadah kepada Allah swt. Pergaulan suami isteri dalam suatu rumah tangga merupakan persenyawaan jiwa raga dan rasa cinta. Suami isteri yang hidup seatap, setempat tidur, dan sedapur itu memerlukan persesuaian tabiat agar bahtera rumah tangganya dapat berjalan dengan serasi, sehingga dengan persesuaian tersebut diharapkan rumah tangga yang dibinanya mendapat rahmat dan lindungan dari Allah swt. Tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan hidup rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak dijumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara baik. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor psikologis, biologis, ekonomis, pandangan hidup, perbedaan kecenderungan dan Syauqi al-Fanjari, al-Tib al-Wiqa‘i, terj. Ahsin Wijaya dan Totok Jumantoro, Nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam (Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 135. 1Ahmad 114 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan lain sebagainya.2 Faktor psikologis dan biologis/fisiologis bila tidak diperhatikan dengan baik oleh pasangan suami isteri akan mengakibatkan terjadinya konflik, terlebih merugikan kepada pihak isteri sebagaimana dikemukakan di atas. Agama Islam tidak menutup mata terhadap hal-hal tersebut di atas. Agama Islam membuka suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat diatasi lagi. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat. Keadaan terpaksa atau darurat yang dimaksudkan di sini dapat berupa isteri merasa dirugikan oleh suaminya disebabkan kelalaiannya memberi nafkah batin kepadanya. Tidak terpenuhinya nafkah batiniyah bagi sang isteri, maka sang isteri dapat menuntut suaminya karena merupakan kewajiban suami untuk memenuhinya. Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk Tuhan yang paling terhormat dan mulia di muka bumi (QS. al-Isr/17: 70). Islam memuliakan perempuan sebagai makhluk yang utuh dengan martabat agung dan dengan dimensi yang tak terhingga. Perempuan tidak sekedar dinilai dari segi keindahan tubuhnya, kemolekan parasnya, kesempatan pergaulannya. Jauh lebih luas dari itu, perempuan dalam Islam dilihat sebagai manusia yang sama seperti pria, memiliki tugas kemanusiaan serta tanggungjawab pribadi dan seterusnya.3 Oleh karena itu perempuan tidak boleh dilecehkan, direndahkan, dinodai, diperlakukan secara kasar, disakiti hatinya, apalagi diabaikan hakhaknya. Perkawinan sebagai wadah penyatuan persepsi, dan begitu akad selesai secara sah, maka hak dan kewajiban suami isteri itu timbul tanpa dielakkan. Akad nikah secara sah menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Suami isteri dituntut untuk menunaikan kewajibannya masing-masing. Kelalaian di satu pihak dalam menunaikan kewajibannya berarti menelantarkan hak pihak yang lain. h. 130. 2H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat (Cet. 1; Semarang: Toha Putra, 1993), 3Marwah Daud Ibrahim, Teknologi, Emansipasi dan Transendansi: Wacana Peradaban dengan Visi Islam (Cet. 1; Bandung: Mizan, 1994), h. 124. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 115 Rizal Darwis, M.H.I. Adanya kelalaian itu diakibatkan adanya persepsi bahwa apakah akad nikah hanya menimbulkan kewajiban sepihak, di mana hanya isteri yang berkewajiban menyerahkan dirinya untuk disetubuhi suaminya, ataukah akad nikah itu menimbulkan kewajiban timbal balik. Artinya, sebagaimana isteri berkewajiban menyerahkan dirinya untuk disetubuhi suaminya, demikian pula suami berkewajiban menyetubuhi isterinya tersebut. Pada kitab-kitab fikih terdapat dua pandangan dalam permasalahan tersebut. Pertama, pendapat yang populer di kalangan mazhab-mazhab fikih4 adalah, bahwa akad nikah hanya menimbulkan kewajiban satu pihak yaitu kewajiban isteri menyerahkan diri untuk disetubuhi suaminya. Sedangkan suami tidak berkewajiban menyetubuhi isterinya, dengan alasan bahwa persoalan bersetubuh adalah hak sepihak, yaitu hak suami atas isterinya. Menurut pendapat ini yang menjadi obyek bagi akad nikah hanyalah isteri, tidak termasuk suami. Suami adalah pelaku akad nikah beserta wali, sedangkan yang diakadkan adalah isteri. Atas dasar itu bersetubuh menjadi hak suami bukan hak isteri. Oleh karena itu isteri tidak berhak menuntut suaminya untuk menyetubuhinya. Perlu diketahui bahwa pendapat tersebut bukan berarti mentolerir suami mengabaikan begitu saja kehendak seksual isterinya. Suami berkewajiban secara moral menjaga jangan sampai isterinya jatuh ke dalam jurang kebinasaan. Seandainya seorang isteri tidak disetubuhi oleh suaminya bisa membuatnya jatuh pada perbuatan terlarang, maka saat itu suami secara moral keagamaan wajib memenuhi kebutuhan seksual isterinya itu.5 Seandainya suami mengabaikan kebutuhan tersebut, isteri tidak berhak menuntut, karena soal bersetubuh hanyalah hak suami, bukan hak isteri. Isteri tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk menuntut suaminya dalam hal tersebut. al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4 (Bairut-Libanon; Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 2-3. 5Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 4. 4Abd 116 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan Pendapat tersebut bisa membuat suami dapat memperlakukan isterinya sebagai benda berlian. Isteri dalam pandangan ini tidak mempunyai hak bicara dalam masalah hubungan seksual. Lebih lagi dalam masyarakat yang tertutup, di mana membicarakan masalah persetubuhan adalah tabu bagi seorang isteri. Andaikan suami tidak mempunyai kesadaran agama yang mendalam, maka isteri bisa jadi menderita selamanya karena tidak terpenuhi kehendak seksualnya. Namun yang jelas ketidakpedulian suami terhadap kehendak isterinya adalah suatu tindakan yang bisa mengakibatkan mudarat pada diri isteri, sedangkan kemudaratan dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. Pemahaman ini memberikan gambaran tentang paradigma kekuasaan laki-laki yang tampaknya melahirkan konsekuensi terhadap teori perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk menikmati naluri seksualnya melalui akad, dan isteri dianggap sebagai milik laki-laki (suami). Dengan pemilikan ini pula, suami memonopoli hak kenikmatan atas isteri, meski pada kondisi tertentu ia dapat melepaskan diri (keduanya dapat bercerai). Akibat lebih lanjut dari teori kekuasaan ini ialah bahwa suami tidak berkewajiban menyetubuhi isterinya. Sebaliknya isteri berkewajiban menyerahkan tubuhnya kepada suami manakala si suami membutuhkannya. Dari sini dapat dilihat adanya ketidakadilan dalam kewajiban suami isteri dalam masalah nafkah batin. Kedua, pendapat yang dianut sebagian Syfi’iyah6 bahwa akad nikah menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik dalam masalah berhubungan badan. Pendapat ini didukung oleh Ibn Hizam dari kalangan Zahiri. Ia mengatakan wajib atas suami menyetubuhi isterinya.7 Hal ini dikemukakan oleh mayoritas Hanfiyah, bahwa sebaiknya tuntutan seksual isteri dipenuhi oleh suaminya sepanjang al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 4. Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. M. Thalib dengan judul Fiqh Sunnah, Jil. 6 (Cet. 5; t.tp.: al-Ma’rif, 1987), h. 95. 6Abd 7Sayyid Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 117 Rizal Darwis, M.H.I. tidak bertentangan dengan pertimbangan etika keagamaan (diniyah).8 Dengan demikian, penulis lebih sependapat dengan pendapat kedua, yakni isteri mempunyai hak atas suaminya untuk disetubuhi. Dengan alasan jangan sampai seorang isteri dibiarkan begitu saja tanpa dipenuhi nafkah batinnya. Hak bersetubuh adalah hak kedua belah pihak suami isteri. Sebagaimana suami berhak menuntut suami untuk menyetubuhinya, karena obyek dari akad nikah adalah kedua suami isteri. Dengan selesainya akad nikah, suami berhak memanfaatkan isterinya, dan sebaliknya si isteri berhak pula untuk memanfaatkan suaminya. Antara suami dan isteri tidak ada lebih kurangnya mengenai hak dan kewajiban dalam masalah berhubungan badan. Oleh karena itu, kesetaraan dalam hak seksual laki-laki dan perempuan (suami isteri) dapat direalisasikan dengan menyatakan bahwa akad nikah bukanlah akad pemilikan, akan tetapi akad pembolehan (ibahah). Pada teori yang diungkapkan oleh sebagian Syfi’iyah, bahwa konsep pernikahan bukan untuk memberikan kenikmatan seksual kepada suami saja, tetapi juga kepada isteri.9 Konsekuensinya ialah bahwa isteri berhak menuntut persetubuhan dari suaminya manakala ia menghendaki dan suami berkewajiban memenuhinya, demikian juga sebaliknya. Terkait dengan kewajiban nafkah batin tersebut, Ahmad bin Hanbal mengatakan, suami berkewajiban menyetubuhi isterinya paling kurang satu kali dalam empat bulan. Alasannya diqiyaskan kepada l’, yaitu suami bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya selama lebih dari empat bulan.10 Selanjutnya Ahmad bin Hanbal menjelaskan jika 8Abd al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 2-4. 9Hussein Muhammad, “Repleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Wanita” dalam Syafiq Hasyim (ed), Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam (Cet. 1; Bandung: Mizan, 1999), h. 210. 10Abu Bakar Jabir al-Jazri, Minhj al-Muslim (Bairut: Dr al-Fikr, t.th.), h. 392. 118 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan suami dalam perjalanan hanya ditolerir selama enam bulan. Lebih dari masa tersebut, tergantung kepada adanya kerelaan isteri.11 Lebih ketat dari itu, al-Gazali mewajibkan sekurangnya satu kali dalam empat hari. Namun, kata al-Gazali sangat tergantung kepada kebutuhan kedua belah pihak sehingga jangan sampai berbuat salah. Memelihara diri dari berbuat kesalahan adalah wajib.12 Ibn Hizam dari kalangan Zahiri berpendapat, suami wajib menyetubuhi isterinya paling kurang sekali dalam tiap kali suci.13 Pendapat ini didasarkan atas firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222,14 yang terjemahnya: “Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.” Dari ayat ini Ibn Hizam berkesimpulan suami hanya berkewajiban menyetubuhi isterinya satu kali untuk setiap masa suci.15 Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dipahami bahwa masalah jarak waktu di mana suami harus menyetubuhi isterinya sangat tergantung kepada situasi dan kondisi serta banyak yang sangat bersifat pribadi. Paling mendasar adalah kepuasan yang mampu membendungnya dari berbuat penyelewengan atau jangan sampai mereka tersiksa batinnya. Di atas telah dikemukakan tentang jarak waktu atau masa yang ditolerir oleh hukum fikih bagi suami untuk menyetubuhi isterinya. Akan tetapi apabila suami tetap tidak memenuhi nafkah batin isterinya sampai lepas masa yang ditolerir tersebut, padahal si isteri tidak rela diperlakukan seperti demikian, atau dengan perbuatan suami itu si isteri merasa tersiksa, maka seharusnya dalam hal tersebut si suamilah yang harus tahu diri dan cepat bertindak memilih satu antara dua jalan, yaitu kembali memenuhi hak isterinya, atau melepaskan secara baik. Namun, apabila suami tidak melakukan hal yang demikian, maka sang Bakar Jabir al-Jazri, Minhj al-Muslim, h. 393. Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 163. 13Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 162. 14QS. al-Baqarah/2: 222: ... * >) Ža => =‚B-f 8wB Uef ...           15Abu Bakar Jabir al-Jazri, Minhj al-Muslim, h. 392. 11Abu 12Sayid Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 119 Rizal Darwis, M.H.I. isteri dapat melakukan dengan jalan menuntut cerai lewat hakim. Ahmad bin Hanbal seperti dikutip oleh Sayyid Sabiq16 menegaskan bahwa perempuan yang tidak disetubuhi suaminya selama empat bulan dalam hal suami tidak dalam perjalanan, atau enam bulan dalam hal suami dalam perjalanan, apabila perempuan (isteri) itu tidak sabar sedangkan suami tidak mau kembali, maka isteri boleh menuntut cerai lewat hakim. Abu Zahrah mengemukakan beberapa hal di mana talak dapat dijatuhkan oleh hakim. Di antaranya karena menghindarkan kemudaratan yang menimpa isteri yang diakibatkan oleh perbuatan suami. Perbuatan suami yang bisa mengakibatkan mudarat pada diri si isteri adalah: Pertama, menyakiti isteri baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan sehingga dengan itu isteri tidak lagi rela untuk hidup bersama suaminya itu. Termasuk dalam kelompok ini jika suami memilih untuk berpisah rumah dari isterinya tanpa alasan yang dapat diterima menurut hukum Islam, dalam masa yang tidak dapat ditolerir, seperti empat bulan menurut mazhab Hanbali, atau satu tahun menurut mazhab Mliki, maka jika hakim tidak mampu mendamaikan keduanya, maka hakim boleh memutuskan talak isteri (talak khuluk). Pada dasarnya, seperti dikemukakan di atas, dalam hal tersebut suamilah yang harus menjatuhkan talaknya karena ia tidak lagi mampu menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Namun, di saat ia tidak melakukan yang harus dilakukannya itu, maka untuk menghindarkan kemudaratan dari isteri, hakim berhak untuk menceraikannya. Kedua, suami dalam keadaan dipenjarakan. Ibn Taimiyah dari kalangan Mazhab Hanbali menjelaskan, isteri dari lelaki yang ditawan atau dipenjarakan, di mana dengan itu hak isteri untuk memanfaatkannya bisa terlantar, maka isteri boleh menuntut cerai lewat hakim. Dalam undang-undang perkawinan di Mesir diberlakukan pendapat Ibn Taimiyah tersebut dengan syarat jika 16Sayid 120 Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 163. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan pemenjaraan suami sampai tiga tahun atau lebih. Dalam hal tersebut, setelah suaminya setahun dipenjarakan, jika isteri tidak sabar lagi menunggu, maka atas permintaan isteri, hakim boleh menceraikannya sebagai talak bain. Hal mendasar yang menjadi pertimbangan dalam hal tersebut adalah untuk menghindarkan kemudaratan dari diri isteri. Kemudaratan di sini bukan saja ditimbulkan karena tidak dinafkahi secara lahir yang barangkali bisa diatasi tanpa kehadiran suami secara fisik, tetapi yang paling mendasar adalah kemudaratan yang ditimbulkan oleh ketidakhadiran suami secara fisik bersama isteri sehingga dengan itu si isteri tidak mungkin menerima nafkah batinnya. Ketiga, sebab lain yang membolehkan hakim menjatuhkan talak seseorang ialah kemudaratan yang menimpa isteri karena kepergian suami jauh. Mazhab Mliki dan mazhab Hanbali membenarkan seorang hakim menjatuhkan talak suami yang pergi jauh. Alasannya ialah kepergian suami bisa mengakibatkan isterinya tersiksa dan bisa membawanya kepada perbuatan yang terlarang bila ia tidak sabar. Isteri ditinggal tanpa teman membuat jiwanya tersiksa dan hal itu merupakan mudarat bagi dirinya. Sedangkan dalam Islam, kemudaratan itu perlu disingkirkan. Alasan lain ialah, dalam hubungan suami isteri hanya ada dua jalan yang ditempuh, yaitu: imskun bi ma’rûf (isteri itu ditahan atau hidup bersama secara baik), atau tasrihun bi ihsn (dilepas dengan baik).17 Ditinggal pergi lama tanpa alasan yang dapat diterima akan mengakibatkan mudarat bagi diri isterinya, dan hal itu jelas di luar dari ketentuan tersebut di atas. Artinya, tidak diajak hidup bersama secara baik, dan tidak pula dilepaskan secara baik. Oleh sebab itu, apabila tidak dapat didamaikan perlu diambil jalan kedua, yaitu dilepaskan dengan baik.18 Berangkat dari hal tersebut di atas bahwa yang menjadi alasan mengapa hakim boleh memutuskan jatuh talak seorang isteri adalah untuk menghindarkan kemudaratan bagi isteri. Selanjutnya persoalan 17Lihat QS. al-Baqarah/2: 229. Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsyiah (Al-Qahirah: Dr al-Fikr al-‘Arabi, t.th.), h. 428-430. 18Abu Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 121 Rizal Darwis, M.H.I. yang muncul dari permasalahan ini adalah ketika seorang isteri menuntut kepada suaminya yang tidak memenuhi kebutuhan nafkah batinnya berdasarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan di atas atau dengan segala bentuk kondisi seorang suami sehingga menyebabkan ia tidak memberikan nafkah batin kepada isterinya. Namun tuntutan isteri tersebut tidak memilih perceraian atau talak sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan problema nafkah batinnya yang tidak dipenuhi dengan alasan dan kekhawatiran terhadap terlantarnya anak-anak mereka setelah perceraian, tetapi ia menuntut kepada suaminya untuk mengganti nafkah batinnya yang tidak terpenuhi dengan materi. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa istilah “konpensasi nafkah batin dengan materi,”19 pada konteks kekinian istilah tersebut belum populer di kalangan masyarakat khususnya di kalangan umat muslimin dan secara realitas dalam aplikasinya belum ditemukan secara eksplisit, namun secara inplisit sudah sering terjadi dan dipraktekkan oleh pasangan suami isteri. Mengenai persoalan “konpensasi nafkah batin dengan materi” telah dibicarakan oleh para fuqaha dengan tema “apakah hak nafkah batin bisa dinilai dengan materi sehingga dapat diganti rugi?” Salah satu contoh yang diangkat pada persoalan ini adalah seorang suami yang memiliki isteri lebih dari satu yang dalam hukum Islam suami wajib menyamakan giliran bermalam bagi isteri-isteri beliau. Rasulullah saw. bersabda: 19Yang dimaksud oleh penulis “materi” adalah berupa uang sebagai alat transaksi yang dianggap paling memudahkan untuk melakukan suatu pembayaran serta alat yang paling umum digunakan dalam memberikan nilai pada suatu benda atau perbuatan, baik berupa kerusakan, kerugian, keuntungan, jual beli dan lainlain. Namun tidak menutup kemungkinan materi lain berupa: rumah, mobil, sawah dan sebagainya. Adapun kadar (kuantitas) materi yang menjadi konpensasi dari tuntutan sang isteri itu didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan dari pihak suami. 122 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan s  " D s  C f  ; " D . * + * p    ) {) .T  > ) & T  — f ‰  B  *  s  .  8  @   N Vrn + = +    hf T  > ) f I ; N 7‚    }¡ (L:Aa = Artinya: Dari ’ isyah berkata adalah Rasulullah saw. membagi giliran isterinya secara adil. Beliau berdoa: Ya Allah, ini adalah giliran dalam hal yang engkau miliki (menginap pada setiap isteri sesuai gilirannya), maka mohon jangan cela kami, dalam hal-hal yang Engkau miliki dan kami tidak memilikinya (cinta dan kasih sayang) (HR. Ahmad Ibn Hanbal). Secara zahir, pembagian giliran malam sebagaimana hadis yang dimaksud di atas nampak bahwa itu adalah nafkah lahiriyah karena dapat dibagi waktunya. Namun yang dikehendaki oleh adanya pembagian malam itu mengandung pemberian nafkah batiniyah, seperti bersetubuh, perhatian dan kasih sayang. Penulis memahami bahwa yang dimaksud dalam pembagian malam lebih pada makna pemberian nafkah batin berupa jima’ atau berhubungan (H\), karena saat-saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh isteri terhadap suaminya adalah waktu bergilir, karena waktu itulah isteri terpenuhi nafkah batinnya. Muncul pertanyaan apakah boleh giliran salah seorang isterinya itu diganti oleh suaminya dengan materi, jika tidak memenuhi pembagian giliran. Mengenai masalah ini, ada dua pendapat yang akan diungkapkan oleh penulis beserta argumentasinya masing-masing, yaitu: 1. Penggantian nafkah batin dengan materi tidak dapat dilakukan, karena hak yang seperti itu tidak dapat diperjualbelikan. Pendapat 20Imm Abu Abdullah Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 6 (Bairut: Dr al-Fikr, t.th.), h. 144. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 123 Rizal Darwis, M.H.I. ini dianut oleh Syfi’iyah, sebagaian Hanafiyah dan sebagian pengikut Ahmad bin Hanbal. 2. Penggantian nafkah batin dengan materi dibolehkan apabila ada persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak (suami isteri). Pendapat ini dianut oleh Mlikiyah, sebagaian pengikut Abu Hanifah dan sebagian pengikut Ahmad bin Hanbal.21 Satu hal yang dapat ditarik dari pendapat para mujtahid di atas bahwa kedua pendapat tersebut menunjukkan hak giliran isteri untuk menerima nafkah batin sah diganti dengan materi menurut pendapat sebagian ulama. Dengan adanya perbedaan pendapat para mujtahid ini, tentang penggantian nafkah batin dengan materi, menunjukkan bahwa tidak ada dalil syara’ yang secara tegas membolehkan atau melarang. Karena dalil yang dijadikan dasar dalam persoalan ini, bersifat universal sehingga ada sebagian ulama membolehkan. Adapun dalil yang dimaksud adalah:   * f * LC–  ‘J ‚,B 8 ) p;Cf = ‚   P‚  8 ef W C   = ‚   J + .d O 6 Terjemahnya: Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak padanya (QS. al-Nis’/4: 19). Adapun isyarat yang diberikan oleh ayat pada kalimat wa syirû  C  = ‚J +), yaitu melakukan interaksi dengan hunna bi al-ma’rûf (W   isteri secara baik, dalam artian masing-masing tidak ada yang merasa dirugikan. Ayat ini telah memberikan ruang untuk memberikan al-Rahmn al-Jazri, Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a, Juz 4, h. 246. Bandingkan H. Satria Effendi M. Zein, ‘Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi’ [art] dalam Mimbar Hukum dan Aktualisasi Hukum Islam, No. 3 Tahun II, 1991 (Jakarta: Ditbinbapera dan Al-Hikmah, 1991), h. 40. 21Abd 124 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan interpretasi terhadap bolehnya penggantian nafkah batin dengan materi, jika hal itu menjadi kesepakatan kedua belah pihak dengan tujuan saling ridha dan saling memahami kondisi masing-masing di saat suami tidak dapat memenuhi nafkah batin isterinya, sehingga tidak terjadi percekcokan dan pertengkaran yang dapat mengakibatkan perceraian yang memiliki dampak negatif lebih besar terhadap keluarga (rumah tangga) dan anak-anaknya. B. Nafkah Batin Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Aspek Fisiologi Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita dalam bentuk perkawinan. Dengan terjalinnya ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang perempuan secara otomatis antara keduanya memiliki hak dan kewajiban. Kewajiban seorang suami salah satunya adalah pemberian nafkah batin. Dengan terpenuhinya kebutuhan batin seorang isteri secara psikologis akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa seorang isteri, karena perempuan atau isteri menurut psikolog berjalan di bawah bimbingan perasaan,22 sehingga perasaannya itu harus sedapat mungkin dipahami dan dijaga, tentunya dalam pemenuhan nafkah batinnya. Nafkah batin yang meliputi memperlakukan isteri dengan baik, memelihara dan menjaga isteri dengan baik dan wajar, serta mendatangi isteri (berhubungan) dengan baik adalah sangat perlu diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga. Hal ini dikarenakan berhubungan dengan aspek psikologi seorang isteri dalam menjalani kehidupan rumah tangga. 22M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. 9; Bandung: Mizan, 2000), h. 211. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 125 Rizal Darwis, M.H.I. Hubungan suami isteri tidak selamanya yang menjadi impian dan dambaan untuk mewujudkan rumah tangga yang kekal dapat terwujud dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya gangguan-gangguan hubungan seks. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa meskipun perempuan pada dasarnya berkeinginan untuk melahirkan anak, namun dalam kenyataannya ia juga berkeinginan untuk merasakan hubungan seks. Ketidakpuasan seorang isteri dalam melakukan hubungan seks dapat menimbulkan penyakit kejiwaan dan tekanan batin.23 Memperlakukan isteri dengan semena-mena dengan tidak memperhatikan dan menjaga perasaan sang isteri dapat membuat hati sang isteri tersebut menjadi tidak tenang, diselimuti ketakutan, rumah yang dianggap surga baginya yang dapat memberikan ketenangan dan kedamaian, ternyata neraka yang kejam. Pada kenyataannya berdasarkan hasil penelitian H. Ali Akbar, wanitalah yang paling banyak menderita tidak mendapatkan kepuasan di dalam hubungan kelamin dengan suaminya.24 Perlu diketahui bahwa seorang wanita memiliki kemampuan untuk memiliki anak dan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin. Seorang wanita bila tidak mandul dapat beranak meskipun tanpa memperoleh kesenangan dan kepuasan dalam melakukan hubungan kelamin, tetapi tidak selamanya dalam melakukan hubungan seks dapat merasakan nikmatnya hubungan itu. Hal inilah perlu mendapat perhatian bagi seorang suami agar dalam melakukan hubungan dengan isterinya dapat memberikan kepuasan batin. Ketidakmampuan seorang suami mengetahui dan memenuhi kebutuhan rohaniah atau nafkah batin isterinya menyebabkan isteri dapat mengalami banyak kerugian. Dalam hal ini kerugian yang ditimbulkan dalam hati yang tidak bisa dibuktikan secara empirik, tetapi pengaruhnya bisa tampak dalam kenyataan, misalnya saja isteri Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih (Cet. 14; Jakarta: Pustaka Antara, 1999), h. 73. 24H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, h. 73. 23H. 126 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan dapat mengalami gangguan kejiwaan, stres, selalu merasa pusing, tidak tenang, tidak ada ketenteraman dalam jiwanya, selalu termenung dan lain sebagainya. Kesemuanya itu disebabkan karena tidak terpenuhinya nafkah batin.25 Gangguan-gangguan psikologis seperti yang disebutkan di atas tidak jarang terjadi pada kehidupan suami isteri di abad modern ini, sehingga banyaklah isteri yang mencari kepuasan sendiri di belakang suaminya, menjadi tante-tante girang, memiliki pria idaman lain (PIL), melakukan perselingkuhan dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian seperti ini dapat saja dibatasi bilamana seorang suami senantiasa memperhatikan kewajibannya terhadap isterinya, terutama dalam pemenuhan nafkah batinnya, karena hal ini banyak bersentuhan dengan hati dan perasaan seorang isteri. Kelalaian seorang suami terhadap kewajibannya itu akan mengalami kerugian dalam menjalin hubungan ikatan perkawinan. Terganggunya kedamaian seseorang akan menimbulkan sesuatu yang berbahaya bagi hidupnya, bahkan akan membawa kepada terganggunya abnormalitas akal, sebagaimana terganggunya makanan akan mengakibatkan lemahnya fisik dan pada gilirannya menyebabkan kematian, maka terganggunya nafsu seks akan menyebabkan penyimpanganpenyimpangan moral, akal dan kecenderungan jiwa yang tidak terkendalikan.26 Seks yang merupakan kebutuhan manusia dan lebih khusus pada kehidupan suami isteri, sehingga pada suatu ketika seks akan membawanya kepada suatu kebahagiaan dan kedamaian. Namun di saat yang lain, ia juga mampu mendorong manusia kepada titik terendah nafsu kebinatangan, sehingga Islam mensyari’atkan perkawinan sebagai sebuah kesempurnaan beragama, sekaligus sebagai pemecahan problematika seks. Ansar, Beberapa Aspek Psiko Seksual (Cet. 2; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 32. 26Ahmad Syauqi al-Fanjari, al-Tib al-Wiqa‘i, h. 124. 25Sudirman Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 127 Rizal Darwis, M.H.I. Selanjutnya dalam perspektif sosiologis, perkawinan adalah sarana fundamental untuk membangun masyarakat sejahtera berdasarkan prinsip-prinsip humanisme, tolong-menolong, solidaritas dan moral yang luhur.27 Atas dasar ini orang yang melakukan perkawinan akan terbawa kepada suatu keadaan di mana mereka dituntut untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dalam rangka mewujudkan suatu hubungan yang normal sebagai konsekuensi dari dua kebutuhan mendasar yang dimiliki manusia. Berdasarkan penelitian beberapa pakar seperti Piere Janet, kemudian diikuti oleh Siegmund sebagaimana dikutip H. Ali Akbar, berkesimpulan bahwa hidup manusia pada dasarnya digerakkan oleh dua kebutuhan utama, yaitu kebutuhan kepada makan minum untuk mempertahankan tubuh jasmani dan kebutuhan kepada seks untuk mempertahankan keturunan.28 Jadi dalam tubuh manusia terdapat suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk menggerakkan tubuh, seperti untuk mencari makan dan mencari teman hidup. Perasaan yang mengarahkan energi itu dinamakan ego, di mana ada kalanya ia mengarahkan energi untuk mencari makan atau minum, dan ada kalanya pula impulse libido untuk mengarahkan energi mencari kepuasaan seks. Perasaan ego itu biasa disebut lapar dan dahaga, sedang perasaan seks dinamakan syahwat.29 Seks merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Seks merupakan alat pertumbuhan dan kelangsungan hidup makhluk di atas bumi. Olehnya itu, kebutuhan biologis makhluk hidup yang prinsipil adalah kedamaian dan kesejahteraan serta seksualitas.30 Dengan demikian dua kebutuhan mendasar ini dalam hubungan suami isteri, di mana suami harus memperhatikan dengan baik tanggungjawabnya terhadap isteri dan anak-anaknya. Kebutuhan Syauqi al-Fanjari, al-Tib al-Wiqa‘i, h. 139. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, h. 97. 29H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, h. 97. 30Ahmad Syauqi al-Fanjari, al-Tib al-Wiqa‘i, h. 124. 27Ahmad 28H. 128 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan isteri terhadap makan, minum dan tempat tinggal merupakan nafkah lahiriyah, sedangkan kebutuhan isteri terhadap seksualitas merupakan nafkah batiniyah. Tidak terpenuhinya dua hal tersebut, lebih utama syahwat sebagai nafkah batin akan membawa suatu penderitaan atau kerugian bagi si isteri. Ia akan merasa terganggu kedamaiannya sehingga menimbulkan sesuatu yang berbahaya dalam hidupnya, bahkan akan membawa kepada suatu keadaan yang tidak normal, baik itu ketidaknormalan jasmani maupun batiniyahnya. Dalam hal ini secara fisiologis, terganggunya perasaan isteri akibat tidak terpenuhi nafkah batinnya, biasanya si isteri mengalami penurunan badan (kurus), wajah tampak murung, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya tekanan batin yang dialami pada dirinya disebabkan adanya perlakuan yang tidak wajar dari suaminya, yakni tidak memenuhi kewajibannya memberi nafkah batin kepadanya. Selain dari itu, si isteri kadangkala mengalami kerugian fisik yang lebih nyata, ketika seorang suami memperlakukan isterinya secara tidak wajar, seperti memukuli isterinya, membiarkan diperlakukan secara tidak wajar oleh orang lain. Kesemuanya ini sering terjadi dalam sebuah hubungan suami isteri, apalagi kalau antara keduanya tidak ada saling pengertian, selalu terjadi kesalahpahaman, dan akibatnya rumah tangganya tidak pernah mengalami suatu kedamaian, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Salah satu hadis riwayat ’isyah dapat dijadikan dasar sekaligus ukuran bahwa ketika kebutuhan nafkah batin atau psikologis tidak terpenuhi, maka dapat berdampak pada fisik atau perilaku seorang isteri. Hadis tersebut sebagai berikut:   @  6% @   N . *+ * p t K A 2 3 Vrn + = +  A VD6 I + @  N 4 =  Vi a =  V>) =   , a =  8 O+ A+ @  <  V ;u  ± G CM> £ s "f P‘‚ $U7 . * + * p *  s  .  y)f @   N 8   Ÿ 23 & $̀)> *  s.  D @   N VD6 V‘‚ 7 ) > Vrn + D   " f @ Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 129 Rizal Darwis, M.H.I. P+ q) ; < @  Pf Ÿ 23 & =  I f L Q  " D  A Q o D    . ŽC:f @ N G  {H ‡f 8CM> =  8 O+ ' . *+ * p * s  = ,  *  s.  D *  & s "f s N Š A. = + V: ) 8 O+ D s "f D * 5 B f H ;KA Y , <)  w f) Q   ) IK ) Q <) K ef s N ˆ  l) TPA. T+ T;  A 8 ' "· a T+ T [ 8 ' "· a T+ T‚ 4 8 ef 8 O+ ‹| (L:Aa =  {) .º  LK   w f)  o  f "· a Artinya: Dari ’ isyah isteri Nabi saw. telah datang berkunjung kepadaku Huala binti Hakm bin Umayyah bin Hriah bin al-Auqa al-Sulamiyyah dan dia adalah isteri Umn bin Mazh‘un, dan sungguh ia telah berubah kondisi badannya, maka ’ isyah bertanya kepadanya: “Kenapa wahai Huala, kamu banyak perubahan, tidak menyisir rambut dan tidak memakai harum-haruman?” Jawabnya: bagaimana aku akan menyisir rambut dan memakai harum-haruman sedangkan suamiku tidak menggauliku dan tidak pernah melepaskan bajuku sejak beberapa hari yang lalu. Rasulullah masuk, maka ’ isyah berkata: “Wahai Rasulullah, aku bertanya kepada Huala tentang dirinya,” lalu ia berkata “Suaminya tidak pernah melepaskan bajunya sejak beberapa hari yang lalu.” Begitu mendengarnya Rasulullah mengirimkan utusan kepada Umn bin Mazh‘un, maka datanglah dia ke hadapan Rasulullah, maka beliau bertanya: “Bagaimana kamu ini wahai Umn, apakah engkau membenci sunnahku? Maka Umn berkata tidak, aku bersumpah atas nama Allah wahai Rasulullah, akan tetapi aku mengikuti sunnahmu, Rasulullah bersabda: Sesungguhnya aku tidur dan shalat malam, berpuasa dan juga berbuka, dan mengawini perempuan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai Umn, karena sesungguhnya ada hak atas keluargamu, ada hak atas tamumu, dan ada hak atas dirimu, maka berpuasalah, berbukalah, shalatlah dan tidurlah (HR. Ahmad Ibn Hanbal). 31Imm 6, h. 268. 130 Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan Dengan demikian, berpasangan merupakan kebutuhan yang mendasar yang harus disertai dengan saling pengertian antara keduanya, terutama dalam menjalankan dan memenuhi hak dan kewajibannya agar apa yang menjadi kebutuhan mendasar ini senantiasa terwujud dan tidak menimbulkan suatu kerugian antara satu dengan yang lainnya. C. Akibat Tidak Terpenuhinya Nafkah dalam Rumah Tangga Menjalani sebuah kehidupan perkawinan pastilah ada pasang surutnya, terkadang suka, terkadang duka, terkadang muncul pertengkaran. Namun ke semua itu dapat terlewati ketika pasangan suami isteri dapat menyelesaikannya dengan pikiran yang jernih, dapat menahan emosi dan memendam keegoan masing-masing. Sebuah perkawinan adalah penyatuan dua manusia yang mengikat janji suci untuk menciptakan keluarga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang. Setelah akad nikah resmi diucapkan secara otomatis timbullah hak dan kewajiban antara pasangan suami isteri tersebut. Salah satu kewajiban suami adalah pemberian nafkah kepada sang isteri. Nafkah ini adalah salah satu dari sekian banyak faktor yang menjadi penguat hubungan suami isteri dan pondasi keluarga, baik itu nafkah lahiriyah maupun nafkah batininyah. Pemenuhan nafkah lahiriyah dan batiniyah bagi keluarga akan menimbulkan tumbuhnya rasa kasih dan sayang di antara suami isteri dan anggota keluarga yang lain. Perlu diketahui bahwa tidak sedikit rumah tangga yang hancur berantakan dikarenakan nafkah yang tidak terpenuhi. Padahal keharmonisan rumah tangga merupakan dambaan bagi setiap pasangan suami isteri, di mana mereka dapat membuahkan kasih sayang dan mendapatkan kebahagiaan serta menemukan ketenangan jiwa. Namun pada zaman globalisasi ini banyak pasangan suami isteri yang menemukan berbagai problema dalam rumah tangga yang mereka bina sehingga banyak menimbulkan perselisihan, permusuhan dan penyelewengan di antara mereka, bahkan tidak Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 131 Rizal Darwis, M.H.I. sedikit dari mereka mengganggap rumah tangganya sebagai neraka belaka. Hal ini mengakibatkan retaknya mahligai rumah tangga yang sudah mereka bangun dan bina bersama. Sebagai pandangan betapa banyak kalangan suami yang bertindak kasar, sewenang-wenang dan tidak bertanggungjawab terhadap isterinya, dan akhirnya membuat sang isteri berbuat serong kepada laki-laki lain atau memiliki pria idaman lain (PIL). Sebaliknya tidak sedikit para isteri yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya akibat tidak terpenuhi hak-haknya. Melihat begitu pentingnya peranan suami dalam sebuah rumah tangga, sehingga tegak runtuhnya sebuah rumah tangga banyak tergantung kepada pihak suami. Hal ini disebabkan adanya tanggungjawab yang dipikul oleh suami berupa kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, baik itu nafkah lahiriyah yang mencakup sandang, pangan, papan, biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain, maupun nafkah batiniyah yang mencakup kewajiban suami untuk mempergauli isterinya dengan baik, menjaga dan melindunginya, memberikan rasa aman serta mendatangi isterinya dengan baik pula. Kelalaian suami terhadap tanggungjawab dan kewajibannya dapat menimbulkan akibat yang sangat berpengaruh terhadap langgengnya sebuah rumah tangga dan akibat itu dapat berupa gangguan jasmaniah atau rohaniyah terhadap isteri. Seorang suami wajib memperlakukan isterinya dengan perlakuan yang baik, menghormati dan menghargai isterinya, memperlakukannya dengan cara yang wajar, bersikap lemah lembut dan menahan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkannya. Bilamana suami melakukan hal yang demikian, atau melakukan sebaliknya yaitu memperlakukan isteri dengan cara tidak wajar, selalu melakukan hal-hal yang dibenci oleh isteri, bahkan memukuli isteri sehingga isteri mengalami penderitaan yang sangat mendalam. Penderitaan yang dialami oleh isteri yang ditimbulkan dari perlakuan suaminya dapat menimbulkan kegoncangan jiwanya, dan itu merupakan penyakit yang sangat parah dibandingkan dengan penyakit yang lahiriyah. 132 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan Kemudian kewajiban yang dipikul oleh seorang suami adalah menjaga isterinya dengan baik. Suami berkewajiban melindungi isterinya dari gangguan orang lain, menjaga kehormatannya, menjaga harga dirinya. Bilamana seorang suami lalai terhadap tanggungjawab ini, maka akibatnya isteri akan merasa kehilangan harga dirinya, selalu gelisah, tidak pernah merasakan ketenangan dalam kehidupan rumah tangganya, bahkan ia akan merasa putus asa dalam membina dan mempetahankan rumah tangganya yang dapat dipastikan bahwa akan berujung kehancuran rumah tangga yang pada akhirnya terjadi perceraian. Akibat seperti ini tentunya sudah bertentangan dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Padahal, perkawinan menghendaki agar sebuah rumah tangga dapat menjadi surga bagi suami, isteri dan anakanaknya sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Selanjutnya kewajiban suami adalah mendatangi isterinya dengan baik. Hal ini pun harus menjadi perhatian khusus bagi seorang suami. Sebab, tidak sedikit perempuan (isteri) mengalami gangguan kejiwaan akibat tidak terpenuhi nafkah batin seksualnya.32 Saat suami hendak mendatangi isterinya dianjurkan untuk melakukan percumbuan dalam rangka memenuhi kebutuhannya secara seimbang. Hubungan seksual antara suami isteri memainkan peran penting dalam menciptakan kebahagiaan dan keharmonisan sebuah rumah tangga. Seorang suami tidak boleh melalaikan kewajiban ini, karena bilamana kewajiban ini dilalaikan akibatnya si isteri dapat berbuat seorang di belakang suaminya. Tidak sedikit kasus yang timbul seperti ini disebabkan suami lalai memberikan kewajiban seksual ini kepada isterinya, padahal seorang isteri yang normal sangat membutuhkan hal yang demikian ini. Seorang isteri bilamana tidak terpenuhi naluri seksnya, di samping ia dapat berbuat serong, juga tidak sedikit yang mengalami gangguan jasmani dan rohani. Banyak di antara isteri mengalami penurunan badan dan menderit penyakit jiwa karena kelalaian suami 32H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, h. 72. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 133 Rizal Darwis, M.H.I. terhadap nafkah batin ini. Hal ini banyak dibuktikan oleh para dokter berdasarkan kasus yang diperoleh di lapangan.33 Ketika terjadi percekcokan-percekcokan dan pertengkaran mulut di dalam kehidupan suami isteri, akan wajiblah bagi mereka untuk segera menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi itu. Percekcokan-percekcokan yang terjadi di antara suami isteri kebanyakan disebabkan oleh masalah-masalah seks yang tersembunyi.34 Untuk itulah hendaknya kedua suami isteri yang sedang bercekcok itu mengetahui dengan benar sebelum menentukan segala sesuatunya tentang penyebab yang hakiki terjadinya percekcokan itu. Jika penyebabnya itu adalah masalah-masalah seks, hendaknya mereka mengetahui apakah salah satu dari mereka atau kedua-duanya yang menjadikan seks sebagai pembatas untuk menyembunyikan penyebab yang hakiki terjadinya percekcokan tersebut. Kadang-kadang penyebab inilah yang dapat menjadikan kehidupan suami isteri rusak. Pada dasarnya manusia tidak hanya memiliki kebutuhan materi yang harus dipenuhi, akan tetapi lebih daripada itu juga memiliki kebutuhan non materi atau kebutuhan jiwa yang juga menuntut untuk dipenuhi. Kebutuhan non materi tersebut salah satunya adalah pemenuhan hasrat seksual bagi isteri selaku seorang wanita, karena tidak hanya suami atau laki-laki saja yang memiliki hasrat kepada wanita, akan tetapi wanita pun memiliki hasrat kepada laki-laki, dan di antara tujuan menikah adalah menjaga pelakunya dari perbuatan hewani yang bertentangan dengan fitrah luhur manusia dengan terpenuhinya sisi kebutuhan seksual ini, dan dalam masalah ini isteri tidaklah berbeda dengan suami, apabila suami mendapatkan pemenuhan hajatnya dari isteri, maka demikian juga dengan isteri, sehingga dengan itu seorang suami dan seorang isteri merasa sudah tercukupi dengan halal, maka tidak akan lagi menengok kepada yang haram. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih, h. 72. Ahmad Shahal, Syahr al-‘Asal wa al-Sa‘adah bayna al-Zaujaini, terj. Moh. Suri Sudahri A. dan Entin Rani’ah Ramelan, Bulan Madu dan Kebahagiaan Perkawinan (Cet. 7; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 63. 33H. 34Ayidah 134 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Hak Nafkah Batin Isteri dalam Perkawinan Gambaran di atas merupakan akibat-akibat yang dapat timbul dan terjadi bilamana seorang suami melalaikan kewajibannya terhadap isterinya untuk memberikan nafkah, baik itu nafkah lahiriyah maupun batiniyah. Kelalaian terhadap kedua kewajiban tersebut (nafkah lahiriyah dan batiniyah) memberikan dampak negatif terhadap isteri yang tentunya juga mempengaruhi si suami itu sendiri dan secara umum kehidupan rumah tangganya. Hubungan dan keterkaitan hak dan kewajiban antara suami isteri di dalam rumah tangga diletakkan secara seimbang dan sejajar, karena rumah tangga akan berjalan dan mengalir dengan baik dan lancar jika hak dan kewajiban ini dilaksanakan dan ditunaikan dengan benar. Sedangkan jika ada pihak yang melalaikan kewajibannya, maka secara otomatis ada pihak yang pasti merasa haknya terabaikan, dan dalam situasi seperti ini rumah tangga sangat beresiko terhadap konflik dan perseteruan. Penyebabnya adalah ketidaselarasan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan kewajiban di antara suami dengan isteri. Prakteknya di lapangan yang sering menjadi obyek sasaran dengan diabaikannya hak-haknya adalah pihak isteri. Salah satu penyebabnya oleh karena kelemahan dari sisi fisik dan kelembutan dari sisi tabiat yang ada pada isteri sebagai seorang wanita, sehingga hal ini sering dimanfaatkan oleh sebagian laki-laki yang buruk untuk menzaliminya dengan tidak menunaikan hak-haknya. Realitas yang sangat memprihatinkan perempuan, tak terkecuali isteri pada hakekatnya merupakan akibat dari perbedaan jender yang melahirkan stereotype yang oleh masyarakat dianggap budaya dan pada proses selanjutnya justeru menempatkan perempuan pada posisi subordinat dari laki-laki. Pelanggengan posisi ini biasanya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan bagi perempuan, antara lain berupa kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun psikis (batiniyah). Fenomena tindak kekerasan dalam rumah tangga tentunya menjadi sebuah ketakutan bagi seorang perempuan, khususnya isteri dalam mengarungi rumah tangganya. Padahal Allah swt. telah mengaruniakan keberkahan yang sangat berharga kepada manusia, Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 135 Rizal Darwis, M.H.I. tetapi seringkali mereka tidak menghargainya. Kadang-kadang dikarenakan ketidakpedulian dan sifat egoisnya, mereka mengubah ikatan yang hangat dan penuh berkat tersebut menjadi penjara, bahkan neraka yang menyala, jauh dari rasa ketenangan dan keamanan batin bagi anggota keluarga, khususnya isteri. Jika pasangan suami isteri sadar akan tugas, hak dan kewajibannya masing-masing, serta melaksanakannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, maka rumah tangga akan menjadi tempat menjalin persahabatan, bahkan menjadi surga yang penuh kedamaian dan keindahan. Akan tetapi apabila terdapat konflikkonflik dalam keluarga, maka rumah tangganya akan dapat berubah menjadi neraka. Padahal Islam menetapkan bahwa nafkah merupakan hak isteri dan menjadi kewajiban suami. Keterabaian dari pemenuhan nafkah ini bisa menimbulkan percekcokan, pertengkaran, dan akhirnya dapat menyebabkan perceraian di antara pasangan suami isteri. Olehnya itu dalam menjalani kehidupan rumah tangga sebagai pasangan suami isteri hendaknya saling mengerti dan memahami tentang hak-hak dan kewajiban mereka masing-masing, sehingga tujuan suci diadakannya penyatuan dua insan yang berlainan jenis tersebut dalam ikatan perkawinan dapat terwujud adanya, yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga yang penuh cinta, kasih dan sayang yang diberkati oleh Allah swt. Kesimpulannya bahwa tidaklah mudah untuk membentuk keluarga yang damai, aman, bahagia, dan sejahtera. Karena diperlukan pengorbanan serta tanggungjawab dari masing-masing pihak dalam menjalankan peran dalam keluarga. Rasa cinta, hormat, setia, saling menghargai dan lain sebagainya merupakan hal wajib yang perlu dibina, baik suami maupun istri. Dengan mengetahui dan memahami hak dan kewajiban suami isteri yang baik diharapkan dapat mempermudah kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama dan hukum yang berlaku. Ù”Ú 136 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan H• 5 •I KESIMPULAN etiap orang pasti menginginkan dan mendambakan sebuah kehidupan yang bahagia, aman, tenteram, damai, sejahtera, penuh cinta, kasih dan sayang. Hal ini dikarenakan sifat dasar manusia yang senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menenteramkan jiwa dan membahagiakan dirinya, sehingga berbagai cara usaha yang ditempuh untuk mewujudkannya. Begitu halnya kehidupan rumah tangga hendaknya dibangun di atas rasa cinta dan kasih sayang, dan hal ini tentunya sangat berarti dan bernilai. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang akan membangun sebuah rumah tangga melalui tali perkawinan pasti berharap dan bercita-cita untuk bisa membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dan salah satu bentuk kebahagiaan ketika nafkah, baik nafkah lahiriyah dan batiniyahnya dalam kehidupan rumah tangga mereka terpenuhi. Pada akhirnya konklusi yang dihasilkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang nafkah dalam rumah tangga, harus sesuai dengan konteksnya yang mengedepankan maslahat, yaitu saling pengertian dan saling memahami di antara keduanya. Gradualitas ajaran Islam juga harus dilihat, karena membahas nafkah di sini bukan berarti menghadirkan aturan baru, tetapi bagaimana berusaha mencari solusi yang tepat agar tidak merugikan salah satu pihak, karena lebih mengutamakan maslahat dalam membina kehidupan rumah tangga. Penulis menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang dibahas pada tulisan ini. Pertama, di dalam Alquran dan hadis Rasulullah telah diterangkan tentang dasar hukum kewajiban nafkah batiniyah, di mana nafkah batiniyah adalah salah satu unsur yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap isterinya dan seorang isteri terhadap suaminya, dan dengan adanya pemenuhan kewajiban nafkah S Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 137 Rizal Darwis, M.H.I. batiniyah oleh suami terhadap isterinya dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Nafkah batin adalah segala kebutuhan suami isteri yang tidak berbentuk materi, seperti komunikasi yang baik, rasa aman, perilaku yang baik, cinta, kasih sayang, perhatian dan pemenuhan nafsu seksual. Kewajiban nafkah batiniyah ini dapat dilihat dalam QS. al C  = ‚J + (bergaullah Nis’/4: 19 dengan penekanan kalimat W   dengan secara patut). Sedangkan dalam hadis Rasulullah dapat dilihat pada riwayat ‘Alqamah dengan penekanan kata al-b’ah ($H :) bermakna al-jim’ (b ] ), yaitu persetubuhan. Secara umum ayat tersebut memberikan perintah untuk bergaul kepada isteri secara patut dan wajar. Bergaul dalam lingkup keluarga, berarti adanya pemenuhan hak dan kewajiban dalam keluarga tersebut dan ini tidak terlepas dari salah satu bentuk pemenuhan nafkah, baik nafkah lahiriyah maupun batiniyah. Sedangkan ukuran nafkah yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah yang ma’rûf (patut atau wajar) berdasarkan dalil QS. alNis’/4: 19. Ukuran ma’rûf tersebut adalah ukuran standar bagi setiap orang dengan memperhatikan kebiasaan yang berlaku, berbeda menurut zaman, tempat, keadaan dan individu. Kedua, pada era globalisasi ini banyak pasangan suami isteri yang mengalami berbagai problema dalam rumah tangga yang mereka telah bina bertahun-tauhun, seperti penyelewengan, perselingkuhan dan percekcokan di antara mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka mengganggap rumah tangganya sebagai neraka belaka, sehingga tidak sedikit para isteri yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya akibat tidak terpenuhi hak-haknya. Padahal ketika orang berniat berumah tangga, tujuan yang diharapkan memperoleh rasa aman, penuh dengan cinta, kasih dan sayang, serta menjadikan rumah tangganya adalah surga bagi pasangan suami isteri tersebut. Tidak terpenuhinya salah satu nafkah dalam rumah tangga, khususnya nafkah batin, akan berpengaruh terhadap langgengnya sebuah rumah tangga dan dapat juga berupa gangguan jasmaniah atau rohaniyah terhadap isteri, seperti kegoncangan jiwanya, merasa kehilangan harga dirinya, selalu gelisah, tidak pernah merasakan 138 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan ketenangan dalam kehidupan rumah tangganya, bahkan ia akan merasa putus asa dalam membina dan mempetahankan rumah tangganya. Ketika hal ini, telah terjadi dalam suatu rumah tangga, sudah dapat dipastikan bahwa akan berujung kehancuran rumah tangga yang pada akhirnya terjadi perceraian. Akibat seperti ini tentunya sudah jauh meleceng dari nilai-nilai serta tujuan perkawinan itu sendiri di mana salah satu pihak mengalami gangguan kejiwaan akibat tidak terpenuhi nafkahnya, baik nafkah batin maupun nafkah lahiriyah. Dengan demikian nafkah adalah unsur yang sangat fundamental dalam membina rumah tangga, demi kelangsungan suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Ketiga, mengenai konpensasi nafkah batin dengan materi atau penggantian nafkah batin dengan materi dibolehkan apabila ada persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak (suami isteri). Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang. Perbedaan pendapat para mujtahid ini tentang penggantian nafkah batin dengan materi, menunjukkan bahwa tidak ada dalil syara’ yang secara tegas membolehkan atau melarang. Karena dalil yang dijadikan dasar dalam persoalan ini bersifat universal, sehingga ada sebagian ulama membolehkan. Dalil-dalil tersebut memberikan ruang terhadap bolehnya penggantian nafkah batin dengan materi, jika hal itu menjadi kesepakatan berdua dengan tujuan saling rela dan saling memahami kondisi masing-masing, sehingga tidak terjadi percekcokan yang dapat mengakibatkan perceraian yang memiliki dampak negatif lebih besar terhadap anak. Seperti terungkap dalam pembahasan pada bagian sebelumnya bahwa kedudukan nafkah dalam kehidupan berumah tangga memiliki peran yang sangat penting, karena tidak terpenuhinya nafkah batiniyah maupun lahiriyah, maka dapat menjadi penyebab terjadinya konflik, dan selanjutnya akan berimplikasi kepada keretakan mahligai rumah tangga yang telah diikat dengan sebuah akad dalam agama yang sangat sakral. Oleh karena itu, seyogyanya bagi seseorang yang ingin melaksanakan perkawinan agar dapat mengetahui dan memahami secara mantap tentang persoalan nafkah agar memiliki kemampuan Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 139 Rizal Darwis, M.H.I. untuk mengantisipasi persoalan-persolan yang muncul dalam keluarganya kelak, serta dapat mencari solusi yang tepat jika persoalannya telah terjadi. Selain itu, seorang calon suami harus mengetahui sejauh mana hak dan kewajiban suami isteri. Jika hal ini telah dipahami dengan baik sebelum melangsungkan perkawinan, maka setidak-tidaknya dapat terhindar dari kasus-kasus perceraian seperti yang banyak terjadi sekarang ini akibat ketidaktahuan dan ketidakpahaman seseorang tentang nafkah serta hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga. Pemahaman yang baik tentang nafkah membuat seseorang akan lebih bijak dan menghargai seorang wanita sebagai hamba Allah swt. yang kebetulan menjadi isterinya dan hubungan yang dibina akan bernilai ibadah. Seorang suami yang bersungguh-sungguh dan berjuang dalam menghidupi isteri dan anak-anaknya akan diberikan pahala yang berlipat ganda dari Allah swt. Apalagi dengan harapan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga akan tercipta dengan adanya pemenuhan nafkah lahiriyah dan batiniyah tersebut. Demikianlah syariat Islam telah menerangkan dengan cukup bijaksana tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan nafkah. Pada dasarnya kebutuhan nafkah lahiriyah dan batiniyah dalam kehidupan berumah tangga adalah sesuatu yang pokok. Namun sering dengan kemajuan zaman, perioritas kebutuhan manusia memiliki jenjang-jenjang tertentu sesuai dengan taraf hidup masingmasing pasangan, dan ketika pasangan suami isteri saling rela menerima terhadap apa yang diberikan pasangannya, maka hal ini bisa meminimalisir terjadinya pertengkaran yang bisa mengakibatkan perceraian. Para ulama dan cendekiawan muslim sepakat bahwa nafkah adalah suatu kewajiban dalam berumah tangga yang telah dinyatakan secara jelas oleh syariat Islam. Ukuran dalam pemberian nafkah kepada isteri berdasarkan konteks ayat adalah makruf (patut dan wajar). Oleh karena itu, para ulama atau orang yang berkompoten untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang nafkah dalam kehidupan rumah tangga, agar tidak terjadi lagi 140 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan perceraian hanya karena masalah sepele yang pada hakikatnya dapat diselesaikan seandainya mereka (suami isteri) memiliki pengetahuan yang cukup tentang nafkah serta hak dan kewajiban dalam kehidupan berumah tangga. Selain itu diharapkan bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan supaya terlebih dahulu belajar mengenai kehidupan berumah tangga dengan mantap, agar dapat menjadi bekal dalam membina dan mengarungi bahtera rumah tangga nantinya, dan bagi yang telah mengarungi bahtera rumah tangga semakin memperbanyak ilmu pengetahuannya berkenaan dengan menjalani kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan agama, perundang-undangan, dan kebiasaan yang dianut dan berkembang di masyarakat. Perkawinan sebagai sebuah wadah mempersatukan dua insan yang berlainan jenis antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan suci dan sakral dengan harapan memperoleh hakekat dari kehidupan berumah tangga, dan pada akhirnya bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah (ketenangan), penuh cinta, kasih dan sayang adalah terletak pada penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari berkah dan kerelaan Allah swt. Sedangkan hakekat sakinah adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datangnya dari Allah swt. [wallahu a’lam bi al-sawab] Ù”Ú Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 141 Rizal Darwis, M.H.I. H••I DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’n al-Karm. Abidin, Zainal. 1993. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama. Cet. 3; Jakarta: Yayasan alHikmah. Akbar, H. Ali. 1999. Merawat Cinta Kasih. Cet. 14; Jakarta: Pustaka Antara. Albarry, M. Dahlan. 1994. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arloka. Alhamdani, H. S. A. 1980. Risalatun Nikah, terj. Agus Salim, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani. Ali, Atabiq, et. al. 1997. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cet. 2; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak. Al-Anjari, Ibn Mansur Jaml al-Dn Mukarram. 1997. Lisn al-‘Arab. Juz 2. Cet. 1; Bairut: Dr al-adir. Ansar, Sudirman. 1992. Beberapa Aspek Psiko Seksual. Cet. 2; Jakarta: Bulan Bintang. Barik, Haya binti Muborok. 1418 H. Mausu’ah al-Mar’ah al-Muslimah, terj. Amir, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Cet. 1; Jakarta: Penerbit Darul Falah. Bisri, Cik Hasan, et. al. 1999. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Cet. 2; Jakarta: Logo Wacana Ilmu. 142 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan Chasan, Moch. Ali. 2005. Cinta, Seks, dan Ibadah [art] dalam Alia: Pesona Muslimah, Edisi Khusus Merajut Cinta Keluarga Sakinah, No. 1 Tahun III, Jumadil Awal 1426/Juli. Dahlan, Abdul Azis. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jil. 5. Cet. 1; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2. 1994. Cet. 3; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Al-Fanjari, Ahmad Syauqi. 1996. Al-Tib al-Wiqa‘i, terj. Ahsin Wijaya dan Totok Jumantoro, Nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam. Cet. 1; Jakarta: Bumi Aksara. Fyzee, A. A. 1995. Outlines of Muhammadan Law. London: Oxford University Press. Al-Gazali. 1992. Ihya ‘Ulum al-Dn, terj. M. Zuhri, Ihya ‘Ulumuddin. Jil. 3. As-Syifa: Semarang. Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya. Cet. 2; Jakarta: Bulan Bintang. Ibn Hanbal, Imm Abu Abdullah Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz 6. Bairut: Dr al-Fikr. Ibn Qudmah, Abdillah. 1994. Al-Kfi fi Fiqh Imm Ahmad. Juz 3. Cet. 1; Bairut-Libanon: t.p. Ibn Qudmah. Al-Mugn. Juz 7. Bairut-Libanon: Dr al-Kutub al‘Ilmiyah. Ibn Rusyd. 1990. Bidyah al-Mujtahid, terj. Abdurrahman, Bidayatul Mujtahid. Jil. 2. Cet. 1; Semarang: as-Syifa. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 143 Rizal Darwis, M.H.I. Ibn Saurah, Ab Is Muhammad bin Isa. Al-Jmi‘ al-ahh Sunan alTirmiy. Juz 3, Juz 4, Juz 5. Bairut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah. Ibn Zakariya, Ab al-Husain Ahmad ibn Faris. 1994. Maqyis al-Lugah. Cet. 1; Bairut: Dr al-Fikr. Ibrahim, Marwah Daud. 1994. Teknologi, Emansipasi dan Transendansi: Wacana Peradaban dengan Visi Islam. Cet. 1; Bandung: Mizan. Ibrahim, Ummu Ibrahim Ilham Muhammad. 1420 H. Kaifa Takunina Zauzatan Shalihatan wa Umman Najihatan?, terj. Kathur Suhardi, Bagaimana Menjadi Istri Shalihah dan Ibu yang Sukses? Cet. 2; Jakarta: Darul Falah. Iqbal, Abu Muhammad. 2001. Menyayangi Istri, Membahagiakan Suami. Cet. 3; Yogyakarta: Mitra Pustaka. Al-Istambuli, Mahmud Mahdi. 1999. Tuhfat al-A‘rus, terj. Ibnu Ibrahim, Kado Perkawinan. Cet. 1; Jakarta: Pustaka Azzam. Al-Ja’afy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismil bin Ibhim bin alMugrah bin Bardzbah al-Bukhry. 1412 M/1992 M.ahh alBukhry. Juz 1, Juz 3, Juz 5. Bairut: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyah. Jaelani, Abd. Qadir. 1955. Keluarga Sakinah. Cet. 1; Surabaya: Bina Ilmu. Jamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in an Rab al-‘Alamin. Juz 3. Bairut: Dr al-Fikr. Al-Jazri, Abd al-Rahmn. 1969. Kitb al-Fiqh ‘al al-Mahib al-‘Arba’a. Juz 4. Bairut; Dr al-Fikr. Al-Jazri, Abu Bakar Jabir. Minhj al-Muslim. Bairut: Dr al-Fikr. 144 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan Al-Jurjawi. Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuh, terj. Mahyuddin, Hikmah Dibalik Hukum Islam. Jil. 3. Cet. 3; Jakarta: Mustaqim. Kamal, M. 1993. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Cet. 1; Jakarta: Bulan Bintang. Kartono, Kartini. 1986. Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Cet. 1; Jakarta: CV. Rajawali. Kementerian Agama RI. 2010. Ummul Mukminin: Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita. Jakarta Selatan: Penerbit Wali. Al-Khtib, Muhammad Syarbini. 1975. Mughni al-Muhtj. Jil. 3. Mesir: Syirkah Maktabah. Mahmood, Tahir. 1987. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law and Religion. Al-Marwazy, Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal alSyaibany. Musnd Ahmad bin Hanbal. Juz 1, Juz 2, Juz 3, Juz 6. Bairut: Dr al-Fikr. Al-Mughniyah, Muhammad Jawad. 1996. Al-Fiqh ’ala al-Mahib alKhamzah, terj. Masykur, et. al., Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Cet. 2; Jakarta: Lentera. Muhammad, Hussein. 1999. “Repleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Wanita” dalam Syafiq Hasyim (ed), Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam. Cet. 1; Bandung: Mizan. Al-Munawwir, Ahmad Warson 1984. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir. Mustafa, Ibrhim. Mu’jam al-Wasi. Juz 2. Teheran: al-Maktabah alIslmiyah. Al-Naisabury, Imm Muslim ibn al-Hajj al-Qusyairy. ahh Muslim. Juz 1, Juz 2. Bairut: Dr al-Kutub al-‘Ilmiyah. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 145 Rizal Darwis, M.H.I. Nasution, Harun, et. al. Jakarta: Djambatan. 1972. Ensiklopedi Islam Indonesia. ______. 1998. Islam Rasional. Cet. 5; Bandung: Mizan. Nur, H. Djamaan. 1993. Fiqh Munakahat. Cet. 1; Semarang: Toha Putra Semarang. Nuruddin, Amir, dan Azhari Akmal. 2005. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI. Cet. 1; Jakarta: Kencana. Al-Qazwny, al-Hfi Abi Abdillah Muhammad bin Yazd. Sunan Ibnu Mjah. Juz 1. T.tp.; Dr Ahyu al-Kutub al-Araby. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ______. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. ______. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. ______. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. ______. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. Cet. 6; Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sabiq, Sayyid. 1994. Fiqh Sunnah, terj. Moh. Thalib, Fiqh Sunnah. Jil. 6, Jil. 7, Jil. 8. Cet. 9; Bandung: Al-Ma’arif. Al-Sajastny, Al-Imm al-Hfi Ab Dwud Sulamn bin al-Asy‘a. Sunan Ab Dwud. Juz 1. Suria: Dr al-Had. 146 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan Shahal, Ayidah Ahmad. 2005. Syahr al-‘Asal wa al-Sa‘adah bayna alZaujaini, terj. Moh. Suri Sudahri A. dan Entin Rani’ah Ramelan, Bulan Madu dan Kebahagiaan Perkawinan. Cet. 7; Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Shihab, M. Quraish. 2000. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. 9; Bandung: Mizan. Supriadi, Wila Chandrawila. 2001. Perempuan dan Kekerasan dalam Perkawinan. Bandung: Mandar Maju. Syalthuth, Mahmud. 1972. Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, terj. Bustami dan Hamdani, Akidah dan Syari’ah Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Syaria, Sadr. 1969. Taudhih dalam Muhammad Muslehuddin, Mut’a (Temporary Marriage). New York: Islamic Publication. Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Ed. 1. Cet. 1; Jakarta: Prenada Media. ______. 1993. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Cet. 2; Padang: Angkasa Raya. Al-Syawkny, Al-Imm Muhammad bin Ali bin Muhammad. 1415 H/1995 M. Nayl al-’Awr min ’Ahd Sayyid al-’Akhyr, Juz 3. Bairut-Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Talib, Sayuti. 1982. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet. 2; Jakarta: UI Press. Zahrah, Abu. Al-Ahwal al-Syakhsyiah. Al-Qahirah: Dr al-Fikr al‘Arabi. Zakariyah, Abi al-Husain Ahmad ibn Fariz. 1994. Mu’jam Maqyis alLugah. Juz 2. Bairut: Dr al-Fikr. Zein, H. Satria Effendi M. 1991. ‘Hak Nafkah Batin Isteri dan Ganti Rugi Berupa Materi’ [art] dalam Mimbar Hukum dan Aktualisasi Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 147 Rizal Darwis, M.H.I. Hukum Islam, No. 3 Tahun II, 1991. Jakarta: Ditbinbapera dan Al-Hikmah. Al-Zuhaly, Wahbah. 1409 H./1989 M. Al-Fiqh al-Islmy wa Adillatuh. Juz 7. Cet. 3; Bairut: Dr al-Fikr. Ù”Ú 148 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan H••I TENTANG PENULIS Rizal Darwis, kelahiran Ujung Pandang, 17 Juli 1979. Jenjang pendidikan Sarjana (S1) diselesaikan-nya pada Jurusan Ahwal Syakhshiyah Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar (1998-2002) dan jenjang Magister (S2) dengan konsentrasi Syariah/ Hukum Islam Pascasarjana UIN Alauddin Makassar (20032006). Kemudian melanjutkan jenjang Doktor (2008) pada almamater yang sama dengan tetap pada konsentrasi yang sama. Pada tahun 2013/2014 mendapatkan Beasiswa AusAID untuk menuntut ilmu selama 2 semester di Negeri Kangguru, tepatnya di The Australian National University (ANU) Canberra pada program Beasiswa Partnership in Islamic Education Scholarship (PIES) kerjasama antara Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia (Kementerian Agama RI.) dengan The Australian Government’s - Department of Foreign Affairs and Trade (Pemerintah Australia DFAT). Sejak mahasiswa aktif dalam berbagai organisasi, seperti Badan Pertimbangan Mahasiswa Fakultas (BPMF) Syariah IAIN Alauddin Makassar, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Budaya IAIN Alauddin Makassar, Himpunan Pelajar Mahasiswa (HIPMA) Gowa Komisariat IAIN Alauddin Makassar, Forum Komunikasi Mahasiswa Selatan-Selatan (FKMSS) Komisariat IAIN Alauddin Makassar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, Ikatan Solidaritas Alumni Bahrul Ulum (Istambul) Kabupaten Gowa, Solidaritas Pemerhati Seni dan Budaya Sulawesi Selatan (SPESYS), Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 149 Rizal Darwis, M.H.I. Aktifitas keseharian penulis adalah Pegawai Negeri Sipil (Dosen Tetap) pada Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo sejak 2009 sampai sekarang. Penulis aktif dalam berbagai forum seminar, workshop, pelatihan, dan lokakarya yang bertaraf nasional maupun internasional, baik sebagai narasumber maupun peserta. Selain itu, penulis aktif pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Fakultas Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Propinsi Gorontalo, Ikatan Pemuda Sulawesi Selatan (IPSS) Kota Gorontalo, dan Lembaga Dakwah Al-Khidmah (LDK) IAIN Sultan Amai Gorontalo. Penulis aktif menulis dalam bidang kajian Islamic Studies. Karya tulis yang pernah ditulis antara lain: Penyelesaian Pembagian Harta Gonogini Akibat Perceraian di Pengadilan Agama Gorontalo: Studi Kasus Tahun 2007 s/d 2010 (Penelitian, 2010); Konsepsi Hadhanah menurut Fiqhi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam: Suatu Kajian Perbandingan (Penelitian, 2010); Pergumulan Struktur dan Kultur (Studi tentang Pengelolaan Zakat Pasca Perda Zakat di Kota Gorontalo) (Penelitian, 2011); Praktek dan Etika Bisnis Islam (Studi terhadap Pedagang Muslim di Pasar Sentral Gorontalo) (Penelitian, 2013); Studi Analisis Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah dalam Perspektif UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Gorontalo) (Penelitian, 2014); Fiqh Anak di Indonesia: Konsep dan Implementasinya (Jurnal AlMizan, 2010); Transformasi Hukum Islam dalam Bentuk Qanun alQadha (Jurnal Al-Buhuts, 2011); Peranan TPA Kramat dalam Pemberantasan Buta Aksara Alquran di Desa Hutabohu Kecamatan Limboto Barat Kabupaten Gorontalo (Jurnal Madani, 2011); Fuqaha dan Kaderisasi: Tinjauan Pada Masa Dulu, Kini dan Ke Depan (Jurnal Inovasi, 2011); Karakteristik dan Pendekatan Aspek Sosial dalam Hukum Islam (Jurnal Al-Qalam, 2012); Fikih Lingkungan: Sebuah Wacana dalam Etika Pembangunan Hukum Nasional (Jurnal Inovasi, 2012); Ijtihad Kontemporer dalam Sorotan: Sebuah Wacana dalam Pemikiran Hukum Islam (Jurnal Al-Buhuts, 2012); Eksistensi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Pernikahan (Analisis Perannya dalam Penyelesaian Sengketa Pernikahan Wali Adhal) (Jurnal Madani, 2012); Implikasi Falsafah Siri’ na Pacce Pada Masyarakat Suku Makassar di 150 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan Kesimpulan Kabupaten Gowa (Jurnal El Harakah, 2012); The Gorontalo Religious Courts Judges Response Toward Their Absolute Competence in Resolving Shariah Economy Disputes (Jurnal Al-Ulum, 2015); Tradisi Hileyiya: Persinggungan antara Agama dan Tradisi Pada Masyarakat Kota Gorontalo Perspektif Sosiologi Hukum Islam (Analisa Journal, 2015) [*] (email: rizaldarwis2011@yahoo.co.id) Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan 151 Rizal Darwis, M.H.I. 152 Nafkah Batin dalam Hukum Perkawinan