Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Paradigma Holistik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penulis Nama penulis Buku Paradigma Holistik adalah Ir. Husain Heriyanto, M.Hum. adalah mantan aktivis dua kampus ternama, IPB dan UI jurusan filsafat. Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1964. Beliau mnulis buku ini sebab rasa keprihatinan terhadap situasi kontemporer dunia global yang berdampak terhadap ketidakadilan dan semakin kencangnya arus Dehumanisasi. Buku ini memperkenalkan sebuah pergeseran paradigma, paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Buku ini mengangkat paradigma yang telah bertahan selama 3 abad, yaitu paradigma matrealisme mekanistik yang dikenal dengan sebagai paradigma Cartesian-Newtonian. Dalam pandangan ini perilaku suatu sistem ditentukan secara deterministik oleh gerak dan interaksi bagian-bagiannya. Identitas Buku Judul Buku : Paradigma Holistik Pengarang : Husain Heriyanto Penerbit : Teraju Tahun Terbit : Januari 2003 Cetakan : Pertama BAB II RESUME HEGEMONI PARADIGMA CARTESIAN-NEWTONIAN Peradaban modern yang dibangun sejak abad ke-17 M tidak mungkin dipahami tanpa mengenal para paradigma Cartesian-Newtonian. Karakter peradaban ini dicirikan oleh paradigma Cartesian-Newtonian. Paradigma Cartesian-Newtonian telah menghegemoni cara pandang manusia modern, karena cara pandang ini telah menjadi bagian cara berada dari system, pola, dan dinamika moderenisme. Terlepas adri kenyataan apakah manusia modern menyadari hal tersebut atau tidak, Van Peursen menyatakan bahwa pengalaman sehari-hari tidak berdiri dan lepas dari filsafat, dan ia menyatakan bahwa gambaran tentang dunia yang dianut manusia modern dipengaruhi oleh cara pandang sains modern. Sains telah menentukan wajah abad masa kini ; ia mengkarakterisasi peradaban barat (modern). Sains tidak pernah lebih berhasil dan berpengaruh besar seperti pada kehidupan kita sekarang. Namun, gagasan-gagasan (prinsip-prinsip dasar) sainms itu sendiri asing bagi kebanyakan orang. Hegemoni paradigm Cartesian-Newtonian terhadap pandangan dunia terkait erat dengan kenyataan sejarah bahwa peradaban modern dibangun atas dasar ontology, kosmologi, epistimologi, dan metodologi yang dibentuk oleh penggerak moderenisme, yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton. Tanpa bermaksud mengesampingkan tokoh-tokoh ilmuwan dan pemikir lainnya. Oleh karena itu, study lebih mendalam terhadap asumsi-asumsi dasar paradigm Cartesian-Newtonian merupakan pintu masuk untuk memahami epos kebudayaan dan zeitgeist peradaban modern. Kita juga perlu melacak factor-faktor sosio-kultur-historis yang melatarbelakangi munculnya paradigma ini dan sekaligus menelaah factor-faktor kondisional, mengapa ia mampu menjadi paradigm standa5r manusia modern dalam mempresepsi realitas selama tiga ratus tahun. Banyak orang menganggap pandangan dunia mekanis sebagai filsafat yang benar tanpa merasa terdorong untuk mentransformasi dunia menurut pandangan dunia itu. Selain itu, kita akan meninjau konsekuensi-konsekuensi dan implikasi-implikasi hegemoni paradigma Cartesian-Newtonian terhadap kehidupan manusia modern kontemporer pada umumnya baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis. Praktiknya, sains menginginkan sebuah peradaban yang maju dan segala sesuatu diberbagai bidang kehidupan dilakukan dengan instan tanpa mengeluarkan tenaga atau kinerja tubuh yang berlebih. Perkembangan sains tidak selamanya membawa dampak positif bagi pengguna atau pembuatnya, terdapat suatu “penyakit-penyakit peradaban” yang disebutkan oleh Fritjof Capra menambah keprihatinan kaum arif-cendekiawan, misalnya kasus perceraian, penggunaan obat terlarang, depresi, psikopat, dan bunuh diri. Menurut Fritjof Capra, krisis-krisis global di muka dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia modern. Pandangan-dunia (Worl-View) yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linier Cartesian-Newtonian (paradigma Cartesian-Newtonian). Paradigma ini di satu sisi berhasil mengembangkan dunia sains sehingga mempermudah kehidupan manusia, namun di lain sisi mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Pandangan ini melahirkan berbagai macam pencemaran di udara, air, tanah yang justru mengancam balik kehidupan manusia. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah eksperimental dan rasional analitis telah menimbulkan sikap-sikap yang antiekologis. Paradima Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang di atur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier dan matrealistik. Cara pandang ini menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, dan menganggap alam kosmos sebagai kumpulan dari objek-objek yang terpisah yang dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. PENGERTIAN PARADIGMA CARTESIAN-NEWTONIAN Penggunaan istilah paradigma dalam frase’paradigma Cartesian-Newtonian’ mengacu kepada pengertian generic yang diberikan oleh Thomas Kuhn, namun dalam makna yang lebih luas. Menurut A.F.Charmers, paradigma bagi Khun juga berguna dalam membimbing penyelidikan dan interpretasi terhadap fenomena yang diobservasi. Sementara itu, kita menggunakan istilah paradigma Cartesian-Newtonian dalam makna yang lebih luas. Paradigm disini berarti suatu pandangan dunia atau cara pandang yang dianut secara pervasive dan terkandung didalamnya asumsi-asumsi ontologism dan epistimologis tertentu, visi realitas, dan system nilai. Dengan demikian, paradigma mengandung dua komponen utama, yaitu prinsip-prinsip dasar dan kesadaran intersubjektif. Penggunaan nama Cartesian-Newtonian pada frase paradigma Cartesian-Newtonian didasarkan pada tiga pertimbangan pokok. Pertama, Hal ini banyak diakui oleh sejarawan, cendikiawan, dan filsuf. Peristiwa-peristiwa monumental sepeti revolusi ilmiah, revolusi industry, dan abavd pencerahan tidak terlepas dari pengaruh pemikiran kedua tokoh modern ini. Mengomentari pernyataan Charles Gilliipsie3 yang menyebut descrates berhasil sampai revolusi ilmiah tapi gagl setelah munculnya deklarasi indepedensi sains dari filsafat, Seyyed Hossein Nasr mengatakan : Meski pun sins modern mendeklarasikan independensinya dan aliran filsafat tertentu, namun dirinya sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis particular baik tentang karakteristik alam maupun pengetahuaan kita tentangnya, dan unsure terpenting di dalamnya adalah Cartesianisme yang bertahan sebagai bagian inheren dari pandangan dunia ilmiah modern. Kedua, kedua tokoh tersebut dapat mewakili filsafat dan sains modern. Jika Descrates dikenal sebagai Bapak filsafat modern, maka Newton dijuluki sebagai tokoh pembangunan sains modern dengan mazhab kosmologi dan fisika klasik Newtonian yang berpengaruh besar terhadap dunia modern sampai sekarang. Ketiga, keinginan memfokuskan pembahasan kepada pemikiran ontologis dan epistimologis Descrates serta kosmologis Newton yang banyak memiliki titik singgung dan kesamaan prinsip-prinsip, yang kemudian membentuk paradigma apa yang kita sebut sebagai paradigma Cartesian-Newtonian. Prinsip-prinsip dasar paradigma ini akan diuraikan pada bagian subbab mendatang. ASUMSI PARADIGMA CARTESIAN-NEWTONIAN Pemikiran Descrates Rene Descrates (1596-1650) dikenal sebagai dikenal sebagai Bapakb filsafat modern. Kesadaran modern Cartesian pun mulai berkembang menjadi kesadaran dunia global. Descartes mengajukan sebuah adagium terkenal yang merupakan primum philosphicum (kebenaran filsafat yang pertama): “Cogito ergo sum”, I think. Hence i’m (Saya berpikir, maka saya ada). Disini kata cogito bermakna berpikir atau sadar dalam arti yang lebih luas. Kesadaran cogito ini ia canangkan sebagai kesadarn subjek yang rasional. Untuk menunjukkan keapriorian cogito, ia menggunakan metode kesangsian. Keadaran tidak dapat menyangkal kesangsian itu sendiri. Karena keraguan itu menunjukkan aktivita berpikir, maka eksistensi rasio terbukti dengan sendirinya (self-efident). Dengan kata lain, segala sesuatu dapat diragukan keberadaannya kecuali kesadaran subjek itu sendiri. Pengukuhan eksistensi kesadaran cogito secara self-efident dan keberdahuluannya terhadap realitas eksternal menggambarkan tendensi ego subjektivisme-rasionalitas Descartes. Metode kesangsian Descartes juga merupakan jalan untuk memperoleh kepastian pengetahuan yang begitu ia idamkan. Ia mencanangkan suatu proyek raksasa untuk memberi pendasaran filosofis seluruh jenis ilmu pengetahuan melalui sebuah metode tunggal yang ia tawarkan. Ia menulis, “Untuk menemukan kebenaran, adalah niscaya dalam kehidupan kita untuk meragukan, sejauh mungkin, segala sesuatu.” Upaya Descartes untuk mematekikakan seluruh jenis pengetahuan manusia selaras dengan asumsi kosmologisnya yang memandang alam memiliki struktur matematis. Ia menulis, “Saya tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika tidak dapat dideduksi dengan gambaran matematika, dari pengertian-pengertian umum yang kebenaran-kebenarannya tidak dapat kita ragukan. Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini (deduksi matematika).” Untuk mencapai pengetahuan universal Descartes menggunakan metode universal yang memberi pendasaran bagi kesatuan ilmu-ilmu. Ia membuat empat tahapan atau prinsip. Pertama, jangan pernah menerima apa pun sebagai benar hal-hal yang tidak diketahui secara jelas dan terpilah (clearly and distincly), dan hindari ketergesa-gesaan dan prasangka. Kedua, membagi kesulitan yang akan di uji menjadi bagian-bagian sekecil mungkin agar dapat dipecahkan lebih baik. Ketiga, menata urutan pikiran mulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah untuk dimengerti, kemudian maju sedikit demi sedikit menurut tingkatannya sampai kepada pengetahuan yang lebih kompleks. Keempat, memerinci keseluruhan dan meninjau kembali semua secara umum sedemikian sehingga diyakini tidak ada yang terabaikan. Tahapan pertama adalah prinsip intuisi kritis, tahapan kedua adalah prinsip analisis, tahapan keiga adalah prinip sintesis, dan tahap yang keempat adalah prinsip enumerasi. Sangat jelas terlihat upaya Descartes untuk mematikasasi alam (mathemtization of nature) mendorongnya berkesimpulan bahwa alam raya tidak lain adalah sebuah mesin raksasa. Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam materi alam dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya. Tidak ada tujuan, kehidupan, dan spiritualitas dalam alam semesta. Capra menulis, “Gambaran alam mekanik ini telah menjadi paradigma ilmu pada masa setelah Descartes. Gambaran ini telah menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori fenomena alam hingga fisika abad kedua puluh menghasilkan suatu perubahan yang radikal. Seluruh penjelasan tentang ilmu mekanistik pada abad ke tujuh belas, delapan belas, dan sembilan belas, termasuk teori agung Newton, tidak lain adalah perkembangan dari pemikiran Descartes. Descartes telah memberkan kerangka ilmiah pada umumnya, yaitu pandangan alam sebagai mesin sempurna, yang diatur oleh hukum-hukum matematis yang pasti. Pemikiran Newton Revolusi ilmiah mencapai puncaknya, sebagaimana yang dikonfirmasi oleh hampir seluruh sejarawan sains, pada Isaac Newton, yang upaya sintesisnya dalam upaya principia menentukan pemahaman tentang alam (Order Of Nature) tidak hanaya dalam sains, tetapi juga dalam kebudayaan sains hingga saat ini. Newton mengembangkan suatu formulasi pandangan-Dunia mekanistik-matematis dan lengkap, sehingga menghasilkan sintesis agung karya Copernicus, Kepler, Bacon, Galileo, dan Descartes. Dari penelitiannya, jelaslah bahwa Newton adalah seorang Cartesian yang mempublikasikan Principia, dan ketika seseorang tersebut, ia menemukan sebuah karya yang mengagumkan: Newton membuat pandangan-dunia Cartesian dapat dipertahankan melalui falsifikasi pada detail-detailnya. Dengan kata lain, meskipun fakta-fakta (ilmiah) Descartes salah dan teori-teorinya tidak didukung (oleh Newton), namun pandangan sentral Cartesian bahwa dunia ini adalah mesin besar yang terdiri dari materi dan gerak yang tunduk kepada hukum-hukum matematika yang sepenuhnya divalidasi oleh Newton. Asumsi-asumsi paradigma Cartesian-Newtonian Asumsi-asumsi paradigma Cartesian-Newtonian itu adalah: Subjektivisme-antroposensistrik Dualisme Mekanistik-deterministik Reduksionisme-atomistik Instrumentalisme Materialisme-saintisme Subjektivisme-antroposensistrik Prinsip ini mempresentasikan modus khas kesadaran modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Newton menganut pandangan antroposentrisme yang sangat berambisi menjelaskan seluruh fenomena alam raya melalui mekanika yang dirumuskan melalui matematika. Dualisme Penganut paradigma Cartesian-Newtonian membagi realitas menjadi subjek dan objek, manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek. Dualisme ini juga meliputi pemisahan yang nyata dan mendasar antara kesadaran dan materi, antara pikiran dan tubuh, antara jiwa cogitans dan benda exstensa, serta antara nilai dan fakta. Mekanistik-deterministik Sesuai dengan paham mekanistik, paradigma Cartesian-Newtonian menganggap realitas dapat dipahami dengan menganalisis dan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian kecil, lalu dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil penyelidikan dari bagian-bagian kecil itu lalu di generalisir untuk keseluruhan. Jadi, dalam pandangan mekanistik, keseluruhan adalah identik dengan jumlah dari bagian-bagiannya. Asumsi deterministik memandang alam sepenuhnya yang dapat dijelaskan, diramal, dan dikontrol berdasarkan hukum-hukum yang deterministik (pasti, percaya) sedemikian rupa sehingga memperoleh kepastian yang setara dengan kepastian matematis. Reduksionisme-atomistik Alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis. Paradigma ini mengangap alam raya, juga realitas secara keseluruhan, terbangun atas balok-balok bangunan dasar materi yang terdiri dari atom-atom. Perbedaan antara satu materi dengan materi yang lainnya hanya disebabkan oleh perbedaan kuantitas dan bobot. Instrumentalisme Modus berpikir dalam sains modern adalah berpikir instrumentalistik. Artinya, kebenaran suatu pengetahuan atau sains diukur dari sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan material dan praktis Materialisme-saintisme Sebagai konsekuensi alamiah dari pandangan dualisme, mekanisik-deterministik, atomisme, dan instrumentalistik yang dikandung, paradigma Cartesian-Newtonian juga bertendensi kuat untuk menganut paham materialisme-saintisme (materialisme ilmiah) atau dikenal pula sebagai positivisme. Positivisme atau saintisme adalah sebuah pandangan-dunia yang menempatkan metode-metode ilmiah yang eksperimental sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal sehingga segala pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi oleh metode itu tidak bermakna apa-apa. REKONSILIASI KESADARAN DAN MATERI Pemisahan Kesadaran dan Materi Langkah pertama dan terpenting untuk mengatasi paradigma Cartesian-Newtonian, seraya menawarkan paradigma baru yang holistik adalah menyelesaikan problem dualisme. Dualisme adalah salah satu akar persoalan utama yang mengkarakterisasi pelbagai problem dan krisis global peradaban modern. Mekanistik-determinisme, misalnya, ini merupakan suatu bentuk dari pengejawantahan pandangan dualisme. Kesadaran dengan realitas eksternal, khususnya alam semesta. Antroposentrisme merupakan manifestasi dualisme yang menekankan subjektivitas manusia. Reduksionisme muncul dari dualisme yang memisahkan nilai dan fakta, subjek dan objek. Patriarkalisme merupakan bentuk dualisme yang diterapkan pada gender. Rasialisme, chauvinism, individualisme, egoisme-sistematik merupakan manifestas dualisme secara sosiologis, moral dan psikologis. Problematika yang ditimbukan dualisme Cartesian jauh lebih meluas dan pervasif daripada dualisme Plato karena ia bersimbiosis degan subjektivisme, antroposentrisme, mekanisme-reduksionisme, saintisme, dan baconianisme (tekhnologi). Dengan kata lan, dualisme Cartesian telah ditransformasikan dan dimanifestaikan kedalam jantung peradaban modern dengan segenap asumsi, visi, sistem nilai, dan aktivitasnya. Karakteristik Paradigma Holistik-Dialogis Karakter pertama dalam sistem paradigma holistik-dialogis adalah pandangan ontologis yang mendekonstruksi realitas yang padat, beku dan statis. Sistem paradigma holistik-dialogis membalikkan skema metafisika Aristotelean. Karakter kedua filsafat holistik-dialogis adalah sibernetik ekologis. Maksudnya adalah sebagai suatu pandangan yang memperlakukan alam raya sebagai sistem hidup yang memiliki sistem pengendalian dan pengaturan diri. Karakteristik ketiga paradigma holistik-dialogis berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa “subjek” merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek lain. Keempat, paradigma holistik juga berkarakter realis pluralis, kritis konstruktif, dan sintesis-dialogis. Oleh karena dibangun atas dasar dialog dan sintesis, maka paradigma holistik ini dapat berdialog dengan pelbagai wilayah peradaban manusia, seperti dunia sains, kebudayaan kontemporer dan realitas kehidupan global dengan segenap problematikanya. BAB III KELEBIHAN DAN KEKURANGAN Kelebihan Menjelaskan tentang suatu paradigma yang telah selama tiga abad digandrungi seluruh pemuka ilmuan sains Menjelaskan secara Historycal dari kedua tokoh Rene Decrates dan Isaac Newton secara lebih detail dari berbagai sudut pandang sainstis serta implikasinya Menelaah berbagai kontribusi yang diterima sebagai hasil dari manifestasi paradigma Cartesian-Newtonian Menawarkan paradigma Holistik sebagai satu-satunya solusi akibat keberadaan paradigma Cartesian-Newtonian Kekurangan Menurut saya, dalam buku ini tidak banyak kekurangan, namun kendala utama bagi orang awam dalam menelaah penggunaan istilah dan bahasa yang ada dalam buku ini mungkin kurang diminati, sebab buku ini hanya merangkul kalangan tertentu. Selain penggunaan istilah dan bahasa ada satu yang mungkin bisa menjadi bahan perbaikan adalah Cover yang kurang menarik sehingga oleh pembaca kurang diminati. BAB IV KESIMPULAN Paradigma holistik-dialogis merupakan satu-satunya solusi yang ditawarkan setelah paradigma Cartesian-Newtonian yang telah tertanam di Alam-bawah sadar manusia modern. Singkatnya, jika dalam paradigma Cartesian doktrin Cogito ergo sum, maka dalam paradigma holistik-dialogis dinyatakan bahwa Respondeo ergo sum (Aku bertangung jawab, maka aku ada). RESUME BUKU PARADIGMA HOLISTIK Diajukan Untuk Memenuhi Tugas mandiri Mata Kuliah : Ketepaduan Islam dan Iptek Dosen : Edy Candra, S.si, MA Disusun Oleh: IMRON SAEFUDIN 59461192 IPA-Biologi / B JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURDJATI CIREBON 2012 14