JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
83
Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak pada DVB-T2 Berdasar
Uji Penerimaan Siaran
Budi Setiyanto1, Risanuri Hidayat2, I Wayan Mustika3, Sunarno4
Abstract— In many countries, migration from analog to digital
in television (TV) broadcasting technology is being in progress.
Indonesia has adopted DVB-T2 (Digital Video BroadcastingTerrestrial Second Generation) as the standard of free-to-air
digital TV (DTV) broadcasting system. Frequency selective
fading due to multipath propagation affects the reception of this
terrestrial radio communication system. This paper presents
those effects on reception of DVB-T2 signal from the Yogyakarta
transmitting stations. The presence of these effects were
identified experimentally, based on several received-signal
describing quantities obtained from some field-observations on
indoor/outdoor stationary/mobile receptions. Examples of these
quantities are spectrum flatness measurement (SFM), signal
quality (SQ) versus signal intensity (SI), power level (P) versus
carrier-to-noise ratio (CNR), CNR versus modulation error ratio
(MER), local variation of reception-success, and received data
packet. Several numerical examples are: (1) SFM achieved as
high as about 0.7 and 0.9 for indoor and outdoor, respectively,
and (2) spatial-probability of reception-success at an indoor
receiver location varied from 40,06 % to 81,85 %,
approximately.
Intisari— Di beberapa negara, migrasi dari analog ke digital
dalam teknologi penyiaran TV sedang berlangsung. Indonesia
telah mengadopsi DVB-T2 sebagai standar untuk penyiaran
DTV teresterial tak-berbayar. Pudaran selektif frekuensi sebagai
akibat propagasi lintasan-jamak memengaruhi penerimaan
sistem komunikasi nirkabel teresterial ini. Makalah ini menyajikan pengaruh tersebut pada penerimaan isyarat DVB-T2 dari
stasiun pancar Yogyakarta. Kehadiran pengaruh ini diidentifikasi secara eksperimental, berdasar sejumlah besaran pendeskripsi isyarat-terima yang diperoleh dari pengamatan-lapangan
pada penerimaan stasioner dan bergerak, di dalam dan luar
ruang. Contoh besaran-besaran tersebut adalah SFM, nisbah
SQ/SI, nisbah P/CNR, nisbah MER/CNR, keberhasilan penerimaan di lokasi penerima, dan jumlah paket data yang diterima.
Contoh sebagian hasil numeris adalah: (1) SFM mencapai
sekitar 0,7 dan 0,9, berturut-turut untuk dalam dan luar ruang,
(2) peluang keberhasilan penerimaan di suatu lokasi penerima
dalam ruang bervariasi dari sekitar 40,06 % hingga 81,85 %.
Kata Kunci— DVB-T2, lintasan-jamak, SFM, CNR, MER.
1
Mahasiswa S3 Ilmu Teknik Elektro, Departemen Teknik Elektro
dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, Jln. Grafika No. 2, Kampus UGM, Yogyakarta, 55281 (telp:
0274-552305; e-mail: budi_setiyanto@ugm.ac.id)
2, 3,
Dosen, Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No. 2,
Kampus UGM, Yogyakarta, 55281 (telp: 0274-552305; e-mail:
email:risanuri@ugm.ac.id)
4
Dosen, Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jln. Grafika No. 2, Kampus
UGM, Yogyakarta, 55281 (telp: 0274-580882)
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
I. PENDAHULUAN
Standar televisi digital (DTV) yang saat ini tersedia diantaranya adalah ATSC (Advanced Television Systems Committee),
ISDB (Integrated Service Digital Broadcasting), DVB (Digital
Video Broadcasting), dan DMB (Digital Multimedia Broadcasting). Modulasi pada ATSC adalah 8-pita-sisi-sisa (8vestigial-sideband, 8-VSB), dan penjamakan pembagian frekuensi ortogonal (orthogonal frequency division multiplexing,
OFDM) pada standar lainnya [1]. Untuk siaran teresterial,
DVB telah berkembang dari generasi pertama (DVB-T) menjadi generasi kedua (DVB-T2), dengan berbagai ragam (mode)
pemancaran [2]. Indonesia mengadopsi DVB-T2 untuk penyiaran digital teresterial tak-berbayar [3], dan payung hukum
(undang-undang) untuk operasionalnya sedang dalam penyempurnaan.
Kualitas penerimaan dipengaruhi oleh gangguan aditif dan
multiplikatif. Dalam komunikasi nirkabel teresterial, lintasanjamak merupakan penyebab signifikan gangguan multiplikatif.
Nilai besaran-besaran pendeskripsi kualitas (kondisi) isyarat
pada umumnya dapat diperoleh menggunakan instrumen ukur/
uji atau bahkan peralatan konsumer tertentu. Beberapa
pengukuran-lapangan telah dilakukan di sejumlah kota (negara), misalnya di Bogota (Kolombia) [4], Bilbao (Spanyol) [5],
dan Hamburg (Jerman) [6]. Dari ketiga uji-lapangan tersebut,
diperoleh gambaran tentang distribusi peluang kuat medan
elektris di titik terima [4], rujukan parameter pancar untuk
penerimaan dalam-ruang (indoor) [5], dan bergerak luar-ruang
(outdoor) [6]. Aspek lintasan-jamak memang tidak menjadi
perhatian penelitian-penelitian tersebut. Di sisi lain, kajian atas
aspek ini akan bermanfaat untuk prencanaan upaya di sisi terima dalam rangka perbaikan penerimaan. Oleh karena itu, makalah ini akan menyajikan kajian pengaruh lintasan-jamak
pada DVB-T2 berdasar terutama pada observasi-lapangan atas
penerimaan siaran stasiun pancar Yogyakarta. Karena pemancaran tersebut pada dasarnya masih dalam fase uji-coba, maka
maksud utama kajian bukanlah untuk mengevaluasi unjukkerja pancaran atau layanan, melainkan untuk mengidentifikasi
pengaruh lintasan-jamak berdasar gejala implisit yang termanifestasi di penerima. Pemanfaatan hasil uji-lapangan untuk
identifikasi inilah yang merupakan kebaruan utama kajian
dalam makalah ini. Manfaat lebih lanjut atas hasil kajian ini
adalah untuk memformulasikan upaya-upaya di sisi terima
dalam rangka memperbaiki penerimaan.
II. DVB-T2 DAN LINTASAN-JAMAK
A. Penyiaran Analog dan Digital
Perbedaan penyiaran antara analog dengan digital DVB-T2
dapat diilustrasikan antara lain pada Gbr. 1. Satu kanal frekuensi dengan pita selebar 8 MHz yang pada sistem analog
ISSN 2301 - 4156
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
84
hanya dapat menampung satu program, pada DVB-T2 dapat
menampung beberapa, hingga 12, program. Inilah keuntungan
utama yang diperoleh. Sistem analog menggunakan modulasi
amplitude (amplitude modulation, AM) VSB untuk gambar
dan modulasi frekuensi (frequency modulation, FM) untuk
suara, sedangkan DVB-T2 memakai modulasi OFDM untuk
gambar maupun suaranya.
B. Penjamakan Program
Secara garis besar [2], pengemasan beberapa program ke
dalam satu kanal frekuensi diperlihatkan pada Gbr. 2. Setelah
adaptasi ragam dan aliran di tingkat Pengolah Masukan,
runtun bit dari satu atau beberapa program dikemas dalam sebuah Bingkai Pita-Dasar (Baseband Frame, BBfrm), atau
bahkan direplikasi untuk dikemas ke BBfrm lainnya pula. Setiap BBfrm dituang ke suatu wadah yang disebut Pipa Lapis
Fisis (Physical Layer Pipe, PLP). Terhadap setiap PLP itu dilakukan rangkaian proses penyandian (coding) kendali galat,
penyelingan (interleaving), dan pengkonstelasian modulasi,
yakni dalam tahapan proses BICM (Block Interleaving and
Coding Modulation). Pesat penyandian (coding rate, CR), kedalaman penyelingan (interleaving depth), dan orde modulasi
maupun jenis konstelasi suatu PLP dapat berbeda dengan PLP
lainnya. Penyandian kanal menerapkan BCH (BoseChaudhuri-Hocquenghem) dan LDPC (Low Density Parity
Check). Suatu program dapat tersedia di lebih dari satu PLP.
Yang diperlihatkan pada gambar ini adalah sistem PLP jamak,
sedangkan sistem PLP tunggal tidak ditunjukkan.
Gbr. 2 Pengemasan beberapa program dalam satu kanal DVB-T2.
D. Penerima DVB-T2
1) Bagian-bagian Penerima DVB-T2: Sesuai model [7],
penerima DVB-T2 secara garis besar dapat disajikan dalam
diagram kotak Gbr. 3, yakni terdapat seksi penurun frekuensi
dari jenjang frekuensi radio (radio frequency, RF) ke BB termasuk
pengubah
analog-ke-digital
(analog-to-digital
converter, ADC), demodulator DVB-T2 dari blok alihragam
Fourier cepat (fast Fourier ransform, FFT) hingga pengestimasi kanal, seksi ekstraksi bingkai untuk memilih PLP yang
diinginkan, seksi pengolah PLP dari pengawa-peta/pengawaseling hingga pengawa-sandi BCH, seksi ekstraksi program
untuk memilih program yang diinginkan, dan pengawa-sandi
MPEG (Moving Picture Expert Group) untuk memulihkan
audio/video program terpilih.
Gbr. 1 Penyiaran TV: analog v.s. digital.
C. Spesifikasi DVB-T2
Pada DVB-T2, penyandian kanal dilakukan secara berjenjang, yakni sandi BCH dilanjutkan LDPC, berturut-turut sebagai penyandi luar (outer) dan dalam (inner) dengan pilihan
CR dari terendah sebesar 1/3 hingga tertinggi sebesar 5/6, pemetaan konstelasi dari penguncian penggeseran fase biner
(binary phase-shift keying, BPSK) dengan satu bit per simbol
hingga modulasi amplitude kuadratur (quadrature amplitude
modulation, QAM) orde tinggi, yakni 256-QAM dengan delapan bit per simbol, cacah titik FFT (N) dari 1.024 (ragam 1K)
hingga 32.768 (ragam 32K), jeda pengaman dari 1/128 hingga
1/32 durasi simbol, dan pola pilot disediakan dalam delapan
pilihan. Fitur lain yang juga tersedia diantaranya adalah pemancaran dengan antena-jamak membentuk sistem masukanjamak keluaran-tunggal (multiple input single output, MISO),
T2-Lite, dan sayatan waktu-frekuensi (time-frequency slicing,
TFS) [2].
ISSN 2301 – 4156
Gbr. 3 Bagian-bagian penerima DVB-T2.
2) Kualitas Gambar: Kejernihan gambar (picture) keluaran
hasil penyiaran analog dapat berangsur dari jernih hingga bersalju atau bahkan berhantu sepadan dengan kualitas isyaratnya.
Penyiaran digital menghasilkan gambar yang selalu sangat
jernih, sepanjang kualitas isyaratnya di atas ambang. Perbedaan gambar kedua sistem ini diperlihatkan pada Gbr. 4.
3) Penerima Konsumer: Saat ini, untuk jenis konsumer, di
pasaran telah tersedia TV digital. Meskipun demikian, jika penerimaan akan dilakukan dengan tetap memanfaatkan TV
analog yang terlanjur ada, diperlukan perangkat tambahan berupa STB (set-top box). Kedua cara penerimaan ini diperlihatkan pada Gbr. 5, dan kedua-duanya digunakan dalam penelitian ini. Disamping menayangkan gambar, STB yang dipakai
juga menyediakan fasilitas pemantauan kuat (intensitas) isyarat (SI) dan kualitas isyarat (SQ), semuanya secara relatif
dalam skala 0 – 90 %, seperti diperlihatkan pada Gbr. 6.
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
85
Informasi lebih lengkap disediakan oleh penerima DTV, antara lain meliputi SI dan SQ dalam rentang 0 – 100 %, CNR,
BER, dan lain-lain, seperti diperlihatkan pada Gbr. 7. Disamping besaran-besaran pendeskripsi kualitas isyarat seperti itu,
beberapa parameter pancar juga ditampilkan, misalnya frekuensi tengah, ragam (cacah titik FFT), GI, konstelasi, dan lainlain.
Analog
Digital
Gbr. 4 Contoh gambar sistem analog dan digital.
duanya dengan besaran yang lebih teknis didefinisikan secara
eksplisit, yakni SI terkait daya RF, sedangkan SQ terkait CNR
dan BER pasca-LDPC [8], [9]. Sayangnya, hingga saat penulisan makalah ini, formula seperti itu untuk pesawat penerima
dalam penelitian ini belum ditemukan di publikasi yang tersedia. Namun, setidaknya telah diperoleh gambaran bahwa jika
SI merupakan syarat perlu, maka SQ lebih mendekati syarat
cukup.
4) Penerima Uji: Penerima uji khusus (test receiver) bersifat lebih profesional karena memang dimaksudkan untuk
pengukuran/pengujian, sehingga memiliki kemampuan yang
luas. Besaran yang dapat ditampilkan hasil ukurnya jauh lebih
lengkap daripada jenis konsumer, disamping juga sekaligus
dapat berfungsi sebagai penganalisis spektrum TV yang
sedang diamati. Fotograf instrumen seperti ini yang dipakai
Putra [10] dan contoh sebagian tampilannya diperlihatkan
pada Gbr. 8.
Gbr. 5 Penerimaan memakai STB atau TV digital.
Gbr. 8 Fotograf suatu penerima uji khusus dan contoh tampilan pada layarnya
[10].
E. Lintasan-Jamak
Fenomena lintasan-jamak diilustrasikan pada Gbr. 9. Isyarat kompleks s(t) yang berangkat dari pemancar tiba di penerima sebagai
r (t ) =
Gbr. 6 Tampilan informasi STB untuk penelitian ini.
L −1
L −1
jθ
∑ rl (t ) = ∑ ρ l e l s t − τ l
l=0
l=0
(
)
(1)
dengan ρl, θl, dan τl berturut-turut menyatakan nilai relatif
magnitude, geser fase, dan tunda waktu lintasan ke-l terhadap
lintasan ke-0. Sebagai acuan, dianggap θ0 = 0, τ0 = 0, danτn ≥
τm untuk n > m. Jika persaatan (timing) deteksi simbol mengacu pada r0(t), maka komponen-komponen rl(t), l > 0, mengakibatkan interferens antar simbol (inter-symbol interference,
ISI). Adanya lintasan dengan daya dominan (r0(t)) dapat ditinjau dari faktor Rician (K) yang didefinisikan sebagai
Gbr. 7 Tampilan informasi penerima DTV untuk penelitian ini.
Lebih dari itu, STB tersebut juga menyediakan fasilitas perekaman berkas (file) aliran angkut (transport-stream, TS)
audio/video dalam format *.ts. Berkas tersebut berisi deretan
paket 188 byte, yang dapat dimain-ulangkan (played-back)
memakai aplikasi yang sesuai, misalnya Windows Media
Player. Paket yang tanpa cacat jika dimain-ulangkan menghasilkan tayangan selama durasi kumulatif paketnya. Jika terdapat paket yang galat, durasi main-ulang menjadi lebih singkat,
karena paket-paket yang galat tersebut dibuang.
SI dan SQ merupakan besaran kurang teknis karena sekadar
indikator bagi khalayak awam untuk keperluan pengarahan
antena saat pencarian kanal (penalaan). Untuk negara-negara
di kawasan Nordic, formula matematis yang mengaitkan ke-
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
K=ρ 2
0
L −1
∑
(2)
ρ 2
l
l =1
dengan nilai semakin besar menggambarkan adanya komponen
yang semakin dominan. Lazimnya, komponen dominan adalah
komponen garis-pandang (line-of-sight, LOS).
Tanggapan frekuensi media menjadi
H(f ) =
L −1
∑
l=0
ρe
(
j θ + 2πfτ
l
l
)
(3)
l
yang pada komponen diskret frekuensi diilustrasikan pada Gbr.
10. Tampak adanya pudaran selektif frekuensi, yakni tidak
sama untuk semua frekuensi, berlawanan dengan kanal ideal
yang tanggapan magnitudenya datar. Keparahan pudaran
dapat ditinjau dari kerataan (flatness) spektrum, yakni bahwa
ISSN 2301 - 4156
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
86
semakin tak-rata, semakin parahlah pudaran itu. Besaran numeris yang lazim mewakili kerataan ini adalah ukuran kerataan
spektrum (SFM) [11], [12] yang didefinisikan sebagai nisbah
antara rerata geometris terhadap rerata aritmatis diagram magnitude daya tanggapan frekuensi (|H(f)|2), yang jika dievaluasi
di N titik frekuensi memberikan
( )
N
SFM = ∏ H f
n
n =1
2
N
( )
N
2
1
H f
N ∑
n
n =1
(4)
yang bernilai 0 untuk kasus paling parah hingga 1 untuk kasus
ideal rata.
dan dioperasikan hanya pada kegiatan nomor 1 di Tabel II.
Kamera video digunakan untuk merekam tampilan nilai-nilai
besaran. Dalam hal nilai-nilai tersebut berubah terhadap waktu.
Nilai berubah seperti itu selalu terjadi pada penerimaan bergerak, dan kadang-kadang pada penerima stasioner pula.
TABEL I
RINCIAN KEGIATAN KOLEKSI DATA LAPANGAN
No.
1.
2.
3.
4.
Gbr. 9 Ilustrasi lintasan-jamak.
5.
Jenis Kegiatan
Observasi spektrum frekuensi, isyarat, dan gambar pada
penerima stasioner memakai penerima DTV Gbr. 7 dengan
antena Yagi dipasang tetap di atas atap rumah (rooftop)
a.
pada berbagai waktu
antena eka-kutub (monopole) vertikal dalam-ruang
b. (indoor) dapat digeser-geser sedikit dekat pesawat
penerima
Penerimaan tetap luar-ruang luar kota/luar DIY memakai
penerima uji khusus Gbr. 8 dengan antena Yagi [10].
Penerimaan tetap dalam-ruang memakai STB Gbr. 6 dengan
antena dwi-kutub (dipole) dapat digeser-geser sedikit ke
berbagai koordinat (sampel-ruang)
Penerimaan bergerak luar-ruang memakai STB Gbr. 6
dengan antena dwi-kutub (dipole) dilengkapi booster
terpasang tetap di atas atap mobil
Penerimaan bergerak luar-ruang memakai penerima DTV
Gbr. 7 dengan antena dwi-kutub (dipole) dilengkapi booster
terpasang tetap di atas atap mobil
Gbr. 10 Tanggapan frekuensi media.
III. METODE
A. Simulasi Komputer
Simulasi komputer dilakukan hanya untuk memperoleh
ilustrasi kaitan antara lintasan-jamak dengan spektrum dan
galat bit. Kanal radio menggunakan model enam lintasan
untuk DVB-T menurut ETSI [13], yakni seperti dirinci pada
Tabel I.
Gbr. 11 Diagram pengamatan penerimaan stasioner.
TABEL I
MODEL KANAL ENAM LINTASAN ETSI [13]
Lintasan ke-l
0
1
2
3
4
5
*)
ρl
ρ0*)
0,23174
0,0881
0,15849
0,08511
0,08222
τ l (µs)
θl (radian)
0
0,4375
0,65625
1,96875
2,84375
3,28125
0
0,64577
2,54818
-0,27925
-2,05949
3,01942
Nilai ρ0 tergantung faktor Rician (K) yang dipilih.
B. Observasi Lapangan
Koleksi data lapangan merupakan bagian terbesar kegiatan
penelitian ini, dilakukan pada penerima stasioner/bergerak
dalam/luar-ruang. Rincian kegiatan dirinci pada Tabel II, serta
diagram pengamatannya pada Gbr. 11 dan Gbr. 12, berturutturut untuk penerimaan stasioner dan bergerak. Pada penerimaan stasioner Gbr. 11, penerima yang dipakai dapat berupa
STB (Gbr. 6), DTV (Gbr. 7), atau penerima uji (Gbr. 8) sesuai
rincian Tabel II. Penganalisis spektrum dirancang khusus
untuk penelitian ini, yakni memanfaatkan dongle DVB-T2,
ISSN 2301 – 4156
Gbr. 12 Diagram-diagram pengamatan penerimaan bergerak.
Penerimaan bergerak juga dilengkapi penerima GPS untuk
perekaman rute, serta sistem catu daya yang bersumber dari
aki mobil. Beberapa kekangan teknis yang dijumpai dalam pe-
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
nerimaan bergerak adalah menyangkut pengemasan sejumlah
peralatan ke dalam struktur yang harus ringkas, kokoh, dan ergonomis dalam keterbatasan ruang kabin mobil, sembari tetap
harus memperhatikan masalah pembuangan panas (heat sink)
peralatan-peralatan itu. Keterbatasan sumber tenaga listrik
juga harus diperhatikan. Mempertahankan mobil pada laju
rendah menguntungkan karena memperpanjang durasi koleksi
(memperbanyak sampel) data, namun berisiko pada panas
mesin mobil dan pengisian aki. Laju yang cukup kompromis
adalah sekitar 25 km/jam.
Alur pengolahan data diperlihatkan pada Gbr. 13. Singkatnya, semua rekaman dikonversi ke sejumlah berkas gambar
dan tabel, barulah dilakukan analisis.
87
berbeda, dengan fungsi distribusi kumulatif (cumulative distribution function, CDF) probabilitasnya diperlihatkan pada Gbr.
18. Kaitan SFM dengan BER polos disajikan pada Gbr. 19.
Dari tabel dan semua gambar tersebut, terlihat bahwa pemakaian antena dalam memberikan hasil lebih buruk, antara-lain
sebagai akibat parahnya lintasan-jamak yang menimpa.
Gbr. 14 Tanggapan frekuensi kanal pada beberapa nilai K [14].
Gbr. 13 Alur pengolahan data.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Spektrum
1) Simulasi Komputer: Tanggapan frekuensi dan SFM
untuk berbagai K diperlihatkan pada Gbr. 14 dan Gbr. 15.
Untuk berbagai orde QAM pada ragam (mode) 32K, kaitan
antara SFM dengan peluang galat bit (bit error probability,
BEP) diperlihatkan pada Gbr. 16. Jelas bahwa semakin kecil
faktor Rician, SFM semakin kecil, dan semakin kecil SFM,
BEP cenderung membesar, yang berarti memburuk.
2) Observasi Lapangan: Rerata waktu komponen magnitude spektrum frekuensi isyarat DVB-T2 terpancar pada pita-lewatannya adalah datar, sehingga demikian pula seharusnya
isyarat terima. Diagram pengamatan diperlihatkan pada Gbr.
11, memakai penerima DTV seperti dideskripsikan pada Gbr.
7, dengan antena terarah dipasang tetap di atas atap rumah
(rooftop) pada berbagai waktu, maupun antena segala-arah
(omnidirectional) dekat pesawat penerima di dalam-ruang
pada berbagai arah/letak antena. Perhitungan dilakukan
dengan pererataan-waktu 100 sampel spektrum. Dari setiap
sampel diambil 3.979 rentang tengah diantara 4.096 titik frekuensi pada pita-lolos (passband, PB). Siaran yang diamati
adalah kanal 41 UHF (630 – 638 MHz).
Hasil pengamatan dirinci pada Tabel III. Contoh tampilan
spektrum diperlihatkan pada Gbr. 17 yang merupakan rerata
atas 100 sampel spektrum, dan SFM dihitung berdasar gambar
itu. Pada gambar itu diperlihatkan kasus SFM terburuk
(0,7422) dan terbaik (0,9769), berturut-turut untuk antena
dalam dan luar. Nilai SFM sampel satu dengan lainnya dapat
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
Gbr. 15 Pengaruh K terhadap SFM pada berbagai cacah lintasan [14].
B. Penerimaan Tetap Luar-Ruang di Berbagai Lokasi
Ketinggian antena pancar (hTX) dari muka tanah adalah 125
m untuk kanal UHF nomor 27 dan 29, serta 100 m untuk
nomor 41 dan 47, semuanya terletak di bukit Patuk, Gunung
Kidul, DIY, pada koordinat 110031’38” BT, 07050’11” LS,
452 m di atas permukaan laut (MDPL), menggunakan penerima uji Gbr. 8. Parameter pancaran diantaranya dirinci pada
Tabel IV.
Dengan frekuensi tengah (fC) yang lebih rendah, rugi propagasi akan lebih kecil pula, namun membutuhkan clearance
yang lebih besar, sehingga antenanya perlu lebih tinggi.
Dengan M-QAM orde tinggi (M = 256) pada kanal 29, kapasitas kanal menjadi naik pula, sehingga akan semakin banyak
program yang ditampung, namun kekebalan terhadap derau
menurun. Penurunan kekebalan ini diimbangi dengan CR
yang rendah (2/3). Penggunaan GI rendah (1/128) juga meningkatkan kapasitas, namun menurunkan ketegarannya terhadap lintasan-jamak. Pemilihan mode tinggi (32K) meningkatkan ketegaran terhadap lintasan-jamak, namun peka pergeseran frekuensi Doppler, sehingga kurang cocok untuk penerimaan bergerak.
Penerimaan tetap (fix) luar ruang dengan antena terarah
yang terletak setinggi 5 meter di atas permukaan dilakukan di
lima lokasi seperti dirinci di Tabel V, yaitu Patuk (Gunung
Kidul) tepat di bawah menara pancar, Cawas (Klaten), Delanggu (Klaten), Sanden (Bantul), dan Bagelen (Purworejo).
ISSN 2301 - 4156
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
88
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
0,967687
0,965987
0,964676
0,964609
0,958691
0,912494
0,872791
0,859272
0,815034
0,800639
0,744199
− 7,11872
− 7,16655
− 7,21917
− 7,22883
− 7,33776
− 25,1473
− 13,7744
− 24,5338
− 22,9398
− 22,8499
− 24,2918
CNR
BER Polos
(PraLDPC)
(× 0,01)
25
25
22
23
25
17
22
14
17
14
17
1,63
1,71
1,8
2,04
1,62
7,27
2,38
8,39
6,58
9,13
6,47
Rooftop
No.
Spektrum (Rerata 100 Sampel
3.979 Rentang Tengah 4.098 Titik
Frekuensi)
SFM
Aras Relatif (dB)
Antena
TABEL II
KAITAN SPEKTRUM DENGAN BESARAN LAIN
Indoor
Pemilihan lokasi ini merujuk peraturan menteri No. 23/PER/
M.KOMINFO/11/2011. Disamping jaraknya paling jauh, Bagelen dan Sanden sama-sama tidak memperoleh lintasan garis
pandang (line-of-sight, LOS) karena terhalang gundukan bukit.
Letak ketiga titik yang berhasil menerima (Patuk, Cawas, dan
Delanggu) diperlihatkan pada Gbr. 20.
(a)
(b)
Gbr. 17 Contoh spektrum kanal 41 [14].
(c)
Gbr. 18 Contoh CDF untuk dua SFM [14].
(d)
Gbr. 16 Kaitan SFM dengan BEP pada berbagai orde QAM [14]: (a) 256, (b)
64, (c) 16, (d) 4.
ISSN 2301 – 4156
Hasil untuk ketiga lokasi pertama diantaranya dirinci di
Tabel VI, yakni diantaranya meliputi aras daya, CNR, MER,
dan BER polos (pra-awa-sandi LDPC), pasca-awa-sandi
LDPC, dan pasca-awa-sandi BCH. Pengukuran di ketiga lokasi tersebut dilaksanakan pada waktu yang berbeda, mengingat
jauhnya jarak darat antar ketiganya. Pada waktu yang berbeda
seperti itu, daya pancar setiap kanal TV dimungkinkan berbeda, mengingat siarannya masih dalam tahap uji-coba. Tanggapan kanal (media) juga berbeda akibat perbedaan lokasi dan
waktu. Nilai-nilai absolut menjadi kurang sesuai jika diguna-
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
89
kan untuk membandingkan kualitas media (kanal radio) antar
ketiga lokasi itu.
mengindikasikan bahwa tidak banyak simbol yang galat menjadi lebih dekat ke simbol nirderau yang keliru. Galat ke
simbol yang keliru terjadi apabila simbol tersebut sedang tertimpa pudaran dalam (deep fading). Pada OFDM, setiap
simbol dibawa oleh frekuensi sub-pembawa tertentu, sehingga
pudaran seperti itu tidak lain adalah pudaran selektif frekuensi.
Perbandingan (komparasi) kedua nisbah tersebut diperlihatkan
berturut-turut pada Gbr. 21 dan Gbr. 22.
TABEL IV
LOKASI PENERIMA LUAR RUANG DAN KEBERHASILANNYA [10]
Lokasi Penerima
Koordinat
Nama
BT
LS
MDPL
(1100+) (070+)
(m)
Patuk
31’38” 50’11”
452
Cawas
41’52” 45’31”
275
Delanggu 42’13” 36’21”
300
Sanden
15’52” 58’13”
10
Bagelen
01’19” 49’27”
25
Gbr. 19 Kaitan SFM dengan BER polos (pra-LDPC).
Jarak
Udara
(km)
LOS
Gambar
∼ 0,1
20,66
32,17
32,54
55,67
Ya
Ya
Ya
-
Ada
Ada
Ada
-
TABEL V
HASIL PENERIMAAN TETAP LUAR RUANG DI LIMA LOKASI [10]
Kanal
Gbr. 20 Denah tiga titik yang berhasil menangkap.
Besaran yang lebih representatif untuk pembandingan seperti itu adalah nilai relatif, diantaranya nisbah daya (P) terhadap CNR (P/CNR) maupun CNR terhadap MER (CNR/MER),
dengan semakin rendah nilai keduanya, semakin baiklah isyarat tersebut, karena CNR dan MER mendeskripsikan sebaran
letak simbol-simbol terima. Instrumen ukur tidak dapat membedakan jenis pengganggu antara derau termal dengan interferens, sehingga semua diperlakukan sebagai derau.
Pada suhu dan kondisi lingkungan yang tetap (sama), daya
derau termal juga tetap (sama). Berarti, perbedaan daya derau
lebih disebabkan oleh perbedaan interferens. Interferens yang
berpengaruh dalam pengukuran adalah yang berada dalam
rentang frekuensi yang sama, yaitu ICI dan ISI. Dengan demikian, nisbah P/CNR sebenarnya juga mengindikasikan tingkat
keparahan interferens yang termuat, yang semakin kecil nilai
nisbah ini, semakin kecil pula komponen interferensnya.
27
29
41
TABEL III
PARAMETER PEMANCAR [10]
No.
Knl.
fC
(MHz)
GI
Parameter Pemancaran
CR Mode M-QAM
27
29
41
47
522
538
634
682
1/32
1/128
1/32
19/256
3/4
2/3
2/3
3/4
8K
32K
32K
8K
64
256
64
64
hTX
(m)
125
125
100
100
CNR tinggi hanya menyatakan bahwa simbol-simbol terima
memang berkerumun dekat dengan letak simbol-simbol nirderau, tanpa menghiraukan apakah yang terdekat itu memang
adalah simbol yang seharusnya, seperti yang dikirim. Yang
memperhitungkan apakah yang di dekatnya itu adalah benar
sesuai dengan yang dikirim adalah MER. Nilai tinggi pada
MER tidak hanya menyatakan bahwa simbol-simbol terima
berkerumun dekat letak simbol-simbol nirderau, namun juga
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
47
Besaran
yang Diukur
Daya (dBµV)
CNR (dB)
MER (dB)
BER Polos
BER LDPC
BER BCH
Daya (dBµV)
CNR (dB)
MER (dB)
BER Polos
BER LDPC
BER BCH
Daya (dBµV)
CNR (dB)
MER (dB)
BER Polos
BER LDPC
BER BCH
Daya (dBµV)
CNR (dB)
MER (dB)
BER Polos
BER LDPC
BER BCH
Jarak Udara ke Pemancar (km)
20,66
32,17
∼ 0,1
63,3
56,0
47,1
33,0
28,5
26,4
20,4
26,9
22,6
9,5E-3
8.1E-4
1,3E-3
1,1E-2
9,0E-4
2,9E-3
< 1,0E-8
1.0E-8
1,0E-8
80,4
69,3
61,2
43,4
38,7
37,3
33,5
34,0
32,2
< 1,0E-6
< 1,0E-6 < 1,0E-6
< 1,0E-6
< 1,0E-6 < 1,0E-6
< 1,0E-8
< 1,0E-8 < 1,0E-8
67,2
46,3
46,7
34,2
23,6
29,6
22,7
17,0
29,1
7,8E-3
5.0E-2
1,4E-3
8,8E-3
4.8E-2
1,8E-6
< 1,0E-8
< 1.0E-8 < 1,0E-8
59,1
49,2
48,0
30,2
29,0
30,3
19,0
23,4
27
5,2E-3
4.0E-3
1,3E-3
3,1E-3
4.8E-3
1,3E-3
< 1,0E-8
< 1.0E-8 < 1,0E-8
Nisbah P/CNR pada Gbr. 21 memperlihatkan konsistensi di
keempat kanal, yakni bahwa lokasi Patuk, di dekat menara
pancar, adalah yang terburuk (P/CNR tertinggi), sedangkan
yang terbaik adalah Delanggu. Nisbah CNR/MER pada Gbr.
22 tidak konsisten. Di kanal 27 dan 29 yang frekuensinya
tidak berbeda jauh, Patuk terburuk dan Cawas terbaik. Di
kanal 41 dan 47 yang frekuensinya berbeda cukup jauh, Delanggu selalu terbaik, namun yang terburuk bergantian antara
Cawas dan Patuk. Ketidak-konsistenan terhadap frekuensi seperti ini mengindikasikan adanya pudaran selektif frekuensi.
ISSN 2301 - 4156
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
90
isyarat tiba dari sedikit lintasan, dan sebaliknya. Untuk lebih
meyakinkan dugaan ini, diupayakan mengurangi cacah lintasan, yakni dengan cara memasukkan antena terima ke dalam
rongga berselubung logam yang diberi celah sempit di depan
antena itu. Selubung logam menghalangi gelombang radio,
sehingga gelombang dimungkinkan masuk hanya melalui
celah sempit itu. Hasil pengujian dicantumkan pada Tabel
VIII, yang memperlihatkan bahwa pengurangan lintasanjamak memang berhasil memberikan SQ tinggi meskipun SI
rendah, yakni peningkatan signifikan pada nisbah SQ/SI dari
1,3333 menjadi 4,0556.
Gbr. 21 Nisbah daya (P) terhadap CNR.
Gbr. 22 Nisbah CNR terhadapMER.
C. Kualitas Isyarat Terima
Variasi lokal diakibatkan oleh lintasan-jamak. Perbedaan
sedikit saja pada letak (beberapa sentimeter) atau arah (beberapa derajat) antena dapat berakibat perbedaan drastis hasil
penerimaan. Untuk mengkaji hal ini, dilakukan observasi stasioner dalam ruang menggunakan STB.
SQ lebih dipersyaratkan daripada SI. Dengan mengubah
sedikit saja arah atau letak antena, dapat diperlihatkan bahwa
SI yang sama dapat menghasilkan SQ yang berbeda, dan sebaliknya, seperti diperlihatkan pada Tabel VII. Karena SI hanya
menggambarkan kuantitas isyarat RF yang diterima, maka
nisbah tinggi SQ/SI menggambarkan bahwa kualitas tetap
tinggi walaupun kuantitasnya rendah.
D. Variasi Lokal Dalam-Ruang pada Penerimaan Stasioner
Antena dwikutub (dipole) setengah panjang-gelombang
(λ/2) diletakkan di dekat pesawat penerima, selayaknya antena
pada pesawat TV dalam-ruang. Arah antena dapat diputar horisontal (arah sudut azimuth φ) dalam rentang sudut dari 0
hingga 3600 dengan 100 tiap langkahnya sehingga terdapat 36
langkah, letaknya dapat digeser maju-mundur (arah x) dengan
20 cm per langkah sebanyak tiga langkah, kiri-kanan (arah y)
juga dengan 20 cm per langkah sebanyak tiga langkah, atau
naik-turun (arah z) dengan 10 cm per langkah sebanyak lima
langkah, sehingga setiap arah/posisi antena dinyatakan dengan
koordinat (x, y, z, φ). Selanjutnya, setiap satu arah/posisi koordinat disebut satu sampel ruang. Dengan cara seperti itu, di setiap lokasi penerima diperoleh 36 × 3 × 3 × 5 = 1.620 sampel
ruang. Di setiap sampel (arah/letak antena), diperiksa keberhasilan penerimaannya. Dilakukan pengamatan di dua lokasi,
yakni lokasi A dan B, dalam ruang yang sama untuk dua kanal,
yakni kanal 29 (538 MHz) dan kanal 47 (682 MHz), dengan
hasil dirinci pada Tabel IX atau Gbr. 23. Pesawat penerima
yang digunakan adalah STB.
TABEL VIII
PENERIMAAN STASIONER ANTENA-TUNGGAL DALAM-RUANG
Lokasi
TABEL VI
PERBEDAAN SI DAN SQ AKIBAT PERUBAHAN ARAH/LETAK ANTENA TERIMA
Arah/Letak
Antena
#1
#2
#3
#4
SI
(%)
SQ
(%)
Nisbah
SQ/SI
54
16
72
54
42
90
0,2222
1,3333
1,6667
2,1429
Makna
SI beda, SQ sama
SQ beda, SI sama
TABEL VII
PENGARUH PENGURANGAN CACAH LINTASAN-JAMAK
Letak Antena
Ruang terbuka
Ruang berselubung
logam dengan
celah sempit di
depan antena
SI
(%)
SQ
(%)
Nisbah
SQ/SI
54
72
1,3333
18
73
4,0556
Makna
Pengurangan cacah
lintasan-jamak
menghasilkan SQ
tinggi walaupun SI
rendah
Perbedaan SQ pada SI yang sama atau sebaliknya pada saat
yang hanya berbeda sedikit sebagai akibat perubahan arah/letak antena tentu adalah akibat lintasan-jamak, bukan derau.
SQ yang tinggi pada SI rendah dapat mengindikasikan bahwa
ISSN 2301 – 4156
A
B
Total
1620
Cacah Sampel Ruang
Berhasil Menerima
Kanal 29 (534 – 542
Kanal 47 (678 - 686
MHz)
MHz)
Relatif
Relatif
Absolut
Absolut
(%)
(%)
1326
1139
81,85 %
70,31 %
1224
649
75,56 %
40,06 %
Keberhasilan kanal 29 lebih baik daripada kanal 47, sejalan
dengan hasil penerimaan di tempat jauh pada seksi IV.B. Lokasi A yang dekat dengan jendela memang masuk akal jika
hasilnya lebih baik. Rincian 1.620 sampel, yang tidak disampaikan di sini, memperlihatkan bahwa arah/letak sampel yang
tidak berhasil tidaklah mengumpul, melainkan terdistribusi di
antara sampel-sampel yang berhasil. Ini mengindikasikan
bahwa ketidak-berhasilan di sampel-sampel itu adalah akibat
lintasan-jamak.
E. Penerimaan Bergerak Luar-Ruang Antena-Tunggal
1) Kawasan Uji: Untuk penerimaan bergerak, kawasan uji
adalah rute-rute di jalan-lingkar Yogyakarta dan wilayah yang
dilingkupinya, seperti diperlihatkan pada Gbr. 24. Lokasi menara pancar adalah di sebelah Tenggara kawasan ini. Digunakan antena dwikutub hampir horisontal yang dipasang menempel atau sedikit di atas atap mobil, dengan kuncup utama
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
pola radiasinya diarahkan sejajar gerak mobil, yang secara
fisis tampak dari lengan-lengan antenanya yang dibentangkan
tegak-lurus arah luncur mobil itu. Pesawat penerima diletakkan di dalam mobil. Gambar yang ditayangkan pesawat itu direkam memakai kamera video dan rute yang ditempuh direkam menggunakan penerima GPS. Hasil rekaman kamera video dan penerima GPS dicermati lebih lanjut di laboratorium.
Pengamatan dilakukan untuk kanal 47, karena itulah satu-satunya kanal yang sedang (masih) mengudara ketika koleksi data
ini dilakukan. Sebagian hasil ujinya disampaikan berikut ini.
91
Sebaliknya, kenyataan bahwa saat berhenti di titik pertama
gambarnya juga putus-putus mendukung dugaan bahwa kegagalan di penggal-penggal lainnya memang sebagai akibat lintasan-jamak.
Gbr. 25 Contoh peta penggalan suatu rute dan keberhasilan penerimaannya.
Gbr. 26 Petikan 50 detik kondisi gambar di perempatan JAKAL.
Gbr. 23 Keberhasilan penerimaan stasioner antena-tunggal dalam-ruang.
3) Paket Data: Menggunakan STB, dilakukan perekaman
data berformat *.ts, seperti telah dijelaskan pada seksi II.D.3),
karena kualitas isyarat terima dapat dikaji berdasar porsi paket
terima yang benar maupun jumlah paket terima per detik atau
kilometer.
TABEL IX
PETIKAN LIMA RUTE PEREKAMAN PAKET DATA
Gbr. 24 Kawasan uji di Barat-Daya menara pancar.
2) Visual Gambar: Hasil pengamatan memperlihatkan
bahwa keberhasilan penerimaan bergerak sangat rendah. Di
setiap rute, pada umumnya lebih banyak gagalnya daripada
berhasilnya. Di penggalan yang berhasil pun, pada umumnya
gambar tampil secara putus-putus. Contoh peta penggalan suatu rute dan keberhasilan penerimaanya diperlihatkan pada Gbr.
25, yakni rute di jalan-lingkar utara, dari perempatan Condong
Catur di ujung timur hingga sebelah barat jalan-layang
simpang Jombor. Ada tiga titik yang penerimaannya banyak
berhasil, meskipun dengan gambar putus-putus, yakni di perempatan JAKAL saat berhenti, perempatan MONJALI saat
pelan, dan di atas jalan-layang simpang Jombor saat mobil
melaju sekitar 25 km/jam. Fenomena putus-putus seperti ini
mengindikasikan adanya pudaran lintasan-jamak.
Petikan 50 detik yang merincikan detikan keberhasilan penerimaan di lokasi 1 (perempatan JAKAL) diperlihatkan pada
Gbr. 26. Tampak bahwa meskipun mobil sedang berhenti, penerimaan juga gagal (gambar OFF), misalnya pada detik ke 34
dan 35 yang diapit oleh penerimaan yang berhasil (gambar
ON). Meskipun penerima sedang berhenti, obyek sekitarannya
(kendaraan lain) ada yang bergerak, sehingga lintasan-jamaknya juga berubah.
Keberhasilan penerimaan di lokasi terakhir yang justru saat
mobil melaju cukup cepat menepis dugaan bahwa kegagalan
di penggal lain adalah akibat pergeseran frekuensi Doppler.
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...
Rute
Awal
Akhir
#1
#2
Janti
Tungkak
Kota
Baru
Pingit
Bugisan
Tegal Rejo
Bugisan
Orientasi
Dominan
Timur – Barat
Timur – Barat
Beteng Wetan
Utara – Selatan
Beteng Kulon
Tegal Rejo
Utara – Selatan
Selatan – Utara
#3
#4
#5
Letak
Utara
Selatan
Timur
Tengah
Barat
TABEL X
DURASI KUMULATIF PAKET DAN MAIN-ULANG LIMA RUTE TERPETIK
Durasi
Rute
#1
#2
#3
#4
#5
Kumulatif Paket
TS (Detik)
1136
650
832
821
624
Main-Ulang
Detik Nisbah (%)
229
20.15845
383
58.92308
116
13.94231
62
7.551766
140
22.4359
Peringkat
3
1
4
5
2
Berikut disajikan petikan sebagian hasil, yakni diambil dari
lima penggal rute, seperti dirinci pada Tabel X. Kawasan Malioboro, yang lazim dianggap sebagai jantung kota Yogyakarta,
terletak kira-kira di pertengahan antara rute nomor 1 (Utara)
dan nomor 2 (Selatan), juga pertengahan antara rute nomor 3
(Timur) dan nomor 4 (Tengah). Jika rute 3 dan 4 dianggap sebagai kawasan tengah kota dengan jalan yang sempit dan bangunan kiri-kanan padat, maka rute 1, 2, dan 5 dapat dianggap
merupakan kawasan agak pingir kota dengan jalan cukup
lebar dan bangunan tak terlalu rapat. Topografis rute 1, 2, dan
5 kira-kira serupa, yakni relatif datar, berbeda dengan rute 3
dan 4 yang memiliki penggal berupa cekungan.
ISSN 2301 - 4156
JNTETI, Vol. 5, No. 2, Mei 2016
92
Hasil uji dirinci pada Tabel XI dan Tabel XII. Dari Tabel
XII tampak bahwa berdasar porsi paket yang benar, peringkat
kualitas rute dari yang baik ke yang buruk adalah #2, #5, #1,
#3, dan #4, sedangkan jika berdasar jumlah paket per detik
dan per kilometer, peringkatnya dirinci pada Tabel XII. Rangkuman peringkat berdasar ketiganya dirinci pada Tabel XIII,
serta Gbr. 27 dan Gbr. 28.
TABEL XI
JUMLAH PAKET PER DETIK DAN PER KILOMETER LIMA RUTE TERPETIK
Per Detik
Rut
e
Jumlah
#1
#2
#3
#4
#5
1279,857
1849,502
1443,385
2159,968
1440,41
Per Kilometer
Peringk
at
5
2
3
1
4
Jumlah
Peringkat
230780,5
402065,6
296517,5
379371,1
269106,6
5
1
3
2
4
perubahan kecil pada arah/letak antena. Sepanjang gambar
tampil normal, pengaruh lintasan-jamak terindikasi pada sejumlah besaran/gejala internal isyarat, misalnya spektrum frekuensi, SQ, CNR, dan MER, BER, dan paket data. Lintasanjamak yang semakin parah terindikasi dari semakin rendahnya
SFM, nisbah SQ/SI, porsi paket yang benar, jumlah paket per
satuan waktu atau jarak, atau semakin tingginya nisbah
P/CNR, CNR/MER, dan BER. Sebagai contoh numeris, visual
gambar atau keberhasilan penerimaan tidak berbeda antara
yang isyaratnya memiliki SFM sekitar 0,9 dengan 0,7; antara
yang memiliki nisbah CNR/MER sekitar 0,5 dB dengan 22 dB,
dan sebagainya.
Salah satu teknik untuk mengatasi lintasan-jamak adalah
penerapan antena-jamak di sisi penerima. Oleh karena itu, rencana lanjutan penelitian ini adalah memformulasikan suatu
teknik tersebut hingga uji-coba, dan membandingkan hasilnya
dengan penelitian ini.
TABEL XII
PERINGKAT LIMA RUTE TERPETIK
Dasar Pemeringkatan
Porsi paket yang benar
Jumlah paket per detik
Jumlah paket per kilometer
Jumlah
Peringkat akhir
#1
3
5
5
13
5
#2
1
2
1
4
1
REFERENSI
Rute
#3
#4
4
5
3
1
3
2
10
8
3,5
2
[1]
#5
2
4
4
10
3,5
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Gbr. 27 Kuantitas relatif paket lima rute terpetik.
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
Gbr. 28 Pemeringkatan kualitas kanal lima rute terpetik.
V. KESIMPULAN DAN RENCANA LANJUTAN
Pengaruh lintasan-jamak yang parah termanifestasi pada visual gambar berupa tidak kontinunya gambar sebagai akibat
ISSN 2301 – 4156
[13]
[14]
M. El-Hajjar and L. Hanzo, “A Survey of Digital Television Broadcast
Transmission Techniques,” IEEE Commun. Surv. TUTORIALS, vol. 15,
no. 4, pp. 1924–1949, 2013.
I. Eizmendi, M. Velez, D. G´omez-Barquero, J. Morgade, V. BaenaLecuyer, M. Slimani, and J. Zoellne, “DVB-T2: The Second
Generation of Terrestrial Digital Video Broadcasting System,” IEEE
Trans. Broadcast., vol. 60, no. 2, pp. 258–271, 2014.
Kemkominfo, “Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:
05/ Per/M.Kominfo/2/2012 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital
Terestrial Penerimaan Tetap Tidak-Berbayar (Free-To-Air),” 2012.
F. A. Contreras, E. Pedraza, and D. Gomez-Barquero, “DVB-T2 Field
Trials Results for Portable Indoor Reception in Colombia,” in IEEE
Latin America Conference on Communications (LATINCOM), 2014,
pp. 1–5.
C. Regueiro, U. Gil, M. Velez, I. Eizmendi, and P. Angueira, “Field
Trials-Based Planning Parameters for DVB-T2 Indoor Reception,”
IEEE Trans. Broadcast., vol. 61, no. June, pp. 251–262, 2015.
M. Slimani, J. Robert, P. Schlegel, U. H. Reimers, R. Burow, F.
Kattanek, R. Pfeffer, and L. Stadelmeier, “Results of the DVB-T2 Field
Trial in Germany,” IEEE Trans. Broadcast., vol. 61, no. June, pp. 177–
194, 2015.
ETSI, “Digital Video Broadcasting (DVB); Implementation guidelines
for a second generation digital terrestrial television broadcasting
system (DVB-T2), TS 102 831 V1.2.1 (2012-08),” 2012.
“NorDig Unified Test Plan for Integrated Receiver Decoders for use in
cable, satellite, terrestrial and IP-based networks, ver. 2.4.,” 2013.
“GEORGIA SET TOP BOX SPECIFICATION,” 2014. [Online].
Available:
http://www.economy.ge/uploads/proeqtebi/digital_television/Appendix
_1._Georgia_basic_receiver_specification.pdf. [Accessed: 21-Oct2014].
R. E. Putra, Uji Lapangan Penerimaan Siaran TV Digital di Kawasan
Sekitar Yogyakarta, Skripsi Sarjana. Yogyakarta, 2015.
K. Zhou and Y. H. Chew, “On the Achievable Diversity Gain by the
Optimal Subcarrier Allocations in Multiuser OFDM System,” in IEEE
Conf. Publ., 2006, pp. 1–6.
N. Madhu, “Note on Measures for Spectral Flatness,” IET Journals
Mag., vol. 45, no. 23, pp. 1195 – 1196, 2009.
ETSI, “Digital Video Broadcasting Measurement Guidelines for DVB
Systems, TR 101 290 - V1.2.1,” 2001.
B. Setiyanto, Iswandi, N. Fath, and Y. Pratama, “Pengaruh LintasanJamak terhadap Penerimaan DVB-T2,” in Conference on Information
Technology and Electrical Engineering (CITEE), 2015, pp. 355–359.
Budi Setiyanto: Identifikasi Pengaruh Lintasan-Jamak ...