Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Pola Interaksi Antar Jemaat (Studi Deskriptif pada Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea Makassar)

2015, Proposal Skripsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semenjak dia dilahirkan di dunia, manusia telah mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesamanya. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia, oleh karena dengan pemenuhan kebutuhan tersebut dia akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Tanpa berhubungan dengan manusia lain manusia tidak akan dapat bertahan untuk hidup. Hubungan timbal balik di antara manusia disebut juga sebagai interaksi sosial. Interaksi sosial adalah dasar dari proses sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Di dalam masyarakat pada umumnya, secara empiris dapat diamati individu yang sedang bertindak dan berinteraksi satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi antar individu berlangsung dalam berbagai situasi yang beraneka ragam dan pada tingkat kedalaman hubungan yang bervariasi. Variasi hubungan antar individu mulai dari hubungan dangkal pertemuan sepintas lalu di tempat umum, hubungan persahabatan, hingga sampai ke ikatan yang intim atau keluarga. Dengan cara mengenali dan menempatkan hubungan-hubungan individu dari berbagai situasi dan tingkat kedalamannya, maka dapatlah diklasifikasikan jenis-jenis hubungan sosial. Masing-masing hubungan tersebut memiliki pola-pola dan dinamikanya sendiri-sendiri. Interaksi sosial tidaklah dibangun melalui kebiasaan yang sangat kaku, akan tetapi tidak pula dibangun melalui tindakan yang asal sembarangan saja. Ada cukup banyak pola-pola dan pengulangan-pengulangan yang dapat diamati. Melalui pola-pola itu, memungkinkan melakukan prediksi perilaku sosial dalam situasi seperti biasanya. Banyak pola interaksi sudah cukup mapan keberadaannya sejak dahulu. Individu-individu mengikuti keteraturan ini dalam rangka menyederhanakan dan memudahkan kehidupan sosialnya. Pada kenyataannya, banyak pola-pola dikuatkan dengan peraturan-peraturan. Aturan-aturan itu memiliki kuasa legitimasi yang sah untuk mengatur pola-pola hubungan. Kingsley Davis (1949:147) mengatakan bahwa “In analyzing social relationships one soon finds them more complicated than they first appear. It turns out, in fact, that to understand them requires the conceptual tools set forth in the previous. chapters; for obviously these relationships involve norms, statuses, and ends. They involve reciprocal obligations, reciprocal statuses, and reciprocal ends and means as between two or more actors in mutual contact”. Artinya hubungan sosial itu ditandai dengan adanya norma-norma, status-status, dan tujuan. Hal tersebut meliputi kewajiban timbal balik, status timbal balik, tujuan-tujuan, dan makna, yang secara timbal balik, di antara dua atau lebih aktor di dalam kontak bersamaan. Ini semua mengacu ke suatu pola interaksi di antara individu-individu. Hakikat hidup bermasyarakat terdiri dari relasi-relasi yang mempertemukan mereka dalam usaha-usaha bersama, seperti beragama, pencarian nafkah, perkawinan dan hidup berkeluarga, pendidikan, rekreasi, pertahanan. Juga relasi-relasi yang bersifat agak sementara ikut membangun hidup bermasyarakat seperti bertamu, berdemonstrasi, tawar-menawar, makan bersama, dan sebagainya. Inti yang ditarik dari kehidupan sosial adalah interaksi. Masyarakat merupakan jaringan relasi-relasi hidup yang timbal balik. Yang satu berbicara, yang lain mendengarkan; yang satu bertanya, yang lain memberi jawaban; yang satu memberi perintah, yang lain menati,yang satu berbuat jahat, yang lain membalas dendam; yang satu mengundang, yang lain datang. Selalu tampak bahwa orang saling pengaruh-mempengaruhi. Tiap-tiap individu mencoba meramalkan apa yang akan dilakukan oleh orang lain, serta mencoba menyesuaikan kelakuannya dengan orang lain. Pola saling menyesuaikan ini lama-kelamaan akan menjadi norma yang diterima oleh individu-individu berkenan untuk menentukan keadaan interaksi mereka. Salah satu hubungan sosial yang dapat ditemukan di dalam masyarakat adalah interaksi antar anggota institusi agama (jemaat), ini secara pasti berlangsung pada tingkat mikro. Pola hubungan antar anggota jemaat berlangsung sangat lama. Status jemaat bukanlah independen, jemaat adalah status yang diwujudkan pada diri seseorang ketika seseorang menjalin hubungan dengan gerejanya. Bila ia memutuskan mengikuti kegiatan gereja dan berada pada tanggung jawab gerejanya orang itu dinamakan jemaat serta menjalankan peran jemaat. Antar anggota jemaat dapat dibina hubungan yang sempurna, dan dalam hubungan yang sempurna itu semua pihak dapat berperan dan berinteraksi secara aktif dan saling mempengaruhi. Hubungan antar jemaat seyogyanya memperlihatkan adanya saling memperhatikan, bantu-membantu antara satu dengan yang lainnya. Hubungan antar jemaat yang baik juga tercermin dari kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan bersama, baik itu kegiatan ibadah maupun kegiatan di luar ibadah. Karena dari seringnya melakukan kegiatan bersama dapat meningkatkan keakraban antar anggota jemaat dan tidak merasa saling asing antara yang satu terhadap yang lainnya, sehingga dapat memungkinkan terciptanya suatu komunitas yang harmonis dan berkesinambungan. Dengan mengamati dan menggambarkan pola interaksi antar jemaat, penulis akan menjelaskan bagaimana keteraturan dalam interaksi itu terwujud. Selanjutnya akan diungkapkan bagaimana norma-norma atau aturan dalam proses interaksi itu mengatur proses interaksi itu, dan bagaimana aturan-aturan itu diterapkan. Salah satu institusi agama yang terdapat di Kota Makassar adalah Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea. Hasil observasi sementara penulis interaksi sosial sesama anggota jemaat frekuensinya cukup tinggi, fakta ini dapat dilihat dari aktifitas kegiatan yang dilaksanakan di institusi tersebut. Hal inilah yang menarik bagi peneliti ingin mengetahui seperti apakah pola interaksi yang terjadi di dalam institusi tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ditentukanlah rumusan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah gambaran pola interaksi yang terbentuk antar jemaat di Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea Makassar? Bagaimanakah norma dan aturan yang berlaku mengatur keteraturan hubungan antar jemaat? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk menggambarkan pola interaksi antar jemaat di Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea Makassar. Untuk mengetahui bagaimana norma dan aturan yang ada mengatur proses interaksi antar jemaat. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini nantinya akan dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi perkembangan ilmu sosiologi. Untuk menambah literature mengenai aspek interaksi dan jemaat gereja. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini. 1.4.2. Manfaat Praktis Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam melihat realita kehidupan jemaat gereja, sehingga dapat diambil tindakan guna menjaga keharmonisan hubungan antar jemaat. Data yang diperoleh nantinya dapat dimanfaatkan bagi pihak yang berkompeten dalam membuat program yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang jemaat gereja. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL Interaksi Sosial Interkasi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. (Kimball dalam Soerjono, 1959:137). Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi sosial karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan antara orang-orang- perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia (Gillin dalam Soerjono, 2013:55). Apabila dua arang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berkelahi atau mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertamu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya. Interaksi sosial dapat berlangsung antara: Antara orang-perorangan. Antara orang-perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Tindakan jemaat sebagai individu yang secara subjektif menurut pemahaman mereka yang bertindak dengan tujuan untuk mengarahkan perilaku individu (jemaat) lain. Interaksi sosial terbangun ketika individu (jemaat) yang dimaksudkan itu membalas tindakannya sehingga terjadilah tindakan sosial yang berbalasan. Menurut Max Weber, metode yang bisa dipergunakan utuk memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang adalah dengan verstehen. Istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi yang cuma bisa digunakan untuk memahami arti subjektif tindakan diri sendiri,bukan tindakan subjektif orang lain. Sebaliknya, apa yang dimaksud Weber dengan verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi dan serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. (Johnson dalam Bagong, 2004:18). Max Weber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat. Keempat jenis tindakan sosial itu adalah: Rasionalitas instrumental. Disini tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Rasionalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasional tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Tindakan tradisional. Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperolaeh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan afektif. Tipe tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Interaksi sosial yang sesungguhnya terjadi adalah hubungan insan yang bermakna. Melalui hubungan itu berlangsung kontak makna-makna yang diresponi kedua belah pihak. Makna-makna dikomunikasikan dalam simbol-simbol. Misalnya rasa senang akan diungkapkan dengan senyum, jabat tangan,dan tindakan positif lainnya sebagai tambahan rangsangan panca indera atau rangsangan pengertian penuh. Proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang bergabung dalam suatu jangka waktu, sedemikian rupa hina menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Secara garis besar, proses sosial bisa dibedakan dalam dua jenis yaitu proses asosiatif dan proses sosial yang disosiatif. Proses sosial itu dapat disebut asosiatif apabila proses itu mengindikasikan adanya “gerak pendekatan dan penyatuan” (Bagong 2004:57). Proses sosial asosiatif ditujukan bagi terwujudnya nilai-nilai yang disebut kebajikan-kebajikan sosial seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas dan dikatakan sebagai proses positif. Sedangkan proses sosial disosiatif mengarah kepada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecehan dan ini dikatakan proses negatif (Hendro 1992: 288). Adapun penjelasan bentuk-bentuk proses sosial sebagai berikut: Bentuk-bentuk proses sosial asosiatif adalah: Kooperasi Berasal dari dua kata latin, co yang berarti bersama-sama, dan operani yang berarti bekerja. Kooperasi, dengan demikian, berarti bekerja sama. Koperasi merupakan perwujudan minat dan perhatian orang untuk bekerja bersama-sama dalam satu kesepahaman, sekalipun motifnya sering dan bias tertuju kepada kepentingan diri sendiri (Bagong 2004:58) Akomodasi Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana makhlik-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitar. Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Sebenarnya pengertian adaptasi menunjuk pada perubahan-perubahan organis yang disalurkan melalui kelahiran, dimana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya sehingga dapat mempertahankan hidupnya. Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. (Gillin dalam Soerjono, 1982 : 69). Asimilasi Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antar orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Apabila orang-orang melakukan asimilasi kedalam suatu kelompok manusia atau masyarakat, dia tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok tersebut yang mengakibatkan bahwa mereka dianggap sebagai orang asing. Dalam proses asimilasi, mereka mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok. Apabila dua kelompok manusia mengdakan asimilasi, batas-batas antara kelompok-kelompok tadi akan hilang dan keduanya lebut menjadi satu kelompok. Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama walau kadangkala bersifat emosional dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit mencapai intergrasi dalam organisasi, pikiran dan tindakan (Soerjono 1982:73-74) Amalgamasi Amalgamasi merupakan proses sosial yang melebur dua kelompok budaya menjadi satu, yang pada akhirnya melahirkan sesuatu kelpmpompok yang baru. Tak usah dikatakan lagi, amalgamasi itu jelas akan melenyapkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalam kelompok (Bagong 2004:64). Bentuk-bentuk proses sosial disosiatif terdiri dari: Kompetisi Kompetisi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah persaingan. Kompetisi merupakan bentuk interaksi sosial disosiatif yang sederhana. Proses ini adalah proses sosial yang mengandung perjuangan untuk memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yan semata-mata bermanfaat untuk mempertahankan suatu kelestarian hidup. Pada pokoknya, apa yang disebut kompetisi ini dapat dinedakan dalam dua tipe umum. Pertama, kompetisi personal, yaitu kompetisi yang bersifat pribadi antara dua orang. Kedua, kompetisi impersonal, yaitu kompetisi tak pribadi yang berlangsung antara dua kelompok. Kontraversi Kontraversi berasal dari bahasa latin, conta dan vanire yang berarti menghalangi atau menantang. Dalam kontarversi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontraversi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal ini didasari oleh rasa tidak senang karena keberhasilan pihak lain yang dirasakan merugikan, walaupun demikian tidak terdapat maksud untuk menghancurkan pihak lain (Bagong 2004:70). Konflik Konflik, berasal dari bahasa latin confligere yang berarti saling memukul. Konflik berarti suatu proses dimana orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik sebagai suatu proses ternyata dipraktikkan juga secara luas di dalam masyarakat. Berebda hal dengan kompetisiyang berlangsung didalam suasana “damai”, konflik adalah suaru proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya. Bentuk-bentuk interaksi dapat menguntungkan bila berlangsung dalam perhitungan rasional dan mendatangkan keuntungan bagi yang menjalankannya. Akan tetapi dapat menjadi merugikan bila kerjasama dan persaingan atau pertikaian dijalankan berdasarkan emosional dan sentimen yang tidak terkontrol sehingga hasilnya kerap kali membawa kerugian serta kekecewaan (Soemardjan dan Soemardi, 1974:179). Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa interaksi sosial yang berkesinambungan cenderung membentuk keteraturan. Bila hubungan yang terjadi sedemikian rupa didasarkan oleh status dan peranannya maka hubungan itu dinamakan dengan relasi sosial. Hubungan antar jemaat adalah hubungan yang didasarkan pada status dan peranan semua pihak. Dengan demikian hubungan antar jemaat harus menggambarkan ciri yang khas dari relasi sosial. Ada beberapa ciri relasi sosial sebagaimana yang diungkapkan oleh Hendro Puspito, yaitu: Relasi sosial adalah suatu bentuk hubungan yang berdasarkan status atau kedudukan sosial masing-masing individu. Mereka melakonkan menurut istilah Gofman peranannya sesuai dengan statusnya dan menjalin hubungan masing-masing, menghormati dan bertindak selaras dengan statusnya. Sebagian besar interaksi sosial di dalam masyarakat berupa relasi sosial yang terjadi di seputar status yang tak terpisahkan dengan peranannya (hak dan kewajiban yang melekat dengan statusnya). Relasi sosial terjadi berdasarkan peranan yang dilakonkan sebagaimana statusnya yang dipegang setiap orang. Setiap peranan merupakan tempat pertemuan dan pertukaran jasa. Sifat pertukaran dalam relasi ini adalah didasarkan pada reward atau imbalan yang ekstrinsik. Istilah reward ekstrinsik diciptakan oleh Peter M. Blau dan ia membedakannya dengan reward intrinsik. Pembedaan antara pertukaran ekstrinsik dengan intrinsik sejajar dengan pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Hubungan relasi yang bersifat reward ekstrinsik berfungsi sebagai alat bagi suatu reward lainnya, dan bukan reward demi untuk hubungan itu sendiri. Dalam kasus ini, reward itu dapat dipisahkan dari hubungannya, dan pada prinsipnya dapat diperolah dari setiap pasangan pertukaran. Sebaliknya reward intrinsik adalah reward yang berasal dari hubungan itu sendiri. Dalam kasus ini, reward merupakan akibat logis dari suatu hubungan, tanpa adanya negosiasi sebelumnya. Azas pertukaran itu adalah do ut des (saya memberi, saudara harus memberi saya). Kedua belah pihak sama-sama mengeluarkan cost (biaya) dan mengharapkan reward (imbalan) yang profit (menguntungkan) dari setiap hubungan Dalam pandangan sosiologi, seluruh jalinan interaksi di atas bersifat statis dan pada umumnya tidak menimbulkan konflik yang membahayakan bagi masyarakat. Oleh karenanya pengawasan sosial terhadap relasi sosial semacam itu tidak berlangsung ketat. Faktor-faktor dan Ciri-ciri Interaksi Interaksi sosial mempunyai hubungan terhadap penafsiran sikap dan pengertian sesama individu dan kelompok. Terjadinya proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan yang bergabung. Faktor-faktor dalam interaksi sosial meliputi: a. Faktor peniruan (imitasi) Gejala tiru-meniru atau proses imitasi sangat kuat peranannya dalam interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun imitasi dapat bersifat negatif jika yang ditiru adalah sifat yang menyimpang. Selain itu imitasi juga melemahkan/mematikan kreasi seseorang. b. Faktor sugesti Sugesti secara psikologis diartikan sebagai suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi pandangan atau sikap dari dirinya yang kemudian diterima pihak lain. Hal ini hampir sama dengan imitasi, hanya sugesti terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosinya sehingga menghambat berpikirnya secara rasional. c. Faktor identifikasi Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan. Kecenderungan seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi dapat berlangsung secara sadar maupun tidak sadar dan prosesnya tidak saja bersifat lahiriah, tapi juga bersifat batiniah. d. Faktor simpati Proses simpati sebenarnya merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan seseorang memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Inilah perbedaan utamanya dengan identifikasi yang didorong oleh suatu keinginan untuk belajar dari pihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh. (Soerjono, 1982:57) Charles P. Loomis melihat bahwa ada beberapa ciri-ciri penting dari interaksi sosial, antara lain: Jumlah pelaku lebih dari seorang, bisa dua atau lebih. Adanya komunikasi antara para pelaku dengan menggunakan simbol-simbol. Adanya suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini, dan akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung. Adanya tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang diperkirakan oleh pengamat. (Taneko, 1984:114). Norma dan Aturan dalam Interaksi Supaya hubungan antarmanusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, dirumuskan norma-narma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak disengaja. Namun lama kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Norma sosial merupakan kelakuan standar yang dijadikan pegangan oleh anggota suatu perkumpulan atau komunitas dan anggota perkumpulan itu diharapkan akan mematuhinya. Sebagai tingkah laku standar, norma sosial merupakan peraturan yang ditentukan dan disetujui oleh sebagian besar anggota masyarakat mengenai baik tidaknya suatu tingkah laku. Pada umumnya norma sosial merupakan garis panduan bagi anggota masyarakat pada waktu menghadapi suatu keadaan yang tertentu. Penerimaan serta kepatuhan terhadap norma sosial penting untuk mewujudkan perpaduan suatu kelompok atau masyarakat. Beberapa norma sosial yang diterima oleh kebanyakan masyarakat adalah larangan terhadap pembunuhan, pencurian, dan perompakan. Tanpa norma sosial kehidupan manusia akan terganggu dan masyarakat menjadi kacau balau. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang, sampai yang terkuat daya ikatnya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yaitu: 1. Cara (usage); lebih menonjol di dalam hubungan antarindividu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. Misalnya, orang mempunyai cara masing-masing untuk minum pada waktu bertemu. Ada yang minum tanpa mengeluarkan bunyi, ada pula yang mengeluarkan bunyi sebagai pertanda rasa kepuasannya menghilangkan kehausan. Dalam cara yang terakhir biasanya dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan. Apabila cara tersebut dilakukan juga, maka paling banyak orang yang diajak minum bersama akan merasa tersinggung dan mencela cara minum yang demikian. 2. Kebiasaan (folkways); mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan yang diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Sebagai contoh, kebiasaan memberi hormat kepada orang lain yang lebih tua. Apabila perbuatan tadi tidak dilakukan, maka akan dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat. Kebiasaan menghormati orang yang lebih tua merupakan suatu kebiasaan dalam masyarakat dan setiap orang akan menyalahkan penyimpangan terhadap kebiasaan umum tersebut. Kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. 3. Tata kelakuan (mores); mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuannya tersebut. 4. Adat-istiadat (custom); tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat-istiadat. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan. Suatu contoh, hukum adat yang melarang terjadinya perceraian antar suami-isteri. Suatu perkawinan dinilai sebagai kehidupan bersama yang sifatnya abadi dan hanya dapat terputus apabila salah satu meninggal dunia (cerai mati). Apabila terjadi perceraian, tidak hanya yang bersangkutan yang tercemar namanya, tapi seluruh keluarga dan bahkan seluruh sukunya. Untuk menghilangkan kecemaran tersebut, diperlukan suatu upacara adat khusus yang membutuhkan biaya besar sekali. (Soerjono Soekanto, 2007:174) Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Maksudnya ialah sampai norma itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, interaksi yang berpola itu meliputi pula hal-hal seperti norma-norma, status-status dan tujuan. Selanjutnya meliputi pula kewajiban timbal balik, status timbal balik, tujuan dan makna yang secara timbal balik berarti antara dua atau lebih aktor di dalam kontak yang bersamaan. Dengan demikian suatu interaksi yang dapat dikatakan berpola memiliki beberapa kriteria sebagai berikut: Adanya pengulangan tindakan. Pengulangan yang dilakukan misalnya ucapan selamat atau sapaan setiap kali berjumpa dengan jemaat yang lain. Adanya hubungan berbalasan. Hubungan yang berbalasan diperlihatkan misalnya dengan saling memenuhi kewajiban masing-masing. Setiap jemaat diwajibkan untuk aktif dalam kegiatan pelayanan di gereja. Adanya norma yang mengatur hubungan itu. Norma maupun aturan yang disepakati bersama oleh suatu kelompok masyarakat, akan memelihara keteraturan hubungan pada masyarakat itu sendiri. Misalnya norma kekristenan dan aturan gereja yang mengatur hubungan antar jemaat. Pola interaksi senantiasa mengacu pada hubungan yang lebih teratur antara individu-individu dan sekaligus dengan dirinya memperlihatkan bahwa gugusan tindakan-tindakan yang dilakukan tidak dengan asal sembarang saja. Individu mengikuti kebiasaan yang teratur ini dalam rangka menyederhanakan dan memudahkan kehidupan sosialnya. Pastilah membingungkan bagi individu bila ia harus memutuskan tindakan apa yang harus ia lakukan pada situasi yang dihadapinya. Sebenarnya lebih mudah baginya mengikuti pola yang telah tersedia. Pada kenyataannya banyak pola-pola yang dikuatkan oleh peraturan-peraturan. Aturan-aturan itu memiliki kuasa legitimasi yang sah untuk mengatur pola-pola hubungan. Institusi di Bidang Agama Pengertian Agama Agama merupakan suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia. Istilah agama yang digunakan di sini merupakan terjemahan dari kata religion; suatu istilah yang ruang lingkupnya lebih luas daripada istilah agama yang digunakan oleh Pemerintah RI, yang hanya mencakup agama yang diakui Pemerintah yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, dan Budha. Untuk menghindari kerancuan antara istilah agama yang digunakan Pemerintah dan istilah religion ada ilmuwan sosial kita yang menerjemahkan istilah religion, yang selain agama tersebut di atas meliputi pula animisme, totemisme, Konfusianisme, Judaisme, Taoisme, menjadi istilah religi. Perhatian terhadap agama telah kita jumpai dalam karya para perintis sosiologi; Durkheim, Weber, Marx. Durkheim terkenal karena definisinya mengenai agama, yaitu: A religion in a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden—beliefs and practices which unite into one single moral community called a Chruch, all those who adhere to them (Durkheim, 1954:44). Dari definisi ini kita dapat melihat bahwa bagi Durkheim agama ialah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat. Perlu ditambahkan di sini bahwa menurut Durkheim semua kepercayaan agama mengenal pembagian semua benda yang ada di bumi ini, baik yang berwujud nyata maupun berwujud ideal, ke dalam dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu hal yang bersifat profane dan hal yang bersifat suci (sacred). Definisi sangat luas ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi Durkheim—dan juga para ahli sosiologi sesudahnya—untuk mendefinisikan agama. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Giddens, agama lebih luas daripada monotheisme (kepercayaan pada satu Tuhan) dan mencakup pula politheisme; ada agama yang tidak menetapkan aturan moral pada umatnya; ada agama yang tidak menjelaskan asal-usul alam semesta; dan ada agama yang tidak mengenal kekuatan Adikodrati. Kita perlu pula memperhatikan pandangan ahli sosiologi agama Robert Bellah, bahwa di luar institusi agama kita mengenal adanya himpunan kepercayaan dan ritual yang dinamakannya civil religion. Yang dimaksudkan Bellah ialah kepercayaan dan ritual di luar agama yang dijumpai pada institusi politik seperti pemujaan pemimpin, bendera negara dan lagu kebangsaan serta upacara yang berkaitan dengannya (seperti misalnya upacara mengheningkan cipta di negara sosialis). Meskipun gejala ini banyak dijumpai pada negara sosialis seperti pemujaan terhadap Karl Marx, Friedrich Engels, kim Il Sung atau Ketua Mao Zedong, namun menurut Kornblum (1988:500-501) upacara penyanyian lagu kebangsaan pada awal pertandingan olah raga atau pengucapan sumpah setia (pledge of allegiance) pada awal pelajaran yang dijumpai di Amerika dapat pula dianggap sebagai gejala civil religion. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa upacara resmi pada masyarakat kita seperti penghormatan pada lagu kebangsaan dan bendera pusaka serta pembacaan butir Pancasila pada upacara bendera tiap tanggal 17 di kantor pemerintah dalam masyarakat kita pun mengandung unsure civil religion. Karena sukarnya mendefinisikan konsep agama, light, Keller dan Calhoun (1989:518-521) memilih untuk memusatkan perhatian pada unsure dasar yang dijumpai pada agama, yaitu kepercayaan agama, symbol agama, praktik agama, umat agama, dan pengalaman agama. Setiap agama mempunyai kepercayaan, seperti misalnya kepercayaan pada satu Tuhan pada agama yang menganut monotheisme, kepercayaan reinkarnasi pada agama Hindu, atau kepercayaan pada roh nenek moyang pada agama Shinto. Agama pun mengenal berbagai symbol. Pada umat Islam, misalnya, pemakaian selendang bermotif kotak merah putih, tutup kepala berwarna putih atau ikat pinggang lebar berwarna hijau oleh seorang laki-laki sering dianggap sebagai tanda bahwa pemakainya pernah menjalankan ibadah Haji; pemakaian busana dengan desain dan warna khusus pada umat Katholik atau Protestan seringkali memungkinkan kita untuk membedakan orang awam dengan rohaniwan; di india keanggotaan seseorang dalam kasta dalam agama hindu sering nampak dari busana yang dikenakan. Setiap agama mengenal pula praktik keagamaan, seperti berdoa, bersembahyang, berpuasa atau pantang bepergian pada waktu tertentu, pantangan makan daging hewan atau daging hewan tertentu, dan sebagainya. Dari sini nampak bahwa di samping mengamati banyaknya orang yang menjadi umat suatu agama maka dalam mempelajari agama kita perlu pula memperhatikan tingkat ketaatan beragama—sejauh mana praktik keagamaan dijalankan oleh umat. Penganut tiap agama pun mengenal berbagai bentuk pengelompokan menjadi suatu komunitas keagamaan. Kita kenal, misalnya, adanya komunitas keagamaan yang terdiri atas anggota suatu gereja atau persekutuan doa tertentu atau warga suatu pesantren atau kelompok pengajian tertentu. Pengalaman keagamaan pun merupakan suatu unsur dasar agama. Tiap agama mengenal berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami penganut agama secara pribadi. Pada agama Islam, misalnya, dikenal panggilan Allah s.w.t. untuk menunaikan ibadah haji yang dihayati oleh seseorang; pada agama Katholik dikenal panggilan Tuhan kepada seseorang untuk menjadi rohaniwan atau rohaniwati. Fungsi Agama Apa fungsi agama? Dalam bahasannya mengenai hal ini, (Horton dan Hunt dalam Bagong, 2004:254) membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Menurut mereka fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Namun yang juga penting diketahui adalah fungsi laten agama. Dalam kaitan ini Durkheim terkenal karena pandangannya bahwa agama mempunyai fungsi positif bagi integrasi masyarakat, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro, menurut Durkheim, fungsi agama adalah: ... to make us act, to aid us to live. The believer who has communicated with his god is not merely a man who sees new thruth of which the unbeliever is ignorant; he is a man who is stronger (Durkheim, 1954:416). Di sini nampak bahwa menurut Durkheim melalui komunikasi dengan Tuhannya orang yang beriman bukan hanya mengetahui kebenaran yang tidak diketahui orang kafir tetapi juga menjadi seseorang yang lebih kuat, sehingga menurutnya fungsi agama ialah untuk menggerakkan kita dan membantu kita untuk hidup. Di segi makro agama pun menjalankan fungsi positif karena memenuhi keperluan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan masyarakat tersebut. Melalui upacara agama yang dilakukan secara berjemaah maka persatuan dan kebersamaan umat dipupuk dan dibina. Ada ahli sosiologi yang mengemukakan bahwa agama mempunyai disfungsi pula. Dikemukakan bahwa pertentangan yang membahayakan keutuhan masyarakat tidak jarang bersumber pada faktor agama. Konflik antara kaum Katholik dan kaum Protestan di irlandia Utara, antara kaum Sikh dan kaum Hindu di Negara Bagian Punjab, antara kaum Muslim dan kaum hindu di Ayodhya, antara orang Palestina yang beragama Islam dan orang Israel yang beragama Yahudi, antara kaum Muslim dan kaum Kristen di Nagorno-Karabach dan antara kaum shiah dan kaum Sunni di Irak dan Pakistan menunjukkan bahwa adanya agama berlainan atau aliran berbeda dalam agama yang sama dalam satu masyarakat dapat membahayakan masyarakat. Agama dan Perubahan Sosial Para ahli sosiologi agama mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial. Ada yang berpendapat, misalnya, bahwa agama menghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin dari ucapan Marx bahwa ”agama adalah candu bagi rakyat”; menurutnya karena ajaran agamalah maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini ditentang ahli sosiologi lain, yang menunjukkan bahwa dalam banyak masyarakat kaum agama merupakan kekuatan revolusioner yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah masyarakat. Contoh yang dapat diajukan untuk mendukung pendapat demikian adalah, antara lain, berbagai gerakan perlawanan kaum ulama di tanah air kita terhadap penjajahan Belanda, kepeloporan para rohaniwan Katholik dalam menghadapi diktator dan rezim militer di berbagai negara Amerika Selatan, perlawanan para rohaniwan Katholik di polandia terhadap rezim komunis, dan gerakan para Ayatollah yang berhasil menjatuhkan rezim Shah Iran. Kita tentu masih ingat pula tesis Weber, yang intinya ialah bahwa perkembangan semangat kapitalisme di Eropa Barat berhubungan secara erat dengan perkembangan etika Protestan. Dalam banyak masyarakat perubahan sosial sering diiringi dengan gejala sekularisme, yang oleh Giddens (1989:451) didefinisikan sebagai proses melalui mana agama kehilangan pengaruhnya terhadap berbagai segi kehidupan manusia dan oleh Light, Keller dan Calhoun (1989) didefinisikan sebagai proses melalui mana perhatian manusia beserta institusinya semakin tercurahkan pada hal duniawi dan perhatian terhadap hal yang bersifat rohaniah semakin berkurang. Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa proses ini seringkali memancing reaksi dari kalangan agama, yang dapat berbentuk perlawanan maupun penyesuaian diri. Kisah perlawanan agama terhadap perubahan sosial dapat kita temukan dalam sejarah berbagai masyarakat. Revolusi yang berlangsung di Iran di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini, misalnya, merupakan reaksi terhadap perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat kita telah diiringi dengan peningkatan keagamaan di kalangan umat Islam. Dampak perubahan sosial dapat pula berwujud dalam perubahan pada agama. Bellah (1964) misalnya mengemukakan bahwa dalam agama secara bertahap berlangsung evolusi ke arah diferensiasi, kekomprehensifan, dan rasionalitas yang lebih besar. Agama dan Institusi Lain Dalam Masyarakat Kesalingterkaitan antara institusi agama dan institusi lain merupakan pokok kajian yang ditekuni berbagai ahli sosiologi agama. Salah satu keterkaitan dijumpai di bidang keluarga. Masuknya agama Katholik di Pulau Flores, misalnya, dianggap sebagai faktor yang secara bertahap menghilangkan praktik poligami dan mengahalangi terjadinya perceraian dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang agamanya tidak membenarkan pembatasan kelahiran dijumpai keluarga yang cenderung mempunyai banyak anak. Kita pun dapat mengamati keterkaitan agama dengan politik. Sebelum terjadinya penyederhanaan partai politik yang diikuti dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas di masa lalu di negara kita pernah terdapat partai politik bebrbasis agama seperti Masjumi, Nahdatul Ulama, PSII, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katholik. Sejak tahu 1998 muncul lagi berbagai partai politik berbasis agama. Agama pun ada kaitannya dengan institusi ekonomi. Keterkaitan antara agama dengan ekonomi ini telah dikaji oleh Weber dengan tesisnya mengenai etika Protestan dan semangat Kapitalisme. Pendidikan pun merupakan institusi yang terkait dengan agama. Dalam sistem pendidikan kita, misalnya, mata pelajaran agama diberikan mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai ke pendidikan tinggi. Dalam sistem pendidikan umum kita dijumpai lembaga pendidikan dasar,menengah, dan tinggi swasta yang dikelola oleh organisasi agama seperti Universitas Muhammadiyah, Universitas Katholik Atma Jaya, dan Universitas Kristen Indonesia. Kita mengenal pula lembaga pendidikan pada tingkat dasar, menengah, dan tinggi yang mengkhususkan diri di bidang agama seperti pesantren, seminari, dan institut agama. Definisi Konsep Definisi konsep dimaksudkan untuk mempermudah pengertian terhadap fenomena yang ada sehingga dapat dijadikan panduan. Berikut ini adalah beberapa konsep penting dalam penelitian: a) Interaksi adalah tindakan yang merangsang atau dirangsang oleh tindakan orang lain serta menjadi hubungan bermakna timbal balik. Hubungan timbal balik ini terjadi pada tingkat individu, tingkat kelompok atau campuran dari keduanya. b) Pola interaksi adalah bentuk atau model interaksi antara individu pada berbagai situasi tertentu. Pada pola interaksi akan terlihat adanya perulangan dan keteraturan tindakan-tindakan individu. Dalam pola interaksi ini meliputi pula norma-norma, status-status dan tujuan. Hal tersebut meliputi kewajiban timbal balik, status timbal balik dan yang lain yang secara timbal balik berarti antara dua atau lebih aktor di dalam kontak bersama. c) Jemaat adalah status seseorang yang diperoleh dengan pilihan (achieved status) setelah seseorang memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk memperoleh status tersebut,antara lain dibabtis dan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di sebuah gereja. Dalam melaksanakan perannya, jemaat melakukan hak dan kewajiban yang melekat pada statusnya sebagai seorang jemaat. d) Gereja adalah tempat ibadah bagi umat Kristen dan merupakan lembaga keagamaan yang menjalankan ajaran-ajaran Kristen dan memiliki aturan-aturan yang juga berdasarkan pada prinsip kekristenan. 2.6. Kerangka Konseptual NORMA DAN ATURAN JEMAAT GEREJA PROSES INTERAKSI DISOSIATIF KOMPETISI KONTRAVERSI KONFLIK ASOSIATIF KOOPERASI ASIMILASI AKOMODASI - AMALGAMASI POLA INTERAKSI Definisi Operasional Definisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1995:46). Dalam penelitian ini definisi operasionalnya adalah: a) Jemaat, yaitu persekutuan beberapa warga GT-JT di suatu tempat tertentu yang dipimpin oleh pimpinan jemaat setempat. b) Interaksi antar jemaat, yaitu bagaimana sesama anggota jemaat saling berhubungan timbal balik dan bagaimana mereka menjalankan aktifitasnya di gereja tersebut. c) Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea (GT-JT) adalah persatuan orang Kristen dari segala suku dan golongan bangsa Indonesia dan segala bangsa di seluruh dunia yang dibabtis ke dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. d) Tata Gereja Gereja Toraja (TG-GT) adalah ketentuan-ketentuan pokok yang mendasar di GT-JT. e) Peraturan ketentuan-ketentuan yang dijabarkan dari Aturan GT-JT. f) Aturan Peraturan GT-JT yang disingkat menjadi AP GT-JT adalah ketentuan-ketentuan pokok yang mendasar dan ketentuan-ketentuan yang dijabarkan dari Aturan di Gereja Toraja. g) Dewan koinonia adalah organ pelayanan di tingkat jemaat, yang merencanakan dan melaksanakan pelayanan untuk memantapkan persekutuan yang sehati, sepikir, dan seperasaan yang mencakup seksi sekolah minggu, seksi remaja, seksi pemuda, seksi perempuan, dan seksi bapak. h) Dewan marturia adalah organ pelayanan di tingkat jemaat, yang merancanakan dan melaksanakan pekerjaan memberitakan Injil di tengah-tengah jemaat dan masyarakat, yang mencakup seksi pekbaran Injil dan seksi musik. i) Dewan diakonia adalah organ pelayanan di tingkat jemaat, yang memikirkan dan melaksanakan pelayanan diakonia, meningkatkan pengetahuan dan kesehatan, demikian juga melaksanakan percakapan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar maupun pemerintah, yang mencakup seksi diakonia sosial, seksi pendidikan, seksi kesehatan, dan seksi kemasyarakatan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Strategi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif dengan format deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yag terjadi. Kemudian mengangkat ke permukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun variabel tersebut (Bungin, 2005:44). 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea Makassar. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea merupakan salah satu gereja besar di kota Makassar yang jemaatnya berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Penelitian ini dilaksanaka pada bulan Maret 2015 sampai selesai. 3.3 Tipe dan Dasar Penelitian 3.3.1. Tipe penelitian Adapun tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskrif yakni sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran atau uraian yang bersifat deskriptif mengenai suatu kolektifitas objek yang diteliti secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada. Dasar Penelitian Penelitian ini didasari dengan maksud untuk menggambarkan secara deskriptif bagaimana pola interaksi antar jemaat Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea. Hal-hal tersebutlah yang menjadi fokus dan dikaji serta dianalisis secara statistik deskriptif yang disajikan dalam bentuk table yang bertujuan hanya menggambarkan keadaan gejala sosial apa adanya tanpa melihat hubungan yang ada. 3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1. Populasi Dalam metode penelitian kata populasi digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karenanya, populasi penelitian merupakan keseluruhan dari objek penelitian (Burhan, 2005:99). Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah para jemaat dan hamba Tuhan (Pendeta) yang bertugas di Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea. 3.4.2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel secara sederhana dapat diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998:144). Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah jemaat yang telah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh peneliti, yakni mereka yang telah menjadi jemaat di Gereja Toraja Jemaat Tamalanrea selama minimal 5 tahun. Adapun teknik pengambilan sampel ialah dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel dipilih secara disengaja berdasarkan kriteria tertentu. Penentuan sampel yang terpilih dilakukan dengan pengetahuan bahwa sampel bersangkutan tidaklah representatif terhadap populasi. 3.5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan atau mengumpulkan data (informasi) yang dapat menjelaskan dan atau menjawab permasalahan penelitian yang bersangkutan secara objektif. Dalam penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 3.5.1. Pengamatan (Observasi) Pengamatan (observasi) adalah metode pengumpulan data dimana peneliti atau kolaborator mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa itu biasa dengan melihat, mendengar, merasakan, yang kemudian dicatat seobjektif mungkin (Gulo, 2002:119). 3.5.2. Questioner (Kuisioner) Merupakan suatu daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan-pertanyaan mengenai sesuatu hal atau sesuatu bidang. Selain itu kuisioner dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban dari responden. 3.5.3. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yakni mengadakan penelitian dengan mengumpulkan data melalui studi kepustakaan dan mempelajari buku yang berhubungan dengan objek yag diteliti. 3.6. Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini digunakan cara penganalisaan dengan membuat tabel data dari jawaban responden berbentuk analisa persentase dan disertai penjelasan. Hasil yang diperoleh akan dibuat kesimpulan dari permasalahan yang diajukan disertai saran-saran yang diberikan oleh penulis. DAFTAR PUSTAKA Bungin, Prof. Dr. HM. Burhan. 2005.Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana. Nawawi, Hadari.2006.Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta : UGM Press. Soekantao, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Soekantao, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Revisi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Kencana. Sumber Lain https://www.questia.com/read/76761483/human-society http://books.google.co.id/books?hl=id&id=o8QMAQAAIAAJ&q=bentuk-bentuk+interaksi https://books.google.co.id/books?id=9ZkIAAAAQBAJ&pg=PA92&lpg=PA92&dq=pledge+of+allegiance+Kornblum&source=bl&ots=mcAkt7wN1M&sig=M1_wmpBFgm9EsLofLUAbRIW8eEg&hl=en&sa=X&ei=b_75VM3fKM2xuAT5s4DQDQ&ved=0CBwQ6AEwAA#v=onepage&q=pledge%20of%20allegiance%20Kornblum&f=false https://saumiere.wordpress.com/category/assignment/ http://kulpulan-materi.blogspot.com/2012/04/agama-dan-perubahan-sosial.html http://digilib.unila.ac.id/6173/16/BAB%20III.pdf http://thesis.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab3/2011-2-00388-mc%203.pdf http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/23/jtptunimus-gdl-s1-2008-suryonoe2a-1110-3-bab3.pdf