Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Tugas Kelompok Sosiologi Lingkungan (Ekofeminisme) Oleh: Kelompok IV Yunisa Syalom Pattong Eka Widyastuti Umi Purnama Muh. Tri Handoko Alwi Umar [E41114508] [E41114310] [E41114012] [E41114316] [E41114509] JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN TAHUN 2015/2017 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerusakan dan kehancuran alam, di satu sisi mejadi mimpi buruk hampir seluruh penghuni bumi, di sisi lain menyadarkan dan membangkitkan banyak komunitas peduli lingkungan untuk mulai bertindak lebih humanis terhadap alam. Berbagai gejala alam yang belakangan cenderung menakutkan membangunkan banyak orang dari tidur panjang di ranjang superioritasnya. Sedikit demi sedikit mulai terbangun kesadaran untuk meninjau ulang upaya eksploitasi manusia terhadap alam, paradigma baru yang menempatkan alam pada level subyek yang bersama manusia dan seluruh mahkluk berproses menuju kepenuhannya sebagai kesatuan semesta. Meluasnya isu lingkungan tak pelak menyentuh juga ranah gender, sebuah gerakan peduli lingkungan dengan nama ekofeminisme. Adalah Francois d’Eaubonne di Perancis dalam bukunya “Le Feminisme ou la Mort” (1974) yang memunculkan istilah tersebut dengan menggabungkan dua kata “ekologi” dan “feminisme”. Sebagai sebuah ilmu, ekologi mempelajari saling keterkaitan antara semua bentuk kehidupan, sementara feminisme merupakan sebuah ideologi yang dibangun di atas dasar kepedulian akan pentingnya perwujudan kesetaraan dan kesamaan hak perempuan di tengah-tengah dominasi dan penindasan kaum patriarkial. Sebagai sebuah gerakan, ekofeminisme tidak membatasi ruangnya hanya pada bidang akademis, tetapi menjadi sebuah wadah begitu banyak perempuan untuk mencerna dan merumuskan visi tentang kehidupan di atas bumi serta menganalisanya dalam konteks feminisme, ekologi, dan militerisme . Kerusakan dan kehancuran bumi dalam pandangan ekofeminisme berkaitan erat dengan dominasi terhadap alam dan dominasi terhadap perempuan. Rosemary Radford Ruether, misalnya, mengatakan bahwa “perempuan hendaknya memaknai bahwa tidak akan ada pembebasan dan pemecahan masalah ekologi bila model relasi masih berbentuk dominasi”. Ekologi sering dikelompokkan dalam dua jenis; Pertama “Shallow Ecology” (environmentalist), sebuah pandangan antroposentris yang menyatakan bahwa alam ada semata-mata demi melayani tujuan hidup manusia. Alam menjadi bernilai sejauh bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kedua “Deep Ecology” dengan dua prinsip dasarnya; (1) perwujudan/identifikasi diri baik dengan manusia maupun dengan makhluk non-human, dan (2) kesetaraan biosentris di mana semua organisme dan seluruh sistem kehidupan memiliki nilai yang sama. Dalam perspektif ekologis, kaum feminis mengajak kita untuk merefleksikan apa artinya menjadi manusia. Kesadaraan bahwa kita adalah sesama anggota (co-members) dari sebuah komunitas ekologis harus mulai dibangun dan dibudayakan. Karenanya, betapa penting menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional sebagai manusia, semisal kepedulian, persahabatan, ketimbal-balikan, dan tetap berusaha mengedepankan keharmonisan relasi baik dengan sesama maupun dengan alam. Inilah yang dimaksud dengan ketergantungan ekosentris, ketergantungan manusia bukan hanya dengan orang lain melainkan juga dengan lingkungan tempat di mana ia hidup. Rumusan Masalah Apa yang dimaksud dengan Ekofeminisme? Bagaimana peran para Ekofeminis dalam melestarikan lingkungan? Tujuan Untuk mengetahui apa yang dimaksud ekofeminisme. Untuk mengetahui peranan ekofeminis dalam kelestarian lingkungan. PEMBAHASAN Arti dan Sejarah kemunculan Ekofeminisme Perempuan dan alam seringkali diartikulasikan sebagai dua hal yang sangat erat dan dekat. Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini tidak netral gender, karena ketika terjadi kerusakan alam, perempuan menjadi pihak yang paling beresiko terkena dampaknya. Konsep ekofeminisme mencoba untuk menjelaskan hubungan antara feminisme dan ekologi.  Paham ini berkembang pada awal tahun 1970-an, dan menggabungkan elemen feminisme dan gerakan hijau (green movement). Adalah Francois d’Eaubonne yang pertama kali memperkenalkan apa itu ekofeminisme, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Le Feminisme Ou La Mort”. Ekofeminisme ini berakar dari gerakan feminis multikultural dan global, berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk opresi manusia. Opresi manusia ini bukan hanya dilakukan kepada sesama manusia, tapi juga alam. Ekofeminisme ini percaya bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi (Tong, 2010: 359). Ekofeminisme melihat semua manusia dan segala aktifitasnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam ekosistem lokal dan global. Artinya terdapat hubungan dialektis antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam.  Sekitar satu dasawarsa setelah d’Eaubonne, hadir Karen J. Warren memperluas pembahasan ekofeminisme dalam beberapa hal. Pertama, terjadi keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap lingkungan. Kedua, pemahaman tentang alam sangat penting untuk mendapatkan pemahaman opresi terhadap perempuan dan terhadap alam. Ketiga, teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi. Dan keempat, pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis. Ke-empat poin tersebut memiliki pengaruh kuat terhadap keselamatan alam. Karena ketika kualitas kefeminiman mulai luntur; seperti cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan, kondisi itu berbanding lurus dengan tingkat kerusakan alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin ganas-liarnya perilaku generasi muda. Jiwa feminin perempuan yang masih memiliki asuh dan welas kasih hilang, dan menyebabkan opresi atau penindasan, bukan hanya perang gender tapi juga terhadap alam.  Padahal, setiap manusia memiliki sisi feminin dan maskulin, sama halnya yin dan yang, saling mengisi dan melengkapi. Hanya saja terjadi ketidakseimbangan (unequality) dan tidak ada balancing akibat pengingkaran dan ego manusia. Opresi dan penindasan terhadap alam yang semakin tak terhindarkan saat ini pun melahirkan krisis ekologi.  Kacamata ekofeminisme melihat bahwa modus berpikir patriarki yang hirarkis, dualistik dan opresif telah merusak perempuan dan menyebabkan krisis ekologi. Krisis ekologi yang terjadi saat ini adalah ketika alam dianalogikan sebagai perempuan yang mengalami tindakan opresi dari laki-laki. Alam difeminisasi ketika ia diperkosa, dikuasai, ditaklukan, dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang, dieksploitasi habis-habisan.  Akar Ekofeminisme Ekofeminisme berasal dari perjuangan environmentalis. Namun kemudian menjadi pecinta lingkungan hidup saja tidak cukup. Perlu ada ideologi sebagai dasar dan pusat pemikiran dari keseluruhan sikap dan tingkah laku untuk menjelaskan pergerakan para pecinta lingkungan hidup (environmentalist).  Meski demikian masih ada enviromentalis yang berpusat pada manusia dan pemenuhan kebutuhan manusia semata, dan menganggap diri mereka realistis atau pragmatis mengenai isu-isu lingkungan. Golongan ini menganggap nilai lingkungan adalah nilai instrumental, baik maknanya, kepentingannya, dan tujuannya bergantung pada kebutuhan dan keinginan manusia. Lingkungan hidup ada bukan untuk kepentingan dirinya namun untuk kepentingan manusia. Hal ini kemudian yang dikritik oleh aliran-aliran environmentalist lainnya yakni biosentris, ekosentris hingga ekofeminis yang sedang kita bahas.  Golongan environmentalis yang berpusat pada manusia disebut juga sebagai ‘ekologi-dangkal’, lain halnya dengan ekofeminis yang lebih dikenal sebagai ‘ekologi-dalam’ (deep ecology). Ekologi-dangkal bertahan hingga akhir tahun 1940-an dan digantikan oleh generasi baru environmentalis ekologi-dalam.  Arne Naess dan George Sessions yang mengartikulasikan pandangan prinsipil ‘ekologi-dalam’, (Tong, 2010: 365): Kesejahteraan dan pertumbuhan kehidupan manusia dan bukan manusia di bumi mempunyai nilai masing-masing (nilai instrinsik yang sinonim, nilai inheren). Nilai-nilai ini saling bergantung dari kegunaan dunia bukan-manusia untuk tujuan/kepentingan manusia.  Kekayaan dan keragaman hayati berkontribusi terhadap pengejawantahan nilai-nilai ini, dan juga nilai-nilai di dalam setiap kekayaan dan keragaman hayati. Manusia tidak berhak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman ini, kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang vital. Peningkatan kualitas hidup dan kebudayaan manusia sejalan dengan penurunan substansial populasi manusia. Peningkatan kehidupan bukan manusia memerlukan penurunan tersebut. Pada saat ini, campur tangan manusia terhadap dunia bukan manusia sangat berlebihan, dan situasi ini dengan cepat semakin memburuk. Kebijakan harus diganti. Kebijakan ini mempengaruhi struktur dasar ekonomi, teknologi, dan ideologi. Keadaan yang dihasilkan akan sangat berbeda dari yang terjadi saat ini.  Perubahan ideologi yang utama adalah penghargaan terhadap kualitas hidup (yang terkandung dalam situasi dengan nilai inheren) daripada tunduk kepada standar kualitas hidup yang terus menurus meningkat. Akan ada kesadaran yang dalam dari perbedaan antara besar dan besar sekali. Mereka yang mengakui poin yang tengah berlangsung, mempunyai kewajiban untuk secara langsung atau tidak langsung melaksanakan perubahan yang harus dilakukan. Meski ekofeminisme secara umum memiliki kesamaan dengan ekologi-dalam, namun ia melakukan semacam kritik. Menurut ekofeminisme, ekologi-dalam melakukan kesalahan dengan melawan antroposentrisme. Ekofeminisme berpendapat bahwa bukan cara pandang antroposentris yang menyebabkan krisis ekologi, tapi androsentrisme. Ekofeminis mengatakan bahwa androsentrismelah yang menjadi musuh utama perempuan dan alam.  Ekofeminisme sesungguhnya adalah cara pandang menganalisis persoalan lingkungan hidup dengan menggunakan pisau analisis feminis. Di sini feminis menilai akar persoalan, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik pada kelompok rentan antara lain perempuan, dan  apa yang mendasari gerakan ini untuk terus besar dan meluas.  Apa yang dipercaya oleh para ekofeminis, salah satunya adalah Ynestra King ekofeminis dari Amerika, adalah bahwa pada akhirnya semua bentuk opresi manusia berakar pada skema konseptual yang dikotomis yang hanya menguntungkan salah satu dari dua hal (misalnya, laki-laki atas perempuan, alam atas kebudayaan, ilmu pengetahuan atas kekuatan supranatural), (Tong, 2010: 368). Jenis dan Aliran Ekofeminisme Terdapat beberapa aliran dan argumentasi yang melandasi gerakan ekofeminis. Sama seperti gerakan-gerakan feminis atau gerakan lingkungan lainnya. Secara umum ekofeminis sepakat bahwa kerusakan alam semesta ini akibat dari opresi yang dilakukan manusia yang berpaham androsentrisme atau patriaki. Ada ekofeminis yang berargumentasi dengan latar belakang ekofeminis dari sisi radikal-kultural, atau yang sering disebut ekofeminis alam, yakin bahwa sifat-sifat yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan, seperti sifat merawat, mengasuh dan intuisi, bukanlah hasil konstruksi kultural sebagai produk dari pengalaman aktual biologis dan psikologis perempuan. Di sini mereka menekankan dan memperkuat akan hubungan bahwa perempuan memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat dengan alam. Namun demikian terjadi opresi dan hubungan ini dianggap lemah oleh laki-laki atau manusia yang berpaham androsentris. Ekofeminis alam menolak inferioritas yang diasumsikan atas perempuan dan alam, serta superioritas yang diasumsikan atas laki-laki dan kebudayaan. Padahal perempuan dan alam dapat mendorong hubungan sosial yang lebih baik dan cara hidup yang tidak terlalu agresif dan tentu saja berkelanjutan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Mary Daly dan Susan Griffin. Selanjutnya aliran ekofeminis spiritual dan seringkali disebut sebagai ekofeminis kultural. Aliran ini mencoba merefleksi cara pandang antroposentris yang mencoba membenarkan bahaya yang disebabkan oleh manusia, sebagaimana pandangan androsentris mencoba membenarkan bahaya yang disebabkan oleh laki-laki terhadap perempuan, (Tong, 2010: 380). Tokoh aliran ini adalah Starhawk dan Charles Spretnak. Starhawk menekankan hubungan perempuan dengan alam, bahwa karya alam dan karya perempuan adalah sama. Ia berargumentasi bahwa perempuan memiliki pengalaman tubuh yang unik, seperti menstruasi bulanan, simbiosis kehamilan, kesakitan melahirkan dan kenikmatan menyusui anak-anaknya. Karena itu, perempuan mengetahui cara yang tidak dapat diketahui laki-laki, bahwa manusia satu dengan alam. Menurut Starhawk, spiritual berbasis bumi mempunyai tiga konsep inti.  Pertama, imanensi. Karena setiap makhluk hidup mempunyai nilai, dan makhluk berkesadaran mempunyai kekuataan. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan dari dalam (power-from-within), bukan kekuatan atas (power over). Kekuatan dari dalam merupakan kekuatan inheren yang dapat menjadikan kita seperti apa seharusnya, sama halnya dengan kekuatan yang menumbuhkan benih untuk dapat berakar, tumbuh, berbunga, dan berbuah.  Kedua, saling keterhubungan (interconnectedness). Bukan hanya tubuh kita saja yang alamiah, melainkan nalar kita. Starhawk menekankan bahwa kapasitas manusia atas loyalitas dan cinta, kemarahan dan humor, nafsu, intuisi, intelek, dan simpati adalah bagian dari alam. Kita memiliki keterhubungan langsung dengan alam, seperti dengan siklus dan proses alam, binatang dan tumbuhan.  Ketiga, gaya hidup yang peduli. Gaya hidup ini identik dengan gaya hidup perempuan. Dengan gaya hidup peduli ini, menurut Starhawk kita dapat ‘merajut ulang dunia’, atau ‘menyembuhkan luka’. Kepedulian ini yang diperlukan untuk menjaga dan merawat alam. Kemudian ekofeminis sosialis yang tokohnya lebih sering didengar yakni Karen J. Warren, Vandana Shiva dan Maria Mies. Menurut Warren pemikiran sosialis paling dekat memberikan dasar teoritis untuk melaksanakan ekofeminisme daripada cabang pemikiran feminis liberal, marxis, dan radikal. Feminisme sosialis dihimbau untuk lebih komprehensif dengan menjadi feminisme transformatif yang memiliki enam karakteristik, yaitu: Feminisme transformatif mengakui saling keterkaitan antara semua sistem opresi. Feminisme transformatif menekankan keberagaman pengalaman perempuan. Feminisme transformatif menolak logika dominasi. Feminisme transformatif memikirkan ulang apa artinya jadi manusia dan secara terus menerus membangun kesadaran. Feminisme transformatif bergantung pada etika yang menekankan nilai-nilai feminin tradisional yang cenderung menjalin, saling menghubungkan, dan menyatukan manusia. Feminisme transformatif berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk menjaga kelangsungan bumi, (Tong, 2010: 391). Tokoh lainnya adalah Marie Mies dan Vandana Shiva, mereka berdua menekankan bahwa perempuan memiliki keterlibatan yang lebih daripada laki-laki dalam pekerjaan-pekerjaan untuk mempertahankan hidup. Perempuan menaruh perhatian pada elemen-elemen: air, udara, bumi, api. Contohnya perempuan tentu secara aktif terlibat untuk bertahan dan membesarkan anak-anak yang sehat, kemudian menyediakan keluarganya dengan makanan bergizi.  Sebagai bukti bahwa perempuan berbagi kepentingan yang sama dalam menjaga kelangsungan hidup alam, ada banyak contoh yang diperlihatkan oleh Marie Mies dan Vandana Shiva. Perjuangan perempuan di Dunia Ketiga dan Dunia Kesatu melawan kehancuran dan memburuknya ekologi, perjuangan tersebut dipimpin oleh perempuan untuk menyelamatkan dasar-dasar kehidupan di mana pun dan kapan pun dari kepentingan militer atau industrial yang mengancamnya. Seperti gerakan peluk pohon yang dilakukan Vandana Shiva pada tahun 1974, sebagai protes dan untuk mengingatkan mesin-mesin pemotong pohon agar berhenti menebang dan sebagai upaya menyelamatkan ribuan kilometer waduk. Karena para perempuan ini percaya bahwa hutan secara rumit berhubungan dengan ekonomi pedesaan dan rumah tangga mereka, dengan penyediaan makanan, bahan bakar, cadangan makanan, produk untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sebagai sumber pendapatan. Perempuan yang memeluk pohon tersebut siap mati agar mempertahankan tumbuhan indigenous (sejenis tumbuhan kecil di India), yang pada saat itu ingin dtebang dan akan diganti dengan pohon yang besar agar lebih bernilai ekonomis sebagai komoditas.  Marie Mies dan Vandana Shiva melalui ekofeminis sosialis transformatif mengajak kita untuk menyadari dan menerima ‘kealamian’ fisikalitas dan materialitas kita. Karena alam adalah barang yang akan habis, kita harus belajar untuk menghematnya dengan hidup sesederhana mungkin, dan mengkonsumsi sesedikit mungkin. Jika kita peduli terhadap kehidupan keturunan kita, kita harus mengembangkan apa yang disebut sebagai perspektif subsistensi (Tong, 2010: 395). Krisis Ekologi dan Gerakan Penyelamatan Terlepas dari banyaknya ragam, argumentasi dan aliran ekofeminis, secara umum semua ekofeminis yakin bahwa manusia saling berhubungan satu sama lain, dan berhubungan juga dengan yang selain manusia, seperti alam. Namun sayangnya tidak setiap manusia menyadari keterhubungan itu, ada ego dan kepentingan diri yang lebih didahulukan, akibatnya manusia kerap melakukan kekerasan terhadap satu sama lainnya dan juga terhadap alam.  Akibatnya banyak terjadi tragedi kemanusiaan dan juga krisis ekologi.  Di berbagai belahan bumi dapat ditemukan agensi perempuan dalam memulihkan krisis ekologi dan mempertahankan sumber kehidupannya dari kerakusan kapital. Di India kita mengenal gerakan Chipko, sebuah gerakan yang lahir dari aksi penyelamatan pohon-pohon keramat yang hendak ditebang dengan cara memeluknya. Dalam sejarahnya, gerakan Chipko mencatatkan sebagai gerakan penyelamatan lingkungan hidup pertama di dunia dan yang terpenting gerakan tersebut dimotori oleh kaum perempuan. Gerakan Chipko menjadi ikonik karena disitulah pemahaman ekologi dan keberanian perempuan mempertahankan sesuatu yang amat dikeramatkan, yakni pohon khejri sebagai simbolisasi penting dari etika kerahiman. Krisis ekologi yang terjadi sekarang ini dapat direduksi jika kita mau melihat kembali peran perempuan dan memaksimalkannya. Ponokohan Dewi Sri atau Dewi Padi sebagai simbol perempuan yang membawa kemakmuran dapat dimaknai bahwa dari tangan-tangan perempuan kelestarian alam terjaga. Seorang tokoh feminis dari Indonesia, Gadis Arivia dalam artikel Ekofeminisme: “Lingkungan Hidup Berurusan dengan Perempuan” mengungkapkan bahwa perempuan dan alam memiliki kesamaan simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia yang bercirikan maskulin. Pembicaraan ekofeminisme tidak lepas dari adanya ketidakadilan di masyarakat yang diterima oleh perempuan. Ketidakadilan yang diterima oleh perempuan pertama-tama berangkat dari pengertian ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia atas non-manusia (alam) oleh karena perempuan dikaitkan dengan alam, secara konseptual, linguistik, maupun simbolik sesungguhnya terdapat keterkaitan antara isu feminisme dengan isu ekologis. Terjadinya pemanasan global akibat efek gas rumah kaca, bencana banjir akibat hutan gundul, dan polusi udara akibat asap pabrik atau kendaraan bermotor lebih banyak dilakukan oleh laki-laki atau manusia yang cenderung mengabaikan sisi feminitasnya yang penuh welas kasih. Begitu pula dalam ruang publik, seperti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali menomorduakan kepentingan perempuan atau kepentingan keseimbangan hidup. Kepentingan yang kerap didahulukan adalah kepentingan ekonomi tanpa mengindahkan aspek lingkungan.  Upaya penyelamatan lingkungan tersebut menurut ekofeminis adalah dengan cara menggalakkan kembali sifat-sifat perempuan. Ekofeminisme tidak hanya berkutat pada aksi penanaman pohon semata, tapi juga cerminan dari segala kegiatan perawatan lingkungan, anak, suami, kepedulian terhadap tetangga dan sebagainya. Gerakan ekofeminisme menjadi salah satu jalan penyelamatan krisis ekologi yang juga memiliki legitimasi teologis. Dalam berbagai agama kita diajarkan untuk saling berbuat baik. Dalam kristiani ajaran cinta kasih, Budha dengan kasih sayang dan terlebih dalam Islam dikenal dengan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan setiap manusia adalah khalifah di muka bumi ini, yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga alam dan keseimbangannya.  Menurut Evy Lestari, Ketua PW Sarbumusi Jawa Tengah, dalam artikelnya yang berjudul “Ekofeminisme dan Krisis Ekologi”, ekofeminis memiliki semangat untuk mempertimbangan ide-ide dan semangat kaum hawa berupa kecintaan (penjagaan) alam dalam pengambilan kebijakan dan langkah yang berkaitan dengan orang banyak. Karena dalam semangat patriarkal, kebijakan publik yang kebanyakan dibuat oleh kaum adam, acap kali lepas dari pertimbangan diri yang sensitif ekologi. Revolusi hijau misalnya, adalah bukti bagaimana kerusakan ekologis disebabkan oleh sistem sosial ekonomi yang memarginalkan perempuan. Menurut seorang ekofeminis, Vandana Shiva, revolusi hijau merupakan manisfestasi pengetahuan reduksionisme yang berprinsip pada maskulinitas, karena menuju ke monokultur, uniformitas dan homogenitas. Bentuk pertanian yang homogen, mengabaikan pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman hayati. Sedangkan reduksionisme mencabut kemampuan alam dan potensi kaum perempuan untuk bereproduksi dan beregenerasi serta menggantinya dengan teknologi.  Kesimpulan Cikal bakal atau asal muasal munculnya Ekosentrisme adalah bentuk penggabungan antara ekologi (ilmu lingkungan) dengan filsafat, Ekofeminisme merupakan produk penggabungan antara feminisme dengan ekologi. Kedua pandangan ini memungkinkan untuk disatukan sebab memiliki visi sama dalam melihat masyarakatt dan lignkungan yang sama-sama sedang mengalami krisis. Baik feminisme maupun ekologi memiliki satu visi, yakni hendak membangun pandangan dunia dan praktiknya yang tidak berdasarkan pada model dominasi. Jika ekologi memperlakukan baik makhluk hidup maupun makhluk yang tidak hidup sama atau sedrajat, sama halnya dengan itu, feminisme pun memperjuangkan relasi sosial atau hubungan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Baik laki-laki atau perempuan tidak ada yang berposisi dominan maupun subordinan. Gerakan ekofeminisme membangun sebuah teori dan praktik yang memberi perhatian kepada manusia dan alam lingkungan dan tidak bias laki-laki. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial, kesetaraan gender dan lingkungan hidup, semuanya saling terhubung.