Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Penelitian Psikologi Lintas Budaya Turnover Intention Pada Karyawan Generasi Y dalam Budaya Kolektivisme Oleh : Mirza Alnadya 111111157 Kelas C FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA TAHUN 2014 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi ini persaingan dalam dunia industri menjadi sangat ketat. Setiap perusahaan berlomba-lomba untuk menjadi perusahaan yang maju dan berkompeten di bidangnya, yaitu dengan memaksimalkan fungsi sumber daya yang dimilikinya. Sumber daya manusia salah satunya yang mampu menunjang kesuksesan setiap perusahaan. Walaupun saat ini sudah banyak tekhnologi yang canggih namun keberadaan manusia tetap tidak bisa digantikan. Itulah mengapa karyawan merupakan aset yang sangat penting di perusahaan. Saat ini kebutuhan perusahaan tidak hanya memenuhi produksi melain kan, perusahaan juga melakukan recruitment dan training pada setiap karyawannya dengan harapan memberikan kinerja yang sesuai dengan tujuan dari perusahaan. Setiap perusahaan memiliki kebijakan-kebijakan untuk setiap karyawan, seperti adanya kompensasi, bonus, dan cuti setiap tahun dengan harapan karyawan tidak berpindah-pindah ke perusahaan yang lain. Apabila karyawan berpindah-pindah pekerjaan dapat mengakibatkan kerugian pada perusahaan dalam segi finansial. Pengaruh budaya termasuk salah satu faktor yang mampu menyebabkan terjadinya intention turnover. Budaya kolektivisme begitu banyak dibicarakan saat ini. Terutama untuk budaya individualisme yang sering diasosiasikan untuk mayarakat yang maju dan modern, sedangkan untuk budaya yang kolektivisme identik bagi masyarakat yang tradisional dan primitif (Trompenaar & Turner, 1997 dalam Septarini B.G dkk, 2010). Menurut Hofstede (1991 dalam Septarini B.G dkk, 2010) Budaya kolektivisme merupakan budaya yang memiliki ikatan kelompok yang kuat sepanjang masa hidup mereka untuk saling memberikan perlindungan satu sama lain. Tidak menutup kemungkinan budaya kolektivisme hanya pada masyarakat tradisional sebab pada negara maju yang memiliki tingkat kolektivisme tinggi maka mereka memiliki kepedulian terhadap orang lain dalam kelompok serta mengharapkan orang lain untuk peduli terhadap dirinya secara timbal balik. Sedangkan menurut Hofstede (2005 dalam Susana T., 2006) individualisme merupakan hubungan antara seseorang yang longgar tidak adanya saling bergantung satu sama lain. Setiap orang yang memiliki tingkat individualisme yang tinggi cenderung untuk mengharapkan agar mampu menjaga dirinya sendiri dan keluarga dekatnya saja. Indonesia merupakan negara yang cenderung pada budaya kolektivisme yang memiliki interaksi sosial kepada orang lain yang tinggi. Ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Hofstede (1991 dalam Septarini B.G dkk, 2010) bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat kolektivisme yang tinggi dibandingkan India, Jepang, Malaysia, Philipina dan negara-negara Arab. Ini juga terbukti hasil observasi Schuetzendorf (dalam Ruky, 2002 dalam Septarini B.G dkk, 2010) pada tahun 1989 di Indonesia budaya kolektivisme ditunjukkan dengan kecenderungan anggota kelompok yang saling mendukung (diistilahkan dengan ‘Gotong Royong’) befungsi untuk menerima perlindungan dari anggota lainnya untuk menciptakan keharmonisan. Saat ini Indonesia memiliki generasi Y yang cukup tinggi, berdasarkan data statistik yang didapatkan dari Dunamis Consulting pada bulan Oktober 2013 jika jumlah karyawan Generasi Y pada perusahaan sekitar 37% (Sibarani R, 2013). Dimana angka tersebut cukup besar sekali. Itulah mengapa Generasi Y ini merupakan penerus sebagai pengganti generasi boomers kedepannya. Itulah bukti yang harus diwaspadai oleh setiap perusahaan di Indonesia sebab budaya yang terbentuk di Indonesia adalah kolektivisme, namun adanya generasi Y yang bertolak belakang dengan budaya kolektivisme tersebut. Maka itu menjadikan tantangan bagi perusahaan harus memikirkan atas kedatangan generasi Y pada perusahaan mereka agar tidak menjadi turnover intention. Fenomena turnover merupakan hal sangat merugikan pada perusahaan, sebab pada lembaga pemasyarakatan pada suatu negara harus kehilangan $21 juta USD dalam satu tahun dari pergantian staf (Bonhan, 2007 dalam Griffin, Marie L dkk, 2013). Itulah salah contoh dari kerugian yang terjadi jika intensitas turnover tinggi pada perusahaan. Selain itu dampak dari turnover, adanya kerugian yang harus ditanggung perusahaan meliputi rekruitmen karyawan dan pelatihan untuk staf baru yang harus menghabiskan biaya ribuan dollar (Kiekbusch, Price, & Theis, 2003 dalam Griffin, Marie L dkk, 2013). Oleh karena itu perusahaan harus terus menjaga kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan karyawan, demi menunjang kepuasang karyawan agar tidak beralih ke perusahaan yang lainnya. Turnover merupakan berakhirnya suatu pekerjaan resmi antara seseorang dengan perusahaan yang memperkerjakannya (Hom & Griffeth, 1995 dalam Griffin, Marie L dkk, 2013). Selain itu menurut Price (2001, dalam Long dkk, 2012) bahwa turnover merupakan suatu tindakan individu melewati batas keanggotaan dari sebuah organisasi. Para karyawan memiliki niatan untuk berpindah pekerjaan itulah salah satu tanda-tanda awal akan terjadinya turnover dalam organisasi (Nahusona, 2004 dalam Riyanto, 2008). Turnover intention menurut March dan Simon (1958) merupakan adanya keinginan atau niatan dan kesempatan untuk mengakhiri hubungan antara karyawan dengan organisasi saat mereka bekerja (Jeswani S dkk, 2012). Selain itu terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi turnover intention yaitu faktor organisasi, faktor individual , serta harapan yang berkaitan dengan pekerjaan dan pasar tenaga kerja (Mobley dkk, 1979 dalam Jeswani S dkk, 2012). Pada penelitian terdahulu jika intention to leave (keinginan untuk pindah) merupakan penyabab langsung dari terjadinya turnover (Lee dan Mowday, 1987,Michael & Spector, 1982 dalam Riyanto, 2008). Saat karyawan merasa ingin pindah kerja dikarenakan diluar terdapat tawaran pekerjaan yang lebih baik, namun jika tidak ada tawaran yang lebih baik maka emosional dan mental mereka akan menunjukkan performa yang sangat menurun seperti sering datang terlambat, sering bolos dan kurangnya produktivitas dalam bekerja (Rus dan McNeily, 1995 dalam Riyanto, 2008). Selain itu terdapat penelitian terdahulu yang menyatakan jika turnover dan turnover intention dapat terjadi akibat dari kharakteristik individu dan faktor tempat mereka bekerja (Minor et al., 2011 dalam dalam Griffin, Marie L dkk, 2013). Namun pada penelitian yang dilakukan Mitchell (et al., 2000 dalam Griffin, Marie L dkk, 2013) mengatakan bahwa tidak hubungan antara kharakteristik individu yaitu umur dengan turnover. Itulah mengapa pada penelitian kualitatif ini penulis berharap dapat menemukan gambaran umum mengenai turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme. Setelah mengetahui gambaran umum mengenai turnover intention karyawan pada generasi Y pada budaya kolektivisme tersebut, pada tahap rekruitmen karyawan ataupun pengelolaan saat sudah diterima, perusahaan diharapkan mampu memberikan kompetensi atau karakteristik tertentu. Serta mampu mengatasi karyawan generasi Y dengan mempertimbangkan budaya sehingga mampu terus bertahan pada perusahaan tersebut tanpa adanya turnover. Dengan begitu, kerugian finansial perusahaan akibat adanya turnover karyawan dapat diminimalisir. 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan dalam grand tour question berikut "Bagaimana gambaran turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme ?” 1.3 Signifikansi Penelitian Berdasarkan beberapa studi literatur, bahwa fenomena dilapangan mengenai penelitian tentang turnover telah dilakukan sebelumnya, namun yang membedakan literatur tersebut sangat minim menggunakan penelitian kualitatif. Beberapa studi mengenai turnover lebih menggunakan penelitian kuantitatif yang dihubungkan dengan komitmen kerja, kepribadian pegawai, dan kepuasan kerja. Turnover merupakan ancaman bagi setiap perusahaan yang sebaiknya dihindari. Sebab dari peristiwa tersebut memiliki dampak secara langsung maupun tidak langsung bagi perusahaan. Terdapat penelitian yang mengatakan jika kepribadian merupakan menjadi faktor adanya turnover intention. Penelitian ini dilakukan oleh Saket Jeswani & Sumita Dave di negara India untuk mengujii efek kepribadian terhadap itensi turnover pada Dosen Fakultas Institut Pendidikan Tekhnologi India, dan penelitian tersebut menggunakan kuesioner yang disebar pada 1000 dosen di seluruh India secara online, namun yang merespon hanya 261 orang. Itu terbukti jika model kepribadian Big Five dari Goldberg (1981) hasilnya significant denan turnover intention. Selain itu terdapat aspek lain yang membahas penyebab dari turnover intention yaitu jenis kelamin, ras, pendidikan dan umur. Ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Griffin, Marie L. dkk (2013) yang menghasilkan jika terdapat hubungan yang berkorelasi positif antara ke empat aspek tersebut dengan turnover intention. Selain itu lingkungan kerja juga termasuk faktor yang mampu menyebabkan fenomena tersebut. Pada penelitian ini turnover intention berkorelasi positif pada lingkungan kerja. Sebab ketika karyawan merasa tidak nyaman dengan lingkungannya ada kemungkinan dia memilih untuk meninggalkan perusahaan tersebut. Banyak spekulasi atau pendapat mengenai penyebab terjadinya intention turnover. Apabila ketidakpuasan karyawan tidak diperhatikan secara mendetail maka permasalahan mungkin akan terus berkembang, yang nantinya akan berakhir meninggalkan organisasi (Ali, 2002 dalam Tnay dkk, 2013). Pada penelitian yang dilakukan Tnay,dkk (2013) menjelaskan jika terdapat beberapa permasalahan yang nantinya akan memicu perilaku turnover pada karyawan, salah satunya dengan menemukan pengaruh dari kepuasaan kerja (kepuasan terhadap gaji, dukungan dari atasan, dll) dan komitmen organisasi pada karyawan. Penelitian ini menggunakan survey kuesioner sejumlah 100 buah yang didistribusikan kepada karyawan manajemen dan non-manajemen. Namun yang hanya terkumpul sebanyak 85 kuesioner. Hasilnya menunjukkan jika adanya hubungan yang signifikan hubungan antara kepuasan terhadap pendapatan dengan intensi turnover pada karyawan, signifikan hubungan antara dukungan supervisor dengan intensi turnover pada karyawan dan signifikan hubungan antara komitmen organisasi dengan intensi turnover pada karyawan Beberapa peneliti melakukan riset dengan subyek karyawan biasa tanpa ada kriteria khusus. Generasi Y merupakan generasi yang menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Disebabkan kharateristiknya yang begitu berbeda dengan generasi lainnya. Pada penelitian yang dilakukan Crampton, Suzanne M. dkk (2009). Dijelaskan secara mendetail generasi-generasi dari beberapa periode dari Veteran, Baby boomers, generasi X, hingga generasi Y. Dijelaskan jika banyak sekali perusahaan harus melakukan penanganan khusus terhadap generasi Y, ditambah lagi generasi Y merupakan penerus dari generasi seblumnya. Oleh karena itu Crampton, Suzzanne M., dkk (2009) berharap jika setiap perusahaan mampu mengelola generasi Y dengan cara yang baik dan tidak mudah melakukan intention turnover. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran intention turnover pada karyawan generasi Y dengan budaya kolektivisme sehingga perusahaan-perusahaan di Indonesia mengetahui mengenai kecenderungan generasi Y tersebut untuk melakukan turnover. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan pertolongan kepada perusahaan – perusahaan di era tahun 2000an ini, agar tidak terjadi kerugian yang disebabkan oleh turnover karyawan pada generasi Y. 1.5 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan literatur dan memperkaya teori tentang turnover dan turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme. Selain itu dengan adanya penelitian ini mampu memberikan pengembangan teori turnover intention dalam lingkup Psikologi Industri dan Organisasi. Manfaat praktis Mampu memberikan wawasan atau informasi secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia terutama di bidang HRM mengenai gambaran turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme. Memberikan sumbangan acuan yang digunakan praktisi HRM untuk membuat rancangan atau strategi dalam rekrutmen training maupun pelatihan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau meminimalisir kerugian yang disebabkan oleh turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme. . BAB II PERSPEKTIF TEORITIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kolektivisme Hofstede (2005 dalam Susana T., 2006) mengartikan kolektivisme sebagai ikatan emosional begitu kuat yang dimiliki oleh setiap individu. Masyarakat kolektivisme sangat menekankan ketergantungan emosi, solidaritas, sharing, keputusan kelompok, kewajiban dan keharusan dan keinginan akan persahabatan yang stabil dan memuaskan. Menurut (Koentjaraningrat, 1997 dalam Septarini B.G dkk, 2010) berpendapat jika kolektivisme merupakan suatu budaya yang dimili bangsa yang memuat beberapa aspek negative dan positif dalam kinerja sumber daya manusia Indonesia. Untuk aspek negatif, praktek kolektivisme di Indonesia merupakan salah satu penyebab penghambat kemajuan sumber daya manusia Indonesia dan termasuk kondisi yang tradisional dan primitif (Trompenaars & Turner, 1997 dalam Septarini B.G dkk, 2010). Kolektivisme menurut Triandis (1995 dalam Susana T., 2006)) mendefenisikan kolektivisme sebagai budaya yang condong untuk saling tergantung bersama individu satu dengan individu yang lainnya, serta lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan untuk kepentingan pribadi dan mampu mendefiniskan diri sebagai bagian dari kelompok. Berdasarkan penjelasan mengenai definisi kolektivisme maka dapat disimpulkan bahwa kolektivisme merupakan suatu budaya yang identik untuk saling bergantung anatar satu individu dengan yang lainnya. Selain itu kolektivisme juga memiliki aspek positif dan negatif bagi sumber daya manusia di Indonesia. 2.1.1.1 Dimensi Kolektivisme Pespektif Hofstede (dalam Septarini B.G dkk, 2010) mengenai kolektivisme dalam dimensi berikut : 1. Hubungan antara subordinat dengan ordinat Dalam keluarga patriarki masyarakat kolektif, tokoh ayah sebagai kepala keluarga yang mempunyai kekuasaan dan otoritas moral yang kuat digunakan untuk mengatur keluarganya. Dalam dunia kerja, atasan menempati kedudukan ordinat dan bawahan adalah subordinatnya. Adanya hubungan atasan dan bawahan yang seperti dalam kehidupan keluarga, memiliki hubungan moral yang lebih utama 2. Hubungan antara individu dengan kelompok Masyarakat kolektivis, anak-anak dilahirkan dan dibesarkan ditengah keluarga besar. Itu yang menyebabkan dalam perkembangan anak mampu identifikasi dirinya bahwa dirinya bagian dari kelompok, sebagai bagian dari ‘kami’ yang memiliki perbedaan dengan ‘mereka’ dari kelompok lain. Kesetiaan individu terhadap kelompok merupakan hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Hal ini dapat berarti sebagai pemerataan kesejahteraan, dimana individu dengan pendapatan lebih wajib membantu keluarganya yang kekurangan. Budaya malu dikembangkan bila individu melakukan kesalahan. Individu cenderung merasa malu terhadap kelompoknya bila ia melakukan penyimpangan, bukan merasa bersalah yang lebih mengarah pada introspeksi pribadi. Hal ini berkaitan dengan kuatnya ikatan kelompok, sehingga kesalahan individu seringkali disamakan dengan kesalahan kelompok yang harus ditanggung bersama. 3. Pengambilan keputusan Keputusan merupakan hasil konsensus yang mengutamakan kepentingan bersama. Pendapat pribadi ditentukan oleh kelompok, bila perlu diadakan pertemuan keluarga besar untuk membahas persoalan anggota kelompok. Individu yang mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat kelompok dianggap memiliki karakter yang tidak baik. 4. Harmonisasi Harmoni merupakan kunci ketahanan kelompok. Konfrontasi langsung sedapat mungkin harus dihindari karena dianggap sebagai kekasaran dan tidak diharapkan terjadi. Kata ‘tidak’ jarang digunakan sebab diasosiasikan dengan penolakan yang mengarah pada konfrontasi dan memicu konflik. 5. Komunikasi Komunikasi masyarakat kolektivis merupakan high context communication, demikian menurut Edward T. Hall (dalam Hofstede, 1991), dimana informasi tidak perlu dikatakan atau disampaikan secara verbal seluruhnya, melainkan secara eksplisit melalui pertanda dan bahasa tubuh tertentu. Kata ‘ya’ bukan berarti persetujuan, namun lebih diartikan sebagai penghargaan atas pendapat seseorang, karena kata ‘tidak’ senantiasa dihindari dalam masyarakat kolektivis agar tidak mengecewakan orang lain. Komunikasi dilakukan secara tidak langsung. Evaluasi dan teguran terhadap kinerja seseorang tidak disampaikan secara langsung terhadap yang bersangkutan, karena dianggap menyinggung dan mempermalukan perasaan seseorang, sehingga disampaikan melalui arbitrator yang dapat dipercaya oleh kedua pihak atau melalui cara non verbal. 6. Sistem manajemen Manajemen dalam masyarakat kolektivis merupakan manajemen oleh kelompok. Secara emosional anggota menggabungkan dirinya dalam suatu kelompok kerja tertentu berdasar latar belakang yang sama. Etnis dan perbedaan antar kelompok merupakan pertimbangan dalam penempatan kerja. Bonus dan penghargaan diberikan pada kelompok, bukan terhadap individu, karena keberhasilan kerja dihasilkan oleh kerja kelompok, bukan kinerja pribadi. 2.1.2 Karyawan Pada umumnya karyawan lebih dikenal dengan istilah tenaga kerja dibandingkan karyawan. Istilah tersebut biasanya berkaitan dengan lembaga tempat dimana karyawan tersebut bekerja, sehingga dikenal dengan karyawan sebuah perusahaan tertentu.. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa tenaga kerja merupakan orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Maka itulah karyawan merupakan bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan. Karyawan merupakan kunci utama dalam proses produktif, disebabkan tanpa adanya karyawan suatu perusahaan tidak dapat beroprasi. Memperlakukan karyawan pasti lebih istimewa dibandingkan dengan alat produksi lain seperti mesin atau modal. Karyawan merupakan manusia atau makhluk yang bermartabat sehingga membutuhkan dukungan dari perusahaan demi menghasilkan kinerja yang baik. (Simanjuntak, 2002). Itulah mengapa jika perusahaan ingin maji maka harus juha memperhatikan kemajuan dan kesejahteraan karyawan pada perusahaan tersebut. 2.1.3 Generasi Y Setiap perkembangan jaman di dunia ini akan membentuk kharakteristik manusia yang sangat beragam dari setiap periode waktu tertentu. Khususnya pada lingkungan kerja, kita akan menemukan beberapa orang dari generasi tertentu yang saling bekerja dalam satu perusahaan. Namun saat ini untuk generasi yang sudah cukup tua yaitu disebut dengan generasi Matures yang lahir sekitar tahun 1929-1945, selanjutnya terdapat generasi Boomers yang lahir sekitar tahun 1946-1964, dan yang terakhir generasi Xers lahir sekitar tahun 1965-1979 (De Meuse, 2010). Itulah untuk era tahun ini generasi Y akan menjadi generasi yang dominan dan sebagai penerus dari suatu perusahaan nantinya (Crampton, Suzanne M. dkk, 2009). Generasi Y adalah manusia dengan kelahiran sekitar tahun 1980 sampai 1999, merupakan generasi yang lahir pada jaman yang sudah modern dan proses belajar sudah mampu diakses dengan muda. Itu yang menyebabkan generasi ini termasuk generasi yang paling memiliki pendidikan yang baik dibandingkan generasi yang lainnya. Serta merupakan generasi yang hidup dengan kecanggihan tekhnologi seperti komputer, telpon seluler (HP) dan internet sehingga dijadikan mereka suatu hal yang begitu penting (Crampton, Suzanne M. dkk, 2009). Menurut Tulgan dan Martin 2001 (dalam Crampton, Suzanne M. dkk, 2009) bahwa generasi Y hampir mirip kharakteristiknya dengan generasi X. Generasi Y memiliki kharakteristik yaitu independen, berkemampuan tekhnologi yang begitu baik, bekerja keras, kewirausahaan dan berkembang secara fleksibel. Namun generasi Y lebih kuat kharakteristiknya dibandingkan dengan generasi X. Generasi X dan Y adalah kurang berkomitmen untuk bekerja dibandingkan dengan generasi sebelumnya yaitu Baby Boomers ataupun Matures. 2.1.4 Karyawan Generasi Y Merupakan tenaga kerja yang lahir pada tahun sekitar tahun 1980 sampai 1999 (Crampton, Suzanne M. dkk, 2009). Pada era 2000an ini karyawan generasi Y merupakan karyawan yang memiliki umur masih muda dan mereka akan bertugas sebagai pengganti dari generasi sebelumnya pada perusahaan. Karyawan generasi Y ini akan menjadi generasi yang dominan untuk beberapa tahun kedepan dan memiliki jenjang pendidikan yang sudah modern(Crampton, Suzanne M. dkk, 2009). Sehingga generasi Y sudah tidak untuk diragukan lagi keberadaanya. 2.1.5 Turnover Turnover merupakan berakhirnya suatu pekerjaan resmi antara seseorang dengan perusahaan yang memperkerjakannya (Hom & Griffeth, 1995 dalam Griffin, Marie L dkk, 2013). Turnover menurut Price (2001, dalam Long dkk, 2012) yaitu suatu tindakan individu melewati batas keanggotaan dari sebuah organisasi. Perilaku turnover ini merupakan hal yang begitu sulit untuk dihindari oleh setiap perusahaan. Banyak sekali perusahaan yang mengeluhkan tindakan ini atas perilaku karyawannya tersebut. Menurut Price (2001, dalam Griffin, Marie L dkk, 2013) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis turnover pada karyawan, yaitu voluntary dan involuntary turnover. Voluntary turnover yaitu adanya keputusan yang ditetapkan karyawan secara sukarela untuk meninggalkan keanggotaan dari sebuah oranganiasi. Sedangkan involuntary turnover tindakan yang dilakukan perusahaan untuk melakukan pergerakan melewati keanggotaan suatu organisasi yang tidak berdasarkan keinginan karyawan sendiri. Pada beberapa kasus di perusahaan yang melakukan involuntary turnover memberikan keuntungan bagi organisasi sebab jika terdapat karyawan yang tidak produktif akan langsung dihapus (Orrick, 2005 dalam Griffin, Marie L dkk, 2013) Tindakan karyawan yang melakukan turnover secara sukarela atau yang biasa disebut dengan voluntary turnover itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan pribadi yang dialami oleh karyawan tersebut sehingga memutuskan untuk meninggalkan perusahaan. Misalnya seperti kehamilan karyawati sehingga memutuskan untuk berhenti bekerja, ingin pindah pekerjaan atau sudah diterima di pekerjaan yang lebih menjanjikan atau terkadang berkaitan dengan masalah yang ada di kantor seperti masalah dengan pimpinan atau lingkungan kerja. Hal tersebut sangat sulit untuk dihindari perusahaan. Sedangkan karyawan yang melakukan involuntary turnover yang biasanya muncul dikarenakan adanya kematian, phk, ataupun pemecatan karena ketidakcocokan antara organisasi dengan karyawan lagi. Menurut Mobley (1986, dalam Nisa Happy D.W. dkk, 2012) faktor-faktor yang mampu mempengaruhi turnover karyawan dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor organisasional dan faktor individual. Berikut adalah faktor-faktor tersebut : Faktor Organisasional yang mempengaruhi turnover karyawan Kategori-kategori jabatan Price (1979) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa pergantian karyawan lebih banyak terjadi pada: (1) tenaga kerja kasar daripada tenaga kerja halus, (2) tingkat-tingkat keterampilan yang lebih rendah di kalangan tenaga kasar, (3) kategori-kategori yang bukan manajerial. Besar kecilnya Organisasi Secara konseptual, besar-kecilnya organisasi berhubungan dengan pergantian karyawan yang tidak begitu banyak, karena organisasi-organisasi lebih besar memiliki kesempatan-kesempatan mobilitas intern yang lebih banyak, seleksi personalia yang canggih, proses manajemen sumber daya manusia, sistem imbalan yang lebih bersaing, serta penelitian-penelitian yang dicurahkan bagi pergantian karyawan. c) Besar Kecilnya Unit Kerja Besar kecilnya unit kerja berkaitan dengan pergantian karyawan melalui faktor-faktor lain seperti keterpaduan kelompok, personalisasi, dan komunikasi. d) Penggajian Pergantian karyawan ada pada tingkat tertinggi dalam industri-industri yang membayar karyawannya dengan rendah. e) Bobot Kerja Maksud dari bobot kerja disini adalah hubungan antara pergantian karyawan dengan ciri-ciri pekerjaan tertentu, termasuk rutinitas atau pengulangan tugas, autonomi dan tanggung jawab pekerjaan. Faktor Individual Usia Karyawan yang lebih muda lebih besar kemungkinannya untuk keluar. Karyawan yang lebih muda seringkali merasa mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mendapat pekerjaan baru dan memiliki tanggung jawab kekeluargaan yang lebih kecil, sehingga lebih mudah dalam menjalani mobilitas pekerjaan. Masa kerja Turnover karyawan jauh lebih banyak terdapat pada karyawan-karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Mangione (1973, dalam Happy D.W. dkk, 2012) dalam suatu telaah nasional yang bervariasi, mendapati bahwa panjangnya masa kerja adalah faktor peramal pergantian karyawan yang terbaik. Jenis Kelamin Jenis kelamin dapat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang lain seperti jabatan dan tanggung jawab keluarga. Pendidikan Kajian mengenai pendidikan banyak didasarkan pada individu-individu dengan pendidikan yang sama, makna pendidikan sebagai suatu faktor pun patut untuk dipertanyakan jika mengingat besarnya perbedaan mutu pendidikan. Data Biografik Menurut (Muchinsky dan Turtle, 1979 dalam Happy D.W. dkk, 2012) kebanyakan dari sumber yang ada menunjukkan bahwa data biografik bermanfaat bagi prediktor turnover karyawan. Kepribadian Menurut Porter dan Steers (1973, dalam Happy D.W. dkk, 2012), orang-orang yang meninggalkan organisasi cenderung memiliki ujung batas faktor-faktor kepribadian, seperti prestasi, agresi, kemandirian dan kepercayaan pada diri sendiri. Minat Apabila minat karyawan memiliki kemiripan atau bahkan sama dengan syarat-syarat pekerjaan yang diajukan oleh perusahaan, maka laju terjadinya turnover karyawan akan semakin rendah. Bakat dan kemampuan. Apabila organisasi mempergunakan bakat yang dimiliki oleh karyawan dalam pekerjaannya, maka hal ini dapat menjadi faktor prediktor bagi turnover karyawan. 2.1.6 Turnover Intention Turnover intention menurut March dan Simon (1958) merupakan adanya keinginan atau niatan dan kesempatan untuk mengakhiri hubungan antara karyawan dengan organisasi saat mereka bekerja (Jeswani S dkk, 2012). Tidak seperti aktual turnover, niat berpindah kerja (turnover intention) bersifat tidak eksplisit dan merupakan suatu pernyataan mengenai ketertarikan individu terhadap perilaku tertentu (Berndt, 1981 dalam Long dkk, 2012). Pada penelitian sebelumnya dikatakan jika intention to leave (keinginan untuk pindah) merupakan penyabab langsung dari terjadinya turnover (Michael & Spector, 1982, Lee dan Mowday, 1987 dalam Riyanto, 2008). Saat karyawan merasa ingin pindah kerja dikarenakan diluar terdapat tawaran pekerjaan yang lebih baik, namun jika tidak ada tawaran yang lebih baik maka emosional dan mental mereka akan menunjukkan performa yang sangat menurun seperti sering datang terlambat, sering bolos dan kurangnya produktivitas dalam bekerja atau disebut dengan kinerja yang menurun (Rus dan McNeily, 1995 dalam Riyanto, 2008). Selain itu terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi turnover intention yaitu faktor organisasi, faktor individual , serta harapan yang berkaitan dengan pekerjaan dan pasar tenaga kerja (Mobley dkk, 1979 dalam Jeswani S dkk, 2012). 2.2 Perspektif Teori Budaya Kolektivisme yaitu cenderung untuk saling bergantung dengan orang lain dan memiliki ikatan emosional yang lebih besar yang dimiliki oleh setiap individu (Hofstede 2005 dalam Susana T., 2006). Terutama di Indonesia termasuk memiliki tingkat kolektivisme yang tinggi. Ini menjadi suatu fenonema yang hangat diperbincangkan sebab generasi Y merupakan generasi yang lebih mementingkan kepentingnan sendiri, dikarenakan generasi Y ini lahir pada jaman yang sudah modern dan proses belajar sudah mampu diakses dengan muda. Itu yang menyebabkan generasi ini termasuk generasi yang paling memiliki pendidikan yang baik dibandingkan generasi yang lainnya (Crampton, Suzanne M. dkk, 2009). Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengetahui lebih lanjut, bagaimana gambaran turnover intention pada karyawan yang khususnya karyawan generasi Y pada budaya kolektivisme. Dikarenakan terdapat penelitian terdahulu menyatakan jika turnover dan turnover intention dapat terjadi akibat dari khrakateristik individu dan faktor tempat bekerja (Minor et al., 2011 dalam dalam Griffin, Marie L dkk, 2013). Namun pada penelitian yang dilakukan Mitchell (et al., 2000 dalam Griffin dalam Griffin, Marie L dkk, 2013) mengatakan bahwa tidak hubungan antara kharakteristik individu yaitu umur dengan turnover . Terdapat masalah lain yaitu adanya kharakteristik yang tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang tergolong memiliki budaya kolektivisme namun pada generasi Y lebih mengedepankan kepentingannya sendiri. Turnover intention merupakan sinyal awal akan terjadinya turnover pada karyawan di perusahaan dia bekerja. Pada penelitian sebelumnya dikatakan jika intention to leave (keinginan untuk pindah) merupakan penyabab langsung dari terjadinya turnover (Michael & Spector, 1982, Lee dan Mowday, 1987 dalam Riyanto, 2008). Ketika karyawan sudah memiliki niatan untuk pindah kerja, maka karyawa tersebut secara aktif akan berusaha mencari kesempatan untuk bekerja lagi ditempat yang berbeda. Disaat tempat kerja yang di dapatkan lebih menjanjikan daripada perusahaan sebelumnya maka karyawan akan semakin yakin untuk meninggalkan pekerjaannya. Walaupun nantinya karyawan tersebut tidak mendapatkan tempat bekerja yang lebih baik daripada tempat kerja sebelumnya maka akan berdampak kepada emosional dan mental mereka yang nantinya akan menunjukkan performa yang sangat menurun seperti sering datang terlambat, sering bolos dan kurangnya produktivitas dalam bekerja atau disebut dengan kinerja yang menurun (Rus dan McNeily, 1995 dalam Riyanto, 2008). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis mengenai turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memiliki prosedur-prosedur yang menghasilkan temuan yang didapatkan dari data-data yang dikumpulkan melalui berbagai sarana. Penelitian kualitatif ini terdapat prosedur-prosedur yang harus digunakan sehingga menghasilkan data yang deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2007). Pendekatan ini dapat mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena karena pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (Moleong, 2007). Dalam penelitian, peneliti secara sadar atau tidak, dalam dirinya ada cara memandang hal atau peristiwa. Cara memandang ini akan menjadi dasar peneliti untuk bertindak dan berperilaku tertentu dalam penelitiannya. Cara pandang ini memungkinkan peneliti untuk membentuk perangkat kepercayaan dalam dirinya yang didasarkan atas asumsi-asumsi tertentu yang dinamakan aksioma atau paradigma. Untuk itu, perlu pemahaman konsep mengenai paradigma dalam penelitian (Moleong, 2007). Paradigma sendiri mengandung pernyataan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia, dan karenanya, dalam konteks pelaksanaan penelitian, memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang diterima akal sehat (Patton dalam Poerwandari, 2005) sehingga dengan sendirinya, paradigma yang diyakini, terlepas dari hal tersebut tepat atau kurang tepat, bersifat self-validating (Poerwandari, 2001). Ada berbagai macam paradigma dalam penelitian kualitatif. Sarantakos menyebutkan adanya dua paradigma besar yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu tentang manusia, yakni paradigma positivistik dan dan paradigma interpretif. Sarantakos masih menyebutkan satu paradigma lagi, yakni paradigma kritikal, yang menyusul berkembang dan memberi banyak masukan bagi ilmu pengetahuan (Sarantakos dalam Poerwandari, 2001). Dari ketiga paradigma yaitu positivisme, interpretative/ fenomenologis dan critical (kritis) penulis menggunakan paradigma interpretative/fenomenologis. Paradigma memiliki pendapat bahwa penelitian sosial tidak selalu dan memiliki nilai instrumental untuk sampai pada peramalan dan pengendalian fenomena sosial. Penelitian dilakukan untuk mengembangkan pemahaman peneliti dengan mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa, latar belakang belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakan makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi aspek penting seperti yang diuraikan Sarantakos (Sarakantos dalam Poerwandari, 2001). Secara epistemologi, melalui pendekatan ini peneliti dan subjek penelitian dapat saling berinteraksi. Sementara dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian. Peneliti berperan sebagai fasilitator yang menjembatani subyektivitas subyek dalam rangka memberikan data mengenai fenomena yang ada. Melalui metode penelitian fenomenologi ini, peneliti dapat mengetahui bagaimana gambaran turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme mengetahui mengenai kecenderungan generasi Y dalam budaya kolektivisme tersebut untuk melakukan turnover. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memberikan data secara mendetail dan mendalam mengenai fenomena yang ada di laporan dan lapangan, serta penulis merasakan kecocokan dengan kharakteristik penelitian yang akan dilakukan dengan harapan mampu mengeksplorasi mengenai penelitian turnover intention pada karyawan generasi Y dalam budaya kolektivisme. 3.2. Unit Analisis Unit analisis secara fundamental berkaitan dengan masalah penelitian apa yang dimaksud dengan kasus dalam penelitian yang dilakukan. Setiap studi kasus dan unit analisis harus sejalan dengan apa yang dikaji peneliti lain sebelumnya atau berbeda secara jelas dan operasional. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah : Budaya Kolektivisme pada Negara Indonesia Karyawan Orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (UU Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 Pasal 1) Generasi Y Generasi yang lahir sekitar tahun 1980- akhir tahun 1990 (De Meuse, 2010) Turnover Intention Merupakan adanya keinginan atau niatan dan kesempatan untuk mengakhiri hubungan antara karyawan dengan organisasi saat mereka bekerja (Jeswani S dkk, 2012) 3.3. Subjek Penelitian Prosedur pemilihan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik: 1. Mengarahkan untuk tidak pada jumlah dengan sampel yang besar, dan untuk kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian. 2. Menenentukannya tidak kaku, tetapi mampu berubah jika dalam hal jumlah mapun kharakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konspetual yang berkembang dalam penelitian. 3. Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah/peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks. (Sarantakos, 1993, dalam Poerwandari, 2001) Berdasarkan karakteristik yang disebutkan diatas, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian (Poerwandari, 2001). Walaupun jumlah sampel tidak bisa ditentukan secara tegas di awal penelitian, pemilihan sampel menjadi subjek penelitian tetap ada. Untuk memilih subjek, penelitian ini menggunakan pendekatan purposive, yaitu sampel yang akan menjadi subjek peneltian tidak diambil secara acak tetapi dipilih mengikuti kriteria tertentu (Poerwandari, 2001). Sampel yang akan menjadi subjek penelitian dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Adapun kriteria subjek penelitian ini adalah: Karyawan yang bekerja pada suatu perusahaan dalam budaya kolektivisme Karyawan minimal lama bekerja selama 1 tahun Karyawan dengan usia 24 th- 19th Karyawan yang memiliki niatan turnover intention berdasarkan hasil skala likert yang telah penulis sebar. 3.4 Teknik Penggalian Data Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menggali data adalah teknik skala likert dan wawancara: Skala Likert Anticipated Turnover Scale merupakan skala yang dikembangkan oleh Hinshaw dan Atwood pada tahun 1978 yang digunkan untuk mengukur persepsi atau pendapat karyawan mengenai kemungkinan untuk secara sukarela berhenti dari pekerjaanya saat ini (Hinshaw & Atwood, 1984). Skala ini terdiri dari 12 aitem dalam bentuk skala likert dengan 7 pilihan respon jawaban (sangat setuju (1) – sangat tidak setuju (7)). Aitem-aitem pada skala ini berhubungan dengan lamanya jangka waktu yang diantisipasi karyawan untuk melakukan berhenti pada perusahaan dia bekerja dan mengenai kepastian untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya. Ini digunakan untuk memberikan informasi kepada peneliti terkait subjek yang mengalami turnover intention yang nantinya dapat langsung dilanjutkan pada tahap selanjutnya yaitu penggalian data menggunakan wawancara. Skor total yang didapatkan pada skala ini dengan menjumlahkan tiap aitem dalam skala berdasarkan angka dari tiap-tiap aitemnya. Semakin tinggi skor individu menunjukkan semakin besar keinginannya untuk meninggalkan posisi atau pekerjaannya sekarang. Hasil respon memiliki rata-rata > 3,5 dianggap sebagai indikasi untuk turnover intention (Armstrong, 2004 dalam Almalki, 2012). Menurut Hinshaw dan Atwood (1984), konstruk validitas untuk ATS ini diperkirakan menggunakan komponen utama faktor analisis dengan internal konsistensi reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,84 (Hinshaw & Atwood, 1984). Wawancara Wawancara adalah proses percakapan dan tanya jawab yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai makan-makna subjektif yang dipahami individu yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk., 1994, dalam Poerwandari, 2005). Jenis wawancara yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum, dengan mencatumkan isu-isu yang harus dibahas tanpa harus menentukan urutan pertanyaan. Agar proses wawancara tidak terasa kaku dan mampu mendapatkan informasi yang sesuai dengan fokus penelitian. Selain itu, tema pertanyaan yang akan dijawab subjek adalah tema yang masih bisa berkembang dalam pelaksanaan wawancara nantinya. Untuk memberikan hasil yang maksimal pada penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan sumber informasi dari minimal 2 sumber yang berbeda dan adanya proses wawancara dengan significant others yang dekat dengan subjek selama di tempat kerja. 3.4.3. Catatan Lapangan Saat wawancara peneliti juga melakukan pencatatan lapangan selama proses pengambilan data dilakukan. Pencatatan lapangan dilakukan untuk memberikan data pendukung dan kredibilitas, dengan cara mendeskripsikan mengenai hal-hal yang diamati yang di rasa penting oleh peneliti. Penulisan catatan lapangan dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, yang terpenting dapat diingat adalah catatan lapangan mutlak dibuat secara lengkap, dengan keteranga tanggal dan waktu yang juga lengkap. Bila pencatatan tidak mungkin dilakukan di lapangan, maka hal tersebut harus dilaukukan sesegera mungkin setelah peneliti meninggalkan lapangan. Peneliti harus menyadari bahwa peneliti tidak hanya dapat mengandalkan ingatannya saja, dan bila ia tidak sesegera mencatat apa yang diamatinya, sangat mungkin peneliti kehilangan nuansa apa yangdi amatinya. Catatan lapangan harus dekriptif, diberi tanggal dan waktu dan dicatat denga menyertakan informasi-informasi dasarseperti dimana observasi dilakukan. Catatan lapangan akan menjadi sangat penting saat peneliti melakukan analisis serta menyusun laporannya (Poerwandari 2001) Banister, dkk (1994) mengusulkan agar hal-hal dibawah ini diperhatikan saat melakukan pencatatan lapangan : a. Deskripsi konteks b. Deskripsi tentang siapa yang melakukan observasi c. Deskripsi tentang perilaku yang ditampilkan d. Interprestasi sementara peneliti terhadap kejadian yang di amati (dipisahkan dari catatan deskriptif) e. Pertimbangan tentang alternatif interpretasi lainnya f. Eksplorasi perasaan dan penghayatan peneliti terhadap kejadian yang diamati Bila relevan dan memungkinkan, catatan lapangan juga perlu diisi kutipan-kutipan langsung apa yang dikatakan obyek yang diamati sealama proses wawancara atau observasi berlangsung (Poerwandari 2001) 3.5 Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data Setelah mendapatkan data yang relevan, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis data. Dalam menganalisis data pada penelitian ini, peneliti merujuk pada model analisis data yang dikemukakan oleh Poerwandari (2001), yaitu: 3.5.1 Pengorganisasian Data Pengolahan dan analisis data yang sesungguhnya, dimulai dengan mengorganisasikan data. Highlen dan Finley (1996) mengemukakan bahwa organisasi data yang sistemastis memungkinkan peneliti untuk : Memperoleh kualitas data yang baik Mendokumentasikan analisis yang dilakukan Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal–hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasi adalah (Poerwandari, 2005) : Data mentah (hasil rekaman) Data yang sudah diproses sebagiannya (transkripsi wawancara, catatan refleksi peneliti) Data yang sudah ditandai/dibubuhi kode–kode spesifik Penjabaran kode–kode dan kategori–kategori secara luas melalui skema Memo dan draft insight untuk analisis data Catatan pencarian dan penemuan, yang disusun untuk memudahkan pencarian berbagai kategori data. Display data melalui skema atau jaringan informasi dalam bentuk padat atau esensial Episode analisis (dokumentasi dari langkah–langkah dan proses penelitian) Dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis Daftar indeks dari semua material Teks laporan 3.5.2 Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah analisis tematik. Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menelukan “pola” yang pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Setelah kita menemukan pola, kita akan mengklasifikasikan atau mengkode pola tersebut dengan memberi label, definisi atau deskripsi (Boyatzis, dalam Poerwandari, 2005) Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2005). Dalam menganalisis transkrip, peneliti dapat pula mengikuti langkah–langkah analisis yang disarankan Strauss dan Corbin (dalam Poerwandari, 2005): Koding terbuka (open coding) dalam tahap open coding memungkinkan peneliti mengidentifikasi kategori–kategori, property–property dan dimensi–dimensinya. Koding Axial (axial coding), mengorganisasi data melalui dikembangkannya hubungan–hubungan (koneksi) diantara kategori–kategori, atau diantara kategori dengan sub kategori–kategori dibawahnya. Koding Selektif (selective coding), melalui mana peneliti menyeleksi kategori yang paling mendasar, secara sistematis menghubungkannya dengan kategori–kategori lain dan memvalidasi hubungan–hubungan tersebut. 3.6 Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian Menurut Lincoln dan Guba, paling sedikit ada empat kriteria utama gunamenjamin keabsahan hasil penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005), yaitu: Transferbilitas Berupa pertanyaan yang empirik tidak dijawab oleh peneliti itu sendiri, tetapi dijawab dan dinilai oleh pembaca laporan penelitian. Hasil penelitian kualitatif mempunyai standar transferbilitas yang tinggi apabila para pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang konteks dan fokus penelitian. Kredibilitas Istilah validitas dan reliabilitas penelitian dalam penelitian kualitatif yang paling sering digunakan adalah kredibilitas (Jorgensen, 1989; Patton, 1990; Leininger, 1994 ; Lincoln dan Cuba dalam Marshall dan Rosman, 1995 dalam Poerwandari, 2005). Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mampu mencapai eksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi yang mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek–aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Adapun upaya yang dilakukan peneliti untuk mencapai kredibilitas adalah dengan cara sebagai berikut: Konsisten pada satu paradigma awal penelitian. Peneliti melakukan pendekatan personal terlebih dahulu dengan subyek. Membuat pertanyaan panduan yang merujuk pada konsep personal brand sebagai kerangka agar selama proses wawancara dan analisa data tidak melebar. Konfirmabilitas Konfirmabilitas (Confirmability) merupakan konstruk terakhir untuk menggantikan konsep mengenai obyektifitas. Obyektifitas dapat diartikan sebagai sesuatu yang muncul (emergent) dari hubungan subyek–subyek yang terinteraksi. Hal tersebut membuat obyektivitas dilihat sebagai konsep intersubyektivitas, terutama dalam rangka ‘pemindahan’ dari data yang subyektivitas kearah generalisasi data (data obyektif) (Poerwandari, 2005). Upaya yang ditempuh oleh peneliti untuk mencapai obyektivitas pada penelitian mengenai perkembangan psikososial intimasi kali ini adalah dengan mengungkapkan proses dan elemen–elemen penelitiannya kepada orang lain secara terbuka sehingga memungkinkan orang lain menilai hasil penelitian ini. Dependabilitas Lincoln dan Guba (dalam Poerwandari, 2005) mengusulkan suatu konstruk lain untuk menggantikan istilah reliabilitas dalam penelitian kualitatif yakni dependabilitas. Adapun jenisnya antara lain : Koherensi, yakni bahwa metode yang dipilih memang mencapai tujuan yang diinginkan. Keterbukaan, sejauh mana peneliti membuka diri dengan memanfaatkan metode–metode yang berbeda untuk mencapai tujuan. Diskursus, sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang lain (Sarantoks, 1993 dalam Poerwandari, 2005) Melalui konstruk ini peneliti memperhitungkan perubahan–perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena–fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti (Poerwandari, 2005). Upaya yang dilakukan peneliti agar memenuhi standar dependibilitas : Mencatat hal–hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan obyektif terhadap setting, partisipan, atau hal lain yang terkait. Terutama ketika proses wawancara dilakukan. Konsultasi dengan dosen terkait dengan tema penelitian, serta membaca referensi tambahan berkaitan dengan personal branding serta mengevaluasi proses wawancara. Melakukan pengecekan kembali data terkait dengan hasil-hasil wawancara. DAFTAR PUSTAKA Almalki, Mohammed Jubran. (2012). Quality of Work Life and Turnover Intention in Primary Healthcare Organisations: A Cross-Sectional0 x=h Study of Registered Nurses in Saudi Arabia. Queensland University of Technology. Crampton, Suzanne M., dkk. (2009). Generation Y: Unchartered Territory. Journal of Business & Economics Research – April, 2009 Volume 7, Number 4. De Meuse, Kenneth P., Mlodzki, Kevin J. 2010. A Second Look at Generational Differences in the Workforce : Implications for HR and Talent Management. Korn/Ferry Leadership and Talent Consulting, 33, 2, 51-58 Griffin, Marie L., Nancy L. Hogan dan Eric G. Lambert. 2013. Career Stage Theory and Turnover Intent Among Correctional Officers. Criminal Justice and Behavior. 2014 41: 4 originally published online 16 September 2013. Jeswani , Saket dan Sumita Dave. 2012. Impact of Individual Personality on Turnover Intention: A Study on Faculty Members. Journal of Management and Labour Studies 2012 37:253 Long, Choi Sang., Perumal, Panniruky., Ajagbe, M.A. (2012). The Impact of HRM Practices on Employees’ Turnover Intention: A Conceptual Model. Journal of Contemporary Research in Business, 4 (2), 629-641. Nisa, Happy D.W., Suharsono, Yudi., Ingarianti, Tri M. (2012). Hubungan antara Iklim Organisasi dengan Intensi Turnover pada Karyawan. Prosiding Seminar Nasional Peran Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas dan Efisiensi Organisasi, Indonesia, 74-94. Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi UI Riyanto, Makmun. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keinginan Karyawan Berpindah Kerja. Jurnal Pengembangan Humaniora, 8 (3), 115-121. Schultz, Duane and Sydney. 2010. Psychologhy and Work Today. Upper Saddle River : Prentice Hall. Septarini, B.G dan Ino, Yuwono. 2010. Pengaruh Budaya Kolektivisme terhadap Kompetensi Inti pada Kelompok Lini Manajerial PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Sibarani R. (2013) 37% Karyawan di Indonesia adalah Generasi Y, Sudah Siapkah Organisasi Anda?.www.dunamis.co.id/index.php/knowledge/details/press/155 Diakses pada tanggal 12 April 2014. Simanjuntak, Payaman, J. (2002). Undang-Undang yang Baru tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Kantor Perburuhan Internasional: Jakarta Susana, Tjipto. (2006). Evaluasi Terhadap Asumsi Teoritis Individualisme dan Kolektivisme: Sebuah Studi Meta Analisis. Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Volume 33 No. 1, 33-49 Tnay, e., Othman, A.E.A., Siong, H.C., dan Lim, S.L.O. (2013). The influences of job satisfaction and organizational commitment on turnover intention. Procedia – social and behavioral sciences, 97, 201-208. Undang- Undang Republik Indonesia. (2003). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_13_03.htm Diakses pada tanggal 7 Juli 2014. enelitian Psikologi Lintas Budaya Mirza Alnadya - 111111157 Page 34