Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, IAI Al-Qolam Maqashid (2022) Vol 5 No 1 : Mei-2022 http://ejournal.alqolam.ac.id/index.php/maqashid p-ISSN: 2127128301 © Maqashid 2021 BURUH TANI DALAM HUKUM POSITIF: Sebuah Kajian Perundangan untuk Upaya Gagasan Perlindungan Siti A’isyah (aisyah@alqolam.ac.id) ARTICLE INFO ABSTRACT Article History Recieved Maret 2022 Accepted Mei 2022 Available Agustus 2022 Farm labor or peasant is an urgent component in agriculture, farm and animal husbandry or aquaculture. Farm workers or peasants also have unique and different characteristics compared to industrial workers, especially in terms of form and rhythm of work. However, farm workers do not get specific protection in positive law in Indonesia. This article explores the legislation in Indonesia to see the position of farm workers in positive law. The search results, supported by the elaboration of historical facts, show that agricultural laborers in Indonesia do not have a specific legal protection. Meanwhile, the facts of current Keywords: agricultural developments show that farm workers farm labor, positive law, increasingly need this protection in line with the tendency of Indonesia, law protection agricultural globalization. 30 Buruh Tani Dalam Hukum Positif Sebuah Kajian Perundangan untuk Upaya Gagasan Perlindung Pendahuluan Perbincangan tentang buruh selama ini selalu dikaitkan dengan dunia industri. Konotasi buruh sangat lekat dengan pabrik dan industrialisasi. Pada peringatan hari buruh internasional setiap 1 Mei, adalah para buruh industri dalam berbagai asosiasinya, pun LSM-LSM pembela buruh, yang melakukan bermacam aksi dukungan atas perjuangan membela-hak-hak dasar buruh. Konflik antara buruh dan tuannya yang sering diangkat media adalah juga pada ranah industri. Kenyataan ini meminggirkan realitas lain dalam dunia perburuhan, yakni buruh tani. Dalam ensiklopedi Indonesia pun, buruh tani tidak dimasukkan dalam definisi buruh. Buruh hanya mencakup buruh kantor (karyawan yang bekerja di kantor), buruh kasar/kuli/unskilled labour (karyawan yang bekerja dengan tenaga badan), dan buruh terampil (karyawan yang mempunyai keterampilan tertentu seperti: tukang kayu, tukang jahit, tukang batu, juru ketik dan sebagainya). Sebagai negara dengan tanah yang dianugerahi kesuburan luar biasa, Nusantara pernah bangga mengklaim dirinya sebagai negara agraris. Meskipun saat ini kebanggaan tersebut semakin tergerus dan bergeser pada ambisi mengejar kemajuan industrialisasi, pertanian tetap menjadi sumber penghidupan bagi sejumlah besar penduduk negeri ini. Ironisnya, separuh lebih pelaku sektor pertanian justru menjadi anggota penduduk miskin di negri ini. Hal ini paralel dengan rendahnya sumbangan sektor pertanian terhadap PDB negeri ini. Peran buruh tani, bagaimanapun, sangat urgen karena ia menjadi pelaksana dalam proses pertanian. Dimulai dari pra-tanam semisal penyiapan tanah seperti mencangku membajak, hingga pascapanen seperti menjemur hasil panen dan mengemasnya. Sebagaimana buruh pada dunia industri, peran urgen buruh tani tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi kehidupannya. Jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi pertanian akhir-akhir ini, nasib para buruh tersebut semakin tidak berdaya. Dalam perundang-undangan buruh di Indonesia pun, buruh tani tampaknya sangat minim perhatian, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak diperhatikan. Perundang-undangan terkait pertanian, yang pernah ada di Indonesia sejak masa kemerdekaan, belum pernah ada yang menyinggung secara spesifik tentang hak-hak buruh tani. Kondisi semakin diperburuk dengan adanya kecenderungan industrialisasi pertanian akhir-akhir ini. Hal ini ditandai dengan dibukanya lahan pertanian dalam skala luas dan penggunaan mesin dalam mayoritas pengolahannya. Posisi buruh tani pun semakin tidak dibutuhkan dalam pertanian model ini. Berangkat dari fakta itulah, artikel ini akan mengeksplorasi tentang kondisi perburuhan dalam pertanian di Indonesia serta mengukur peluang perlindungannya dalam hukum positif. Siti A’isyah, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.5, No.1 (2022) Sejarah UU Buruh di Indonesia Buruh merupakan satu komponen yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan meskipun, dalam strata sosial, buruh diposisikan pada tingkatan terbawah. Posisi tersebut berbanding lurus dengan kondisi nasibnya secara ekonomi. Buruh merupakan kelompok sosial yang kurang beruntung secara ekonomi. Buruh selalu dikaitkan dengan perjuangan memperbaiki nasib; peningkatan nominal upah minimum, penyesuaian jam kerja, hak mendapatkan asuransi kerja, dan sebagainya. Dalam sejarah, buruh mengalami perjalanan yang sangat berliku sampai eksistensinya diakui secara legal formal. Pada masa pra-industri, buruh merupakan budak-budak yang dipekerjakan terutama pada daerah perkebunan. Karena budak merupakan hak milik dari tuannya, budak tidak memiliki hak atas dirinya. Ia serupa barang yang bisa diperlakukan semau pemiliknya. Setelah penghapusan perbudakan abad 19 seiring lahirnya industrialisasi di Eropa dan Amerika, buruh menjadi kelompok kelas sosial terendah pada wilayah industri yang hak-hak kerjanya belum diakui secara penuh, masih diperlakukan mirip dengan budak yang dieksploitasi demi kepentingan sang pemodal. Perjuangan buruh industri terjadi pada penghujung abad ke-19 ketika mereka berunjuk rasa menuntut pengurangan jam kerja yang semula 19-20 jam sehari menjadi 8 jam kerja. May day yang kemudian menjadi hari buruh internasional setiap tanggal 1 mei diambil dari keberhasilan aksi buruh memperoleh 8 jam kerja di Amerka Serikat yang diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886.1 Begitu juga di Indonesia, nasib buruh menempuh perjalanan yang panjang dan berliku. Dimulai sejak diberlakukannya sistem tanam paksa oleh Gubernur Jendral Van de Bosch pasca Perang Jawa 1830, masa pra kemerdekan, masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga masa reformasi. Dengan dimulainya masa tanam paksa pasca perang jawa, kebutuhan akan tenaga kerja yang besar dipasok dari perekrutan paksa dari setiap keluarga pribumi. Penduduk setempat dipaksa merelakan sebagian tanah miliknya untuk ditanami pemerintah kolonial dengan komoditas yang dibutuhkan pasar global, sebagai bentuk pajak. Jika tidak, harus bekerja tanpa upah di perkebunan milik pemerintah kolonial selama 66 hari dalam setahun. Kebijakan ini menimbulkan kemiskinan dan kelaparan yang masif. Kondisi ini memicu berbagai bentuk perlawanan dari penduduk setempat, salah satunya dengan maraknya pemberontakan petani2 dan fenomena kecu (perampok atau bandit)3. Kecu melakukan perampokan, pencurian, pembunuhan, pembakaran dan sebagainya sebagai tindakan protes terhadap kelompok sasaran tertentu yang mereka anggap bertanggung jawab atas perubahan kehidupan petani di pedesaan. 4 Dengan diberlakukannya sistem liberal yang ditandai pemberlakuan UU agraria dan UU gula tahun 1870, sistem tanam paksa dihentikan. Perkebunan-perkebunan milik pemerintah digantikan menjadi milik para pemilik modal asing dan pekerja direkrut dengan upah. Namun demikian, pada faktanya, model feodal tetap bertahan, sehingga Alexander Trachtenberg, The History of May Day, https://www.marxists.org/subject/mayday/articles/tracht.html, di akses pada tanggal 17 Mei 2015 2 Ong Hok Ham, Social Change in Madiun (East Java) during the Nineteenth Century: Taxes and Its Influence in Landholding, Makalah dipresentasikan dalam Policy Workshop on Agrarian Reform in Comparative Perspective, Sukabumi 17-30 Mei 1981. 3 Suhartono, Kecu: Potret Perbanditan Sosial di Vorstenlanden 1850-1900, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984) 4 Suhartono W. Pranoto, Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) 1 31 32 Buruh Tani Dalam Hukum Positif Sebuah Kajian Perundangan untuk Upaya Gagasan Perlindung menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat kecil yang notabene adalah penduduk pribumi.5 Hingga munculnya gagasan politik etis sebagai bentuk pertangggungjawaban atas penderitaan rakyat demi kemakmuran negara Belanda. Dengan semakin terdidiknya generasi bangsa paska politik etis, gerakan buruh semakin tersistematisasi dalam asosiasi-asosiasi atau serikat hingga melakukan gerakan bersama partai politik. Gerakan buruh pertama pada periode sebelum kemerdekaan tercatat pada pada tahun 1910-1912 karena terjadi musim paceklik yang berbarengan resesi global sehingga harga kebutuhan pokok melonjak tajam. Gerakan-gerakan buruh demikian terus terjadi hingga masa kemerdekaan, hingga bergabungnya serikat buruh ke partai politik.6 Jadi, dalam perjalanan sejarahnya, tarik ulur kepentingan antara buruh dan majikan tidak pernah usai dan seringkali memunculkan konflik yang keras. Dalam konflik tersebut, posisi negara lebih banyak berdampingan dengan para majikan (pengusaha) dan berhadap-hadapan dengan buruh. Buruh memang menjadi tenaga kerja yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan produksi tetapi secara sosial ekonomi politik sangat dilemahkan. Meskipun sejak zaman kemerdekan piranti perlindungan hukum bagi buruh telah dibentuk, seperti UU no. 12 tahun 1948 dan dan UU no. 12 tahun 1957 kondisi ini terus berlanjut hingga masa orde baru. Baru pada tahun 2001, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, buruh dilindungi haknya untuk membentuk organisasi sehingga dapat memperjuangkan hakhaknya bersama. Adapun pada masa orde baru, meskipun terdapat UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan juga UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), posisi tawar buruh sangat lemah. Posisi industri – terutama industri besar, sangat kuat, karena didukung oleh penguasa dan militer. Sangat wajar jika banyak terjadi penganiayaan terhadap buruh yang mencoba memperjuangkan nasibnya. Kasus yang sangat mengemuka pada penghujung kekuasaan orde baru adalah pembunuhan Marsinah, seorang buruh pabrik arloji di Jawa Timur yang ditemukan tewas mengenaskan setelah memperjuangkan kenaikan upah sebesar Rp. 550 (20%) sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur., No. 50/Th. 1992, dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250.7 Namun demikian, sebagaimana termaktub di atas, sejarah perjuangan buruh yang pada mulanya berawal dari dunia pertanian dan perkebunan, lambat laun bergeser pada buruh industri. Buruh tani semakin tidak terlibat dalam carut marut perjuangan buruh. Meskipun dalam semua produk perundangan buruh disebutkan secara umum, yang artinya meliputi juga buruh tani, namun kini buruh tani menjadi kelompok yang tidak tersentuh perlindungan hukum. Beberapa perundangan yang pernah ada di Indonesia terkait pertanian dan terkait buruh antara lain: 1. UU No. 12 tahun 1948 tentang UU Kerja. 2. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Buruh 3. UU No. 77 tahun 1958 tentang UU Penetapan UU Darurat no. 18 tentang Bank Tani dan Nelayan 4. UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995), hlm. 33 6 Iskandar Tedjakusuma. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC, 2008 7 Marsinah dan Perjuangan Buruh Sepanjang Masa, http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-danperjuangan-buruh-sepanjang-masa/ di akses pada tanggal 17 Mei 2015. 5 Siti A’isyah, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.5, No.1 (2022) 5. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 6. UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 7. UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh 8. UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 9. UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 10. UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura 11. UU No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan 12. UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 13. UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan 14. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja 15. PP No. 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah Pada seluruh perundangan tersebut di atas, belum ada yang menyebutkan dan mengatur tentang buruh tani secara spesifik. Pada UU No. 22 tahun 1957 misalnya, buruh didefinisikan secara umum pada orang yang bekerja pada majikan dan menerima upah.8 Dengan definisi ini, buruh tani menjadi bagian di dalamnya. Namun UU ini telah dicabut dengan diberlakukannya UU no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya sistem perundangan di negara ini membatasi buruh yang diatur dalam hukum positif adalah buruh dalam dunia industri. Sementara itu, UU No. 19 tahun 2013 membatasi petani yang diatur dalam di dalamnya pada: “Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.”9 Dalam UU tersebut juga tidak disebutkan tentang buruh tani. Jadi, yang dimaksud dengan petani di dalamnya adalah pemilik usaha tani, baik di tanah milik sendiri atau tanah milik orang lain. Adapun pekerja atau buruh yang mendapat upah dalam pekerjaan pertanian tidak menjadi bagian dalam pihak-pihak yang diatur. Ironisnya lagi, UU ini, bersama UU lain yang terkait, juga teranulir dengan disahkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang oleh banyak kalangan dianggap terlalu liberal dan menguntungkan para pemodal besar. Kondisi Buruh Tani di Indonesia Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam kehidupan karena menjadi pemasok makanan bagi umat manusia. Kemandirian bangsa bergantung pada kemandirian pangan. Karena itu, hingga saat ini pun sector ini juga menjadi lahan perekonomian sebagian besar masyakarat di Indonesia. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga pertanian mencapai sekitar 42.73%. 10 Rumah tangga pertanian ini meliputi petani pemilik tanah, petani penggarap, petani gurem dan buruh tani. Pasal 1 UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Buruh Pasal 1 UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 10 Subdirektorat Statistik Harga Pedesaan, Statistik Upah Buruh Tani di Perdesaan 2018, (Jakarta: BPS RI, 2018), hlm. 1 8 9 33 34 Buruh Tani Dalam Hukum Positif Sebuah Kajian Perundangan untuk Upaya Gagasan Perlindung Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. 11 Di Indonesia, bila menganut pada peraturan perundangan yang berlaku, maka yang dimaksud dengan buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.12 Definisi yang berbeda diberikan oleh BPS bahwa buruh adalah seseorang yang melakukan kegiatan/pekerjaan dengan tidak menanggung resiko terhadap hasil produksi dan bertujuan mendapatkan upah. 13 UU No. 22 Tahun 1957 (tentang penyelesaian perselisihan buruh) mendefinisikan bahwa buruh adalah mereka yang bekerja pada majikan dan memperoleh upah. Sedangkan Menurut ILO, buruh adalah orang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan memperoleh upah sebagai imbalan atas pekerjaan yang dibebankan padanya. Saat ini, terdapat beberapa ancaman nyata bagi eksistensi buruh tani, meliputi lahan pertanian semakin menyempit karena alih fungsi lahan yang massif, pemanfaatan teknologi pertanian yang mengambil alih fungsi buruh tani dengan biaya yang lebih murah, dan multinasionalisasi pertanian. Fakta ini menyebabkan buruh tani menjadi profesi yang semakin tidak menarik. Hingga tahun 2015, jumlah buruh tani --yang dalam bahas data BPS dibahasakan sebagai pekerja bebas bidang pertanian—terus menurun. Pada tahun 2013 jumlahnya mencapai 5,20 juta jiwa. Pada tahun 2015 turun menjadi 4,43 juta jiwa.14 Memang terdapat perbedaan yang cukup banyak antara buruh tani dengan buruh industri, yang meliputi pola relasi dengan majikan atau pemilik lahan tidak seragam, frekuensi kerja (tidak setiap hari dibutuhkan), jam kerja tidak terukur, akomodasi dalam UU, serta asuransi kerja. Relasi buruh tani dan majikan dapat dilihat dari satuan kegiatan meliputi harian atau borongan. Sedangkan diihat keterikatan mencakup langganan/tetap atau lepas. Dari relasi itu bisa dikelompokkan menjadi empat bentuk hubungan kerja, yakni: 1) buruh tani langganan dengan upah harian; 2) buruh tani langganan dengan upah borongan; 3) buruh tani bebas dengan upah harian; dan 4) buruh tani bebas dengan upah borongan.15 Dalam hal frekuensi dan jam kerja, buruh tani juga berbeda dengan buruh industri. Jika buruh industri memiliki jam dan hari kerja yang pasti, maka buruh tani biasanya bekerja berdasarkan kebutuhan pada siklus kebutuhan pertanian mulai dari pra tanam hingga paska panen. Di samping itu, jenis pekerjaan buruh tani juga tidak sama pada bidang pertanian yang berbeda. Pertanian padi, misalnya, sangat berbeda dengan perkebunan tebu. Perkebunan buah-buahan juga memiliki bidang dan ritme pekerjaan yang jauh berbeda dengan peternakan atau tambak ikan. Yang sangat berbeda dari buruh industri adalah buruh tani tidak terakomodasi dalam perundang-undangan. Konsekuensinya, hak-hak yang dilindungi pada buruh industri tidak terjadi pada buruh tani, seperti hak asuransi kerja dan UMR. Bisa jadi, tantangan yang dihadapi buruh tani memang lebih ringan daripada buruh industry. Namun, seiring dengan kecenderungan industrialisasi dan multinasionalisasi pertanian, tantangan buruh tani di masa yang akan dating akan lebih berat dan semakin rumit. KBBI online, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Buruh diakses pada selasa, 17 November 2020 (UU Ketenagakerjaan No.13 2003) 13 Subdirektorat Statistik Harga Pedesaan, Statistik Upah Buruh…, hlm. 3 14 Badan Pusat Statistik, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2015, (Jakarta: BPS, 2015) 15 Wahyuni Apri Astuti, “Hubungan Kerja Petani-Buruh Tani di Pedesaan dan Faktor yang Mempengaruhinya”, Forum Geografi, No. 12 Tahun VII/Juli 1993 11 12 35 Siti A’isyah, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.5, No.1 (2022) Mengupayakan Perlindungan Buruh Tani Secara Hukum, Mungkinkah? Memperhatikan sejarah dan fakta kondisi buruh tani sebagaimana dipaparkan sebelumnya, piranti hukum untuk melindungi hak-hak buruh tani sangat mendesak untuk diwujudkan. Sebagaimana buruh migran telah memiliki UU perlindungan sendiri, UU perlindungan PRT (Pekerja Rumah Tangga) juga telah pada proses di DPR, UU buruh tani juga perlu segera untuk diupayakan. Ada beberapa argumentasi kenapa buruh tani perlu dilindungi secara hukum: Pertama, kewajiban negara melindungi hak-hak warganya tanpa pandang bulu. Tentang hal ini secara eksplisit dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, terutama pada alinea terakhir. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan sosial tanpa pandang bulu. Kedua, dalam hadits banyak disebutkan tentang hak-hak pekerja. Di antaranya haditshadits berikut: 1) Menunda hak pekerja akan dimusuhi oleh Allah pada hari kiamat. Dalam sebuah hadits qudsi riwayat Abu Hurairah, Allah berfirman, ‫ﻞﹲ‬‫ﺟ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ّﺍ ﻓﹶﺄﹶﻛﹶﻞﹶ ﺛﹶﻤ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﻉ‬‫ﻞﹲ ﺑ‬‫ﺟ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬،‫ﺭ‬‫ ﻏﹶﺪ‬‫ﻄﹶﻰ ﺑﹺﻲ ﺛﹸ ّﻢ‬‫ﻞﹲ ﺃﹶﻋ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬: ‫ﺔ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﻘ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻤﻬ‬ ‫ﺼ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﺛﹶﻼﹶﺛﹶ ﹲﺔ ﺃﹶﻧ‬ ‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻂ‬‫ﻌ‬‫ﻢ ﻳ‬ ‫ﻟﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻓﹶﻰ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ﺍ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ ﺃﹶﺟﹺﲑ‬‫ﺮ‬‫ﺄﹾﺟ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬ “Tiga orang, saya yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat: Orang yang berjanji dengan menyebut nama-Ku lalu dia melanggar janji, Orang yang menjual orang yang merdeka lalu dia menikmati hasil penjualannya tersebut, dan Orang yang mempekerjakan orang lain, namun setelah orang tersebut bekerja dengan baik upahnya tidak dibayarkan” (HR. Bukhari). 2) Hak pekerja terkait upah atau harus segera dipenuhi, Nabi SAW bersabda, ‫ﻗﹸﻪ‬‫ﺮ‬‫ ﻋ‬‫ﺠﹺﻒ‬‫ﻞﹶ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻄﹸﻮﺍ ﺍﻷَﺟﹺﲑ‬‫ﺃﹶﻋ‬ “Berikan-lah kepada buruh/pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah). 3) Menunda hak orang lain padahal mampu adalah kezaliman. Nabi SAW bersabda: ‫ﻢ‬ ‫ﻨﹺﻲّﹺ ﹸﻇﻠﹾ‬‫ﻄﹾ ﹸﻞ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻣ‬ “Menunda penunaian kewajiban padahal mampu adalah kezaliman” (HR. AlBukhari & Muslim). Ketiga, selama ini, ketika mengangkat isu tentang buruh, maka yang menjadi concern adalah buruh industri, bukan buruh tani. Seolah-olah, instrumen hukum tentang buruh memang hanya diperuntukkan bagi selain buruh tani. Padahal, dalam beberapa UU yang pernah dikeluarkan, seperti dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan buruh, buruh didefinisikan secara umum, tidak hanya untuk buruh industri. Keempat, buruh tani memiliki karakteristik yang unik. Sebagaimana disebutkan di muka, buruh tani berbeda dari buruh industri, seperti dalam hal pola relasi dengan majikan atau 36 Buruh Tani Dalam Hukum Positif Sebuah Kajian Perundangan untuk Upaya Gagasan Perlindung pemilik lahan tidak seragam, frekuensi dan ritme kerja (tidak setiap hari dibutuhkan), dan jam kerja tidak terukur. Kelima, Seiring dengan kecenderungan multinasionalisasi pertanian dan perkebunan, posisi buruh tani akan semakin terdesak tanpa perlindungan akan hak-haknya. Mereka tidak memiliki piranti hukum untuk menguatkan posisi tawar di hadapan perusahaan raksasa pertanian. Dengan beberapa argumentasi tersebut, sudah saatnya buruh tani mendapatkan perhatian lebih dengan adanya undang-undang yang memberikan perlindungan bagi buruh tani. Dengan demikian, cita-cita mulia didirikannya negara ini dapat terwujud secara komprehensif. Penutup Pertanian merupakan sektor yang tidak akan pernah hilang dari muka bumi, karena menyediakan komoditas yang paling dibutuhkan oleh manusia. Di masa yang akan datang, pertanian akan terus bertransformasi dengan model yang semakin canggih pada lahan yang semakin sempit. Namun buruh tani akan selalu ada, meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda dalam bentuk dan ritme kerja. Karena itu, hukum tidak bisa menutup mata pada nasib mereka. Siti A’isyah, Maqashid Jurnal Hukum Islam Vol.5, No.1 (2022) Daftar Pustaka Alisjahbana, Armida S. & Chris Manning. 2006. “Labour Market Dimensions of Poverty in Indonesia”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies No. 42 (2) Astuti, Wahyuni Apri, 1993. “Hubungan Kerja Petani-Buruh Tani di Pedesaan dan Faktor yang Mempengaruhinya”, Forum Geografi, No. 12 Tahun VII/Juli 1993 Badan Pusat Statistik, 2015. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2015, Jakarta: BPS Ham, Ong Hok, 1981. Social Change in Madiun (East Java) during the Nineteenth Century: Taxes and Its Influence in Landholding, Makalah dipresentasikan dalam Policy Workshop on Agrarian Reform in Comparative Perspective, Sukabumi 1730 Mei 1981. Nugroho, Eduardus, dkk., 1980. Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Pranoto, Suhartono W. 2010. Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, Yogyakarta: Graha Ilmu Subdirektorat Statistik Harga Pedesaan, 2019. Statistik Upah Buruh Tani di Perdesaan 2018, Jakarta: BPS RI Subdirektorat Statistik Harga Pedesaan, 2022. Statistik Upah Buruh Tani di Perdesaan 2021, Jakarta: BPS RI Suhartono, 1984. Kecu: Potret Perbanditan Sosial di Vorstenlanden 1850-1900, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Sulistyo, Bambang, 1995. Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Tedjakusuma, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01374652/sudah-waktunya-buruh-tanidapat-bantuan-khusus-dari-pemerintah, diakses selasa, 10 November 2020 Marsinah dan Perjuangan Buruh Sepanjang Masa, http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruhsepanjang-masa/ di akses pada tanggal 17 Mei 2015. https://ekonomi.bisnis.com/read/20200805/9/1275293/kuartal-ii2020-bps-kontribusipertanian-terhadap-pdb-justru-naik diakses senin 16 November 2020 KBBI online, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Buruh diakses pada selasa, 17 November 2020 https://www.antaranews.com/berita/1538080/dpr-minta-kementan-perhatikan-nasibburuh-tani, diakses selasa, 10 November 2020 Alexander Trachtenberg, The History of May Day, https://www.marxists.org/subject/mayday/articles/tracht.html, di akses pada tanggal 17 Mei 2020 37