Mungkin sudah ada perubahan tentang paradigma orang nomor dua. Dalam politik, nomor dua juga dianggap penting.
SETIAP pemimpin adalah orang nomor satu. Tapi dalam politik, orang bisa hanya cukup puas menjadi nomor dua, dan berkampanye untuk itu. Muhaimin Iskandar, misalnya, mempromosikan dirinya sendiri siap menjadi wakil presiden. Siapa presidennya? Tak jelas.
Juga ada Agus Harimurti Yudhoyono. Survei-survei politik memang menempatkan namanya hanya cukup jadi calon wakil presiden karena calon presidennya hanya dua: Joko Widodo, presiden yang sekarang, dan Prabowo Subianto, rival lama Jokowi dalam pemilihan sebelumnya.
Mungkin ini tradisi demokrasi zaman now, sekali pun aneh. Dulu, dalam pemilu lima tahun lalu dan pemilu-pemilu sebelumnya, para calon presiden sibuk mencari orang nomor dua, saling menunggu lawan memilih orang nomor dua, agar pas memilih strategi dan kelak menang dalam pemilihan. Artinya, orang nomor dualah yang menentukan kemenangan atau kekalahan. Jadi Muhaimin tak salah juga. Ia bisa mempengaruhi keterpilihan calon nomor satu.
Ini perkembangan yang menarik. Munculnya nama Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden menunjukkan stok pemimpin Indonesia terbatas. Dalam benak para responden, yang dianggap mewakili populasi orang Indonesia, hanya ada dua nama itu saja di benak mereka yang dianggap cocok menjadi pemimpin Indonesia. Di sisi lain, orang seperti Muhaimin dan AHY terlalu minder menjadi pemimpin nomor satu sehingga cukup tahu diri hanya berpromosi untuk jadi nomor 2.
Tapi itu pandangan orang yang cemas dan pesimistis. Orang optimistis akan melihatnya seperti ini: membuat nomor dua menjadi penting menunjukkan orang nomor satu membutuhkan nomor dua. Sebab tak ada nomor satu jika tak ada nomor dua. Nomor dua harus ada agar nomor satu tak sendirian karena sendirian bisa mendorong orang jadi tiran.
Jika kita lihat lebih jauh, nomor dua menjadi penting adalah hasil dari reformasi. Di zaman Orde Baru, orang nomor dua hanyalah seorang pengganti tak tetap. Jika orang nomor satu berhalangan kondangan, orang nomor dua akan menggantikannya. Dengan menjadikan penting orang nomor dua, soal wakil-mewakilkan ini akan bisa diatasi. Wakil bukan hanya sebatas ban serep. Wakil juga adalah pemimpin dalam lingkup kekuasaannya.
Zaman memang sering tak terduga-duga. Nassim Nicholas Thaleb menyebutnya “teori angsa hitam”. Sebelum 1697, orang tak berpikir ada angsa berwarna hitam polos di dunia ini. Sampai Willem de Vlamingh menemukannya di Australia bagian barat. Satu-satunya di dunia, hewan ini kini menjadi lambang Provinsi Australia Barat. Artinya, memang, jangan pernah berpikir tak ada angsa hitam meski Anda belum pernah melihatnya.
Nassim, dalam The Black Swan, sebetulnya sedang mengajak kita merenungkan paradigma dan keyakinan bahwa yang pasti itu ketidakpastian itu sendiri. Kita tak bisa meramalkan hal-hal di depan kita, tapi kita bisa menduganya. Keterbukaan pikiran di sini menjadi penting. Ketika tumor ditemukan, orang tahu dan berpikir bahwa ternyata ada penyakit semacam itu. Tapi, seandainya dulu tumor tak ada dan ditemukan, jangan pernah berpikir Anda terbebas dari penyakit ini.
Begitu juga dengan paradigma. Jangan-jangan orang nomor dua itu memang lebih penting ketimbang orang nomor satu. Paradigma lama kita tentu menolaknya karena nomor dua selalu lebih belakang dari nomor satu. Jika nomor dua lebih penting dibanding nomor dua, tentu nomor dua sudah bukan lagi kedua, tapi nomor satu. Tapi biarkanlah paradigma kuno ini melekat dalam kepala kita. Biarkanlah nomor wahid itu selalu nomor satu.
Tapi mari kita ubah paradigma itu bahwa nomor dua pun bisa menyaingi nomor satu. Artinya, kita anggap penting nomor dua, seperti dalam pemilihan presiden. Nomor dua, wakil presiden, itu penting karena ia akan mengimbangi kekuasaan nomor satu. Ada saling mengisi di sana. Saling berbagi.
Demokrasi ingin mencapai soal keseimbangan itu. Dan demokrasi adalah jalan paling mungkin untuk mengerem orang mengumbar kekuasaan. Demokrasi adalah kontrol oleh nomor-nomor lain terhadap nomor satu. Artinya, nomor-nomor lain itu menjadi penting sekarang. Tentu saja tak ada nomor satu jika tak ada nomor dua. Anda tak bisa bertanding sendirian. Pertandingan akan seru justru jika diikuti banyak peserta.
Setelah nomor dua menjadi penting, maka yang terjadi adalah pemberdayaan. Ini tidak berarti seseorang tak bisa berdaya jika tak menjadi orang penting. Ini soal berdaya akan lebih kuat jika menjadi penting.
Dalam politik—sebagai ajang menjaring pemimpin formal—menjadi berdaya itu penting. Dan berdaya harus ditopang oleh kecakapan dan tabiat. Kompetensi tak akan jalan jika tak ditopang tabiat. Tabiat tak akan berguna jika tak memiliki kompetensi.
Seorang wakil presiden akan menjadi penyeimbang—dan menjalankan—kekuasaan yang tak mungkin direngkuh presiden. Kekuasaan dan manusia itu terbatas, apalagi dalam politik yang banyak segi kepentingannya. Begitulah politik yang tertib, berbagi kekuasaan agar seimbang lalu memanfaatkan kekuasaan dalam keseimbangan itu untuk kepentingan orang banyak.
Jadi, tak ada salahnya mempromosikan diri jadi nomor dua.