ISSN 2964-6987
PENGARUH VARIASI pH DAN RAGI TERHADAP VOLUME DAN
KADAR BIOETANOL DARI BAHAN MOLASE
EFFECTS OF pH AND YEAST VARIATIONS ON THE VOLUME AND
BIOETHANOL CONTENT OF MOLASSES MATERIAL
S. Kuswanto, Nurchayati*, T. Rachmanto
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mataram, Jl. Majapahit no. 62, Mataram, NTB,
83125, Indonesia
*Corresponding author
E-mail address: nurchayati@unram.ac.id
https://doi.org/10.29303/empd.v2i2.2847
Received 7 June 2023; Received in revised form 28 October 2023; Accepted 3 November 2023
ABSTRACT
Energy is a necessity in carrying out economic activities in Indonesia, both for consumption needs and
production activities in various business sectors. As a natural resource, energy must be used optimally for the
benefit of society and its management must be based on the principles of sustainable development. Bioethanol
is a renewable and environmentally friendly energy that can be used as an alternative to fossil fuels. The use of
bioethanol as fuel has several advantages, namely the high oxygen content of bioethanol (35%) so that it can
produce clean fuel. The purpose of this study was to determine the effect of variations in pH and yeast on the
volume and content of bioethanol from molasses material used and the drying time used was 48 hours. From
variations in pH and yeast, 9 types of treatment were obtained with 3 repetitions so that the total sample was
27. From the results of the study, the average volume of alcohol produced was at most 550.67 ml in the yeast
mass treatment 10 gr/l with a pH of 4.5 and the least was in the yeast mass treatment 15 gr/l with a pH of 4.2
of 432 ml. The highest average yield was 91.67% for a yeast mass of 10 gr/l with a pH of 4.2 and the lowest
was found for a yeast mass of 15 gr/l with a pH of 4.8 of 88.33%.
Keywords: Bioethanol, molasses, pH, fuel
1.
Pendahuluan
Energi merupakan kebutuhan dalam menjalankan kegiatan perekonomian di Indonesia, baik
untuk kebutuhan konsumsi maupun kegiatan produksi di berbagai sektor usaha. Sebagai sumber daya
alam, energi harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat dan pengelolaannya
harus didasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dari sisi pasokan, Indonesia
merupakan negara kaya dengan sumber daya energi, baik sumber daya tak terbarukan maupun sumber
daya terbarukan. Namun, eksplorasi sumber energi berfokus pada sumber energi fosil. Ini adalah sumber
daya non-terbarukan dan energi terbarukan relatif jarang digunakan. Dengan kondisi tersebut,
ketersediaan energi fosil, khususnya minyak mentah, semakin langka, sehingga Indonesia kini menjadi
pengimpor minyak mentah [1]. Salah satu cara untuk penghematan energi adalah membuat energi
alternatif dari limbah gula atau molase menjadi bahan bakar bioetanol untuk mengurangi penggunaan
bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui.
Bioetanol merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan yang dapat digunakan sebagai
alternatif bahan bakar fosil. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar memiliki beberapa keuntungan,
yaitu kandungan oksigen bioetanol tinggi (35%) sehingga dapat menghasilkan bahan bakar yang bersih.
129
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
Hasil bahan bakar yang ramah lingkungan karena emisi gas karbon monoksida 19-25% lebih rendah
dari BBM (bahan bakar minyak). Energi terbarukan ini tidak berkontribusi pada akumulasi karbon
dioksida di atmosfer dan hasil bioetanol lebih stabil. Bioetanol memiliki angka oktan tinggi sekitar 129,
yang membuat proses pembakaran menjadi stabil. Proses pembakaran yang lebih baik dapat mengurangi
emisi gas karbon monoksida hingga hanya 1,3% [2].
Untuk mendapatkan kadar bioetanol yang tinggi dibutuhkan variasi pH dan konsentrasi ragi yang
tepat. Oleh karena itu berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin memanfaatkan limbah dari pabrik
gula (molase) sebagai bahan baku dalam pembuatan bioethanol. Penelitian ini berfokus pada variasi pH
dan jumlah ragi. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan teknologi terbarukan serta bentuk nyata
dalam menjaga lingkungan. Diharapkan dari penelitian ini akan menghasilkan kadar dan volume
bietanol yang optimal, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
2.
Bahan dan Metode
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Continous Reflux Still Destilation,
Thermometer Bimetal, Alcoholmeter, gelas ukur, refractometer, spectroalcohol, timbangan digital,
jerigen fermentor, pipet, heater, pH meter, aerator.
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti Gambar 1, 2, dan 3.
Gambar 1 Molase
Gambar 2 Ragi roti
Gambar 3 Pupuk ZA (Ammonium Sulfat)
130
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
Dalam penelitian ini pH fermentasi yang digunakan adalah 4,2; 4,5; 4,8 dan untuk persentase
ragi yang digunakan yaitu 5 g/l, 10 g/l, 15 g/l. Tahap pertama yaitu pencampuran molase dengan air
tujuannya untuk mengencerkan dan mencari nilai brix yaitu 16%. Kemudian molase yang sudah
dicampur disaring/difilter untuk memisahkan kotoran dan lumpur-lumpur halus yang nantinya dapat
menghambat alat destilasi. Tahap selanjutnya yaitu pemanasan. Pada tahap ini molase yang sudah
disaring tadi dimasukkan ke dalam tangki pemanas otomatis, lalu dipanaskan sampai suhu ± 100°C.
Tujuan dari pemanasan ini adalah untuk mensterilkan dari mikroba yang bisa menggangu pertumbuhan
ragi. Selain itu juga setelah dipanaskan lumpur halus yang lolos dari saringan akan mengendap sehingga
cairan molase terbebas dari lumpur halus yang membuat alat distilasi tersumbat.
Kemudian setelah dilakukan pemanasan, molase dikeluarkan dari pemanas dan dimasukkan 30
liter molase ke dalam jerigen fermentor lalu dicek dan diatur pHnya agar sesuai dengan yang dibutuhkan.
Untuk menaikan pH sebesar 0,1 ditambahkan cairan kapur sebanyak 10ml dan untuk menurunkan pH
ditambahkan cairan H2SO4 sebanyak 10ml untuk 0,1 dan dicampur dengan ragi sebanyak 5 g/l, 10 g/l,
15g/l dan pupuk ZA 10g/l. Pada proses selanjutnya yaitu tahap fermentasi selama 48 jam. Selama
fermentasi berlangsung ditambahkan aerasi menggunakan aerator selama 4 jam pertama dengan tujuan
selama proses fermentasi ragi dapat berkembang biak agar mampu melakukan proses pengubahan gula
menjadi alcohol. Kemudian selama proses fermentasi derajat keasaman (pH) dan brix akan diukur
penurunannya. Brix akan diukur 4 jam sekali, dan pH akan diukur dan diatur agar tetap dengan variasi
yang diinginkan.
Tahap selanjutnya yaitu destilasi. Larutan molase yang sudah melalui proses fermentasi kemudian
dilakukan pemisahan kadar air dengan alkohol yang dihasilkan dari fermentasi larutan molase,
digunakan alat destilasi Continuous Distiller Reflux. Alat ini menggunakan metode destilasi fraksional
atau bertingkat. Destilasi ini berbeda dengan destilasi biasa, karena ada kolom fraksinasi dimana ada
proses refluks. Kolom fraksinasi berfungsi agar kontak antara cairan dengan uap terjadi sedikit lebih
lama agar komponen yang lebih ringan dengan titik didih yang lebih rendah akan terus menguap ke
kondensor sehingga pemisahan campuran alkohol dan air dapat terjadi lebih baik. Proses destilasi
dilakukan dengan cara menghidupkan alat destilasi dengan daya 3 kW di awal proses. Selanjutnya
mengalirkan larutan molase dari dalam tangki fermentor ke dalam alat destilasi menggunakan pompa.
Ketika alkoholnya mulai menetes dengan temperatur ± 78°C sesuai dengan titik didih alkohol yaitu
78°C ditampung menggunakan botol. Setelah proses destilasi selesai, akan diukur volume dan kadar
alkohol yang didapatkan menggunakan gelas ukur dan alcoholmeter.
3.
Hasil dan Pembahasan
Brix (%)
Penelitian tentang pembuatan bioetanol dengan variasi pH dan ragi dari bahan molase yang berupa
cairan seperti selai dan berwarna coklat kehitaman yang berasal dari sumbangan dari PT. Sukses Mantap
Sejahtera. Data yang dihasilkan antara lain brix, derajat keasaman (pH), dan yang terpenting adalah
volume dan kadar alkohol. Dari hasil penelitian didapatkan nilai penurunan brix dalam setiap fermentasi
yang dilakukan pengecekkan dan pengukuran menggunakan alat brix refractometer di waktu fermentasi
4 jam sekali pada setiap perlakuan yang ditunjukkan pada Gambar 4.
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
ragi 5 gr/l
ragi 10 gr/l
ragi 15 gr/l
0
4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 4 Penurunan brix selama fermentasi pada pH 4,2
131
Brix (%)
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
ragi 5 gr/l
ragi 10 gr/l
ragi 15 gr/l
0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
Waktu Fermentasi (Jam)
Brix (%)
Gambar 5 Penurunan brix selama fermentasi pada pH 4,5
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
ragi 5 gr/l
ragi 10 gr/l
ragi 15 gr/l
0
4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 6 Penurunan brix selama fermentasi pada pH 4,8
pH
Semakin banyak massa ragi yang ditambahkan maka semakin cepat brix mengalami penurunan
sehingga lebih cepat untuk konstan. Rata-rata brix konstan setelah melewati 20 jam ferementasi, brix
tidak terjadi penurunan. Hal ini dikarenakan pada penambahan ragi yang optimum saat proses fermentasi
penting untuk mempercepat penguraian glukosa menjadi alkohol. Namun pada Gambar 4 proses
fermentasi molase dengan pH 4,2 berbanding terbalik dengan Gambar 5 dan 6. Hasil yang didapatkan
yaitu massa ragi paling sedikit memiliki laju penurunan lebih cepat, oleh karena itu kandungan pH yang
digunakan selama proses fermentasi juga berpengaruh terhadap penurunan nilai brix, semakin tinggi pH
yang digunakan dan massa ragi yang digunakan maka penurunan nilai brix akan semakin cepat, hal ini
dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Dalam proses fermentasi derajat keasamaan atau pH merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk dalam fermentasi, hal ini
dikarenakan setiap mikroorganisme mempunyai kisaran pH optimum dalam lingkungan hidupnya. Ratarata penurunan pH selama fermentasi didapatkan seperti pada Gambar 7, 8, dan 9.
5
4.9
4.8
4.7
4.6
4.5
4.4
4.3
4.2
4.1
4
3.9
3.8
ph 4,2
ph 4,5
ph 4,8
0
4
8
12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
Waktu Fermentasi (Jam)
Gambar 7 pH selama fermentasi pada ragi 5 gr/l
132
pH
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
5
4.9
4.8
4.7
4.6
4.5
4.4
4.3
4.2
4.1
4
3.9
3.8
ph 4,2
ph 4,5
ph 4,8
0
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
Waktu Fermentasi (Jam)
pH
Gambar 8 pH selama fermentasi pada ragi 10 gr/l
5
4.9
4.8
4.7
4.6
4.5
4.4
4.3
4.2
4.1
4
3.9
3.8
ph 4,2
ph 4,5
ph 4,8
0
4
8
12
16 20 24 28 32 36
Waktu Fermentasi (Jam)
40
44
48
Gambar 9 pH selama fermentasi dengan ragi 15 gr/l
Berdasarkan Gambar 7, 8, dan 9 menunjukkan pH selama fermentasi dengan ragi yang digunakan
selama fermentasi yaitu 5 gr/l, 10 gr/l, dan 15 gr/l. Pada proses penelitian ini untuk pengambilan data
pH pada saat proses fermentasi dilakukan pada setiap 4 (empat) jam sekali selama proses fermentasi,
hal ini bertujuan untuk mengetahui penurunan pH yang terjadi selama proses fermentasi, jika pada saat
fermentasi terjadi penurunan pH maka akan ditambahkan larutan kapur supaya bisa menjaga pH
fermentasi tetap konstan. Proses terjadinya penurunan pH dikarenakan pada saat proses fermentasi
adanya proses degradasi senyawa organik yang akan menghasilkan asam organik seperti asam karbonat
(H2CO2). pH substrat juga menurun dikarenakan asam asetat (CH3COOH) memberikan rasa asam pada
larutan dengan melepas proton H+ yang juga dapat menyebabkan penurunan pH. Setelah dilakukan
destilasi pada setiap perlakuan dengan tiga kali pengulangan, maka didapatkan data rata-rata volume
alkohol yang didapatkan pada setiap perlakuan seperti Gambar 10.
Volume Alkohol (ml)
600
550
500
pH 4,2
pH 4,5
pH 4,8
450
400
350
5
10
15
Ragi Fermentasi (gr/l)
Gambar 10 Hubungan pH dan ragi fermentasi terhadap volume alkohol
133
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
Kadar Alkohol (%)
Berdasarkan Gambar 10 dapat dikatakan bahwa semakin banyak penambahan ragi maka volume
alkohol yang dihasilkan mengalami peningkatan. Namun pada saat penambahan ragi yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan volume alkohol yang didapatkan mengalami penurunan, dikarenakan ragi yang
terlalu banyak dapat menyebabkan pasokan nutrisi untuk ragi tidak merata akibatnya mikroba banyak
yang mati. Sedangkan untuk pH, bahwa saccharomyces cerevisiae dapat melakukan fermentasi secara
optimal pada pH 4,5. Pada penelitian ini pada pH 4,2 memiliki hasil volume alkohol paling sedikit hal
ini disebabkan pertumbuhan maupun aktivitas khamir belum maksimal memperoleh energi melalui
pemecahan substrat atau katabolisme untuk keperluan metabolisme dan pertumbuhan dibandingkan pH
4,5. Namun ketika pH fermentasi ditingkatkan menjadi pH 4,8 menyebabkan laju pertumbuhan khamir
menurun dan akhirnya pertumbuhan berhenti. Saccharomyces cerevisiae tidak bekerja secara optimal
pada pH 4,8 karena berkurangnya beberapa nutrien esensial dalam medium atau karena terjadinya
akumulasi autoksin dalam medium atau kombinasi keduanya [3].
92
91.5
91
90.5
90
89.5
89
88.5
88
pH 4,2
pH 4,5
pH 4,8
0
5
10
Ragi Fermentasi (gr/l)
15
Gambar 11 Hubungan pH dan ragi fermentasi terhadap kadar alkohol
Berdasarkan Gambar 11 dapat dikatakan bahwa semakin banyak ragi yang digunakan dalam
fermentasi maka kadar alkohol yang didapatkan akan semakin tinggi. Namun pada saat penambahan
ragi yang terlalu tinggi menyebabkan akadar alkohol menurun, hal ini disebabkan karena pada ragi yang
banyak menyebabkan aktivitas dan produktivitas dari mikroba kurang optimal. Untuk pengaruh pH pada
penelitian ini pH yang menghasilkan kadar tertinggi terdapat pada pH 4,2, hal ini dikarenakan
saccharomyces cerevisiae memasuki fase stasioner dimana laju pertumbuhan mikroorganisme sama
dengan laju kematiannya. pH mempengaruhi laju pertumbuhan saccharomyces cerevisiae. Pada kondisi
lingkungan yang tepat saccharomyces cerevisiae mampu memberikan pengaruh yang signifikan pada
produksi bioetanol. Dalam penelitian diperoleh kondisi terbaik adalah pH 4,2 dengan ragi 10gr/l.
Sedangkan untuk kadar paling rendah didapatkan pada pH 4,8 dengan ragi fermentasi 15gr/l, hal ini
disebabkan karena kondisi pH yang tinggi atau terlalu pekat mengakibatkan pertumbuhan
saccharomyces cerevisiae tidak bagus. Derajat keasaman (pH) yang bagus untuk proses fermentasi
adalah antara 4 – 5. Pada pH di bawah 3, proses fermentasi alkohol akan berkurang kecepatannya. Hal
tersebut dikarenakan pH mempengaruhi efektivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme dalam
membentuk kompleks enzim substrat [4]. Pada saat proses destilasi alkohol yang didapatkan tidak murni
sampai 100%, namun masih ada kandungan air di dalamnya sehingga pada penelitian ini volume alkohol
yang terbuang selain dari alkohol kadar tinggi yang didapatkan pada saat destilasi juga diukur. Volume
alkohol buangan yang didapatkan dapat dilihat pada gambar 12.
Dari Gambar 12 menunjukkan bahwa rata-rata volume alkohol buangan paling banyak didapatkan
pada ragi 5 gr/l dengan pH 4,2 sebesar 8333,33 ml, sedangkan volume alkohol buangan paling sedikit
didapatkan pada ragi 10 gr/l dengan pH 4,8. Hal ini dikarenakan volume awal alkohol awal yang
didapatkan sedikit sehingga banyak yang terbuang, sebaliknya apabila volume alkohol awal didapatkan
banyak maka yang terbuang sedikit. Sehingga banyaknya volume alkohol awal sangat menentukan
volume alkohol buangan yang didapatkan.
134
Volume Alkohol Buangan
(ml)
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
9000
8000
7000
pH 4,2
pH 4,5
pH 4,8
6000
5000
4000
0
5
10
Ragi Fermentasi (gram)
15
Gambar 12 Hubungan pH dan ragi fermentasi terhadap volume alkohol buangan
Kadar Alkohol Buangan
(%)
Dari hasil proses destilasi, selain mengukur volume alkohol buangan, diukur juga kadar buangan
dari alkohol. Kadar alkohol buangan yang didapatkan dapat dilihat pada Gambar 13.
13
12
11
pH 4,2
pH 4,5
pH 4,8
10
9
8
0
5
10
Ragi Fermentasi (gr/l)
15
Gambar 13 Hubungan pH dan ragi fermentasi terhadap kadar alkohol buangan
Voolume Alkohol Murni
(ml)
Dari Gambar 13 dapat dilihat pada grafik alkohol alkohol buangan, kadar tertinggi diperoleh dari
penambahan ragi 5 gr/l dan 10 gr/l pada pH 4,2 dan 4,8. Sedangkan kadar terendah diperoleh dari
penambahan ragi 15 gr/l pada pH 4,8. Hal ini dikarenakan kadar alkohol awal yang diperoleh sangat
tinggi sehingga kadar alkohol buangan menjadi rendah, jadi kadar alkohol awal berbanding lurus dengan
alkohol kadar rendah yang didapatkan, dimana semakin banyak kadar alkohol awal maka semakin
sedikit alkohol kadar rendah begitu juga sebaliknya. Volume alkohol total didapatkan dari volume total
alkohol dengan kadar tinggi kemudian dijumlahkan dengan volume alkohol kadar rendah yaitu dari
kadar volume alkohol buangan. Dari perhitungan tersebut didapatkan data volume total alkohol murni
seperti gambar 14.
1500
1400
1300
1200
1100
1000
900
800
pH 4,2
pH 4,5
pH 4,8
0
5
10
Ragi Fermentasi (gr/l)
15
Gambar 14 Hubungan pH dan ragi fermentasi terhadap kadar alkohol buangan
Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa volume alkohol total terbanyak didapatkan pada massa ragi
5 gr/l dan pH 4,2 sebesar 1432,45 ml, dan paling sedikit didapatkan pada massa ragi 15 gr/l dengan pH
135
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
4,8 sebesar 1020,09 ml. Hal ini berbanding terbalik dengan volume alkohol dengan kadar tinggi yang
didapatkan, karena volume alkohol total didapatkan dari penambahan alkohol buangan dengan kadar
rendah. Penambahan ini tidak dilakukan secara langsung atau dicampur secara langsung melainkan dari
perhitungan.
Pada pengujian flash and fire point sampel yang digunakan merupakan tiga kadar tertinggi yang
dihasilkan dari penelitian, yaitu kadar alkohol 91% dari perlakuan pH 4,2 dengan massa ragi 5 gr/l,
kemudian untuk sample kedua yaitu kadar alkohol 92% yang didapatkan dari perlakuan pH 4,2 dengan
massa ragi 15 gr/l, dan untuk sampel ketiga adalah kadar alkohol tertinggi yang dihasilkan dari penelitian
yaitu kadar alkohol 93% dari pH 4,2 dengan massa ragi 10 gr/l. Pengujian Flash and Fire Point
dilakukan di Laboratorium Transportasi Teknik Sipil Universitas Mataram dengan suhu ruangan pada
saat melakukan pengujian adalah suhu ruang 23oC. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 15.
29
Suhu (0C)
28
27
26
25
24
90
91
92
93
94
Kadar Alkohol (%)
Gambar 15 Hubungan Kadar Alkohol dengan suhu yang didapatkan
Pada Gambar 15 menunjukkan suhu tertinggi terjadinya flash and fire point pada 28oC dengan
kadar alkohol 91% dan flash and fire point terendah pada suhu 25oC dengan kadar alkohol sebesar 93%.
Jadi dari Gambar 15 tersebut menunjukkan bahwa suhu yang didapatkan berbanding terbalik dengan
kadar alkohol yang digunakan, maka semakin tinggi kadar alkohol maka suhu yang dibutuhkan untuk
mencapai flash and fire point semakin rendah, hal ini dikarenakan sifat alkohol yang mudah terbakar
dan semakin tinggi kadarnya maka alkohol akan semakin cepat terbakar. Flash and fire point juga
dipengaruhi oleh proses penguapan dimana semakin cepat bahan bakar menguap maka titik nyala (flash
point) dan titik bakar (fire point) akan semakin rendah [5].
4.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian, rata-rata volume alkohol yang dihasilkan paling banyak sebesar 550,67 ml
pada perlakuan massa ragi 10 gr/l dengan pH 4,5 dan yang paling sedikit terdapat pada perlakuan massa
ragi 15 gr/l dengan pH 4,2 sebesar 432 ml. Sedangkan untuk kadar yang dihasilkan rata-rata tertinggi
sebesar 91,67% pada massa ragi 10 gr/l dengan pH 4,2 dan terendah didapatkan pada massa ragi 15 gr/l
dengan pH 4,8 sebesar 88,33%. Pada pengujian Flash and Fire Point, menunjukkan bahwa suhu yang
didapatkan berbanding terbalik dengan kadar alkohol yang digunakan, yaitu semakin tinggi kadar
alkohol maka suhu yang dibutuhkan semakin rendah. Hal ini dikarenakan sifat alkohol yang mudah
terbakar dan semakin tinggi kadarnya maka alkohol akan semakin cepat terbakar.
Daftar Pustaka
[1]
[2]
B. Trisakti, B.S. Yustina, Irvan, Pembuatan bioetanol dari tepung ampas tebu melalui proses
hidrolisis termal dan fermentasi serta recycle vinasse (pengaruh konsentrasi tepung ampas tebu,
suhu, dan waktu hidrolisis, Jurnal Teknik Kimia USU, 4 (3) (2015) 7-22.
Edward, Riardi, Pengaruh waktu dan ph fermentasi dalam produksi bioetanol dari rumput laut
eucheuma cottonii menggunakan asosiasi mikroba (sacchromyces cerevisiae, aspergilus niger dan
zymomonas mobilis, Majalah Biam, 2015.
136
S. Kuswanto, Nurchayati, T. Rachmanto; Materials and Product Design 2 (2) (2023) 129-137
[3]
[4]
[5]
P.A. Elevri, S.R. Putra, Produksi etanol menggunakan saccharomyces cerevisiae yang
diamobilisasi dengan agar batang, Akta Kamindo, 1 (2) (2006) 36-46.
I.G.Y.W. Yuda, I.M.M. Wijaya, N.P. Suwariani, Studi pengaruh ph awal media dan konsentrasi
substrat pada proses fermentasi produksi bioetanol dari hidrolisat tepung biji kluwih (actinocarpus
communis) dengan menggunakan saccharomyces cerevisiae, Jurnal Rekayasa dan Manajemen
Agroindustri, 6 (2) (2018) 115-124.
H.S. Tira, I.M. Mara, Z. Zulfitri, M. Mirmanto, Uji sifat fisik dan kimia bioetanol dari jagung,
Dinamika Teknik Mesin, (2018).
137